Ads

Kamis, 25 Februari 2016

Kisah si Bangau Putih Jilid 060

Rumah itu merupakan sebuah gedung yang tidak berapa besar akan tetapi kokoh kuat dan nampak menyeramkan, dilindungi oleh pohon-pohon dan hampir tidak nampak dari luar.

Sin Hong dan para pendekar lainnya berdiri di depan rumah itu, di pekarangan depan, memandang ke arah pintu dan jendela yang tertutup. Cuaca senja itu muram, seolah-olah sang matahari lebih siang menyembunyikan diri di balik awan tebal karena merasa ngeri menyaksikan ulah manusia yang saling bunuh di bukit itu.

Beberapa kali Sin Hong berteriak sambil mengerahkan khi-kangnya sehingga suaranya bergema sampai jauh, memanggil, nama-nama Ouwyang Sianseng, Siangkoan Liong, dan Sin-kiam Mo-li yang ditantangnya keluar. Akan tetapi, tidak ada jawaban dari dalam rumah itu.

“Biar aku menerjang masuk!” kata Sin Hong, akan tetapi sebelum dia bergerak, Kam Hong mencegahnya.

“Berbahaya sekali memasuki sarang seorang seperti Ouwyang Sianseng. Rumah itu pasti penuh dengan alat rahasia dan jebakan. Dia licik dan curang, sebaiknya memaksa mereka keluar dengan api.”

Sin Hong mengangguk kagum.
“Pendapat Locianpwe benar sekali, terima kasih!”

Dia melinat betapa di bagian belakang ruman itu terdapat bagian kecil, mungkin dapur atau gudang, yang atapnya terbuat dari daun kering. Dia lalu membuat api, menyalakan sebatang ranting kayu kering dan dengan pengerahan tenaga dia melemparkan kayu yang menyala itu ke atas atap daun kering di bagian belakang rumah itu. Api itu cepat sekali menyambar daun kering dan sebentar saja atap itu pun terbakar. Api menyala dengan cepatnya, menjadi besar dan mulai membakar rumah induk.

Para pendekar sudah siap dan mereka pun tanpa berunding dulu sudah mengepung rumah itu agar mereka yang berada di dalam rumah itu tidak mampu melarikan diri, atau setidaknya akan ketahuan ke arah mana larinya.

Akan tetapi, ternyata mereka yang berada di dalam rumah itu, dapat melihat pula bahwa melarikan diri agaknya tidak mungkin lagi, maka tiba-tiba pintu depan terbuka dari dalam. Belum nampak ada orang muncul keluar, akan tetapi dengan jelas terdengar suara Ouwyang Sianseng, tenang dan dingin,

“Heiii, anjing-anjing Mancu! Kami akan keluar, hendak kami lihat apakah kalian cukup berani untuk menghadapi kami satu lawan satu, tidak keroyokan macam segerombolan anjing peliharaan orang Mancu!”

Mendengar ucapan ini, semua orang memandang marah dan muka mereka berubah merah. Sungguh keji ucapan itu, juga amat memanaskan hati, terutama sekali Cu Kun Tek yang memang berdarah panas.

“Keparat!” bentaknya nyaring. “Kalian yang pengecut seperti anjing-anjing takut digebuk, berani membalikkan kenyataan dan memaki kami!”

Pendekar ini marah sekali mengingat betapa pedang pusakanya dirampas dan dilarikan mereka yang berada di rumah itu.

Kam Hong yang tahu bagaimana untuk menghadapi seorang tokoh jahat, lihai dan cerdik macam Ouwyang Sianseng, berkedip kepada Kun Tek agar pemuda ini bersabar dan menahan diri tidak bicara lagi. Melihat sikap Li Sian, Kun Tek cepat mengangguk patuh!

