Ads

Minggu, 20 Maret 2016

Kisah si Bangau Merah Jilid 013

”Alangkah indahnya pemandangan alam di pegunungan ini, Yo Han! seru Gangga Dewi.

Yo Han yang berhenti melangkah pula, memandang kepada wanita itu. Seorang wanita yang nampak gagah berdiri dengan perkasa, cantik dan agung, wajah berseri dan kedua pipi kemerahan tanda sehat. Angin pegunungan bersilir mempermainkan rambut halus yang terlepas dari ikatan dan bermain di depan dahi. Mulut wanita itu tersenyum cerah dan pandang matanya membelai tamasya alam yang terbentang luas di depan mereka, di bawah sana.

Seperti telah diceritakan di bagian depan, Yo Han diselamatkan dari tangan Ang I Moli oleh Gangga Dewi, dan kini Yo Han melakukan perjalanan bersama Gangga Dewi, membantu wanita Bhutan ini untuk mencari Suma Ciang Bun karena Yo Han merasa yakin bahwa Suma Ciang Bun akan dapat memberitahu kepada Gangga Dewi di mana ayah wanita itu berada.

Yo Han ikut melayangkan pandang matanya ke bawah sana. Bagaikan sebuah lukisan mujijat, tamasya alam itu terbentang luas di depan kakinya. Seperti dilukis dengan indahnya lereng bukit itu. Memang indah sekali, akan tetapi Yo Han merasa heran mengapa Gangga Dewi begitu kagum melihat keindahan alam itu. Bagi dia, dimana-mana terdapat keindahan alam itu, biarpun berbeda-beda keadaannya, namun dia selalu menemukan keindahan dimana pun, seperti melihat seribu macam bunga, bentuk dan warnanya berbeda-beda, namun setiap tangkai bunga mengandung keindahan agung!

“Aku sudah mendengar bahwa Pegunungan Tapa-san memiliki tamasya alam yang amat indah. Baru sekarang aku menyaksikan kebenaran berita itu. Betapa bahagianya Suma Ciang Bun itu hidup di tempat yang memiliki lingkungan seindah ini.”

Keindahan yang ditemukan oleh nafsu yang bersembunyi di dalam pandang mata tiada lain hanyalah kesenangan. Dan segala macam bentuk kesenangan merupakan permainan nafsu dan selalu membosankan.

Nafsu tak pernah mengenal batas tak pernah mengenal kepuasan yang mutlak, selalu meraih dan menjangkau yang belum dicengkramnya. Oleh karena itu, kita cenderung untuk mengagumi dan menikmati sesuatu yang baru kita dapatkan. Namun kalau sesuatu yang baru itu menjadi sesuatu yang lama, akan pudarlah keindahannya sehingga kita tidak mampu menikmatinya lagi. Itulah sebabnya mengapa orang kota dapat menikmati keindahan di alam pegunungan, sebaliknya orang dusun di pegunungan dapat menikmati keindahan kota!

Orang kota akan bosan dengan keadaan di kota, sebaliknya orang dusun juga bosan akan keadaan di dusun. Baik orang kota maupun orang dusun selalu mengejar yang tidak mereka miliki. Pengejaran ini memang menjadi sifat nafsu daya rendah. Dan pengejaran inilah sumber penyebab kesengsaraan. Kalau tidak tercapai apa yang kita kejar, kecewa dan duka menindih batin kita. Kalau tercapai apa yang kita kejar, hanya sebentar saja kita menikmatinya, kemudian kita merasa bosan atau juga kecewa karena yang kita capai itu tidaklah seindah yang kita bayangkan semula ketika kita mengejarnya.

Karena itu, orang bijaksana tidak akan mengejar sesuatu yang tidak dimilikinya, tidak menginginkan sesuatu yang bukan miliknya. Kalau sudah begitu, dia akan menikmati segala yang dimilikinya sebagai yang terindah dan terbaik. Segala keindahan terletak di dalam keadaan batin kita sendiri, bukan terletak di luar badan.

