Ads

Selasa, 22 Maret 2016

Kisah si Bangau Merah Jilid 024

Yo Han menari-nari dengan gerakan yang indah namun aneh. Yang mengiringi gerakan tarinya adalah suaranya suling yang melengking-lengking secara aneh pula. Yo Han tidak tahu bahwa suara suling ini, kalau terdengar orang lain, akan dapat membuat orang yang mendengarnya menjadi tuli atau setidaknya akan roboh pingsan karena suara itu melengking tinggi parau dan begitu lembut sehingga dapat menusuk dan menembus kendangan telinga, menggetarkan jantung dan dapat menguasai semangat orang!

Memang, Thian-te Tok-ong bukanlah seorang manusia biasa. Tingkat kepandaiannya sudah amat tinggi, bahkan bukan hanya ilmu silat, melainkan juga tenaga sin-kangnya yang amat kuat itu sukar dicari bandingannya. Suara sulingnya itu saja cukup untuk membuat pendengaran menjadi tuli atau mati karena jantungnya terguncang.

Namun, Yo Han memiliki suatu kelainan yang timbul secara mujijat. Kepasrahannya yang mutlak kepada Tuhan membuat dia seolah menjadi kekasih Tuhan yang selalu melindunginya dengan kekuasaan Tuhan yang gaib. Atau lebih tepat lagi, tenaga sakti yang memang sudah terkandung dalam diri setiap orang manusia sejak lahir, dan yang biasanya terpendam dan tak berdaya karena pengaruh nafsu-nafsu daya rendah yang menguasainya, pada diri Yo Han timbul dan berkembang sehingga seluruh bagian tubuhnya hidup dan bekerja sesuai dengan tugasnya ketika diciptakan.

Thian-te Tok-ong berusia kurang lebih delapan puluh tahun. Wataknya sudah berubah kekanak-kanakan, kadang bahkan pikun, akan tetapi dia senang sekali bergurau, dan wataknya juga nakal suka menggoda orang, seperti kanak-kanak. Tubuhnya pendek kecil seperti tubuh yang sudah mulai mengerut dan mengecil saking tuanya, namun gerakannya masih lincah. Matanya kocak, jelas membayangkan kenakalan, dan mulut yang tak ada giginya sebuah pun itu selalu menyeringai seperti seringai anak kecil. Namun, dia ditakuti seluruh orang Thian-li-pang dan agaknya dia tahu benar akan hal ini.

Di pusat Thian-li-pang itu, Thian-te Tok-ong tinggal di bagian paling belakang, bukan merupakan bangunan lagi, melainkan merupakan sebuah guha besar di bukit. Guha itu luas sekali dan dilapisi dinding buatan menjadi tempat yang amat kokoh, berikut lubang-lubang angin dan lubang-lubang untuk memasukkan sinar matahari dari atas.

Setiap hari yang keluar masuk hanyalah burung-burung walet kalau siang, dan kelelawar-kelelawar kalau malam. Keadaannya menyeramkan dan tak seorang pun berani memasuki guha itu tanpa panggilan Thian-te Tok-ong yang jarang pula keluar dari dalam guha. Makanan dan minuman untuknya dikirim setiap hari oleh seorang murid Thian-li-pang, akan tetapi itu pun hanya diletakkan di atas batu dan di ujung depan guha.

Yo Han adalah seorang anak yang jujur dan tidak pernah berprasangka buruk terhadap siapapun juga, walaupun hal ini bukan menunjukkan bahwa dia bodoh. Sama sekali tidak.

Dia peka rasa dan cerdik sekali, namun karena ada perasaan kasih terhadap semua orang, maka dia tidak pernah berprasangka. Oleh karena itu, ketika Thian-te Tok-ong mengajarkan ilmu "tarian" dan "senam" kepadanya, dia pun mempelajarinya dengan tekun, sama sekali tidak mempunyai prasangka bahwa semua gerakan tari dan senam itu sesungguhnya merupakan dasar-dasar ilmu silat yang amat hebat!

