Ads

Selasa, 23 Februari 2016

Kisah si Bangau Putih Jilid 048

Suma Ceng Liong dan isterinya, biarpun tinggal di dusun Hong-cun di luar kota Cin-an yang jauh dari keramaian, jauh pula dari urusan para pendekar di dunia persilatan, namun ada saja kenalan yang memerlukan singgah di dusun itu untuk mengunjungi suami isteri terkenal ini dan menyampaikan penghormatan mereka.

Oleh karena itu, berita tentang gerakan orang-orang kang-ouw yang memberontak di perbatasan utara, dipimpin oleh Siangkoan Lohan sebagai ketua Tiat-liong-pang, dapat mereka dengar dan hal ini mengejutkan hati mereka.

“Sungguh mengherankan sekali berita itu.” kata Suma Ceng Liong kepada Kam Bi Eng, isterinya. “Padahal, nama Siangkoan Tek atau Siangkoan Lohan sebagai ketua Tiat-liong-pang amat terkenal. Perkumpulan itu bahkan pernah berjasa terhadap pemerintah Mancu, dan kalau tidak salah, aku pernah mendengar bahwa Siangkoan Lohan dihadiahi seorang puteri dari keluarga kaisar untuk menjadi isterinya. Bagaimana kini tersiar berita bahwa dia memimpin orang-orang kang-ouw untuk mengadakan pemberontakan? Sungguh aneh.”

“Hal seperti itu mungkin saja terjadi,” kata isterinya. “Bagaimanapun juga, sebagai seorang pendekar yang gagah, tentu Lohan juga merasa tidak puas melihat betapa bangsa dan tanah air dijajah oleh orang-orang Mancu. Kalau sekarang dia mengadakan gerakan perjuangan untuk menentang pemerintah penjajah, apakah anehnya hal itu?”

”Kalau dia menggerakkan orang-orang gagah dan rakyat yang tertindas untuk berjuang menentang penjajah Mancu, hal itu tidaklah aneh dan tidak mengkhawatirkan. Akan tetapi, menurut berita yang kita dengar itu, dia menggerakkan orang-orang kang-ouw golongan hitam dan sesat. Ini amat berbahaya karena perjuangan itu jelas bukan demi rakyat, bukan demi bangsa dan tanah air, melainkan mengandung pamrih untuk golongan itu dan celakalah rakyat jelata kalau hal itu terjadi. Mereka, kalau menang, bahkan akan lebih jahat dan kejam daripada pemerintah penjajah sendiri.”

Kam Bi Eng memegang lengan suaminya.
“Sudahlah, kenapa kita harus memusingkan kepala memikirkan urusan pemberontakan? Itu urusan pemerintah dan bukankah pemerintah memiliki pasukan yang kuat untuk memberantasnya? Bukan urusan kita untuk mencampurinya. Hanya aku teringat kepada anak kita. Kemana perginya Lian-ji? Engkau tahu, wataknya masih amat keras sehingga kalau ia mendengar tentang persekutuan golongan hitam itu, tentu ia akan maju menentangnya.”

Suma Ceng Liong mengangguk.
“Itulah yang kukhawatirkan. Ia memang telah memiliki ilmu kepandaian yang cukup untuk membela diri, akan tetapi kalau ia sampai mencampuri urusan pemberontakan itu dan ia menentang Tiat-liong-pang, sungguh berbahaya. Tingkat kepandaian Siangkoan Lohan amat tinggi dan belum tentu anak kita yang kurang pengalaman itu akan mampu menandinginya, apalagi kalau diingat bahwa Siangkoan Lohan mengumpulkan banyak tokoh sesat seperti yang beritanya kita dengar.”

Kam Bi Eng mengerutkan alisnya.
“Lalu bagaimana baiknya? Kita harus menyusulnya dan melindunginya!”

Suaminya mengangguk-angguk.
“Hanya tidak mudah mencari anak kita itu. Sebaiknya kita pergi berkunjung ke pertapaan kanda Suma Ciang Bun. Tentu ia sudah tiba di tempat itu untuk menyampaikan pesan kita, dan dari sana kita bisa mengikuti jejaknya, karena tentu Bun-ko tahu kemana anak itu pergi setelah meninggalkan tempatnya.”

