Ads

Selasa, 22 Maret 2016

Kisah si Bangau Merah Jilid 027

Waktu berjalan dengan cepatnya dan setahun telah lewat lagi. Kini, sudah tiga tahun Yo Han berada di dalam guha itu dan usianya sudah lima belas tahun, ia menjadi seorang pemuda remaja yang bertubuh tegap dan kokoh kuat karena biasa bekerja keras.

Mukanya yang lonjong dengan dagu runcing berlekuk itu membayangkan kegagahan.
Rambutnya gemuk panjang dikuncir besar. Pakaiannya sederhana dan kasar. Alis matanya amat menyolok karena tebal menghitam berbentuk golok, dahinya lebar, hidungnya mancung dan mulutnya ramah walaupun dia pendiam. Sepasang matanya membayangkan kejujuran dan kelembutan.

Dia sudah mulai jemu tinggal di dalam guha itu, setiap hari selain melayani gurunya yang makin tua dan lemah, juga selalu mempelajari ilmu tari, senam dan juga siu-lian (samadhi) yang menurut gurunya berguna untuk kesehatan dan memanjangkan usia.

Akan tetapi, kalau timbul keinginannya meninggalkan tempat itu, dia merasa tidak tega kepada gurunya. Kakek itu sudah tua sekali dan dia merasa kasihan kepada orang hukuman yang berada di dalam sumur, bahkan ia sering kali timbul keinginannya untuk menengok orang itu ke dalam sumur, akan tetapi dia selalu mengurungkan niatnya karena dilarang oleh suhunya.

Akan tetapi pada suatu pagi, ketua Thian-li-pang dan wakil ketua, yaitu Ouw Ban dan Lauw Kang Hu, datang berkunjung dan mereka itu diterima oleh Thian-te Tok-ong di ruangan depan guha, Yo Han disuruh ke dalam oleh suhunya dan tidak diperkenankan untuk menghadiri, bahkan mendengarkan percakapan, mereka pun tidak boleh.

Yo Han masuk ke bagian paling dalam dari guha itu agar tidak dapat mendengarkan percakapan mereka dan bagian paling dalam adalah di tepi sumur itu. Selagi ia duduk termenung, matanya yang terlatih itu dapat melihat cuaca yang bagi orang lain tentu amat gelap pekat itu, dan hatinya terharu melihat keadaan sumur yang garis tengahnya hanya satu meter dan yang dalamnya tak dapat diukur itu.

Setiap kali memberi makanan dan minuman, dia hanya melemparkan saja ke bawah. Hal ini saja sudah membuktikan bahwa siapa pun yang berada di bawah, tentu bukan orang sembarangan karena dalam keadaan yang gelap itu dapat menerima luncuran bungkusan makanan dan poci minuman dari atas.

Untuk menanti percakapan gurunya dengan dua orang ketua Thian-li-pang, Yo Han lalu duduk di bibir sumur sambil mencoba untuk menjenguk ke bawah. Akan tetapi amat gelap di bawah sana, tidak nampak sedikit pun. Juga tidak pernah terdengar apa-apa, kecuali kadang saja terdengar suara yang amat mengerikan, seperti suara melengking panjang, seperti jerit tangis, seperti tawa, pendeknya bukan seperti suara manusia!

Tiba-tiba Yo Han mendengar suara yang keluar dari dalam sumur. Bukan pekik melengking mengerikan seperti biasanya, sama sekali bukan. Bahkan kini yang terdengar adalah suara nyanyian merdu. Suara seorang pria yang bernyanyi, nyanyiannya sederhana akan tetapi suara itu demikian merdu dan lembut.

"Jin Sin It Siauw Thian Te,
It Im It Yang Wi Ci To!”