Di lain pihak, Thian-te Tok-ong adalah seorang kakek tua renta yang di waktu mudanya merupakan seorang datuk sesat yang amat ditakuti orang. Dia bukan saja ahli silat, akan tetapi juga ahli sihir dan ahli tentang racun sehingga mendapat julukan Tok-ong (Raja Racun).

Setelah merasa bosan merajalela seorang diri saja di dunia kang-ouw, terutama sekali setelah dua kali dia menelan pil pahit karena dikalahkan dua orang pendekar sakti, dia lalu mengundurkan diri dan untuk melindungi dirinya, dia bersembunyi di balik sebuah perkumpulan yang didirikannya, yaitu Thian-li-pang.

Perkumpulan itu maju pesat berkat kepandaiannya, akan tetapi setelah usianya semakin tua, dia menyerahkan kepengurusan Thian-li-pang kepada sutenya, yaitu Ban-tok Mo-ko yang dalam ilmu silat juga amat lihai, tentu saja masih jauh di bawah tingkat suhengnya, Thian-te Tok-ong yang mengundurkan diri dan bertapa di dalam guha itu.

Setelah Yo Han berada setahun di dalam guha itu menjadi murid Thian-te Tok-ong, sedikit demi sedikit gurunya mulai mengungkapkan tabir rahasianya. Kakek itu semakin percaya kepada Yo Han dan mulailah dia menceritakan tentang keadaan Thian-li-pang, bahkan mulai membuka rahasia diri pribadinya.

Dan Yo Han juga merasa sayang kepada gurunya ini karena dia menganggap kakek itu sebagai seorang tua renta yang hidupnya tidak berbahagia, yang kesepian dan agaknya kenangan-kenangan pahit menekan sisa hidupnya.

Dari Thian-te Tok-ong, Yo Han mendengar bahwa Thian-li-pang didirikan oleh Thian-te Tok-ong dengan cita-cita yang tinggi. Bukan saja untuk mendirikan sebuah perkumpulan silat yang ampuh dan memiliki banyak murid pandai yang akan menjunjung tinggi nama Thian-li-pang. Dan satu ciri khas Thian-li-pang adalah bahwa perkumpulan ini anti pemerintah Mancu, anti penjajahan!

Hal ini sebetulnya bukan karena Thian-te Tok-ong berjiwa patriot, sama sekali bukan, melainkan karena dia pernah merasa sakit hati terhadap pemerintah Mancu. Pernah dahulu perkumpulannya cerai berai dan hampir terbasmi ketika pasukan Mancu di bawah pimpinan Panglima Kao Cin Liong mengadakan pembersihan!

Sejak itu, dia pun bersumpah untuk memimpin perkumpulannya, menjadi perkumpulan anti pemerintah Mancu. Tentu saja kepada Yo Han, kakek ini hanya mengemukakan bahwa perkumpulan Thian-li-pang adalah perkumpulan patriot yang gagah, yang cinta tanah air dan bangsa, yang bercita-cita membebaskan tanah air dan bangsa dari cengkeraman penjajah. Dia mengharapkan anak yang luar biasa ini akan dapat mewarisi ilmu-ilmunya dan kelak menjadi pemimpin Thian-li-pang untuk menghancurkan pemerintah Mancu.

Setelah dua tahun Yo Han menjadi murid Thian-te Tok-ong dan usianya sudah empat belas tahun, pada suatu pagi sehabis berlatih "menari", dia dipanggil menghadap gurunya.

Sambil berlutut Yo Han duduk di depan gurunya yang bersila di atas batu datar. Kakek itu memandang kepada muridnya, mengangguk-angguk gembira sekali sambil mengelus jenggotnya yang putih panjang. Muridnya itu kini bukan kanak-kanak lagi. Usianya sudah menjelang dewasa dan tubuhnya yang sedang itu tegap dan agak tinggi. Mukanya yang lonjong itu nampak gagah tampan dengan dagu meruncing dan berlekuk.