“Ouwyang Sianseng,” terdengar kini suara Kam Hong, juga tenang dan perlahan saja, namun suaranya terdengar jelas sekali dari dalam rumah itu. “Keluarlah kalian dan kami siap untuk menghadapi kalian satu lawan satu seperti lajimnya pertandingan antara orang-orang gagah!”

Mendengar jawaban Kam Hong ini, muncullah tiga orang dari pintu depan itu. Mereka itu bukan lain adalah Ouwyang Sianseng, Siangkoan Liong, dan Sin-kiam Mo-li!

Ouwyang Sianseng nampak tenang-tenang saja, bahkan mulutnya terhias senyuman, seakan-akan dia merasa bangga dan gagah, akan tetapi Siangkoan Liong dan Sin-kiam Mo-li jelas nampak gugup dan gelisah melihat demikian banyaknya pendekar menanti di pekarangan.

Karena ia pun tahu bahwa tidak ada jalan keluar lagi kecuali melawan mati-matian, Sin-kiam Mo-li sudah mendahului Ouwyang Sianseng, melompat ke depan menghadapi para pendekar lalu berteriak dengan suara dibikin gagah dan penuh keberanian untuk menutupi keadaan hatinya yang terguncang takut.

“Tan Sin Hong, aku tantang padamu untuk maju mengadu ilmu dan nyawa dengan aku! Engkaulah biang keladi semua kegagalan kami!”

Memang di dalam hatinya, wanita iblis ini merasa marah sekali kepada Sin Hong. Beberapa kali sudah pemuda itu menjadi penghalang baginya, dan ia masih tetap merasa menyesal mengapa ketika ia dan kawan-kawannya dahulu menyerbu Istana Gurun Pasir, dibiarkannya pemuda itu terlepas dan selamat dari cengkeramannya. Padahal, ketika itu, Sin Hong sama sekali tidak berdaya dan tidak memiliki ilmu kepandaian sehebat sekarang ini.

Setelah berteriak seperti itu, Sin-kiam Mo-li sudah mengeluarkan sepasang senjata yang menyeramkan, yaitu pedang pusaka Cui-beng-kiam dan kebutan merah yang diperolehnya dari dalam rumah Ouwyang Sianseng.

Pedang Cui-beng-kiam (Pengejar Arwah) itulah yang mendatangkan pengaruh amat menyeramkan. Sin Hong mengenal pedang pusaka Istana Gurun Pasir ini dan dia pun maklum bahwa sekali kena gurat saja oleh pedang Cui-beng-kiam atau Ban-tok-kiam, sudah cukup untuk membuat seorang yang betapapun kuat tubunnya, roboh dan mungkin tewas seketika atau menderita luka beracun yang sukar dicarikan obat penawarnya.

Untung bahwa kakek dan nenek sakti penghuni Istana Gurun Pasir sudah memberitahu dengan jelas tentang asal-usul kedua pedang pusaka itu, bahkan juga memberitahu rahasia penawar racun-racun yang terkandung dalam pedang-pedang pusaka itu. Oleh karena itu tadi ketika melakukan pengejaran, dia sudah bersiap-sedia, sudah menelan tiga butir pil putih yang menjadi obat penawar racun pedang Cui-beng-kiam.






Kini, dia menghadapi Sin-kiam Mo-li yang mempergunakan Cui-beng-kiam, tentu saja tidak merasa gentar. Pedang itu dahulu adalah milik seorang di antara tiga orang gurunya, yaitu Tiong Khi Hwesio, dan obat pil putih itu juga pemberian Tiong Khi Hwesio kepadanya, bahkan dia sudah mempelajari cara pembuatannya.

“Sin-kiam Mo-li, agaknya takaran kejahatan yang kau lakukan sudah melampaui batas sehingga sekarang ini saatnya engkau harus menebus semua kejahatanmu itu. Majulah!” tantangnya dan dengan tangan kosong saja Sin Hong melangkah maju.