Sepiring masakan termahal, akan terasa hambar di mulut kalau batin sedang keruh, sebaliknya sebungkus nasi dengan kecap termurah akan terasa nikmat di mulut kalau batin sedang jernih. Hal-hal yang paling sederhana pun akan terasa nikmat dan indah bagi pancaindra kita kalau batin kita dalam keadaan jernih. Dan batin yang jernih adalah suatu keadaan, bukan hasil buatan pikiran. Keadaan batin yang jernih timbul oleh kekuasaan Tuhan, dan kita hanya dapat menyerah dan pasrah dengan penuh keikhlasan dan ketawakalan kepada Tuhan Yang Maha Kasih.

Kalau sudah begitu, apa pun yang terjadi kepada diri kita, kita terima dengan penuh rasa syukur dan dengan penuh keyakinan bahwa semua itu sudah dikehendaki Tuhan dan Tuhan tahu apa yang baik bagi kita! Tidak mabok oleh keadaan yang kita anggap menyenangkan, tidak mengeluh oleh keadaan yang kita anggap tidak menyenangkan. Penyerahan total kepada Tuhan menimbulkan kewaspadaan dan kebijaksanaan sehingga kita dapat melihat bahwa di dalam segala peristiwa terkandung kekuasaan Tuhan sehingga sebaliknya dari mabok kesenangan dan mengeluh kesusahan, kita meneliti untuk menemukan hikmahnya dalam setiap peristiwa.

Setelah sesaat berdiri seperti patung menikmati keindahan alam di sekelilingnya, Gangga Dewi menarik napas panjang, sepanjang mungkin sehingga tubuhnya dapat menampung hawa udara yang bersih dan segar sejuk. Beberapa lamanya ia berlatih pernapasan untuk membuang semua hawa kotor dari dalam tubuh, menggantikannya dengan hawa udara yang jernih dan mengandung kekuatan mujijat itu.

Tiba-tiba Gangga Dewi menangkap pundak Yo Han dan menariknya sambil meloncat ke belakang.

"Singgg....!" Sebuah benda mengkilat menyambar lewat.

"Ada apakah, Bibi?" tanya Yo Han, Gangga Dewi melepaskan Yo Han di belakangnya dan ia pun melangah ke depan, menjauhi tebing.

Yo Han mengikuti dari belakang dan kini dia tidak bertanya lagi karena dia sudah melihat pula munculnya tiga orang itu.

Seorang di antara mereka adalah Ang I Moli, hal ini dapat dilihat dengan jelas walaupun mereka itu masih agak jauh, karena pakaiannya yang serba merah.

"Itu mereka!" teriak Ang I Moli yang tadi menyambitkan senjata rahasianya yang beracun berupa jarum dan yang telah dielakkan oleh Gangga Dewi. "Akhirnya kita dapat menemukan mereka!"

Kini tiga orang itu telah tiba di depan Gangga Dewi yang seolah melindungi Yo Han yang berada di belakangnya. Melihat cara mereka berlari mendaki dengan amat cepat itu, tahulah Gangga Dewi bahwa dua orang yang datang bersama Ang I Moli itu pun bukan orang-orang lemah. Ia memandang dengan penuh perhatian.






Dua orang itu adalah laki-laki yang usianya kurang lebih lima puluh tahun. Yang seorang bertubuh gendut dengan perut seperti perut kerbau dan mukanya bulat, sedangkan yang kedua bertubuh kecil katai seperti anak berusia belasan tahun, akan tetapi mukanya penuh keriput dan kelihatan jauh lebih tua daripada usia sebenarnya. Mereka itu mengenakan jubah pendeta dengan rambut digelung ke atas seperti kebiasaan yang dilakukan para tosu (pendeta To).