Karena mengkhawatirkan keadaan anak tunggal mereka yang tercinta, sepasang suami isteri perkasa ini lalu berkemas dan meninggalkan rumah mereka menuju ke Tapa-san, di mana Suma Ciang Bun bertapa untuk mulai mencari jejak puteri mereka.

Suami isteri yang sakti ini sudah lama tidak pernah memasuki dunia ramai, apalagi mencampuri urusan dunia persilatan. Belasan tahun lamanya mereka hidup dengan tenang dan tenteram di dusun Hong-cun. Kini, begitu meninggalkan rumah, apalagi setelah mereka tiba di luar dusun, timbul kegembiraan dalam hati mereka. Jiwa petualangan mereka bangkit lagi.

Di waktu muda, mereka adalah orang-orang yang suka bertualang, menghadapi banyak macam bahaya sebagai pendekar-pendekar yang setiap saat siap menentang kejahatan. Kegembiraan itu nampak pada wajah mereka yang berubah cerah.

Bagaikan suami isteri yang sedang bertamasya saja mereka berjalan perlahan menuruni bukit kecil menuju ke padang rumput di kaki bukit yang menjadi permulaan sawah ladang yang amat luas, dengan warna hijau menguning menyedapkan mata. Bau tanah dan tanaman gandum yang harum memasuki hidung mereka, bersama hawa udara yang amat segar dan nyaman.

Akan tetapi, tiba-tiba mata mereka yang sudah terlatih dan amat tajam melihat sesuatu yang menarik perhatian mereka. Jauh di sana, di luar padang rumput yang membatasi padang rumput dengan sawah ladang nampak beberapa orang manusia bergerak-gerak. Kecil sekali mereka itu nampak dari tempat jauh, akan tetapi gerakan-gerakan mereka itu dapat dikenal suami isteri ini sebagai gerakan orang-orang berkelahi dengan ilmu silat tinggi.

“Di sana ada orang-orang berkelahi!” kata Kam Bi Eng kepada suaminya. “Seorang dikeroyok oleh tujuh lawan!”

“Benar,” kata suaminya, seolah-olah suami isteri ini sedang mengadu ketajaman mata mereka. “Yang seorang itu agaknya wanita, dan pengeroyoknya seorang wanita dan enam orang pria.”

Mendengar ucapan suaminya itu, Kam Bi Eng mengerahkan tenaganya memandang dan ia pun berseru membenarkan.

“Hayo cepat kita ke sana!” teriak wanita sakti itu dan tanpa menanti jawaban suaminya, Kam Bi Eng sudah meloncat ke depan dan berlari secepat angin menuruni bukit.

Suma Ceng Liong juga segera mempergunakan ilmunya berlari cepat, mengejar isterinya. Karena keduanya mempergunakan ilmu berlari cepat yang hebat sekali, maka tak lama kemudian mereka berdua pun sudah tiba di tempat perkelahian itu. Memang penglihatan Suma Ceng Liong dari jauh tadi tidak keliru.






Seorang gadis cantik manis berusia kurang lebih dua puluh satu tahun sedang dikeroyok oleh seorang wanita setengah tua dan enam orang laki-laki. Para pengeroyok itu rata-rata memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, namun gadis muda itu pun hebat sekali ilmu silatnya. Melihat betapa gadis cantik manis itu memainkan ilmu pedang yang aneh, namun yang tidak asing baginya, Suma Ceng Liong segera berkata kepada isterinya.

“Mari kita bantu gadis itu, bubarkan para pengeroyoknya sebelum ia celaka!”

Memang pada saat itu, gadis berpedang itu sudah terdesak hebat karena memang para pengeroyoknya memiliki kepandaian yang tinggi sekali, bahkan wanita setengah tua itu agaknya jauh menonjol tingkat kepandaiannya dibanding para pengeroyok lain.

