Ads

Kamis, 25 Februari 2016

Kisah si Bangau Putih Jilid 059

Sin Hong juga tidak mengejar karena di situ terdapat banyak lawan. Dia menoleh ke arah Kao Hong Li yang bertanding melawan Sin-kiam Mo-li dan terkejutlah pemuda ini. Tadinya dia tidak khawatir akan keselamatan Hong Li melihat gadis ini cukup lihai untuk mengimbangi permainan Sin-kiam Mo-li. Akan tetapi kini, Hong Li terdesak hebat sekali, bahkan sepasang pedangnya rusak-rusak, sedangkan Sin-kiam Mo-li dengan senyum menyeringai mendesak dengan sebatang pedang yang mengeluarkan sinar yang menyeramkan.

Itulah pedang pusaka Cui-beng-kiam! Pedang ini, seperti juga Ban-tok-kiam merupakan pusaka Istana Gurun Pasir dan sudah puluhan tahun tidak pernah dipergunakan orang. Kini, di tangan Sin-kiam Mo-li, pedang itu menjadi senjata iblis yang haus darah! Gulungan sinarnya mengandung hawa yang mujijat, dan jelas nampak betapa Hong Li merasa ngeri dan jerih menghadapi desakan pedang yang telah merusak sepasang pedangnya itu.

Gadis ini terus main mundur sambil memutar kedua pedangnya sekuat tenaga untuk melindungi tubuhnya dari ancaman Cui-beng-kiam (Pedang Pengejar Roh) yang menggiriskan itu.

"Kembalikan pedang itu!"

Tiba-tiba Sin Hong membentak dan tubuhnya sudah melesat ke depan, langsung saja dia menyerang Sin-kiam Mo-li dengan jurus ampuh dari Pek-ho Sin-kun. Tenaga yang terkandung dalam sambaran tangan Sin Hong itu hebat bukan main, membuat Sin-kiam Mo-li menjadi gugup dan wanita ini menangkis dengan kebutannya.

"Plak! Pyarrr....!"

Kebutan itu rontok bulunya, berhamburan dan tubuh Sin-kiam Mo-li terjengkang. Akan tetapi, ia bergulingan dan memutar pedang Cui-beng-kiam. Pedang ini mengeluarkan sinar kilat bergulung-gulung sehingga Sin Hong tidak berani mendesak.

Kesempatan ini dipergunakan oleh Sin-kiam Mo-li untuk meloncat dan menyelinap di antara kawan-kawannya yang sedang berkelahi melawan para pendekar. Sin Hong mencoba untuk mengejar, akan tetapi wanita itu sudah lenyap dan dia yang mengkhawatirkan keselamatan Hong Li segera mendekati gadis itu.

"Bagaimana denganmu? Engkau tidak terluka, bukan?"

Hong Li menggeleng kepala dan tersenyum. Bukan main gadis ini, pikir Sin Hong, baru saja terlepas dari ancaman maut, bahkan wajahnya masih basah dengan keringat, akan tetapi sudah mampu tersenyum demikian manisnya!

"Tidak, berkat pertolonganmu, Susiok."

Mereka tidak sempat bicara banyak, karena perkelahian masih berlangsung, lalu mereka segera terjun ke dalam kancah pertempuran, membantu para pendekar.

Kini keadaan menjadi semakin berat sebelah setelah tiga orang penting di antara para pimpinan pemberontak melarikan diri. Pertama-tama Toat-beng Kiam-ong Giam San Ek yang mendapatkan lawan berat sekali, yaitu nenek Bu Ci Sian. Tingkat kepandaian si raja pedang ini jauh berada di bawah tingkat kepandaian nenek itu.

Sejak semula, dengan suling emasnya, nenek itu sudah menekan dan mengurung, membuat si raja pedang tidak mampu mengembangkan permainan pedangnya. Akhirnya, kaki kiri nenek itu sempat menyentuh lututnya, membuat Toat-beng Kiam-ong setengah berlutut dan sebelum dia mampu bangkit kembali, ujung suling mengetuk ubun-ubun kepalanya dan dia pun roboh tewas seketika karena isi kepalanya tergetar dan batok kepalanya retak! Sungguh sayang sekali, Toat-beng Kiam-ong Giam San Ek sebenarnya bukanlah seorang penjahat.