Yo Han mendengarkan dan karena dia memang merupakan seorang kutu buku yang suka sekali membaca, maka mendengar satu kali saja dia sudah hafal. Akan tetapi, bagaimana seorang remaja berusia lima belas tahun akan mampu menangkap arti dari dua baris kata-kata itu? Kalau diterjemahkan kata-katanya, maka berarti: Badan Manusia Adalah Alam Kecil, Satu Im (Positive) dan Satu Yang (Negative) itulah To (Sang Jalan atau Kekuasaan Tuhan)!"

Yo Han menggerak-gerakkan bibir menghafal dua baris kalimat itu dengan heran. Dia lebih kagum mendengar kemerduan suara itu daripada isi kata-katanya yang tidak dimengerti benar. Kalau biasanya dia tidak pernah tertarik untuk memeriksa ke dalam sumur, karena selain dilarang suhunya, juga dia tidak pernah menganggur dan suara melengking yang mengerikan itu membuatnya ragu, kini mendengar nyanyian pendek yang bersuara merdu itu membuat hatinya tertarik bukan main.

Apakah si penyanyi itu orang yang suka menjerit-jerit itu? Perasaan iba memenuhi hatinya. Kenapa orang itu dihukum di sana? Apakah dosanya? Dan mengingat betapa orang-orang Thian-li-pang adalah orang-orang sakti yang aneh dan juga jahat dan curang, maka timbul niatnya untuk menyelidiki. Kalau gurunya mengetahui dan marah, dia akan mempertanggung-jawabkan perbuatannya. Bagaimanapun juga, dia harus tahu siapa salah siapa benar dan kalau orang di bawah sumur itu tidak bersalah, dia tidak sepatutnya dihukum dan disiksa seperti itu.

Dengan hati yang mantap Yo Han lalu menuruni tebing sumur itu. Pekerjaan yang bagi orang lain tentu hampir tidak mungkin dilakukan ini bagi dia tidaklah begitu sukar. Dia sudah lama digembleng oleh Thian-te Tok-ong untuk menirukan gerakan binatang cecak merayap di dinding guha! Dengan latihan samadhi, dia dapat menggunakan tenaga dalam tubuh untuk menyedot hawa dan kedua tangan dan kakinya yang telanjang itu dapat melekat di dinding.

Dalamnya sumur itu tidak kurang dari dua puluh lima meter dan biarpun gelap pekat, namun pandang mata Yo Han masih dapat menembus sehingga nampak remang-remang olehnya bahwa sumur itu agak menyerong.

Dan akhirnya, tibalah dia di dasar sumur yang cukup luas, ada empat meter persegi dan terdapat sedikit cahaya yang datang dari sebuah lubang sebesar lengan tangan yang datang dari jurusan lain. Dasar sumur itu becek dan baunya pengap sekali, sungguh orang akan tersiksa hebat kalau harus tinggal di situ.

Ketika dia turun ke dasar sumur, dia tidak melihat ada orang di situ, hanya ada lima buah batu bundar sebesar guci besar berjajar di sudut. Dia memandang ke sekeliling. Tidak mungkin ada orang bersembunyi di ruangan persegi itu, atau entah kalau masih ada lorong rahasia lain.






Tiba-tiba saja tubuhnya seperti disedot oleh kekuatan yang amat kuat menuju ke salah sebuah guci yang berdiri di sudut kiri. Dia mencoba untuk mempertahankan diri, namun sia-sia. Tenaga sedotan itu seperti besi magnet menarik jarum, angin sedotannya terlalu kuat baginya dan dia pun terhuyung menuju ke guci besar itu. Dan guci itu pun bergerak maju menabraknya.

"Desss....!"

Tubuh Yo Han terbentur benda lunak akan tetapi yang kuatnya bukan main sehingga tubuhnya terlempar jauh ke belakang sampai menghantam dinding sumur.

"Bress....!"

Yo Han terbanting roboh, akan tetapi dia bangkit lagi dan kini terbelalak memandang kepada "guci" itu. Ternyata guci itu berbentuk manusia! Hanya saja tidak mempunyai kaki dan tidak mempunyai tangan. Tinggal badan dan kepala saja! Sungguh mengerikan keadaan orang itu, seperti sebuah boneka besar mainan kanak-kanak yang dapat dijungkir-balikkan akan tetapi selalu dapat berdiri tanpa kaki.