Rambutnya yang hitam panjang dibiarkan tergantung di belakang punggung. Alisnya tebal berbentuk golok, dahinya lebar, hidung mancung dan mulut itu membayangkan senyum yang ramah dan lembut.

"Yo Han, tahukah engkau sudah berapa lama engkau menjadi muridku dan berdiam di sini?"

"Teecu tidak dapat menghitung hari, Suhu. Akan tetapi tentu sudah ada dua tahun."

"Benar, dua tahun telah berlalu dengan cepatnya dan kukira engkau telah memperoleh kemajuan pesat dalam ilmu tari, senam dan juga bertiup suling. Nah, sekarang aku ingin mengujimu, Yo Han. Engkau mulailah dengan gerakan senam seperti yang kau latih selama ini. Berdiri dan bersiaplah menanti apa yang kuperintahkan!"

Yo Han memang amat menyayang dan menghormati gurunya yang sejak dia berada di situ bersikap amat baik kepadanya. Mendengar perintah ini, dia pun segera melepas baju atasnya bertelanjang dada dan berdiri tegak dengan kedua lengan tergantung di kanan kiri, siap untuk melakukan senam seperti yang diajarkan oleh gurunya. Dia sama sekali tidak tahu bahwa gerakan senam itu oleh Thian-te Tok-ong diambil sebagian dari gerakan silat Thai-kek-koan dan Im-yang-kun.

Mulailah dia bergerak setelah mendengar aba-aba gurunya. Mula-mula dia mengangkat lengan kanan ke atas, melingkar di bawah pusar, lalu kedua lengan itu diputar perlahan saling bertemu seperti orang menangkap bola besar di depan dada sambil menarik dan menahan napas, kemudian dengan hembusan napas perlahan, kedua tangan itu digerakkan, yang satu ke atas dan yang satu ke bawah seperti menolak dengan pengerahan tenaga dalam perlahan-lahan.

Inilah gerakan dari Thai-kek-koan. Kemudian gerakan itu disambung dengan menjulurkan kedua lengan kanan kiri, dengan telapak tangan agak ke atas, jari-jari menunjuk langit, lalu siku ditekuk ke atas dan kedua tangan ke pinggang, dilanjutkan dengan gerakan memutar tangan, telapak yang tadinya di bawah menjadi ke atas seperti orang menyodorkan atau menawarkan sesuatu. Gerakan ini oleh gurunya dinamakan "Menghaturkan Anggur Kepada Dewata".

"Sekarang salurkan tenagamu ke arah pundak, perlahan-lahan sampai seluruh tenagamu berkumpul di kedua pundakmu!" terdengar Thian-te Tok-ong berkata.

Yo Han menurut. Kedua tangan yang dilonjorkan itu ditarik kembali sampai ke bawah ketiak dan dia pun mengerahkan tenaga dari pusar dan dikumpulkan ke pundak. Kedua pundaknya itu menggembung besar sekali, seperti punuk onta saja!

"Tarik tenaga itu ke punggungmu dan membuat gerakan menyembah Sang Buddha!" kata gurunya.

Yo Han merobah gerakannya, tubuhnya membungkuk dengan muka hampir menyentuh tanah, kedua tangan merangkap ke depan dan kini punuk di kedua pundak berpindah ke punggung, membuat dia menjadi seperti orang yang berpunuk dan bongkok!

Thian-te Tok-ong memberi aba-aba terus dan latihan "senam" ini sungguh amat mengagumkan bagi orang lain kalau ada yang melihatnya. Anak berusia empat belas tahun itu dapat memindahkan gumpalan "punuk" yang sesungguhnya merupakan saluran tenaga sakti itu ke mana saja, ke leher, ke dada, perut, lengan, kaki, bahkan ke tengkuk leher!

Yo Han sendiri sama sekali tidak menyadari bahwa gumpalan yang sebenarnya merupakan hawa sin-kang itu dapat membuat tubuh bagian itu menjadi kebal!