Tadinya dia pun terkenal sebagai seorang pendekar yang lihai, pernah menjadi murid Bu-tong-pai yang patuh. Akan tetapi, dia mempunyai satu kelemahan, yaitu terhadap wanita cantik. Inilah yang menjerumuskannya ke lembah hitam. Karena dia tergila-gila kepada wanita cantik dan selalu mengejar kesenangan ini, maka dia pun terjerumus, tidak pantang lagi melakukan kejahatan dan kekejaman demi terpenuhinya keinginan hatinya. Makin lama dia pun makin dalam terjerumus dan pergaulannya dengan para tokoh sesat makin menyelewengkannya dan akhirnya dia harus tewas secara menyedihkan.

Melihat betapa Suma Lian yang memutar suling emasnya itu belum juga mampu menandingi kelihaian Thian Kong Cinjin wakil ketua Pa-kwa-pai yang memang lihai bukan main itu, Hong Li tidak membuang banyak waktu. Segera ia terjun dan sepasang pedangnya menyambar-nyambar dengan dahsyatnya, merupakan sinar maut yang menyambar ke arah Thian Kong Cinjin.

Bukan main kagetnya kakek ini. Tadinya dia merasa lega bahwa dia hanya dilawan seorang gadis muda yang biarpun lihai dengan suling emasnya, namun dalam hal pengalaman jauh kalah olehnya. Ketua Pat-kwa-pai ini sudah berusia tua sekali, hampir delapan puluh tahun. Akan tetapi sebagai seorang wakil ketua Pat-kwa-pai, tentu saja ilmu kepandaiannya tinggi.

Sebetulnya, kalau dibuat perbandingan, Suma Lian lebih lihai daripada kakek ini, apalagi mengingat bahwa kakek yang menjadi lawannya itu sudah tua sekali. Sepandai-pandainya orang, dan sekuat-kuatnya orang, takkan mungkin dapat melawan usianya sendiri. Usia tua akan menggerogotinya dari dalam, menghabiskan semua tenaga dan kesaktiannya. Demikian pula keadaan Thian Kong Cinjin, sesungguhnya berat sekali lawan yang muda itu baginya. Akan tetapi, berkat pengalamannya yang banyak, dia masih mampu bertahan, bahkan tidak membiarkan gadis itu mendesaknya dengan permainan tongkatnya yang luar biasa.

Begitu Kao Hong Li terjun membantu Suma Lian dengan permainan sepasang pedangnya yang hebat, tentu saja kakek Thian Kong Cinjin menjadi repot bukan main. Mengalahkan seorang Suma Lian saja dia belum juga mampu, kini ditambah lawan yang juga merupakan seorang gadis yang amat lihai, yang telah mewarisi ilmu-ilmu dari Pulau Es dan Gurun Pasir!






Permainan tongkatnya menjadi kacau dan dia tidak mampu menghindarkan diri lagi ketika suling di tangan Suma Lian menyambar dan menotok dadanya. Dia berteriak keras dan tubuhnya terpelanting roboh, namun dia masih cukup kuat biarpun dadanya terasa nyeri dan napasnya terengah-engah.

Ketika dia bergerak hendak meloncat bangun dengan muka pucat dan dada sesak, sinar pedang di tangan Hong Li menyambar dan tusukan pedangnya tepat menembus leher kakek wakil ketua Pat-kwa-pai itu. Mata Thian Kong Cinjin melotot dan tongkatnya menyambar ke arah Hong Li dari bawah, dan ketika gadis itu dengan cekatan melompat ke belakang untuk mengelak, tongkat itu terus menyambar ke arah kepala kakek itu sendiri.

Terdengar suara keras dan kakek itu pun roboh dan tak berkutik lagi, kepalanya pecah karena dipukulnya sendiri. Agaknya dia memilih mati di tangan sendiri daripada di tangan lawan, setelah menderita luka parah karena totokan suling di dadanya dan tusukan pedang yang menembus lehernya.