Tosu yang gendut dengan muka seperti kanak-kanak selalu tersenyum cerah akan tetapi sinar matanya kejam itu tertawa.

"Ha-ha-ha, Moli! Engkau mengganggu ketenangan kami, mengajak kami berlari-lari mengejar, kiranya yang kau cari hanya seorang bocah seperti itu, dapat kita temukan ratusan orang banyaknya di pasar, tinggal pilih. Kenapa susah-susah?"

"Hemmm, engkau mana tahu? Sudahlah, anak itu urusanku, aku mengajak kalian untuk menghadapi perempuan asing ini!" kata Ang I Moli.

"Moli, engkau bilang bahwa engkau tidak mampu mengalahkan perempuan ini? Aneh sekali! Apa sih keahliannya?" kata pula tosu yang katai kecil memandang rendah Gangga Dewi.

Gangga Dewi menegakkan kepalanya dan sepasang matanya mencorong penuh kemarahan, memandang kepada tiga orang itu dengan sikap angkuh.

"Ang I Moli, engkau sungguh seorang iblis betina yang tidak tahu malu! Anak ini tidak sudi ikut denganmu karena engkau jahat, cabul dan keji dan engkau hendak memakannya, hendak membunuhnya dengan minum darahnya. Aku mencegah terjadinya kekejaman itu dan hanya menghajarmu agar engkau menyadari kesesatanmu. Kiranya sekarang engkau datang mengajak dua orang kawanmu! Hemm, agaknya memang sudah sepantasnya orang macam engkau yang berwatak iblis ini dibasmi dari permukaan bumi!"

"Kwan Suheng dan Kui Suheng, kalian hadapi perempuan asing itu, biar aku yang akan menangkap bocah itu!" Ang I Moli berseru.

"Heh-heh-heh, Moli Sumoi (Adik Seperguruan) yang baik. Kenapa harus repot-repot? Biar kami menundukkan mereka agar mereka menyerah dengan suka rela, tidak perlu merepotkan dan melelahkan badan," kata tosu gendut.

"Benar, kami akan tundukkan mereka dengan sihir!" kata tosu katai.

Mereka adalah suheng (kakak seperguruan) Ang I Moli dalam perkumpulan Pek-lian-kauw, yang gendut bernama Kwan Thian-cu, yang katai bernama Kui Thian-cu. Kini keduanya melepas ikatan rambut sehingga rambut mereka riap-riapan, dan Kwan Thian-cu mencabut golok, Kui hian-cu mencabut pedang.

Akan tetapi mereka tidak menggunakan senjata itu untuk menyerang, melainkan mereka memegang senjata itu lurus di depan muka seperti mencium senjata itu, mata mereka terpejam, mulut berkemak kemik membaca doa, tangan kiri membuat gerakan melingkar-lingkar di depan dada, kemudian telunjuk kiri membuat coret-coret di udara seperti sedang melukis atau menuliskan sesuatu.

Kemudian dengan senjata mereka di kedua tangan, mereka membuat gerakan menyembah ke atas, lalu ke bawah, lalu ke empat penjuru. Barulah mereka membuka mata memandang kepada Gangga Dewi dan Yo Han, dan kini Si Katai mengeluarkan suara yang terdengar penuh wibawa.

"Dengar dan lihatlah, perempuan berkerudung kuning dan engkau anak laki-laki! Semua kekuatan hitam di empat penjuru membantu kami! Kekuasaan langit dan bumi melindungi kami! Kalian berdua akan tunduk dan menurut kepada kami, melakukan apa saja yang kami perintahkan! Sanggupkah kalian?"

Gangga Dewi terkejut bukan main. Ia merasa betapa bulu tengkuknya meremang, tanda bahwa ada hawa atau kekuatan yang tidak wajar sedang menyerang dan mempengaruhinya. Kata-kata yang keluar dari mulut Si Katai itu menembus hatinya. Ia tahu bahwa dua orang tosu itu adalah orang-orang Pek-lian-kauw yang lihai dan ia pernah melatih diri dengan menghimpun kekuatan batin untuk menolak pengaruh sihir. Ia sudah mengerahkan tenaga itu, akan tetapi ada dorongan yang amat kuat membuat ia terpaksa membuka mulut.