"Sekarang kau lihat di dinding itu. Ada gumpalan batu menonjol, bukan? Nah, batu, itu mengganggu, Yo Han. Coba engkau kerahkan kemauanmu pada telapak tangan kirimu dan mendorongnya ke arah batu itu dengan pengerahan tekad untuk memecahkan gumpalan batu yang mengganggu dinding itu agar dinding menjadi rata!"

Yo Han tidak tahu apa artinya ini dan apa pula gunanya. Akan tetapi karena yang harus diratakan itu hanya batu dinding, dia pun dengan senang hati melakukannya. Dia menyalurkan tenaga yang mendatangkan gumpalan pada semua bagian tubuh itu ke arah telapak tangan kirinya, dan dengan kemauan bulat dia mendorong ke arah gumpalan batu menonjol di dinding itu.

Jarak antara tangannya dan dinding itu ada dua meter. Dia tidak menyadari bahwa dari telapak tangannya menyambar hawa pukulan dahsyat dan terdengar suara keras diikuti pecahnya gumpalan batu dinding menonjol itu!

"Brakkkk!"

Yo Han sendiri memandang bengong dan matanya terbelalak. Tak disangkanya bahwa gumpalan batu itu dapat remuk terkena sambaran hawa pukulan tangannya dan hal ini sungguh membuat dia tidak mengerti. Dia menoleh kepada gurunya ketika mendengar gurunya tertawa terkekeh-kekeh dengan senangnya.

"Suhu! Apa yang terjadi? Kenapa batu itu bisa pecah?" tanyanya.

"Heh-heh-heh, itulah berkat latihan senammu, Yo Han. Jangankan seorang manusia, bahkan batu pun akan hancur terkena sambatan angin pukulan tanganmu."

"Ihh! Aku tidak mau memukul orang, Suhu!" kata Yo Han marah.

"Hushh, siapa suruh kau memukul orang? Engkau hanya berlatih senam agar tubuhmu sehat, bukan untuk memukul orang. Tadi pun hanya untuk mengetahui sampai di mana kemajuan latihanmu. Apa kau kira aku ingin muridku menjadi tukang pukul! Heh-heh, Yo Han, jangan mengira yang bukan-bukan. Sekarang sudah kulihat kemajuan ilmu senammu, mari kulihat kemajuan ilmu tarianmu Nah, kau pakai kembali baju atasmu."

Yo Han merasa girang dan dia pun membereskan kembali pakaiannya. Dia tidak tahu bahwa dalam usia empat belas tahun itu, tubuhnya telah menjadi atletis dan indah sekali, seperti tubuh seorang dewasa yang kuat.

"Aku ingin melihat engkau mainkan tari kera dan akan kucoba engkau dengan sambitan-sambitan batu ini. Seekor kera yang sudah mahir menari, disambit bagaimanapun sudah pasti akan mampu mengelak dan tidak akan dapat disambit. Nah, engkau mulailah."

Yo Han sudah mempelajari tarian ini dengan baik. Tubuhnya lalu membuat gerakan-gerakan loncatan ke sana-sini, kedua tangannya membentuk gerakan kedua tangan kera, siku ditekuk, pergelangan tangan ditekuk dan kedua kakinya agak merendah, meloncat ke sana-sini, bahkan mulutnya mengeluarkan bunyi seperti kera, dan bibirnya diruncingkan,

Matanya melirik ke kanan kiri dengan lincahnya, kadang meloncat ke atas, kadang bergulingan, gerakannya gesit, lincah dan cepat sekali. Dan kakek itu pun tidak tinggal diam. Kedua tangannya mengambil batu-batu kecil yang sudah dipersiapkan bertumpuk di depannya dan dia pun mulai menyambit-nyambitkan batu-batu itu. Sambitannya cepat dan kuat, namun sungguh mengagumkan. Yo Han dapat mengelak dan seolah-olah pendengarannya menjadi sangat tajam dan dia sudah dapat menangkap arah luncuran batu-batu itu tanpa melihat dengan matanya. Sampai puluhan batu kecil menyambar, dan tak sebutir pun mengenai tubuhnya!