Sesungguhnya, tidak mengherankan kalau para pengeroyok itu lihai, karena wanita setengah tua itu bukan lain adalah Sin-kiam Mo-li, tokoh sesat yang menjadi pembantu utama dari Siangkoan Lohan! Dan selain Sin-kiam Mo-li, di antara mereka terdapat pula Toat-beng Kiam-ong Giam San Ek yang menjadi rekan dan juga kekasihnya, dan lima orang lain adalah kaki tangan Tiat-liong-pang yang sedang mengadakan pemberontakan.

Adapun gadis cantik manis yang sedang dikeroyok itu adalah Hong Li! Seperti telah kita ketahui, gadis perkasa ini memang sedang menuju dusun Hong-cun di luar kota Cin-an di Propinsi Shantung, lembah Huang-ho untuk berkunjung ke rumah Suma Ceng Liong seperti yang dipesan oleh ayah ibunya.

Ketika tiba di padang rumput di kaki bukit itu, tiba-tiba ia bertemu dengan seorang laki-laki setengah tua pesolek yang genit dan ceriwis sekali. Pria itu adalah Toat-beng Kiam-ong Giam San Ek. Sudah menjadi watak atau ciri khas dari tokoh sesat yang berjuluk Raja Pedang ini untuk tidak melewatkan setiap kesempatan bertemu wanita cantik. Selalu saja dia mengganggu dan berusaha mendapatkan wanita itu dan kalau hatinya tertarik, dia tidak peduli lagi siapa wanita itu, isteri orang atau anak gadis orang. Dia akan menundukkannya, dan mungkin dengan bujuk rayu mengandalkan kegantengannya, kalau tidak, dia akan mempergunakan kepandaiannya untuk mendapatkannya. Dia tidak pantang mempergunakan kekerasan memperkosa wanita itu.

Melihat seorang gadis melakukan perjalanan seorang diri di tempat sunyi itu, apalagi gadis itu cantik manis sekali, segera hati Giam San Ek terpikat dan dia pun menghadang sambil cengar-cengir menyeringai untuk memikat. Baru beberapa hari dia dan Sin-kiam Mo-li bersama beberapa orang kaki tangan mereka, tinggal mondok di dusun berdekatan dalam tugas mereka menghimpun tenaga bantuan untuk gerakan yang dilakukan Tiat-liong-pang.

“Selamat pagi, Nona Manis! Dari mana hendak ke manakah? Dan bolehkah kutemani Nona yang berjalan sendirian saja agar tidak kesepian?” demkian tegur Toat-beng Kiam-ong Giam San Ek kepada Kao Hong Li.

Wajah yang bulat telur itu menjadi merah dan mata yang jeli lebar itu mengeluarkan sinar berapi. Hong Li adalah seorang gadis yang cantik dan manis sekali dan sudah lama melakukan perjalanan seorang diri, maka sudah tidak aneh baginya melihat sikap pria yang mencoba untuk menggodanya.

Dan setiap kali digoda pria secara kurang ajar, ia pasti turun tangan menghajar pria yang sama sekali tidak menyangkanya bahwa dia berhadapan dengan seorang pendekar wanita yang lihai sekali. Kini melihat sikap pria setengah tua yang amat ceriwis itu, Hong Li yang juga pandai bicara lalu tersenyum simpul, menahan kemarahannya yang membuat kedua pipinya kemerahan itu.

“Hemmm, orang tua, pernahkah engkau bercermin?”

Melihat gadis itu tersenyum simpul yang membuat wajahnya semakin manis, dan melihat kedua pipi yang halus itu kemerahan yang disangkanya gadis itu malu-malu kucing, Giam San Ek tidak marah mendengar gadis itu menyebutnya orang tua. Dia meraba rambutnya, dan meneliti pakaiannya apakah ada yang kusut, lalu menjawab.

“Tentu saja, Nona Manis! Aku selalu membawa cermin ke manapun aku pergi. Lihat!”