"Aku sang.... sang...." Ia mengerahkan seluruh tenaga untuk menghentikan pengaruh itu agar ia tidak mengatakan sanggup.

Pada saat ia bersitegang melawan pengaruh yang semakin kuat itu, tiba-tiba terdengar suara ketawa di belakangnya.

"Ha-ha-heh-heh, lihat, Bibi Gangga Dewi! Dua orang tosu itu sungguh lucu. Apa yang sedang mereka lakukan itu? Apakah mereka itu dua orang anak wayang yang sedang membadut?"

Mendengar suara ketawa dan ucapan Yo Han itu, seketika lenyaplah pengaruh sihir yang hampir menguasai dirinya dan lenyap pula "hawa" yang membangkitkan bulu roma tadi.

Dua orang tosu itu terbelalak memandang ke arah Yo Han. Ketika anak itu tertawa lalu bicara, mereka berdua merasa betapa kekuatan sihir mereka yang mereka kerahkan itu membalik seperti gelombang melanda diri mereka sendiri sehingga mereka menjadi sesak napas dan terpaksa menghentikan ilmu sihir itu!

Ang I Moli juga melihat semua ini dan ia berkata,
"Nah, sudah kukatakan bahwa anak itu bukan anak sembarangan. Dia terkena jarum-jarumku tapi tidak mati, dan segala kekuatan sihir tidak mempengaruhinya. Sekarang baru kalian percaya? Hayo kalian bunuh perempuan asing itu dan aku yang akan menangkap anak itu!"

Kalau Gangga Dewi, Ang I Moli dan dua orang tosu Pek-lian-kauw itu tercengang keheranan melihat peristiwa tadi, Yo Han sendiri tidak merasakan sesuatu yang aneh. Dia memang tidak merasakan apa-apa, dan kalau tadi dia mentertawakan dua orang tosu itu karena memang dia merasa heran dan geli melihat tingkah mereka. Sama sekali dia tidak mengerti bahwa dua orang tosu itu melakukan sihir, dan sama sekali dia pun tidak tahu bahwa suara ketawanya membuyarkan semua pengaruh sihir mereka.

Di luar kesadarannya sendiri, ada kekuatan mujijat dari kekuasaan Tuhan yang selalu melindungi anak ini. Kekuatan mujijat ini mungkin saja timbul karena kepercayaannya yang total kepada Tuhan Yang Maha Kasih. Bukan sekedar percaya di mulut seperti yang dimiliki kebanyakan orang. Kita semua mengaku berTuhan, akan tetapi pengakuan kita itu sungguh amat meragukan, apakah pengakuan itu timbul dari dalam dan sesungguhnya, ataukah pengakuan itu hanya keluar dari pikiran yang bergelimang nafsu.

Kalau hanya pengakuan mulut dan pikiran saja, tidak ada gunanya sama sekali. Buktinya, kita mengaku berTuhan namun kita masih berani melakukan hal-hal yang tidak benar.

Kita adalah orang-orang munafik yang teringat kepada Tuhan hanya kalau kita membutuhkan pertolongan atau perlindungan saja, hanya teringat kepada Tuhan kalau kita sedang menderita. Kita melupakan Tuhan begitu nafsu mencengkeram kita, begitu kita berenang di lautan kesenangan duniawi.