"Bagus sekali! Engkau seperti monyet tulen, muridku. Nah, sekarang ilmu tari harimau!"

Yo Han mentaati dan tanpa dia sadari, dia kini memainkan silat Harimau yang jarang didapatkan keduanya. Bukan saja gerakannya tangkas, kedua tangan membentuk cakar harimau dan gerakannya amat hidup, akan tetapi juga dari mulutnya keluar auman seperti harimau dan andaikata dia mengenakan pakaian bulu harimau, tentu orang akan mengira dia seekor harimau sungguh!

Ada suatu keanehan luar biasa pada diri Yo Han. Yang agaknya juga baru dikenal atau diduga-duga oleh orang aneh seperti Thian-te Tok-ong. Kakek yang sudah penuh pengalaman hidup inipun tidak tahu mengapa ada hal mujijat terdapat dalam diri anak itu. Kalau dia mengajarkan suatu ilmu silat dengan dalih ilmu tari atau senam, dia mengajarkan gerakan silat tanpa mengatakan bahwa gerakan-gerakan itu selain untuk memperkuat tubuh, juga mempunyai daya tahan dan daya serang yang ampuh.

Akan tetapi, dia melihat keanehan. Kalau Yo Han sudah memainkan tari monyet misalnya, dia melihat anak itu seolah-olah bukan anak manusia lagi, seolah-olah memang dia seekor monyet! Gerakannya demikian wajar, tidak dibuat, tidak tiruan, bahkan ada gerakan aneh yang tidak mungkin dilakukan manusia, kecuali dilakukan monyet asli.

Demikian pula gerakan harimau. Kalau anak itu sudah membuat gerakan tari harimau, suara aumannya persis harimau, bahkan gerakan mulutnya, bibirnya, tiada ubahnya seekor harimau tulen, bahkan sepasang matanya juga mencorong seperti mata harimau! Ini sungguh ajaib dan kadang-kadang seorang datuk besar seperti Thian-te Tok-ong menjadi ngeri sendiri! Anak macam apa yang dijadikan muridnya ini?

"Sekarang pelajaran yang paling akhir. Gerakan binatang cecak merayap itu. Yang paling sukar dan paling baru. Jangan takut, kalau sampai engkau gagal pun aku tidak akan marah, akan tetapi kerahkan seluruh kekuatan pada telapak tanganmu, Yo Han."

"Teecu, biarpun tidak tahu apa maksudnya Suhu mengajarkan ilmu merayap seperti cecak, telah mempelajari dengan tekun dan memang amat sukar, Suhu. Akan tetapi, apa sesungguhnya manfaat ilmu senam meniru akan gerakan cecak seperti itu, Suhu?"

"He-he-he-heh, anak bodoh. Masa engkau yang begini cerdik tidak tahu gunanya. Selain dapat menyehatkan tubuhmu, juga amat penting. Bahkan penting sekali. Bayangkan saja. Suatu hari engkau tidak sengaja terjerumus ke dalam sumur yang amat dalam. Meloncat keluar tidak mungkin, lalu apa yang akan kau lakukan? Apakah engkau akan mati kelaparan di dalam lubang itu kalau tidak ada orang mendengar teriakanmu minta tolong? Nah kalau engkau pandai menirukan gaya cecak merayap, tentu engkau akan dapat keluar dari sumur itu dengan merayap melalui dindingnya. Nah, kau masih bilang tidak ada manfaatnya?"

Yo Han menjadi girang dan dia pun tentu saja dapat mengerti.
"Baik, Suhu. Teecu akan mencobanya sekarang."

Dan seperti yang telah diajarkan gurunya, dia duduk bersila, mengatur pernapasan, menggerak-gerakkan kedua lengannya sampai buku-buku jarinya mengeluarkan bunyi berkerotokan, kemudian dia pun bangkit, menghampiri dinding guha dan merayap naik menggunakan kedua tangan dan kedua kakinya yang tidak bersepatu.