Melihat lawannya tewas, Suma Lian dan Kao Hong Li mengamuk terus, membantu kawan-kawan lain menghadapi para tokoh sesat yang membantu pemberontakan. Terutama sekali mereka berdua menghadapi para anggauta Pek-lian-pai karena mereka itulah yang merupakan lawan-lawan lihai dari para pendekar.

Sementara itu, Sin Hong juga sudah membantu Gu Hong Beng yang nampak terdesak pula oleh Thian Kek Sengjin, tokoh Pek-lian-pai yang amat lihai itu. Memang Hong Beng belum kalah, akan tetapi pemuda itu kerepotan juga menghadapi tongkat naga hitam dari tokoh Pek-lian-pai itu.

Begitu Sin Hong berkelebat masuk ke dalam gelanggang pertempuran membantu Hong Beng, kakek itu cepat menyambutnya dengan pukulan tongkat naga hitam, mengarah kepala Sin Hong. Dia maklum akan kehebatan pemuda ini, maka begitu menyerang, dia telah mengerahkan seluruh tenaganya. Tongkat yang berbentuk naga hitam itu berkelebat dan lenyap bentuknya, berubah menjadi gulungan sinar hitam panjang yang mengeluarkan bunyi desir angin.

Namun, Sin Hong tidak mengelak, bahkan mengangkat lengan kanannya ke atas untuk menangkis tongkat hitam, sedangkan tangan kirinya membentuk moncong bangau, menotok ke depan sambil melangkahkan kaki ke depan mendekati lawan. Moncong bangau itu menotok ke arah ulu hati lawan.

"Takkk!"

Lengan pemuda itu bertemu tongkat, dan Thian Kek Sengjin merasa betapa lengannya tergetar hebat. Pemuda itu telah menangkis tongkat dengan lengan begitu saja, dan membuat tongkatnya terpental dan lengannya tergetar dan telapak tangannya terasa panas. Pada saat itu, Hong Beng sudah menyerang dari samping dengan sepasang pedangnya. Pedang kiri membacok kepala, pedang kanan menyusul cepat menusuk dari bawah menuju lambung!

Thian Kek Sengjin yang masih merasa kaget dan getaran akibat benturan lengan Sin Hong tadi masih belum lenyap, menggerakkan tongkatnya menangkis sinar pedang yang membacok kepalanya, akan tetapi dia terlambat menghindarkan diri dari tusukan pedang dari bawah. Pedang di tangan Hong Beng itu menembus lambungnya. Darah muncrat dan kakek itu pun roboh dan tewas.

Seperti juga Suma Lian dan Kao Hong Li, setelah melihat betapa tokoh Pat-kwa-pai itu roboh, Sin Hong dan Hong Beng lalu melanjutkan amukan mereka dengan membantu para pendekar menghadapi para tokoh sesat lainnya.

Perkelahian antara para pendekar dan para tokoh sesat kini berlangsung lama. Hek Yang Cu yang pendek botak itu mendapatkan lawan yang terlalu berat baginya yaitu pendekar wanita Kam Bi Eng yang amat lihai ilmu silatnya dengan suling emasnya. Nyonya Suma Ceng Liong ini tanpa mengalami banyak kesukaran akhirnya merobohkan dan menewaskan Hok Yang Cu dengan totokan ujung suling emasnya pada beberapa jalan darah yang mematikan.

Juga nenek iblis Hek-sim Kui-bo tidak kuat melawan Pouw Li Sian. Gadis yang perkasa ini mempergunakan senjata pedang rampasannya, mendesak terus dan akhirnya sebuah tusukan pada dada nenek itu membuat Hek-sim Kui-bo roboh dan tewas.

Perkelahian antara Cu Kun Tek dan Tiat-liong Kiam-eng Ciu Hok Kwi berjalan dengan seru dan seimbang. Tidak percuma Ciu Hok Kwi menjadi murid pertama Siangkoan Lohan dan berjuluk Tiat-liong Kiam-eng (Pendekar Pedang Naga Besi), karena ilmu pedangnya memang hebat dan tenaganya juga kuat sekali.