Kini penglihatan Yo Han mulai terbiasa. Cahaya kecil dari lubang kecil itu cukup mendatangkan penerangan dan dia memperhatikan mahluk itu. Tubuh tanpa kaki atau lengan itu bulat dan cukup gemuk, agaknya telanjang akan tetapi kulitnya ditutup "pakaian" lumpur kering. Hanya mukanya yang tidak berlumur lumpur. Rambutnya terurai panjang sampai ke punggung, putih. Alis, kumis dan jenggotnya juga putih. Matanya mencorong hijau. Sungguh merupakan mahluk yang mengerikan sekali. Tentu iblis, pikir Yo Han. Semacam iblis penghuni sumur yang aneh dan berbahaya.

Kini mahluk itu berloncatan, bukan menggelundung, berloncatan menghampiri Yo Han.
Anak ini memang merasa ngeri, akan tetapi tidak takut karena dia memang tidak mempunyai niat buruk, hanya memandang dengan penuh perhatian. Wajah itu kini nampak nyata. Wajah seorang kakek yang tentu sudah tua sekali, dan sinar mata kehijauan itu pun tidak kejam, Bahkan mulut yang sebagian tertutup kumis itu seperti menyeringai tersenyum.

"Kau tidak mati....? Kau.... kau tidak terluka dan tidak mati?"

Suara itu lembut, seperti suara orang yang terpelajar, namun agak aneh terdengar di tempat seperti itu, dan seolah bukan keluar dari mulutnya melainkan turun dari atas.

Yo Han tidak dapat bicara saking merasa seramnya. Dia hanya berdiri mepet di dinding dan menggeleng kepalanya. Akan tetapi karena kini dia merasa yakin bahwa yang dihadapinya adalah seorang manusia, walaupun aneh, bahkan mungkin seorang tapa-daksa yang patut dikasihani dia pun berkata,

"Locianpwe, harap suka ampunkan aku. Aku.... aku tidak bermaksud mengganggu, aku hanya ingin melihat karena tadi aku mendengar nyanyianmu yang indah itu." Dia lalu menyanyi seperti tadi, menirukan suara yang didengarnya tadi. "Jin Sin It Siauw Thian Te, It Im It Yang Wi Ci To.!"

"Siancai....! Engkau begini muda sudah pandai meniru bunyi kalimat rahasia itu? Eh, anak muda, tahukah engkau apa artinya kalimat itu?"

Yo Han sudah membaca banyak kitab, selain itu memang dia memiliki kelebihan, bahkan keanehan dalam dirinya. Kalau membaca kitab yang berat-berat, ketika dia masih kecil sekalipun, ada suatu pengertian di dalam batinnya, seolah-olah dia pernah mengenal semua kitab itu dan sudah paham benar akan maknanya. Atau seolah ada yang membisikinya, memberi pengertian kepadanya. Maka mendengar pertanyaan itu, dia mengangguk.

"Kurasa aku mengerti, locianpwe, hanya mungkin saja keliru."

"Tidak, tidak. Engkau yang setiap hari mengirim makanan kepadaku, bukan? Sudah kudengar langkah-langkah kakimu dari sini kalau engkau menghampiri sumur dan aku tahu, engkau bukan anak sembarangan. Nah, cepat katakan apa makna yang terkandung dalam kalimat itu."

"Jin Sin It Siauw Thian Te, atau Badan Manusia Adalah Suatu Alam Kecil. Locianpwe, kita dapat melihat kenyataan bahwa di antara segala mahluk di dunia ini, manusia merupakan mahluk yang paling unggul dalam kesempurnaannya dibandingkan mahluk lain. Tuhan telah menciptakan manusia sebagai mahluk yang paling mulia. Dalam tubuh manusia terkandung unsur-unsur yang terdapat di alam besar, terkandung tanah, air, api, angin dan logam. Bahkan kalau air samudera terasa asin, demikian pula tubuh manusia mengandung rasa asin apabila mengeluarkan cairan seperti keringat. Kalau alam tidak pernah terpisah dari api, maka tubuh manusia pun selalu mengandung panas, api yang apabila padam berarti kematian. Seperti yang diketahui oleh para ahli pengobatan, hukum di alam besar berlaku pula di alam kecil. Bukankah, demikian, Locianpwe?"