Dan seperti bermain sulap saja, tangan kirinya yang bergerak itu telah mengeluarkan sebuah cermin kecil dari saku bajunya. Melihat betapa ucapannya itu dianggap benar-benar dan orang itu benar-benar pula mengeluarkan sebuah cermin, Kao Hong Li tak dapat menahan ledakan ketawanya.

“Hemmm, manusia tak tahu diri! Kalau engkau sering bercermin, apakah engkau belum juga melihat betapa engkau ini sudah tua? Akan tetapi engkau masih pesolek, genit dan suka menggoda gadis muda seperti aku. Tidak malukah engkau?”

Mana mungkin orang macam Giam San Ek memiliki perasaan malu? Teguran Hong Li ini dianggapnya main-main saja, bahkan disangka sebagai tanda bahwa gadis itu menanggapi godaannya.

“Ha-ha-ha, Nona Manis. Betapa tuanya seorang laki-laki, kalau melihat gadis manis sepertimu ini, siapa yang tidak menjadi tergila-gila? Hayolah, tak usah malu-malu, mari ikut dengan aku bersenang-senang!”

Berkata demikian, Toat-beng Kiam-ong Giam San Ek mengulurkan tangannya untuk mencubit dagu gadis itu.

Tentu saja Kao Hong Li menjadi marah melihat sikap orang ini makin berkelanjutan, bahkan semakin berani hendak mencolek dagunya. Dengan mudah ia mengelak dengan mundur selangkah, dan tangannya menampar keras sekali ke arah muka orang.

Giam San Ek yang sama sekali tidak mengira bahwa gadis manis itu berani menamparnya, mengelak, akan tetapi karena memandang rendah, dia bergerak kurang cepat sehingga walaupun mukanya tidak kena ditampar, pundaknya masih terserempet ujung tangan gadis itu. Dia terkejut, baru tahu betapa tamparan itu mengandung tenaga yang amat kuat, maka dia pun melangkah mundur dan memandang dengan alis berkerut.

“Eh? Engkau hendak membalas keramahan orang dengan pukulan?” bentaknya, kini kurang ramah.

“Keramahanmu hanyalah kekurang ajaran, dan aku adalah seorang gadis yang tidak sudi kau permainkan. Pukulanku adalah pukulan untuk menghajar laki-laki kurang sopan macam kalian ini!”

Dan kini Kao Hong Li sudah menerjang ke depan, mengirim tamparan bertubi-tubi. Gerakannya tentu saja cepat dan kuat sekali!

Toat-beng Kiam-ong Giam San Ek mengelak dan menangkis dua kali.
“Dukkk! Plak!”

Pertemuan kedua tangan mereka membuat keduanya terkejut. Hong Li juga kaget karena ternyata dalam tangkisan tangan lawan itu terkandung tenaga sin-kang yang kuat, sedangkan Giam San Ek tentu saja kaget karena pertemuan lengan itu membuat tubuhnya hampir terjengkang kalau saja dia tidak dapat meloncat ke belakang. Kini dia memandang gadis itu penuh perhatian, baru tahu bahwa dia berhadapan dengan seorang gadis yang memiliki ilmu silat tinggi dan tenaga dalam yang kuat.

“Ah, kiranya engkau memiliki sedikit kepandaian, pantas sikapmu jual mahal!” bentak Giam San Ek dan dia pun sudah menerjang lagi dengan cepat dan ganas, menyerang dengan sungguh-sungguh, bukan sekedar ingin memegang atau mencolek.

Namun, sekali ini dia kecelik dan bukan hanya gadis itu mampu menghindarkan diri dari semua terkamannya, bahkan membalas tak kalah dahsyatnya sehingga membuat Toat-beng Kiam-ong itu terdesak mundur.

Kalau dilanjutkan perkelahian tangan kosong itu, tentu dia akan kalah, karena Kao Hong Li adalah cucu Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir, ahli ilmu silat tangan kosong dengan ilmu silat Sin-liong-ciang-hoat, dan juga isterinya ahli silat tangan kosong Han-tok-ciang (Silat Tangan Selaksa Racun).