Akan tetapi, walaupun dia tidak dapat dirobohkan oleh Cu Kun Tek, dia sendiri pun mengalami kesukaran untuk mengalahkan pemuda tinggi besar yang gagah perkasa, pendekar muda dari Lembah Naga Siluman ini. Cu Kun Tek memang telah kehilangan pedang pusakanya, yaitu Koai-liong Po-kiam yang dirampas oleh Siangkoan Liong, akan tetapi dia tidak kehilangan ilmu pedang Koai-liong Kiam-sut, dan biarpun dia hanya mempergunakan sebatang pedang rampasan, namun permainan pedangnya masih hebat dan membuat Ciu Hok Kwi terpaksa harus mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya untuk mengimbangi permainan pedang lawan.

Selagi kedua orang ini saling serang dengan hebatnya, tiba-tiba nampak berkelebatnya bayangan putih dan tahu-tahu Sin Hong telah berdiri di antara mereka,

"Suadara Cu Kun Tek, harap berikan orang ini kepadaku, dia adalah musuh besarku!" kata Sin Hong,

Mendengar ini, Cu Kun Tek yang tadi bersama Pouw Li Sian dibebaskan oleh Sin Hong, mengangguk dan dia pun menggunakan pedangnya untuk membantu para pendekar lain, mengamuk di antara para tokoh sesat.

Adapun Sin Hong kini berhadapan dengan Ciu Hok Kwi. Keduanya saling pandang dan sinar mata Sin Hong mengeluarkan sinar berkilat. Dia memang marah sekali, bukan hanya karena orang ini yang telah membunuh ayah kandungnya, melainkan terutama sekali karena dia telah membunuh pula Kwee Ci Hwa. Dia tahu bahwa orang ini hanyalah kaki tangan Tiat-liong-pang, akan tetapi orang seperti Ciu Hok Kwi ini jahat dan berbahaya sekali karena pandai bersandiwara sehingga mendiang ayahnya sendiri kena dikelabuhi, bahkan dia sendiri pun kena ditipu dan telah menaruh kepercayaan kepada bekas "pembantu" ayah kandungnya ini.

"Ciu Hok Kwi, sekarang engkau hendak berkata apa lagi? Kiranya semua pembunuhan itu engkau yang melakukannya, terhadap ayah kandungku, terhadap orang she Lay, dan juga Kwee Ci Hwa."

Mendengar ini, Ciu Hok Kwi yang sudah tahu bahwa dia pun tidak akan dapat melarikan diri dan terpaksa harus melawan sampai mati, tersenyum mengejek dan berkata,

"Engkau baru tahu? Bodoh! Memang aku yang telah mengatur semua itu, demi perjuangan Tiat-liongpang, membunuh ayahmu, anak buahnya, orang she Lay yang berkhianat, akulah yang.... ha-ha-ha, mempermainkan Kwee Ci Hwa sepuas hatiku lalu membunuhnya! Habis, engkau mau apa?"

Keterangan tambahan dari Ciu Hok Kwi bahwa dia telah mempermainkan Ci Hwa, menambah api yang berkobar di kepala Sin Hong. Kiranya sebelum membunuhnya, orang ini telah mempermainkan Ci Hwa! Kini baru dia mengerti. Ci Hwa telah mengorbankan diri, dalam usahanya menyelamatkan Gu Hong Beng, Cu Kun Tek dan Pouw Li Sian.

Gadis itu telah berhasil merayu Ciu Hok Kwi ini, menyerahkan diri, agaknya demikian melihat pengakuan Ciu Hok Kwi tadi, dan berhasil mencuri kunci dan membebaskan tiga orang tawanan itu sebelum ia kembali ke kamar dan berusaha membunuh Ciu Hok Kwi akan tetapi malah terluka parah dan biarpun akhirnya dapat dibebaskan, tetap saja tewas karena luka-luka itu.

"Jahanam, engkau memang jahat sekali!" kata Sin Hong dan dia pun menerjang ke depan dengan kedua tangan digerakkan seperti leher dan moncong burung bangau.