"Siancai....! Benar, orang muda, Tubuh ini memang sempurna, suci, kalau tidak dirusak atau dikotori oleh manusia itu sendiri. Lanjutkan, lanjutkan!"

Kakek yang tanpa lengan tanpa kaki itu berkata dengan wajah berseri, suaranya lembut sekali.

"Lanjutannya adalah It Im It Yang Wi Ci To atau Satu Im (Positive) Satu Yang (Negative) itulah To. Locianpwe, sudah kehendak Tuhan bahwa yang menggerakkan segala sesuatu di dunia ini adalah dua keadaan yang saling berlawanan, saling bertentangan, namun saling dorong dan saling melengkapi, karena tanpa ada yang satu, yang lain menjadi tidak sempurna dan tidak lengkap. Im itu wanita, Yang itu pria. Atau Im itu gelap, Yang itu terang. Im dan Yang terkandung di dalam bawah dan atas, malam dan siang, lembut dan keras, bumi dan langit, dingin dan panas dan sebaginya.

Tanpa ada Im, bagaimana ada Yang? Tanpa ada Yang, Im pun tidak ada. Bagaimana kita mengenal terang tanpa adanya kegelapan? Bagaimana kita tahu akan yang keras tanpa mengenal yang lembut? Kalau tidak ada bumi, langit pun tidak ada. Maka, Im dan Yang saling berlawanan, akan tetapi juga saling melengkapi, saling menyempurnakan dan menjadi inti dari keadaan dan kesempurnaan alam. Kalau Im dan Yang dalam alam besar tidak seimbang, maka akan timbul kekacauan-kekacauan. Kalau dalam alam kecil, yaitu badan kita, Im dan Yang tidak seimbang, maka akan timbul gangguan penyakit dalam tubuh kita. Kalau Im dan Yang seimbang, maka To akan bekerja dengan sempurnanya."

Wajah kakek itu memandang kagum dan beberapa kali matanya terbelalak. Kemudian dia menghela napas panjang.

"Bagus, bagus! Tuhan Maha Sempurna, Maha Bijaksana, Maha Kasih Sayang sekali, manusia lebih sering menjadi hamba nafsu sehingga lupa akan adanya To, adanya Kekuasaan Tuhan yang menjadi Hukum Alam, sehingga ulah manusia membuat Im dan Yang menjadi tidak seimbang dan menimbulkan kekacauan-kekacauan di dunia ini. Eh, benarkah engkau ini seorang manusia yang masih muda? Ataukah seorang manusia ajaib yang kelihatannya saja masih muda akan tetapi usianya sudah seratus tahun?"

Yo Han tersenyum.
"Harap Locianpwe tidak terlalu memuji. Pengertian seperti itu dapat dimiliki siapapun juga asal dia mau belajar. Dan usiaku baru lima belas tahun."

"Lima belas tahun? Dan engkau sudah dapat menahan tubrukanku tadi? Padahal, seorang jago silat yang kenamaan di dunia kang-ouw saja belum tentu akan dapat hidup setelah menerima tabrakan tubuhku tadi. Dan engkau bahkan pandai mengurai tentang Im-yang dan To? Ha-ha-ha, agaknya Tuhan sengaja mengirimkan engkau ke sini untuk menjadi murid dan ahli warisku! Siapakah namamu, orang muda?"

Yo Han mengerutkan alisnya.
"Locianpwe, namaku Yo Han, akan tetapi aku tidak ingin menjadi murid dan ahli warismu."