“Susiok, kau pakailah pedang ini!” tiba-tiba Hong Li berseru sambil menyodorkan sepasang pedangnya, pedang rampasan yang cukup baik, bahkan tadi ia pergunakan untuk melawan iblis betina itu. Sin Hong menoleh dan tersenyum kepadanya sambil menggeleng kepala.

Pada saat itu, Hong Li menahan jeritnya dan semua orang pun menahan napas ketika melihat betapa selagi Sin Hong menoleh kepada Hong Li, Sin-kiam Mo-li telah dengan amat cepatnya menyerang dengan tusukan pedang Cui-beng-kiam! Hebat sekali pedang ini memang. Ketika ditusukkan, bukan saja mengeluarkan suara mengaung yang aneh, akan tetapi juga mendatangkan hawa dingin yang membuat orang bergidik karena seram.

Tusukan Cui-beng-kiam itu masih disusul dengan totokan maut yang dilakukan dengan kebutan merah yang beracun itu!

Namun, Sin Hong bukan seorang pemuda yang ceroboh atau lengah. Biarpun tadi dia menanggapi usul Hong Li dan menolak pemberian pedang sambil menoleh ke arah Hong Li, namun seluruh perhatiannya masih tertuju kepada calon lawannya sehingga tentu saja serangan dahsyat itu dapat diketahuinya dan cepat sekali tubuhnya sudah bergerak dengan amat lincahnya, membuat langkah-langkah yang gesit dan aneh tubuhnya meliuk ke sana sini dan dia pun sudah dapat mengelak dari semua serangan pedang dan cambuk itu.

Sin Hong bukan saja mampu menghindarkan semua serangan lawan, bahkan dia mampu membalas dengan dahsyat. Perlu diketahui bahwa pada saat itu, Sin Hong menguasai banyak sekali ilmu silat yang tinggi, dan tingkatnya tidak kalah oleh para pendekar lainnya. Bahkan mungkin orang seperti Ouwyang Sianseng takkan mampu mengalahkannya dengan mudah. Ilmu-ilmunya bahkan lebih tinggi daripada Ouwyang Sianseng, hanya tentu saja masih belum matang dibandingkan orang tua ini.

Dari tiga orang gurunya yang sakti, Sin Hong sudah mempelajari ilmu-ilmu yang hebat. Mendiang Tiong Khi Hwesio atau ketika mudanya terkenal dengan nama Wan Tek Hoat berjuluk Si Jari Maut, dia telah mempelajari Toat-beng-ci (Jari Pencabut Nyawa), Pat-mo Sin-kun (Silat Sakti Delapan Iblis) yang digabung dengan Pat-sian Sin-kun (Silat Sakti Delapan Dewa), juga melatih diri untuk menghimpun sin-kang dengan ilmu Tenaga Inti Bumi.

Dari Kao Kok Cu, Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir, dia menerima ilmu hebat Sin-liong Ciang-hoat (Ilmu Pukulan Naga Sakti), dan dari nenek Wan Ceng dia mempelajari Ban-tok-ciang (Tangan Selaksa Racun) dan ilmu pedang Ban-tok-kiamsut. Bahkan lebih dari itu, tiga orang tua sakti itu lalu menggabungkan ilmu-ilmu mereka dan mengambil inti sarinya untuk dimasukkan ke dalam sebuah ilmu silat tangan kosong yang mereka ciptakan bersama yang mereka beri nama Pek-ho Sin-kun (Silat Sakti Bangau Putih).

Dan ilmu inilah yang sekarang dipergunakan oleh Sin Hong untuk menghadapi Sin-kiam Mo-li yang amat lihai dengan senjata cambuk beracun dan pedang pusaka Cui-beng-kiam!