Dan dia pun dapat merayap seperti seekor cecak ke atas dan turun ke seberang dinding yang sana! Setelah turun, napasnya terengah dan keringatnya membasahi seluruh tubuh karena dia telah mengerahkan seluruh tenaganya.

"Ha-ha-ha, bagus sekali! Engkau memang muridku yang amat hebat, Yo Han! Sekarang yang terakhir. Engkau pernah belajar tari lutung hitam yang menggunakan kaki tangannya untuk menangkapi semua benda yang dilemparkan kepadanya. Nah, aku ingin engkau menarikan itu dan melihat apakah engkau sudah mahir!"

Sebetulnya Yo Han sudah lelah sekali. Akan tetapi dia memang mempunyai kekerasan hati yang mengagumkan dan pantang mundur. Apalagi dia memang patuh kepada gurunya yang dianggapnya amat menyayangnya.

"Suhu, teecu sudah siap!" katanya sambil berdiri memasang kuda-kuda di tengah ruangan guha itu.

Dia tahu bahwa kalau tadi suhunya menghujankan sambitan batu-batu kecil, kini gurunya hendak menggunakan segala macam ranting untuk menyambitnya seperti hujan anak panah dan dia bukan saja harus menghindarkan semua luncuran ranting, akan tetapi juga sedapat mungkin harus bisa menangkap sebanyaknya.

"Awas serangan!" tiba-tiba Thian-te Tok-ong menggerakkan kedua tangannya dan puluhan batang ranting meluncur seperti anak panah ke arah seluruh tubuh Yo Han.

Pemuda remaja ini bergerak seperti seekor lutung, kaki tangannya bergerak dan bukan hanya kedua tangannya saja yang mampu menangkis atau menangkap ranting, bahkan kedua kaki telanjang itu pun berhasil menjepit ranting dengan celah-celah jari kaki atau menyepaknya pergi.

Akan tetapi, ketika gurunya menghentikan serangan itu, dia mengeluh dan menjatuhkan diri bersila di atas lantai guha, menahan sakit sambil memegangi kaki tangannya yang berdarah dan bengkak-bengkak membiru!

"Suhu, kenapa kaki tangan teecu menjadi begini?" tanyanya, sekuat tenaga menahan agar mulutnya tidak mengeluarkan keluhan.

Kakek itu menghampiri, langkahnya sudah gontai karena memang dia sudah tua sekali.
Akan tetapi matanya mencorong aneh dan berulang kali dia menggeleng kepala.

"Luar biasa! Ajaib, seribu kali ajaib! Tahukah engkau, Yo Han, kalau orang lain yang menangkis dan menangkapi ranting-ranting tadi, tak peduli bagaimana tinggi ilmunya saat ini dia sudah akan menjadi kaku dan mampus?"

Yo Han terbelalak memandang wajah tua itu.
"Akan tetapi, kenapa, Suhu?"

"Ranting-ranting itu semua sudah kupasangi bubuk racun yang paling berbahaya di dunia ini, terdiri dari racun segala macam ular yang paling ampuh. Ular cobra, ular belang hitam, ular merah, ular emas, bahkan racun kalajengking hijau. Siapapun yang terkena, pasti mati seketika. Akan tetapi engkau.... engkau hanya luka-luka dan tangan kakimu membiru saja! Bukan main!"

"Tapi, kenapa, Suhu? Apakah Suhu bermaksud untuk membunuh teecu?"

"Ha-ha-ha-ha, aku sayang padamu, aku kagum padamu, kepadamulah seluruh tumpuan harapanku kuberikan, bagaimana mungkin aku akan membunuhmu? Aku hanya akan mengujimu! Andaikata racun-racun itu mengancam nyawamu, aku sudah mempersiapkan obat penawarnya. Sekarang tidak perlu lagi. Racun itu hanya berhenti sampai dipergelangan tangan dan kakimu. Entah kemujijatan apa yang melindungi dirimu, Yo Han."