"Ehhh? Apa katamu? Seluruh jagoan silat di permukaan bumi sana akan berlomba untuk menjadi muridku, dan engkau menolak menjadi murid dan ahli warisku? Wah, wah, aku Ciu Lam Hok bisa mati karena keheranan!"

Kepala dengan tubuh yang buntung itu kini berloncatan dan terdengar suara dak-duk-dak-duk seperti orang menumbuk sesuatu dengan amat kuatnya. Yo Han dapat menduga bahwa kakek buntung kaki tangannya ini tentu menguasai ilmu silat karena tadi beberapa kali menyebut tentang ilmu silat dan jagoan di dunia kang-ouw.

"Ketahuilah, Locianpwe. Aku tidak ingin berguru kepada Locianpwe karena aku sudah mempunyai guru."

"Ehhh? Engkau kira gurumu akan mampu menandingi aku, ya? Coba katakan, siapa gurumu yang tidak becus, itu!"

"Guruku adalah Thian-te Tok-ong...."

"Uhhhh...!"

Tiba-tiba tubuh itu "terbang" ke atas dan berputar-putar dari dinding kanan ke dinding kiri. Kiranya tubuh itu membentur dinding kiri, terpental ke dinding kanan dan bolak balik begitu seperti beterbangan saja, kurang lebih lima meter dari lantai. Akhirnya tubuh itu turun kembali dan berdiri tanpa kaki di depan Yo Han.

"Kiranya engkau datang atas perintah Thian-te Tok-ong untuk membunuh aku, ya?"

"Ah, sama sekali tidak, Locianpwe! Aku tidak mau menyerang orang, apalagi membunuh. Aku benci ilmu silat, aku benci kekerasan. Maka aku tidak mau menjadi murid Locianpwe, tidak mau belajar ilmu silat dari Locianpwe!"

Sepasang mata itu terbelalak, mulutnya ternganga sehingga dalam cuaca yang remang-remang itu dapat kelihatan oleh Yo Han betapa rongga mulut itu tidak mempunyai sebuah pun gigi lagi.

"Engkau? Yang dapat menahan tabrakanku, tidak mau belajar silat? Membenci ilmu silat dan membenci kekerasan? Engkau yang mengaku murid Thian-te Tok-ong? Ha-ha-ha, engkau boleh membohongi orang lain akan tetapi jangan coba-coba untuk membohongi Ciu Lam Hok!"

"Aku tidak pernah berbohong dan tidak akan suka berbohong, Locianpwe."

"Orang muda, omongan apa yang kau keluarkan ini? Engkau mengaku murid Thian-te Tok-ong dan mengatakan tidak suka belajar silat? Lalu, apakah Thian-te Tok-ong mengajar engkau menari? Ha-ha-ha...."

"Benar, Locianpwe. Suhu mengajar aku menari dan bersenam."

Kembali sepasang mata itu terbelalak, lalu pecahlah suara ketawanya tergelak-gelak dan tubuh itu pun bergulingan di atas lantai yang kotor. Tubuh itu berhenti di ujung ruangan itu dan tiba-tiba mulutnya meniup-niup. Ada benda kecil menyambar ke arah leher Yo Han. Pemuda ini cepat menggerakkan tubuhnya karena kini banyak benda yang menyambar ke arahnya dan yang menjadi sasaran adalah jalan-jalan darah. Dia segera menggerakkan tubuh, menari seperti monyet yang bergerak dengan cepat dan lincah sekali sehingga dia mampu mengelak dari sambaran benda-benda kecil yang ditiupkan oleh mulut kakek itu.

"Ha! Engkau pandai ilmu silat Monyet dan Lutung Hitam! Dan kau bilang tidak pernah belajar silat?" kakek itu berseru, suaranya mengandung kemarahan. "Dan kau bilang tidak berbohong, tidak pernah berbohong? Hemm, engkau setan cilik, tentu curang dan licik seperti gurumu!"