Sin-kiam Mo-li adalah seorang datuk sesat yang telah memiliki tingkat kepandaian tinggi. Demikian lihainya sehingga dengan bantuan belasan orang datuk dari Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai, ia berhasil menyerbu ke Istana Gurun Pasir dan berhasil menewaskan kakek dan nenek sakti penghuni istana tua itu dan juga Tiong Khi Hwesio yang tinggal bersama mereka, walaupun untuk itu ia harus kehilangan belasan orang kawan, bahkan yang hidup hanya ia sendiri, Thian Kong Cinjin dan Thian Kek Sengjin yang juga masih menderita luka-luka yang cukup berat.

Kebutannya amat terkenal kehebatannya, dengan gagangnya yang terbuat dari emas, dan bulu kebutan yang mengandung racun jahat. Juga ilmu pedangnya cukup tinggi, ditambah lagi dengan kuku-kuku jari tangannya yang beracun kalau ia sudah mainkan ilmu Hek-tok-ciang (Tangan Racun Hitam).

Namun, sekali ini kembali Sin-kiam Mo-li harus mengakui keunggulan lawannya yang biarpun masih muda, namun telah memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa itu. Biarpun bertangan kosong, namun kedua lengan tangan Sin Hong merupakan dua benda yang tak kalah ampuhnya dibandingkan dengan senjata manapun juga, bahkan lebih hidup dan mempunyai banyak perubahan, baik pada tekukan sikunya, pergelangan tangannya, maupun jari-jarinya, tidak seperti senjata tajam yang kaku dan mati.

Kedua lengan itu bergerak-gerak seperti hidup, kadang-kadang membentuk leher dan kepala bangau, kadang-kadang bergerak seperti menjadi sepasang sayap dan jari-jari tangan itu dapat membentuk moncong bangau yang panjang runcing. Selain itu, dari kedua tangan itu keluar hawa pukulan yang amat kuat!

Kedua lengan pemuda itu tidak hanya menjadi hidup dengan perubahan aneh-aneh, akan tetapi bahkan kadang-kadang dapat dipergunakan untuk menangkis kebutan dan lengan itu berubah keras kaku seperti baja!

Hanya terhadap Cui-beng-kiam pemuda itu tidak berani menangkis langsung dengan tangannya karena dia cukup mengenal pedang pusaka ampuh itu, dan kalau pedang itu menyambar, dia hanya mengelak atau menangkis dari samping dengan jalan menyampok sehingga lengannya atau tangannya tidak beradu langsung dengan mata pedang.

Perkelahian itu berlangsung dengan seru dan mati-matian, Sin-kiam Mo-li yang sudah maklum bahwa ia tidak akan mampu lolos dari situ kecuali mengadu nyawa, menjadi nekat dan karena kenekatannya ini, maka gerakannya menjadi liar dan buas, amat berbahaya karena ia mencurahkan seluruh daya dan tenaganya untuk menyerang dan merobohkan lawan!

Sebaliknya, tentu saja Sin Hong tidak ingin mengadu nyawa dan tidak nekat seperti lawannya. Dia memakai perhitungan dan membagi perhatiannya antara menyerang dan membela diri. Biarpun demikian, karena Sin Hong menang segala-galanya, perlahan-lahan dia mulai mendesak iblis betina itu dan suatu saat yang baik, sambil mengeluarkan bentakan nyaring, Sin Hong menyambut sambaran kebutan dengan pukulan tangan dilanjutkan dengan cengkeraman!

Hebat sekali sambutannya ini terhadap kebutan karena seketika nampak bulu kebutan berhamburan dan ternyata bulu-bulu kebutan itu telah rontok semua! Tinggal gagangnya saja yang masih berada di tangan Sin-kiam Mo-li dan wanita ini terkejut bukan main, apalagi ketika Sin Hong mendesaknya dengan totokan-totokan tangan kanan sedangkan tangan kiri pemuda itu melakukan gerakan mencengkeram ke arah pergelangan tangan Sin-kiam Mo-li untuk merampas pedang Cui-beng-kiam!

