Ads

Selasa, 23 Februari 2016

Kisah si Bangau Putih Jilid 049

Mendengar ini, Ceng Liong menarik napas panjang,
“Aih, sungguh menyedihkan. Akan tetapi bagaimanapun juga, tiga orang locianpwe itu sudah tua sekali dan mereka tewas sebagai orang-orang gagah, gugur dalam menghadapi orang-orang sesat. Heran sekali nasib mereka sama benar dengan nasib kakek dan nenek-nenekku di Pulau Es! Gugur dalam menghadapi penyerbuan tokoh-tokoh sesat. Sekarang aku mengerti. Tentu setelah mengoperkan tenaga sakti kepada murid mereka itu, ketiga locianpwe itu mengalami kekurangan tenaga dan pada saat itu, para tokoh sesat datang menyerbu. Bagaimanapun juga, hampir semua penyerbu tewas, dan ini membuktikan bahwa tiga orang locianpwe yang sudah berusia tinggi sekali itu memang masih amat hebat. Nyawa manusia di tangan Tuhan! Kalau Tuhan menghendaki, maka ada saja penyebab kematian seseorang. Kita tidak mungkin dapat mengelakkan kehendak Tuhan!”

“Untung sekali bahwa saya dapat bertemu dengan Ji-wi di sini sehingga bukan saja Paman dan Bibi dapat menyelamatkan saya dari tangan orang-orang jahat itu, akan tetapi juga saya tidak kecelik berkunjung ke rumah Paman dan Bibi yang kosong. Sebenarnya, ke manakah Paman dan Bibi hendak pergi, maka kebetulan berada di sini?”

“Kami memang meninggalkan rumah karena kami mendengar akan gerakan pemberontakan yang kabarnya dilakukan oleh Tiat-liong-pang dibantu oleh para tokoh sesat. Karena anak kami Suma Lian, juga sedang merantau, maka kami merasa khawatir dan ingin mencarinya.”
“Ah, Paman! Kebetulan sekali belum lama ini saya bertemu dengan adik Suma Lian!”

Hong Li segera bercerita tentang pertemuannya dengan Suma Lian yang diawali perkelahian karena kesalah pahaman ketika Hong Li mengejar seorang laki-laki yang menculik seorang anak laki-laki.

“Pertemuan itu singkat saja, Paman. Kami berpisah, saya pergi berkunjung kepada Paman sedangkan, adik Lian melakukan pengejaran terhadap laki-laki penculik anak-anak itu.”

“Di mana terjadi peristiwa itu?”

“Di kota Ban-koan.”

“Kalau begitu, kami akan cepat mencari jejaknya di sana,” kata Ceng Liong.

Mereka lalu berpisah, Ceng Liong dan Bi-Eng segera menuju ke kota Ban-koan, sedangkan. Hong Li mencoba untuk mencari jejak Sin-kiam Mo-li yang tadi melarikan diri bersama kawan-kawannya. Ia kini bersikap hati-hati, maklum bahwa Sin-kiam Mo-li mempunyai banyak kawan yang lihai. Menghadapi wanita itu sendiri, ia tidak gentar, akan tetapi kalau dikeroyok banyak orang seperti tadi, ia bisa celaka.






Akan tetapi, ketika mereka tiba di kota Ban-koan, tentu saja suami isteri pendekar itu sama sekali tidak dapat menemukan lagi jejak puteri mereka. Tak seorang pun tahu tentang Suma Lian dan penculik anak-anak, karena memang kedua orang ini meninggalkan kota itu secara diam-diam, di waktu malam pula.

Dari tempat ini, Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng lalu pergi ke Pegunungan Tapa-san untuk mengunjungi pondok tempat tinggal Suma Ciang Bun karena sebelum pergi, Suma Lian telah mereka pesan untuk berkunjung ke rumah pamannya itu dan membujuk Suma Ciang Bun yang hidup sebatangkara untuk tinggal bersama mereka di dusun Hong-cun. Tentu Suma Ciang Bun akan dapat memberi keterangan ke mana selanjutnya puteri mereka itu pergi setelah berkunjung ke sana.

Dugaan mereka yang juga menjadi harapan mereka memang tidak keliru. Di tempat kediaman Suma Ciang Bun, mereka memperoleh keterangan yang banyak. Suma Ciang Bun menyambut mereka dengan gembira sekali dan pendekar ini merangkul adiknya dengan sepasang mata basah. Dia sudah merasa rindu sekali kepada Suma Ceng Liong dan pertemuan ini sungguh membuat dia terharu dan juga gembira.