"Locianpwe, harap jangan menuduh sembarangan saja! Aku tidak bersilat, melainkan menari dan memang tarian ini disebut tarian monyet dan lutung hitam!"

Tiba-tiba sebuah benda kecil menyambar lagi dan sekali ini Yo Han kurang cepat mengelak sehingga lehernya terkena sambaran benda kecil itu. Dia merasa bagian yang terkena benda itu perih dan agak nyeri, akan tetapi baginya tidak berapa mengganggu.

"Yang licik dan curang bukan aku, melainkan engkau, Locianpwe. Engkau menyerangku secara membokong sehingga leherku terkena tiupan benda rahasiamu”,

Tangan Yo Han memijat bagian leher yang terluka dan keluarlah sebatang jarum kecil. Dia mencabut jarum itu dan melemparkannya ke lantai dengan sikap acuh.

Kini kakek itu melongo. Dia kini tahu bahwa pemuda itu tidak main-main atau mencoba untuk membohonginya. Agaknya pemuda itu memang mengira bahwa ilmu silat yang dikuasainya itu adalah ilmu menari! Dan yang membuat dia terkesima adalah cara orang muda itu menyambut jarumnya yang telah melukai lehernya. Orang lain, betapa pun lihainya, sekali terluka jarumnya, apalagi di leher, tentu sudah roboh dan tewas!

Akan tetapi orang muda itu dapat menarik keluar jarum itu dari lehernya, membuangnya ke tanah dan masih sempat menegurnya dan jangankan mati, roboh pun tidak, bahkan mengeluh pun tidak! Hampir dia tidak mau percaya akan kenyataan yang dilihatnya.

Tiba-tiba, kakek itu mengeluarkan seruan aneh, melengking seperti lolong srigala, dan tubuhnya sudah bergulingan kini rambutnya yang panjang itu menyambar-nyambar ke arah tubuh Yo Han.

Pemuda ini terkejut dan kembali dia "menari", akan tetapi sekali ini, gerakan rambut kakek itu yang menyerangnya terlalu cepat dan aneh. Dia hanya berhasil meloncat dan mengelak empat lima kali saja, lalu tiba-tiba kedua kakinya terkena totokan ujung rambut dan dia pun terpelanting jatuh!

Yo Han meloncat bangkit kembali dan kembali kakek itu menyerangnya dengan rambut.
Suara rambut itu yang menyambar-nyambar sampai mengeluarkan bunyi bercuitan aneh.

Yo Han kini menggunakan ilmu "senam", berdiri kokoh, mengerahkan tenaga yang dapat membuat tubuhnya keluar semacam tonjolan besar, kemudian dia menghadapi kakek itu dengan dorongan kedua tangannya dengan senam yang disebut mendorong bukit.

Pada saat itu, kakek tadi sedang menggelundung dan kembali rambutnya menyambar. Yo Han mendorong dan tenaganya bertemu dengan tenaga yang luar biasa kuatnya, keluar dari kepala atau rambut-rambut itu dan Yo Han merasa kepalanya seperti meledak, tubuhnya terpental ke belakang dan kembali dia roboh! Kakek itu pun terguling-guling ke belakang dan ketika dia sudah bangkit lagi, dia berseru kagum.

"Siancai....! Engkau ini manusia ataukah setan? Heii, Yo Han, katakan sejujurnya, siapa engkau dan apa pula maksudmu menuruni sumur ini?"

Yo Han yang sudah bangkit berdiri, memandang kepada kakek itu penuh takjub. Tahulah dia bahwa dia berhadapan dengan seorang manusia aneh, yang biarpun tak bertangan-kaki lagi, namun memiliki ilmu kepandaian yang hebat sekali. Ang I Moli, Si Iblis Betina yang amat lihai itu saja tidak mampu merobohkannya sampai dua puluh jurus ketika dia mainkan tarian monyet dan lutung hitam, bahkan pukulan iblis betina itu dapat dia tahan dengan ilmu senam mendorong bukit.