Sejak kecil sekali, melalui kitab-kitab yang dibacanya, kemudian dikembangkan oleh perasaan yang peka, Yo Han bukan sekedar mengaku berTuhan. Melainkan dia dapat merasakan kekuasaanNya dalam diri, yakin dan selalu ingat, selalu pasrah. Begitu mutlak kepercayaannya kepada Tuhan sehingga ia pasrah dan menyerah. Hanya kepada Tuhanlah dia berlindung karena dia tidak beribu-bapa lagi dan ancaman maut tidak cukup kuat untuk membuat dia takut dan lupa akan kepasrahan dan penyerahannya.

Inilah yang membuat dia di luar kesadarannya, selalu diliputi kekuasaan Tuhan. Dan di dunia ini, kekuatan atau kekuasaan apakah yang mampu menandingi kekuasaan Tuhan? Apalagi hanya permainan sihir dari dua orang tokoh Pek-lian-kauw itu, permainan sihir yang bersandar kepada kekuasaan iblis, tentu saja tidak dapat menyentuh Yo Han yang sudah dilindungi kekuasaan maha dahsyat yang tidak nampak.

Kwan Thian-cu dan Kui Thian-cu saling pandang dan mereka merasa betapa tengkuk mereka dingin. Belum pernah selama hidup mereka ada orang yang mampu membuyarkan kekuatan sihir mereka tanpa pengerahan kekuatan batin.

Kalau hanya lawan yang memiliki kekuatan batin tanggung-tanggung saja, tentu akan menyerah dan tunduk terhadap kekuatan sihir mereka berdua yang disatukan. Akan tetapi anak kecil itu, anak belasan tahun, hanya dengan ketawa polosnya telah mampu membuyarkan kekuatan sihir mereka? Ataukah wanita peranakan barat itu yang memiliki kemampuan ini? Akan tetapi mereka lihat betapa tadi wanita itu sudah hampir menyerah kepada mereka.

Diam-diam mereka bergidik dan jerih terhadap anak kecil itu. Maka, mendengar permintaan Ang I Moli, mereka merasa girang. Lebih nyaman di hati menghadapi dan mengeroyok wanita itu daripada harus menangkap anak ajaib itu! Mereka lalu meloncat dan menyerang Gangga Dewi dengan senjata mereka.

Gangga Dewi mengelak dengan lompatan ke samping sambil menggerakkan tangan melolos sabuk sutera putihnya.

Akan tetapi dua orang tosu Pek-liankauw itu mendesak, dengan serangan-serangan mereka yang ganas. Sungguh janggal sekali melihat dua orang berpakaian pendeta kini memainkan golok dan pedang, menyerang seorang wanita dengan dahsyat dan buas, dengan muka beringas dan nafsu membunuh menguasai mereka, membuat mereka seperti dua ekor binatang buas yang haus darah.

Mutu batin seseorang tidak terletak pada pakaiannya atau kedudukannya. Akan tetapi, kita sudah terlanjur hidup di dalam masyarakat di mana nilai-nilai kemanusiaan diukur dari keadaan lahiriahnya, dari pakaiannya.

Pangkat, kedudukan, predikat dan pekerjaan, harta, bahkan sikap dan kata-kata hanya merupakan pakaian belaka. Semua itu dapat menjadi topeng yang palsu. Namun, kita sudah terlanjur suka akan yang palsu-palsu. Kita menghormati seseorang karena hartanya, karena pangkatnya. Kita menilai seseorang dari kedudukannya, dari sikapnya. Padahal, seorang pendeta belum tentu saleh, seorang pembesar belum tentu bijaksana, seorang hartawan belum tentu dermawan, seorang yang bermulut manis belum tentu baik hati.

Kita silau oleh kulitnya, sehingga tidak lagi mampu melihat isinya. Hal ini disebabkan karena batin kita sebagai penilai juga sudah bergelimang nafsu, sehingga penilaian kita pun didasari keuntungan diri kita sendiri. Yang menguntungkan kita lahir batin itulah baik, yang merugikan kita lahir batin itulah buruk! Karena kita semua tahu bahwa yang dinilai tinggi oleh manusia adalah pakaiannya, yaitu nama besar, harta dunia, kedudukan tinggi, penampilan dan semua pulasan luar, maka kita pun berlumba untuk mendapatkan semua itu.