"Tidak ada kemujijatan apa-apa kecuali kekuasaan Tuhan yang teecu yakin akan selalu melindungi teecu, Suhu."

"Heh-heh-heh, sudah terlalu sering engkau mengatakan begitu. Akan tetapi, bagaimana ada kekuasaan Tuhan melindungimu, tidak melindungi orang lain?"

"Suhu, bagaimana teecu bisa tahu? Kehendak Tuhan, siapa yang tahu? Teecu hanya merasakan bahwa ada sesuatu diluar kehendak akal pikiran teecu, teecu hanya menyerahkan kepada Tuhan, menyerah dengan sepenuh jiwa raga teecu. Apa pun yang dikehendaki Tuhan atas diri teecu, akan teecu terima tanpa mengeluh."

"Engkau memang anak aneh sekali. Bagaimana rasanya jari-jari tangan dan kakimu?"

"Rasanya ngilu, nyeri kaku dan gatal-gatal."

"Heh-heh-heh, tidak percuma gurumu ini berjuluk Tok-ong (Raja Racun), akan tetapi sekali ini, Tok-ong sama sekali tidak berdaya menghadapi kekuasaan Tuhan yang ada pada dirimu. Buktinya, engkau tidak apa-apa. Kalau bukan engkau keadaanmu ini merupakan penghinaan besar bagiku dan sekali pukul engkau akan mampus. Akan tetapi engkau muridku, bahkan engkau akan kuajari bagaimana untuk mengobati pengaruh racun dariku."

"Akan tetapi, Suhu, teecu tidak akan menggunakan racun. Teecu tidak mau mencelakai orang, tidak mau meracuni orang."

"Ha-ha-ha, engkau tidak mau mencelakai orang, akan tetapi akan dicelakai orang, engkau tidak mau meracuni orang, akan tetapi engkau akan diracuni orang. Aih, Yo Han, engkau belum tahu apa artinya hidup ini. Kau kira dunia ini seperti sorga? Neraka pun tidak sebusuk dunia, kau tahu? Setan-setan pun tidak sejahat manusia, kau tahu?"

"Tidak, Suhu! Teecu tidak percaya. Semua manusia pada dasarnya baik. Hanya karena mempelajari ilmu kekerasan, maka dia menjadi jahat dan hendak mengandalkan kekerasan untuk mencari kemenangan. Dan teecu tidak sudi mempelajari kekerasan."

Thian-te Tok-ong tertawa terpingkal-pingkal mendengar ucapan muridnya itu. Bagaimana dia tidak akan merasa geli? Selama dua tahun ini dia telah menggembleng Yo Han dengan ilmu-ilmu yang amat hebat, ilmu yang akan dapat membunuh puluhan orang lawan dan anak ini masih mengatakan tidak sudi mempelajari kekerasan!

Mereka berada di tengah guha itu, tidak nampak dari luar. Tiba-tiba terdengar suara melengking nyaring dari luar pintu guha, disusul kata-kata yang lembut seorang wanita, namun yang dapat terdengar sampai ke dalam guha.

“Thian-te Tok-ong, keluarlah engkau, aku Ang I Moli ingin bicara denganmu!”

Mendengar suara yang melengking nyaring ini, diam-diam Yo Han terkejut. Tentu saja dia mengenal siapa itu Ang I Moli, orang pertama yang memaksanya menjadi murid walaupun dia tidak pernah diajarkan apa pun. Dia tahu bahwa wanita itu seperti iblis, selain amat lihai, juga amat jahat dan kejam, maka diam-diam dia mengkhawatirkan keselamatan kakek tua renta yang selama ini bersikap baik kepadanya.

Akan tetapi kakek itu terkekeh.
"Ang I Moli, suaramu sudah cukup nyaring dan dapat terdengar dari sini. Perlu apa aku harus keluar menemuimu? Kalau mau bicara, bicaralah, dari sini pun aku dapat mendengarmu dengan baik."