Kedua ilmu silat ini telah diwarisi Hong Li dari ayahnya, yaitu Kao Cin Liong. Juga dari ibunya, cucu Pendekar Super Sakti Pulau Es gadis bermata lebar ini telah mewarisi ilmu-ilmunya, maka tidaklah mengherankan kalau Toat-beng Kiam-ong Giam San Ek terdesak hebat setelah mereka berkelahi selama belasan jurus saja.

“Singgg....”

Nampak sinar berkelebat ketika Giam San Ek yang berjuluk Raja Pedang Pencabut Nyawa itu menghunus pedangnya dan mengelebatkan pedang di depan tubuhnya. Melihat ini, Hong Li juga mencabut pedangnya.

Giam San Ek yang berwatak tekebur itu tertawa mengejek, memandang rendah.
“Ha-ha-ha, Nona Manis. Dengan tangan kosong memang aku tidak berhasil mengalahkanmu, akan tetapi ketahuilah dengan siapa engkau berhadapan! Aku Giam San Ek terkenal dengan julukan Toat-beng Kiam-ong (Raja Pedang Pencabut Nyawa), sungguh sayang bahwa seorang gadis jelita seperti engkau terpaksa harus tercabut nyawanya oleh pedangku!”

“Tak perlu banyak cakap, lihat pedangku!” bentak Hong Li dan ia pun sudah memutar pedangnya dan menyerang dengan dahsyatnya.

“Haaaiiitt!”

Dengan lagak mengejek, Giam San Ek menangkis, membuat putaran dengan pedangnya dan membalas dengan tusukan ke arah dada Hong Li. Akan tetapi, gadis itu bukan hanya tangguh dalam ilmu silat tangan kosong, juga ia amat lihai dengan pedangnya. Ia mainkan Ban-tok Kiam-sut dan biarpun ilmu pedang ini paling tepat dimainkan dengan pedang Ban-tok-kiam milik neneknya, namun dengan pedang di tangannya pun yang tidak beracun, ilmu pedang itu tetap hebat.

Kalau tadinya Giam San Ek masih mengejek dan memandang rendah, makin lama dia menjadi semakin kaget mendapat kenyataan betapa lihainya gadis itu dengan pedangnya. Apalagi mencari kemenangan dengan mudah, baru mempertahankan dirinya agar tidak sampai terkena pedang lawan saja sudah merupakan hal yang tidak mudah baginya! Bahkan makin lama, Si Raja Pedang yang sombong ini menjadi semakin terdesak.

Selagi Giam San Ek kebingungan, muncullah bantuan baginya yang amat membesarkan hatinya karena yang muncul itu bukan lain adalah kekasihnya, Sin-kiam Mo-li yang lebih lihai darinya dan lima orang anak buahnya, yaitu tiga orang anggauta Ang I Mopang dan dua orang murid Tiat-liong-pang yang kesemuanya memiliki ilmu silat yang sudah boleh diandalkan.

Melihat betapa kekasih dan rekannya itu terdesak oleh seorang wanita muda yang lihai sekali, Sin-kiam Mo-li segera mengeluarkan pedang dan kebutannya, lalu terjun ke dalam pertempuran.

Lima orang kawannya juga segera mengeluarkan senjata masing-masing dan kini Hong Li harus menghadapi pengeroyokan tujuh orang lawan tangguh! Namun, gadis perkasa ini tidak menjadi gentar walaupun kini ia terkepung, terhimpit dan terdesak karena fihak para pengeroyoknya memang amat kuat, jauh lebih kuat dari padanya.

Namun, dengan putaran pedangnya, dibantu tangan kirinya yang mendorong disertai tenaga Swat-im Sin-kang, satu di antara ilmu dari Pulau Es yang amat hebat karena dorongan tangan itu mengeluarkan hawa dingin yang amat kuat, ia melindungi dirinya.