Kita memperebutkan kedudukan, harta dan sebagainya karena dari kesemuanya itulah kita mendapat penghargaan dan penghormatan. Kita lupa bahwa penghargaan dan penghormatan semua itu adalah palsu, kita lupa bahwa yang dihormati adalah pakaian kita, harta kita, kedudukan kita, nama kita! Kita semua makin hari makin lelap dalam alam kemunafikan.

Kita seyogianya bertanya kepada diri sendiri. Apakah kita termasuk ke dalam kelompok munafik ini? Bilakah kita akan sadar dari kelelapan kemunafikan ini, menjadi penganut peradaban yang tidak beradab, kemoralan yang tidak bermoral? Pertanyaan selanjutnya, kalau sudah menyadari keadaan yang buruk ini, beranikah kita untuk keluar dari dunia kemunafikan ini dan hidup baru sebagai manusia seutuhnya? Manusia yang patut disebut manusia, makhluk kekasih Tuhan, yang berakal pikir, berakhlak, bersusila, berbudi dan berbakti kepada Sang Maha Pencipta?

Kesadaran seperti itu hanya dapat timbul apabila kita mau dan berani mawas diri, bercermin bukan sekedar mematut-matut diri dan memperelok muka, melainkan bercermin menjenguk dan mengamati keadaan batin kita, pikiran kita, isi hati kita. Berani melihat kekotoran yang selama ini melekat dalam batin kita. Kalau sudah begini, baru dapat diharapkan timbulnya kesadaran dan kesadaran ini mendatangkan perasaan rendah diri di hadapan Tuhan!

Pikiran tidak mungkin membersihkan kekotoran ini, karena pikiran sudah bergelimang nafsu, sehingga apa pun yang dilakukannya tentu mengandung pamrih kepentingan diri, demi keenakan dan kesenangan diri, lahir maupun batin. Namun, kerendahan diri membuat kita pasrah, membuat kita menyerah total kepada Tuhan Yang Maha Kasih, menyerah dengan penuh keikhlasan dan ketawakalan.

Dan Tuhan Maha Kasih! Pasti Tuhan akan membimbing orang yang menyerah sebulatnya menyerah dengan kerendahan diri sehingga di dalam penyerahan ini, pikiran tidak ikut campur dan karenanya, penyerahan itu mutlak dan tanpa pamrih, penuh kerendahan hati, penuh kerinduan dan cinta kasih kepada Tuhan yang telah mengasihi kita tanpa batas! Dari sini akan timbul gerak hidup yang wajar, manusiawi, tidak palsu dan tidak munafik lagi.

Pertempuran hebat terjadi setelah Gangga Dewi memutar sabuk sutera putih di tangannya. Kwan Thian-cu dan Kui Thian-cu mengeroyoknya dan setelah lewat beberapa jurus saja, tahulah Gangga Dewi bahwa kedua orang lawannya ini lihai sekali.
Menghadapi seorang dari mereka saja belum tentu dia akan menang, apalagi dikeroyok dua. Namun, bukan hal ini yang merisaukan hatinya, melainkan keselamatan Yo Han.
Anak itu kini menghadapi Ang I Moli, wanita iblis yang amat berbahaya dan keji itu.

Dan memang Yo Han terancam bahaya ketika Ang I Moli menghampirinya dengan mata bersinar-sinar dan mulut menyeringai. Wajahnya yang cantik nampak menyeramkan dan membayangkan kekejaman yang mengerikan. Yo Han juga maklum bahwa dia terancam bahaya namun dia sama sekali tidak merasa takut.