Sin-kiam Mo-li yang sudah menjadi semakin gentar karena kebutannya rontok, memutar pedangnya untuk melindungi diri, akan tetapi ia terhuyung dan terus mundur. Pada saat yang amat berbahaya bagi Sin-kiam Mo-li itu, tiba-tiba nampak sinar amat menyeramkan meluncur dan pedang Ban-tok-kiam yang sinarnya kehitaman itu sudah menusuk ke arah dada Sin Hong!

“Curang, keparat!” teriak Kao Hong Li dan semua orang memandang kaget melihat betapa Sin Hong yang diserang secara tiba-tiba oleh Ouwyang Sianseng dengan menggunakan Ban-tok-kiam untuk menolong Sin-kiam Mo-li, berusaha untuk mengelak dengan membuang diri kesamping.

Namun, Ouwyang Sianseng memang lihai bukan main. Biarpun lawannya sudah mengelak cepat, dia masih sempat membalikkan pedang yang luput sasaran itu dan pundak kiri Sin Hong terserempet pedang Ban-tok-kiam! Pemuda itu mengaduh dan tubuhnya roboh terguling!

“Siancai....! Sungguh tak tahu malu engkau, Ouwyang Sianseng!”

Kam Hong membentak dan kakek ini sudah mencabut suling emas dan kipasnya, lalu menyerang Ouwyang Sianseng yang bersenjata kipas pula di tangan kiri dan pedang Ban-tok-kiam di tangan kanan!

“Jangan sentuh aku.!”

Sin Hong berseru mencegah ketika Hong Li, hendak menubruk dan menolongnya. Hong Li terkejut dan menghentikan gerakannya.

Sebagai cucu kakek dan nenek penghuni Istana Gurun Pasir, tentu saja ia sudah pernah mendengar dari ayahnya tentang kehebatan Ban-tok-kiam. Sekali terkena goresan pedang pusaka itu, jangan harap akan dapat bertahan untuk hidup terus! Racunnya amat jahat, sesuai dengan namanya. Ban-tok-kiam (Pedang Selaksa Racun) memang berbahaya sekali, bahkan seorang nenek sakti seperti Teng Siang In, ibu kandung Suma Ceng Liong, mantu dari Pendekar Super Sakti Pulau Es, begitu terluka oleh Ban-tok-kiam yang pada waktu itu terjatuh ke tangan Sai-cu Lama yang jahat, tidak dapat tertolong nyawanya dan tewas!

Dan kini Sin Hong terkena pedang itu, bukan sekedar tergores, melainkan terluka pundaknya! Tentu saja Hong Li memandang dengan hati khawatir sekali.

Akan tetapi dengan sikap tenang sekali, Sin Hong mencengkeram tanah, membongkar permukaan tanah sampai dia memperoleh tanah bersih yang lembut, mencengkeram tanah itu dengan tangan kanannya, merobek baju bagian pundak kiri lalu menggosok-gosok luka di pundak itu dengan tanah! Beberapa kali dia menggosok dengan keras sampai luka itu mulai mengucurkan darah merah yang sehat, barulah dia berhenti, lalu sekali melompat dia sudah menghadapi Sin-kiam Mo-li lagi sambil tersenyum.

“Sin-kiam Mo-li, mari kita lanjutkan perkelahian kita!” katanya dan tanpa memberi kesempatan kepada lawan untuk menjawab, dia sudah menyerang lagi dengan hebatnya.

Sin-kiam Mo-li terpaksa memutar Cui-beng-kiam untuk melindungi tubuhnya. Melihat betapa Sin Hong seolah-olah tidak merasakan lukanya, hati Hong Li merasa tenang kembali walaupun ia masih amat khawatir. Tentu saja ia tidak tahu bahwa memang satu-satunya obat penawar racun Ban-tok-kiam hanya tanah itulah! Hal ini tentu saja tadinya menjadi rahasia penghuni Istana Gurun Pasir dan hanya diberitahukan kepada Sin Hong sebagai murid terakhir mereka. Bahkan Kao Cin Liong sendiri tidak tahu akan hal ini!