Akan tetapi, dalam beberapa gebrakan saja dia roboh oleh kakek yang tidak mempunyai tangan dan kaki ini. Tarian dan senam yang dikuasainya tidak mampu menolongnya. Jelas bahwa kakek ini jauh lebih lihai dibandingkan Ang I Moli!

"Locianpwe, sudah kukatakan bahwa namaku Yo Han dan aku adalah murid Suhu Thian-te Tok-ong, mempelajari ilmu menari dan bersenam dari Suhu. Sudah tiga tahun aku menjadi muridnya. Aku pula yang diberi tugas oleh Suhu untuk menurunkan makanan ke dalam sumur. Sudah lama aku amat tertarik oleh suara tangisan dari dalam sumur maka hari ini aku tidak mampu lagi menahan keinginan tahuku, aku turun ke dalam sumur untuk melihat siapa yang menangis dan kalau perlu aku akan menolongnya. Tahukah engkau, Locianpwe, siapa yang suka meraung-raung itu?"

“Ah.... aahhh.... sungguh aneh sekali. Memang sungguh ini pasti kehendak Tuhan.... yang mengirim engkau masuk ke sini. Dan bagaimana engkau dapat masuk ke sini?"

"Dengan merayap, Locianpwe. Di antara tarian-tarian yang diajarkan Suhu, terdapat tarian gerakan cecak merayap dan aku sudah mempelajarinya.

"Ah-ahhhh...., engkau ini anak tolol ataukah anak yang luar biasa? Yo Han, mendekatlah, nak. Aku ingin mengenalmu lebih dekat lagi."

Yo Han maklum bahwa jauh atau dekat, bagi kakek sakti ini sama saja. Kalau kakek ini hendak membunuhnya, biarpun dia menjauh pun tidak ada gunanya. Maka dengan tabah dia pun melangkah dan menghampiri kakek itu.

"Diamlah, Yo Han, aku hendak memeriksa keadaan tubuhmu," kata kakek itu dan tiba-tiba rambut kepalanya bergerak, seperti ular-ular kecil dan tahu-tahu rambut itu sudah melibat-libat seluruh tubuh Yo Han.

Pemuda remaja ini bergidik. Dia dapat merasakan betapa rambut-rambut itu bukan hanya membelit akan tetapi juga memijit-mijit, menotok sana sini. Rambut itu hidup! Yo Han memejamkan matanya dan seluruh jiwa raganya memuji kebesaran Tuhan. Bukan main! Agaknya karena kakek ini kehilangan kaki dan tangan, maka rambutnya menjadi hidup dan dapat menggantikan tangan untuk meraba-raba memijit dan menekan-nekannya.

Berulang-ulang kakek itu mengeluarkan seruan kaget dan heran. Kemudian, ketika dia menggerakkan kepala dan hidungnya yang menjadi keras itu menotok-notok ke arah pusar Yo Han, dia terlempar dan bergulingan.

"Locianpwe....! Engkau tidak apa-apa....? Yo Han cepat menghampiri.”

Kakek itu menarik napas panjang dan menggelengkan kepala, lalu menengadah.
"Ya Tuhan, inilah.... inilah...." dan tiba-tiba dia pun menangis! Tangis yang sering didengar Yo Han!

Tentu saja Yo Han menjadi heran bukan main.
"Locianpwe, ada apakah? Maafkan kalau aku bersalah." Yo Han memandang terharu. "Jadi.... kiranya Locianpwe yang suka meraung dan menangis itu?"

Kakek itu menghentikan tangisnya dan sungguh mengharukan. Rambut itu kini bergerak mengusap air mata dari mukanya! Melihat ini, Yo Han merasa tidak tega, karena bagaimanapun juga, gerakan rambut itu canggung sekali.

"Yo Han, bocah ajaib. Setelah engkau tiba di sini dan melihat bahwa akulah orangnya yang suka meraung dan menangis, lalu apa yang akan kau lakukan?"