Anak berusia dua belas tahun itu sejak mulai ada pengertian, sudah menyerah kepada Tuhan sehingga tidak mengenal arti takut lagi. Dia yakin benar bahwa nyawanya berada di tangan Tuhan dan bahwa kalau Tuhan tidak menghendaki, jangankan baru seorang manusia sesat macam Ang I Moli, biar semua iblis dan setan menyerangnya, dia tidak akan mati! Keyakinan yang sudah mendarah-daging ini membuat dia tabah dan kini dia berdiri menghadapi Ang I Moli yang menghampirinya dengan sinar mata tenang dan jernih.

"Hi-hi-hik, Yo Han, engkau hendak lari ke mana sekarang? Tidak ada lagi yang akan mampu meloloskan engkau dari tanganku, heh-heh!"

Ang I Moli menghampiri semakin dekat dan mulutnya berliur karena ia membayangkan betapa seluruh darah dalam tubuh anak ajaib itu akan dihisapnya dan ia akan segera dapat menguasai ilmu dahsyat yang diidamkannya itu.

"Ang I Moli, aku tidak akan lari ke mana pun. Kalau Tuhan menghendaki, maka Dia yang akan meloloskan aku dari tanganmu!"

Mendengar jawaban itu, Ang I Moli tertawa terkekeh-kekeh.
"Ha-ha-ha-heh-heh! Tuhan? Mana Tuhanmu itu? Suruh dia keluar melawanku, heh-heh!" ia lalu menerjang ke depan, jari tangannya menotok ke arah pundak Yo Han karena ia bermaksud menangkap anak itu dan perlahan-lahan menikmati korbannya.

Yo Han tidak pernah berlatih silat. Biarpun secara teori dia tahu bahwa wanita itu menyerangnya dengan totokan, dan dia tahu pula betapa sesungguhnya amat mudah untuk mematahkan serangan ini, namun karena tubuhnya tak pernah dilatih, maka dia tidak dapat melakukan hal itu dan dia pun diam saja, hanya pasrah kepada Tuhan.

"Tukk!!" jari tangan Ang I Moli menotok jalan darah di pundak dan tubuh Yo Han tiba-tiba menjadi lemas dan dia terkulai roboh.

Ang I Moli terkekeh, akan tetapi ketika ia menengok dan melihat betapa dua orang suhengnya itu, walaupun sudah dapat mendesak Gangga Dewi namun belum berhasil merobohkan dan membunuhnya, lalu ia meloncat dengan pedang di tangan untuk membantu dua orang suhengnya.

Tentu saja Gangga Dewi menjadi semakin repot melayani pengeroyokan tiga orang lawan yang lihai itu. Tadi pun dikeroyok oleh dua orang tosu, ia sudah terdesak dan hanya mampu melindungi diri saja tanpa mendapat kesempatan untuk balas menyerang.

Namun, dengan memainkan gabungan dari ilmu Pat-mo Sin-kun (Silat Sakti Delapan Iblis) dan Pat-sian Sin-kun (Silat Sakti Delapan Dewa) melalui sabuk suteranya, sambil mengerahkan tenaga Inti Bumi yang kesemuanya itu dahulu ia dapatkan dari gemlengan ayahnya, ia masih dapat membela diri dan sejauh itu belum ada ujung senjata para pengeroyok mengenai dirinya. Namun, kalau ia harus terus mempertahankan diri tanpa balas menyerang, akhirnya ia tentu akan kehabisan tenaga dan akan roboh juga.

"Heiii, kalian ini orang-orang yang berwatak pengecut sekali! Mengeroyok seorang wanita bertiga. Percuma saja kalian mempelajari ilmu silat kalau hanya untuk mengeroyok secara curang dan pengecut."