“Bagaimana, Bun-ko, engkau tentu sehat-sehat saja, bukan? Engkau nampak sehat dan segar.”

“Engkau juga semakin gagah saja, Liong-te. Dan isterimu juga semakin gagah dan cantik!” kata Suma Ciang Bun.

Kam Bi Eng tertawa, mukanya berubah agak kemerahan.
“Ah, Bun-koko ini bisa saja. Orang sudah semakin tua, mana mungkin semakin cantik?”

Seorang anak laki-laki muncul. Usianya baru tujuh tahun lebih, akan tetapi keadaan anak ini sungguh mengagumkan hati Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng. Anak itu memiliki sepasang mata yang tajam bersinar penuh semangat dan keberanian, juga mengandung kecerdikan dan wajahnya tampan.

“Ah, Bun-ko telah memiliki seorang murid yang baru? Dia baik sekali, Bunko.”

Suma Ciang Bun tersenyum.
“Anak ini hanya titipan, yang menitipkannya di sini adalah puteri kalian!”

Tentu saja suami isteri itu terkejut dan girang sekali.
“Suma Lian, anak kami?” keduanya hampir berbareng bertanya.

Suma Ciang Bun mengangguk, dan mengajak mereka semua duduk di dalam pondoknya yang tidak besar namun karena mempunyai banyak jendela maka terbuka dan sejuk hawanya. Lalu dia menceritakan tentang kunjungan Suma Lian dan Tan Sin Hong dan tentang Yo Han yang dititipkan kepadanya oleh dua orang muda itu.

“Bun-ko, apakah kau maksudkan Tan Sin Hong murid dari Istana Gurun Pasir itu?” tanya Ceng Liong memotong cerita kakaknya.

“Benar, engkau sudah mendengar akan malapetaka yang terjadi di sana?”

“Sudah, dari Kao Hong Li yang kami jumpai di jalan.”

“Dan tahukah engkau siapa anak ini? Anak ini adalah putera dari Ciong Siu Kwi dan suaminya, Yo Jin,” kata Suma Ciang Bun.

“Ciong Siu Kwi....? Bi....”

Suma Ceng Liong yang tadinya hendak mengatakan Bi Kwi, menahan ucapannya teringat akan kehadiran anak itu. Suma Ciang Bun maklum dan dia mengangguk, lalu diceritakannya semua yang pernah didengarnya dari Suma Lian tentang anak itu, betapa ayah dan ibu anak itu menjadi tawanan para tokoh sesat yang bergabung dengan Tiat-long-pang.

Mendengar semua cerita itu, Suma Ceng Liong saling pandang dengan isterinya, kemudian dia menghela napas panjang.

“Kami sudah mengkhawatirkan bahwa tentu Lian-ji akan terlibat dalam urusan pemberontakan Tiat-liong-pang. Kalau ia mendengar akan gerakan kaum sesat mendukung pemberontakan, tentu ia akan menentangnya. Kami justeru mengkhawatirkan hal itu, Bun-ko. Oleh karena itu, kami tidak akan berlama-lama tinggal di sini. Kami akan segera berangkat untuk mencari puteri kami dan membantunya kalau ia menentang Tiat-liong-pang.”

Suma Ciang Bun mengangguk-angguk.
“Memang sebaiknya begitu, Liong-te. Kaum muda itu memang amat berani, dan kadang-kadang terlalu berani sehingga tidak lagi memakai perhitungan. Aku juga mendengar bahwa gerakan Tiat-liong-pang sekali ini didukung oleh tokoh-tokoh sesat yang amat lihai, bahkan kabarnya Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai ikut pula mendukung, belum lagi pasukan pemerintah yang berkhianat dan orang-orang Mongol.”

Suami isteri itu lalu berpamit dan mereka pun melanjutkan perjalanan mereka untuk mencari puteri mereka. Sekali ini, tujuan mereka sudah jelas, yaitu perkumpulan Tiat-liong-pang yang pusatnya berada di lereng bukit di kota Sangcia-kou di utara.

**** 049 ****







OBJEK WISATA MANCA NEGARA

 Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
 Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
 Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
 Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
 Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
 Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
 Taj Mahal
Taj Mahal India
 Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
 Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
 Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
 Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
 Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
 Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
 Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
 Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
 Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
 Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
 Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
 Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
 Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda

===============================
 Gunung Meja Afrika

 Gedung Opera Sydney