"Locianpwe, entah siapa yang begitu kejam membuangmu ke sini. Aku akan mencoba untuk menolongmu dan membawamu keluar dari sumur ini," dalam suara pemuda itu terkandung ketegasan.

Kakek itu kini tertawa! Baru saja menangis, kini sudah tertawa. Memang luar biasa sekali kakek itu.

"Dan begitu keluar dari sini, engkau dan aku akan dibunuh oleh Thian-te Tok-ong? Tidak, Yo Han. Kalau engkau dibunuhnya, itu masih belum hebat. Akan tetapi kalau aku yang dibunuhnya, apakah pengorbananku ini akan menjadi sia-sia?"

"Apa maksudmu, Locianpwe?"

“Engkau duduklah, biar agak kotor tempat ini, akan tetapi aku akan bercerita, dan agaknya Tuhan sengaja mengirimkan engkau ke sini untuk mendengarkan ceritaku."

"Aku pun yakin bahwa tentu kekuasaan Tuhan yang mendorongku untuk menuruni sumur ini dan bertemu denganmu. Ceritakanlah, Locianpwe."

Kakek yang kakinya buntung mulai dari pangkal pahanya, dan lengannya buntung sampai hanya tinggal kedua pundaknya saja itu berdiri di atas pinggulnya sambil bersandarkan dinding sumur, dan dengan suara lembut dan lirih dia pun mulai bercerita, didengarkan dengan penuh perhatian oleh Yo Han yang merasa amat tertarik.

Delapan tahun lebih yang lalu, kakek itu masih belum berada di dasar sumur itu, Juga kaki dan tangannya masih lengkap dan utuh. Dia bernama Ciu Lam Hok dan merupakan tiga serangkai kakak beradik seperguruan dengan Thian-te Tok-ong dan Ban-tok Mo-ko, Ciu Lam Hok adalah yang termuda. Akan tetapi, dalam hal ilmu silat, tingkat kepandaian Ciu Lam Hok lebih tinggi daripada tingkat kedua orang suhengnya itu.

Hal ini adalah karena dia memang suka merantau dan bertualang, menjelajah di seluruh daratan Tiongkok dan selalu mempelajari ilmu-ilmu silat baru sehingga dia semakin maju dalam ilmu silat. Ketika Thian-li-pang didirikan, pendirinya adalah tiga serangkai bersaudara itu, dan Thian-li-pang didirikan untuk menghimpun orang-orang gagah, menjadi sebuah perkumpulan yang kuat. Kemudian, Ciu Lam Hok meninggalkan Thian-li-pang untuk bertualang.

Kurang lebih sembilan tahun yang lalu ketika dia mendengar akan sepak terjang Thian-li-pang yang mengarah kepada kesesatan, dia terkejut dan lebih lagi ketika mendengar betapa dua orang suhengnya telah memperdalam ilmu mereka dengan ilmu tentang racun sehingga mereka dijuluki Ban-tok Mo-ko (Iblis Selaksa Racun) dan Thian-te Tok-ong (Raja Racun Langit Bumi), hatinya merasa khawatir sekali dan diapun cepat pulang untuk membuktikan kebenaran berita itu.

Betapa kagetnya ketika dia tiba di Thian-li-pang melihat bahwa berita yang didengarnya memang benar! Thian-li-pang memang masih merupakan perkumpulan yang menentang penjajah Mancu, akan tetapi di samping itu, Thian-li-pang bergaul dengan golongan sesat, bahkan bekerja sama dengan Pek-lian-kauw dan tidak segan melakukan berbagai kejahatan dan kekejaman. Demi perjuangan, mereka sanggup melakukan apapun juga, menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan!

Ciu Lam Hok dengan berani menemui dua orang suhengnya, lalu menegur mereka yang dia anggap menyeleweng. Dua orang suhengnya menjadi marah. Terjadi pertengkaran yang berakhir dengan perkelahian. Akan tetapi bukan hanya Ban-tok Mo-ko yang kalah, bahkan Thian-te Tok-ong juga kalah oleh Ciu Lam Hok!