Yang paling kaget mendengar bentakan itu adalah Ang I Moli. Ia cepat membalik dan terbelalak melihat Yo Han telah berdiri di situ sambil menuding-nudingkan telunjuk dan mencela ia dan kedua orang suhengnya, seperti seorang kakek yang mencela dan menasihati cucu-cucunya yang nakal dan bandel! Betapa ia tidak akan kaget? Tadi ia telah menotok anak itu, totokan yang ia rasakan tepat sekali sehingga jangankan seorang anak kecil yang tidak tahu silat, biar lawan yang tangguh sekalipun kalau sudah tertotok seperti itu, pasti akan terkulai lemas dan sedikitnya seperempat jam lamanya takkan dapat berkutik. Akan tetapi anak ini tahu-tahu sudah bangkit kembali dan menuding-nudingnya!

"Eh, anak setan, akan kubunuh kau sekarang juga!"

Kemarahan membuat wanita iblis itu lupa akan keinginannya memanfaatkan darah anak itu dan saking kaget dan marahnya, kini ia menyerang dengan bacokan pedangnya ke arah leher Yo Han.

"Singg....!" Serangan itu luput! Ang I Moli terbelalak lagi saking herannya.

Anak itu seperti didorong angin ke samping dan jatuh bergulingan, dan justeru hal ini membuat sambaran pedangnya tidak mengenai sasaran. Ia membalik dan mengejar, akan tetapi tiba-tiba ia terhuyung dan hampir terjungkal karena saking tergesa-gesa dan marah tadi, ia kurang waspada sehingga kakinya terantuk batu.

Ketika ia bangkit kembali, ia melihat Yo Han sudah duduk dengan sikap tenang sekali di atas tanah. Anak itu memang sudah tahu bahwa melawan tiada gunanya dan laripun akan percuma. Maka dia lalu duduk dan pasrah, menyerahkan nasib dirinya kepada Tuhan.

“Anak setan.!"

Kini Ang I Moli teringat lagi bahwa ia membutuhkan Yo Han, maka ia pun meloncat dekat dan mengayun tangan kirinya, kini menampar ke arah tengkuk.

"Plakkk!"

Tubuh anak itu terguling dan ia roboh pingsan. Setelah memeriksa dan merasa yakin bahwa anak itu sudah pingsan dan tidak akan mudah siuman dalam waktu dekat, ia lalu meloncat lagi dan kembali mengeroyok Gangga Dewi yang sudah kewalahan.

Namun pada saat itu, nampak bayangan orang berkelebat.
"Dunia takkan pernah aman selama ada orang-orang sesat berkeliaran mengumbar nafsunya!"

Bayangan itu berkata dan begitu kedua tangannya bergerak, nampak sepasang pedang yang bersinar putih mengkilap berada di kedua tangannya dan tanpa banyak cakap lagi dia lalu menyerbu ke dalam perkelahian itu dan membantu Gangga Dewi!

Semua orang memandang dan ternyata bayangan itu adalah seorang laki-laki yang usianya sekitar lima puluh satu tahun dengan wajah yang berbentuk bundar, kulitnya agak gelap, kumis dan jenggotnya terpelihara rapi dan wajah itu tampan dan mengandung kegagahan, gerak geriknya lembut dan sinar matanya tajam.

Baik Gangga Dewi maupun tiga orang pengeroyoknya tidak mengenal orang ini, akan tetapi karena jelas bahwa dia membantu Gangga Dewi, maka Ang I Moli sudah menyambutnya dengan sambitan jarum-jarum beracun merah.

"Hemmm, memang keji!" orang laki-laki itu berseru dan sekali tangan kanan bergerak, pedangnya diputar dan dibantu kebutan lengan baju, semua jarum tertangkis runtuh.

Ang I Moli sudah menyusulkan serangan dengan pedangnya. Orang itu menangkis dan balas menyerang. Mereka bertanding dengan pedang, dan ternyata ilmu pedang orang itu lihai bukan main, membuat Ang I Moli terkejut dan terpaksa ia harus mengerahkan seluruh tenaganya dan mengeluarkan seluruh ilmu pedang simpanannya untuk melindungi dirinya dari sambaran sepasang pedang lawan yang lihai itu.