Dalam kemarahannya, begitu menyerang dia telah mengeluarkan ilmu simpanannya, yaitu ilmu silat tangan kosong Pek-ho Sin-kun! Dari kedua tangannya itu menyambar angin pukulan dahsyat bukan main. Melihat ini, Ciu Hok Kwi cepat mengelebatkan pedangnya membacok ke arah lengan yang meluncur ke depan itu dan Sin Hong sama sekali tidak menarik tangannya, bahkan sengaja menerima bacokan pedang itu dengan lengannya.

"Takkk!"

Bukan lengan itu yang putus, melainkan pedang itu yang terpental bahkan terlepas dari pegangan tangan Ciu Hok Kwi saking kerasnya pertemuan antara pedang dan lengan yang mengandung tenaga sin-kang yang amat hebat itu!

Dapat dibayangkan betapa hebatnya tenaga sin-kang dari pemuda berpakaian putih ini kalau diingat betapa mendiang kakek Kao Kok Cu, nenek Wan Ceng, dan kakek Tiong Khi Hwesio, telah mengoperkan tenaga mereka kepadanya dan dia telah memiliki tenaga gabungan dari tiga orang sakti yang kesemuanya terkandung di dalam gerakan silat sakti Bangau Putih!

Ciu Hok Kwi terkejut bukan main, akan tetapi sebelum dia sempat mengelak, sebuah tendangan dari kaki Sin Hong mengenai pahanya. Tubuhnya terpelanting sampai empat lima meter jauhnya dan kebetulan sekali jatuh di dekat kaki Gu Hong Beng. Melihat orang yang dibencinya ini terbanting keras dan merangkak hendak bangun Hong Beng mengelebatkan pedangnya dan leher Ciu Hok Kwi yang sedang merangkak seperti anjing itu terbabat pedang! Leher itu putus seketika dan kepalanya terpental, menggelinding sampai jauh.

Kini banyak di antara para pendekar yang melihat betapa para tokoh sesat yang terlihai sudah roboh, berdiri menonton perkelahian yang berlangsung dengan amat hebatnya dan amat menarik, yaitu perkelahian antara Suma Ceng Liong dan Siangkoan Lohan!

Memang hebat sekali perkelahian antara dua orang gagah perkasa ini! Siangkoan Lohan atau yang bernama Siangkoan Tek, ketua Tiat-long-pang memang seorang yang amat gagah perkasa. Tubuhnya tinggi kurus namun mukanya merah dengan jenggot panjang ke dada dan matanya mencorong seperti mata naga. Dia memiliki tenaga raksasa, bukan saja tenaga luar dengan otot-ototnya, melainkan juga memiliki sin-kang yang amat kuat.

Banyak ilmu silat aneh dan lihai dikuasainya, bahkan dia menguasai pula ilmu gulat dari utara. Tendangan mautnya Ban-kin-twi (Tendangan Selaksa Kati) amat berbahaya, dan dia juga memiliki ilmu silat Tiat-wi Liong-kun (Silat Naga Ekor Besi) dengan mempergunakan tenaga dalam Liong-jiauw-kang (Tangan Cakar Naga) yang dahsyat. Semua ini masih ditambah lagi dengan Kim-hun-cwe (Pipa Tembakau Emas) sebagai senjata, maka lengkaplan Siangkoan Lohan sebagai seorang lawan yang tangguh. Dia pun memiliki pengalaman berkelahi yang sudah puluhan tahun.

Namun, lawannya bukan pula orang sembarangan. Sungguh sial sekali bagi ketua Tiat-liong-pang itu bahwa sekali ini dia mendapatkan lawan seorang pendekar besar, yaitu Suma Ceng Liong! Pendekar ini adalah seorang cucu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, cucu yang paling pandai di antara semua cucu pendekar sakti itu.

Sejak kecilnya, Suma Ceng Liong berbakat sekali dan selain ilmu-ilmu yang tinggi dari keluarga Pulau Es, juga dia menguasai dengan amat baiknya beberapa macam ilmu aneh, di antaranya Coan-kut-ci (Jari Penembus Tulang) semacam ilmu totokan yang amat dahsyat dari mendiang Hek I Mo-ong, seorang datuk sesat yang pernah menjadi gurunya.