Sementara itu, melihat betapa ayah mertuanya sudah menghadapi Ouwyang Sianseng dan Sin Hong sudah pula menyerang Sin-kiam Mo-li, Suma Ceng Liong lalu melompat ke depan menghadapi Siangkoan Liong. Dia tahu bahwa pemuda ini amat lihai pula, dan kini memegang pedang Koai-liong-kiam, maka daripada membiarkan seorang di antara para pendekar terancam bahaya kalau menghadapinya, dia pun sudah maju menantangnya.

“Siangkoan Liong, majulah dan mari kita tentukan siapa yang lebih unggul di antara kita, daripada engkau nanti bertindak curang seperti Ouwyang Sianseng, melakukan pengeroyokan dan serangan gelap! Atau, kalau engkau takut menghadapi aku, berlututlah agar kami menangkapmu sebagai pimpinan pemberontak dan menyerahkanmu kepada pemerintah!”

Tentu saja Siangkoan Liong yang berhati angkuh itu tidak sudi untuk menyerah. Tanpa banyak cakap lagi dia pun sudah menerjang maju, menyerang Suma Ceng Liong dengan sengit. Pedang Koai-liong-kiam di tangannya diputar dengan cepat dan terdengarlah suara mengaung yang mengerikan, seolah-olah dari pedang itu keluar auman binatang buas dan pedang itu mengeluarkan sinar berkilauan.

Cu Kun Tek yang juga ikut nonton di situ merasa tidak enak sekali. Pedang yang berada di tangan pemuda itu adalah pedang pusaka keluarganya. Sepatutnya dialah yang harus maju melawan Siangkoan Liong untuk merampas pedangnya kembali. Akan tetapi dia pun maklum betapa lihainya Siangkoan Liong dan bahwa kalau dia yang maju, kecil sekali harapannya pedang pusaka Koai-liong-kiam itu akan dapat dirampasnya kembali, bahkan bukan tidak mungkin dia sendiri akan roboh menjadi korban pedang pusaka milik keluarganya itu!

Maka, melihat Suma Ceng Liong yang maju, dia pun diam saja, karena dia sudah tahu siapa adanya pendekar itu, cucu Pendekar Super Sakti Pulau Es! Seperti juga Sin Hong yang menghadapi Sin-kiam Mo-li dengan tangan kosong, Suma Ceng Liong juga menghadapi Siangkoan Liong dengan tangan kosong pula!

Kini terjadilah pertempuran yang amat seru. Ouwyang Sianseng, seperti juga dua orang anak buahnya itu, maklum bahwa dia sudah terkurung dan terhimpit, maka satu-satunya jalan hanyalah melawan dengan nekat, kalau perlu mengadu nyawa dengan lawannya.

Apalagi yang dilawannya adalah Pendekar Suling Emas yang dia tahu amat tinggi ilmu kepandaiannya. Sekali ini dia sama sekali tidak dapat mengandalkan ilmu silatnya, karena dia seolah-olah bertemu dengan gurunya! Dia kalah dalam segala hal, baik keaslian ilmu silat, kecepatan gerak maupun kekuatan tenaga sakti. Satu-satunya yang diandalkan hanya kenekatannya dan dia pun menyerang dengan membabi buta, mengandalkan kenekatan dan kehebatan pedang Ban-tok-kiam.

Kakek Kam Hong maklum pula akan kelihaian lawan. Diam-diam dia merasa menyesal dan sayang sekali mengapa seorang laki-laki yang demikian pandai seperti Ouwyang Sianseng sampai terperosok ke dalam kehidupan sesat. Orang she Ouwyang ini selain tinggi ilmu silatnya, juga ahli pedang dan ahli dalam kesusastraan, memiliki kecerdikan.