"Thian-te Tok-ong, tidak perlu kujelaskan lagi, tentu kunjunganku ini sudah kau ketahui maksudnya. Aku datang untuk menuntut janjimu untuk menukar Sin-tong dengan obat penawar racun ilmu yang telah kusempurnakan."

"Heh-heh-heh, engkau sudah menyempurnakan Toat-beng Tok-hiat (Darah Beracun Pencabut Nyawa)? Hebat! Ilmu semacam itu hanya ada seratus tahun yang lalu dan kini engkau berhasil menguasainya? Perempuan iblis, engkau akan menjadi seorang tanpa tanding, heh-heh-heh! Mari, Yo Han, mari kita keluar melihat iblis betina itu!"

Kakek itu menjulurkan tongkatnya kepada Yo Han. Anak itu memegang ujung tongkat dan menuntun gurunya keluar dari dalam guha. Dia sendiri sudah sering keluar guha, akan tetapi kakek itu tidak pernah sehingga setelah kini dia keluar dari guha, matanya disipitkan, silau, dan mukanya nampak pucat seperti mayat hidup.

Diam-diam Ang I Moli sendiri bergidik. Kakek ini seperti bukan manusia lagi dan ia pun sudah mendengar bahwa kakek tua renta ini merupakan tokoh nomor satu dari Thian-li-pang yang memiliki tingkat kepandaian tak dapat diukur tingginya.

Setelah Yo Han dan Thian-te Tok-ong tiba di luar guha, mereka melihat ada beberapa orang di situ. Selain Ang I Moli yang kini nampak semakin cantik saja, juga di situ terdapat Lauw Kang Hui, wakil ketua Thian-li-pang yang berlutut, dan ada pula lima orang pria lain yang melihat pakaian mereka adalah petani-petani biasa dan nampaknya mereka itu ketakutan, berlutut pula tanpa berani mengangkat muka.

Hanya Ang I Moli seorang yang tidak berlutut. Hal ini tidaklah aneh karena ia bukan anggauta Thian-li-pang, bahkan ia adalah pemimpin dari perkumpulan Ang I Mopang di luar kota Kun-ming. Dua tahun yang lalu, ketika ia bersekutu dengan Thian-li-pang, kemudian menyerahkan Yo Han kepada Lauw Kang Hui wakil ketua Thian-li-pang untuk ditukar dengan dua belas orang pemuda remaja, ia lalu membawa dua belas orang remaja itu pergi.

Diam-diam ia mulai melatih diri dengan ilmu kejinya itu, mengorbankan nyawa dua belas orang remaja yang dihisap darahnya, dan kini, dua tahun kemudian, ia telah berhasil dengan ilmunya itu dan datang menagih janji, yaitu untuk minta obat penawar bagi keampuhan ilmunya yang beracun.

Baginya sendiri, ilmu tanpa ada obat penawarnya amat berbahaya bagi diri sendiri, juga tidak dapat dipergunakan untuk memaksakan kehendaknya kepada lain orang. Dan di dunia ini, yang mampu membuatkan obat penawar bagi segala macam ilmu pukulan beracun hanyalah Thian-te Tok-ong seorang!

Begitu kakek tua renta itu muncul, Ang I Moli membungkuk dengan sikap hormat. Lauw Kang Hui yang berlutut juga memberi hormat dan berkata,

"Teecu mohon Supek sudi memaafkan kalau teecu mengganggu ketentraman Supek. Teecu mengantarkan Ang I Moli yang hendak menagih janji dua tahun yang lalu."

"Heh-heh-heh, Lauw Kang Hui, mulutmu bicara satu akan tetapi hatimu bicara dua. Katakan saja bahwa engkau pun datang untuk menagih janji minta diajari sebuah ilmu. Benar tidak?"

Wajah Lauw Kang Hui yang biasanya sudah memang merah itu menjadi semakin gelap, akan tetapi dia menyembah lagi dengan segala kerendahan hati.

"Supek, teecu hanya menyerahkan kepada kebijaksanaan Supek, karena semua itu demi kemajuan Thian-li-pang kita."