Juga dia mahir ilmu sihir yang dipelajari dari ibunya. Karena dia telah memiliki ilmu-ilmu yang demikian tingginya, juga karena seluruh tubuhnya telah dilindungi tenaga sin-kang yang membuatnya kebal, Suma Ceng Liong melawan Siangkoan Lohan hanya dengan kedua tangan kosong saja!

Perkelahian antara kedua orang ini, merupakan pertandingan yang paling hebat dan menarik. Semua pendekar yang tidak merasa perlu lagi membantu kawan-kawan yang sedang membabat sisa orang-orang sesat, kini menonton dan tidak seorang pun di antara mereka berani membantu Suma Ceng Liong.

Sebagai seorang pendekar besar, tentu Suma Ceng Liong akan merasa tersinggung kalau perkelahiannya melawan ketua Tiat-liong-pang ini dibantu orang lain. Sin Hong sendiri yang sudah merasa gatal tangan untuk menghajar dan menundukkan ketua Tiat-liong-pang yang menjadi biang keladi semua kerusuhan ini, bahkan yang menjadi biang keladi kenancuran keluarga ayahnya, juga hanya menonton saja seperti yang lain. Apalagi dia, bahkan Kam Hong dan Bu Ci Sian sendiri, sepasang suami isteri sakti yang menjadi mertua dari Suma Ceng Liong, juga hanya menonton, demikian pula isterinya, Kam Bi Eng.

Ketika melihat betapa tempat itu dikelilingi para pendekar yang menonton, diam-diam hal ini mengecilkan hati Siangkoan Lohan. Kalau para pendekar sudan duduk enak-enakan menonton, hal itu hanya berarti bahwa semua pembantunya telah gagal dan telah roboh.

Dia tadi sudah merasa marah dan penasaran, juga menyesal dan kecewa melihat betapa Ouwyang Sianseng melarikan diri, demikian pula Sin-kiam Mo-li dan puteranya sendiri.

Diam-diam dia memaki mereka sebagai pengecut-pengecut yang curang, yang ingin mendapatkan enaknya saja, dan tidak bertanggung jawab kalau ada malapetaka menimpa, tidak setia kawan. Perasan ini, ditambah perasaan gentar menghadapi para pendekar yang sudah mengurung tempat itu, setidaknya mempengaruhi permainan kaki tangan ketua Tiat-liong-pang ini.

“Haiiiiittttt....!”

Siangkoan Lohan yang sudah hampir putus asa melihat betapa semua pembantu utamanya telah roboh, kini mengirim hantaman dengan hun-cwe mautnya. Dia menggunakan seluruh tenaganya karena dia ingin mengakhiri perkelahian itu secepatnya, kalah atau menang, maka dia hendak mengadu tenaganya. Hun-cwe menyambar menjadi sinar keemasan ke arah kepala Suma Ceng Liong.

Suma Ceng Liong juga percaya akan kekuatan sendiri, akan tetapi dia belum nekat seperti lawannya. Kalau dia mengadu tenaga secara langsung, belum tentu dia kalah kuat, akan tetapi karena dia pun tahu bahwa lawannya bertenaga besar, maka kalah menang akan membawa akibat yang merugikan dirinya, setidaknya dia akan terguncang hebat.

Dia tidak sebodoh itu, dan dia pun menangkis sambaran hun-cwe itu bukan secara langsung dari depan, melainkan dari samping sehingga mereka tidak mengadu tenaga dengan langsung. Pada saat itu, tangan kiri ketua Tiat-liong-pang itu memukul dengan telapak tangan terbuka. Melihat ini terpaksa Suma Ceng Liong menyambut dengan telapak tangan kanannya sambil mendorong.

“Dukkk! Plakkk!”

Pertemuan telapak tangan itu membuat keduanya terpental ke belakang dan mereka berdiri berhadapan dalam jarak yang cukup jauh. Tiba-tiba Siangkoan Lohan kembali mengeluarkan pekik dahsyat dan tubuhnya lalu meloncat tinggi ke depan, dan dari atas dia menyerang dengan huncwe dan tangan kirinya. Inilah jurus terakhir dari kakek itu setelah tadi berkali-kali dia mempergunakan tendangan Ban-kin-twi tanpa hasil apa pun karena lawannya selalu dapat mengelak, bahkan kalau menangkis dari samping, kakinya terasa nyeri dan tergetar hebat. Kini dia mengerahkan seluruh tenaganya dalam serangan sambil meloncat setengah terbang ini.