Akan tetapi ternyata nafsu dan ambisinya jauh lebih besar dari semua itu sehingga menyeretnya untuk melakukan perbuatan sesat demi tercapainya keinginan hatinya untuk mengejar kesenangan. Dan dia tahu bahwa orang seperti ini memang berbahaya sekali kalau dibiarkan berkeliaran. Tentu dia akan berusaha untuk melakukan kegiatan pemberontakan pula, atau akan menghimpun orang-orang sesat untuk mencapai ambisinya, yaitu kekuasaan dan kesenangan.

Biarpun sudah puluhan tahun lamanya pendekar sakti ini lebih banyak mengasingkan diri dan hidup tenteram, tidak pernah lagi membunuh orang, sekali ini terpaksa dia mengambil keputusan untuk menyingkirkan Ouwyang Sianseng, demi keamanan kehidupan banyak manusia yang tidak berdosa.

Kalau orang she Ouwyang ini dapat bebas dan membuat keonaran, banyak menjadi korban adalah rakyat jelata yang tidak berdosa sama sekali. Berpikir demikian Kam Hong lalu mempercepat gerakannya dan mengerahkan sebagian besar tenaganya untuk mendesak lawan.

Ouwyang Sianseng yang sejak tadi memang sudah mengeluarkan semua ilmunya namun selalu tak mampu mengimbangi permainan lawan, begitu didesak, menjadi repot sekali.

Sinar emas yang bergulung-gulung, yang diikuti suara melengking tinggi rendah seperti suling ditiup itu, amat mengacaukan pikirannya. Suara itu mengandung tenaga mujijat yang membuat permainan pedangnya kacau dan suatu saat, kipasnya bertemu dengan kipas lawan.

“Desss....! Prakkk....!”

Kipas di tangan kiri Ouwyang Sianseng hancur berkeping-keping. Dia marah sekali dan pedang Ban-tok-kiam di tangannya berubah menjadi gulungan sinar hitam yang mendirikan bulu roma karena mengandung hawa yang kuat, dingin dan menyeramkan.

Namun, kakek Kam Hong yang sudah melindungi diri lahir batin dengan sin-kang, tidak terpengaruh, dan dia bahkan menggerakkan suling emasnya lebih cepat lagi. Kini gulungan sinar kuning emas itu berpusing sedemikian cepatnya, juga sinarnya panjang dan lebar, perlahan-lahan sinar kuning emas itu menggulung sinar hitam sehingga pedang di tangan Ouwyang Sianseng itu kini hanya mampu bergerak di dalam lingkungan gulungan sinar kuning emas!

Makin lama, makin sempit ruang gerak pedang Ban-tok-kiam dan selagi Ouwyang Sianseng repot setengah mati, gagang kipas di tangan kakek Kam Hong meluncur dan menotok pangkal tengkuknya.

“Tukkk....!”

Tubuh Ouwyang Sianseng terhuyung lalu dia terpelanting jatuh. Separuh badannya sebelah kiri lumpuh tak mampu digerakkan. Melihat keadaan dirinya, pedang Ban-tok-kiam di tangan kanannya bergerak ke arah leher sendiri dan sebelum dapat dicegah, pedang itu telah membacok batang lehernya!

Anehnya, biarpun leher itu hampir setengahnya terbacok, hanya sedikit darah mengalir dan seketika wajah mayat Ouwyang Sianseng menjadi menghitam dan warna hitam menjalar di seluruh tubuhnya. Itulah kehebatan racun Ban-tok-kiam!

Kakek Kam Hong mengambil pedang yang terlepas dari tangan Ouwyang Sianseng itu, mengamati pedang itu dan menggeleng-geleng kepala penuh kagum dan ngeri melihat kehebatan Ban-tok-kiam yang menjadi pusaka dari Istana Gurun Pasir itu.