Suma Ceng Liong menyambutnya dengan loncatan yang sama, dan pendekar ini tanpa ragu-ragu lagi mempergunakan ilmu Coan-kut-ci dari mendiang Hek I Mo-ong, ilmu yang amat dahsyat dan mengerikan. Begitu dia meloncat dan menggerakkan kedua tangan dengan jari-jari terpentang lurus ke depan, terdengar suara bercuitan.

Orang-orang hanya melihat betapa dua tubuh yang meloncat itu seperti saling terkam, dan melihat betapa kedua orang gagah perkasa itu dapat meloncat turun pula ke atas tanah, saling membelakangi.

Kalau Suma Ceng Liong dengan cepat membalikkan tubuh menghadapi lawan, adalah tubuh Siangkoan Lohan yang diam saja, tetap membelakangi lawan, Kam Bi Eng melihat betapa baju di dada suaminya terobek dan nampak ada tanda menghitam pada dada itu, maka cepat dia menghampiri suaminya.

Suma Ceng Liong tersenyum menggeleng kepala tanda bahwa luka di dadanya tidak berbahaya sehingga Kam Bi Eng menjadi lega, lalu mereka menoleh dan memandang kepada Siangkoan Lohan. Semua mata kini ditujukan kepada ketua Tiat-liong-pang itu. Tubuhnya masih berdiri tegak, dan kini perlahan-lahan tubuh itu membalik kaku dan semua orang melihat betapa kakek itu masih memegang senjata hun-cwe emasnya, tubuhnya tidak nampak terluka, akan tetapi dari bawah kain penutup rambut itu menetes darah yang berjatuhan ke atas dahi, pipi dan dagunya! Dia memandang kepada Suma Ceng Liong, lalu terdengar dia berkata.

“Mereka, pengecut-pengecut itu berada di rumah Ouwyang Sianseng di lereng balik bukit ini.”

Setelah berkata demikian, tubuhnya lalu jatuh kaku seperti sebatang balok dan ketika diperiksa, ternyata dia telah tewas karena luka-luka di kepalanya, di balik kain penutup kepala! Kiranya, ilmu Coan-kut-ci (Jari. Penembus Tulang) dari Suma Ceng Liong tadi telah membuat jari-jari tangan pendekar itu menembus kepala!

Mendengar ucapan ketua Tiat-liong-pang sebelum tewas, Sin Hong maklum siapa yang dia maksudkan.

“Ban-tok-kiam, bahkan Koai-liong Po-kiam mereka bawa, aku harus mengejar mereka!” katanya kepada Kao Hong Li dan dia pun cepat melompat dan lari.

“Susiok, tunggu, aku membantumu!”

Teriak Hong Li yang melompat mengejar pula, maklum pula bahwa susioknya itu akan mengejar Ouwyang Sianseng, Siangkoan Liong, dan Sin-kiam Mo-li, tiga orang yang lolos dari situ dan yang melarikan pusaka-pusaka dari Istana Gurun Pasir, juga pusaka dari Lembah Naga Siluman yang mereka rampas dari tangan Cu Kun Tek.

“Ah, berbahaya sekali membiarkan mereka berdua menghadapi Ouwyang Sianseng yang amat lihai,” kata Kam Hong dan dia pun mengejar ke arah balik puncak bukit itu.

Ketika mereka tiba di luar sarang Tiat-liong-pang, ternyata pertempuran juga sudah tinggal sedikit. Semua pasukan pemberontak dapat dirobohkan, tewas atau terluka, dan sisanya hanya melawan untuk mempertahankan diri saja. Jumlah pasukan pemerintah jauh lebih banyak sehingga perlawanan pasukan yang terdiri dari anak buah Tiat-liong-pang, pasukan Mongol, anggauta Ang I Mo-pang dan anak buah beberapa orang tokoh sesat itu tidak ada artinya sama sekali.

**** 059 ****