Setelah melihat betapa Ouwyang Sianseng roboh dan tewas, Sin-kiam Mo-li dan Siangkoan Liong merasa terkejut bukan main, wajah mereka pucat dan tentu saja nyali mereka menjadi kecil, semangat mereka terbang sebagian dan permainan pedang mereka menjadi kacau!

Kesempatan ini dipergunakan oleh Sin Hong untuk mendesak lawannya dan akhirnya dia berhasil “mematuk” pergelangan tangan kanan Sin-kiam Mo-li dengan tangan kirinya yang membentuk moncong atau patuk burung bangau. Terkena patukan ini, seketika tangan kanan itu lumpuh dan di lain detik, Cui-beng-kiam sudah berpindah ke tangan kanan Sin Hong!

Nenek itu sungguh tidak tahu diri atau memang sudah mata gelap dan nekat. Biarpun kini ia bertangan kosong, ia masih nekat menubruk maju untuk menyerang Sin Hong dengan Hek-tok-ciang, yaitu pukulan yang lebih mirip cengkeraman, mengandalkan kuku-kuku jari tangan yang mengandung racun!

“Cappp!”

Sin Hong menyambut dengan tusukan Cui-beng-kiam. Segera dicabutnya pedang itu dan hanya kurang lebih satu dim saja memasuki dada Sin-kiam Mo-li lalu dicabutnya, namun cukup membuat nenek itu terjengkang dan tewas seketika karena keampuhan pedang Cui-beng-kiam!

Ia tewas tanpa sempat mengeluh lagi dan setelah tewas, wajahnya nampak jauh lebih tua daripada ketika masih hidup. Hal ini adalah karena kecantikannya ketika masih hidup tidak wajar, mengandalkan polesan bedak dan gincu.

Siangkoan Liong makin panik melihat robohnya Sin-kiam Mo-li, dan agaknya timbul perasaan ragu dalam hati Suma Ceng Liong untuk merobohkan pemuda itu. Dia merasa tidak pantas baginya yang tingkat dan kedudukan maupun usianya lebih tinggi daripada lawan untuk menekan dan merobohkan lawannya. Bagaimanapun juga, dia membayangkan kemudaan dan ketampanan Siangkoan Liong, yang telah memiliki kepandaian cukup tinggi itu. Melihat sikap ini, Sin Hong dapat menyelami isi hati Suma Ceng Liong, maka dengan Cui-beng-kiam di tangan, dia melompat maju dan berkata dengan nyaring.

“Locianpwe Suma Ceng Liong, harap suka memberikan Siangkoan Liong ini kepada saya!”

Lega hati Suma Ceng Liong melihat ada orang yang menggantikannya, apalagi orang itu adalah Sin Hong yang dia ketahui kelihaiannya dan masih sama mudanya dengan Siangkoan Liong pula. Dia pun meloncat ke belakang, membiarkan Sin Hong yang menghadapi Siangkoan Liong. Kedua orang muda itu berdiri tegak, berhadapan dan saling pandang dengan sinar mata tajam.

“Siangkoan Liong, selagi masih sempat kenanglah semua perbuatanmu yang penuh dosa!” kata Sin Hong dan dia membayangkan wajah Kwee Ci Hwa.

Siangkoan Liong tersenyum mengejek,
“Tidak ada perbuatanku yang pantas kusesalkan, Tan Sin Hong. Aku berjuang untuk membebaskan negara dan bangsa dari cengkeraman penjajah, sebaliknya engkau menjadi anjing penjajah Mancu!”

Sin Hong memandang dengan mata mencorong.
“Ingat apa yang telah kau lakukan terhadap mendiang Kwee Ci Hwa dan para wanita lain yang menjadi korban kebuasanmu?”

Ditegur seperti itu, wajah Siangkoan Liong berubah pucat, lalu menjadi merah sekali, merah karena malu dan marah. Dia melirik ke arah Li Sian yang memandang kepadanya dengan mata mencorong dan kedua tangan terkepal dan tahulah dia bahwa tidak ada jalan keluar baginya.