Ketika Suma Ceng Liong melihat dorongan tangan kiri ini, yakinlah dia bahwa gadis itu tentulah keluarga Pulau Es, anggauta dari keluarganya sendiri. Siapa lagi gadis itu kalau bukan puteri dari encinya, Suma Hui, yang bernama Kao Hong Li? Dia lupa lagi akan wajah keponakannya itu, apalagi karena bertahun-tahun tak pernah berjumpa, akan tetapi pukulan itu bagaimanapun juga akan dikenalnya dengan baik!

“Jangan takut, kami datang membantumu!” kata Ceng Liong yang tadi sudah menganjurkan isterinya untuk membantu gadis yang dikeroyok.

Kini tubuhnya berkelebat menerjang ke depan dan melihat betapa yang paling lihai di antara para pengeroyok itu adalah wanita yang berpedang dan memegang kebutan, maka dia pun lalu menerjang wanita itu dengan totokan Coan-kut-ci!

Coan-kut ci (Jari Penembus Tulang) adalah suatu ilmu yang dahsyat sekali, yang dipelajari Suma Ceng Liong dari Hek I Mo-ong, gurunya yang juga seorang datuk kaum sesat yang amat terkenal.

Terdengar suara mencicit dibarengi angin yang kuat bukan main menyambar ke arah Sin-kiam Mo-li. Wanita ini terkejut bukan main, cepat menyambut dengan kebutannya. Akan tetapi, begitu bertemu dengan jari tangan Ceng Liong, bulu kebutan itu rontok dan wanita itu merasa betapa lengannya yang memegang kebutan tergetar hebat.

Ia membalas dengan tusukan pedang, akan tetapi didahului oleh tendangan Soan-hong-twi (Tendangan Angin Badai) yang cepat dari Ceng Liong, membuat wanita itu cepat-cepat melempar diri ke belakang. Nyaris perutnya tertendang dan kini Sin-kiam Mo-li benar-benar kaget bukan main, tidak menyangka akan bertemu dengan lawan sehebat ini! Ia lalu berkemak-kemik dan menudingkan pedangnya ke arah Suma Ceng Liong, mengerahkan kekuatan sihirnya dan membentak.

“Engkau yang berani melawan aku, berlututlah!”

Akan tetapi laki-laki tinggi besar yang gagah perkasa itu malah tertawa bergelak. Tentu saja sihir itu tidak dapat mempengaruhi Ceng Liong karena pendekar ini pun telah mempelajari ilmu sihir dari ibunya sendiri, yaitu mendiang nenek Teng Siang In. Sambil tertawa, Ceng Liong juga mengerahkan kekuatan sihirnya dan tiba-tiba saja Sin-kiam Mo-li juga tertawa bergelak, tidak dapat menahan geli hatinya karena terseret oleh suara ketawa Ceng Liong!

Sambil tertawa, Ceng Liong sudah melakukan gerakan-gerakan mendorong dengan kedua tangannya silih berganti, yang kanan mengeluarkan hawa panas dengan Hwiyang Sin-kang, yang kiri mengeluarkan hawa dingin dengan Swat-im Sin-kang.

Sin-kiam Mo-li sedang terkejut bukan main melihat dirinya tertawa tanpa dapat dikuasainya, cepat ia mengerahkan tenaga untuk melawan pengaruh tawa itu. Dan pada saat itu, lawannya sudah menyerangnya dengan dua ilmu yang hebat dari Pulau Es. Tentu saja ia menjadi kaget bukan main dan hanya dengan melempar tubuh ke belakang, lalu bergulingan saja wanita ini dapat terhindar dari pukulan lawan yang dahsyat.

Sementara itu, Kam Bi Eng juga sudah mencabut suling emasnya dan kini suling itu mengaung-ngaung ketika ia mainkan ilmu pedang gabungan antara Koai-liong Kiam-sut dan Kim-siauw Kiam-sut! Ilmu ini pun merupakan satu di antara ilmu-ilmu tertinggi pada waktu itu, dan yang diserang oleh Kam Bi Eng adalah Toat-beng Kiam-ong Giam San Ek.

Orang ini terkejut, mencoba untuk memutar pedangnya, akan tetapi tangkisannya tidak dapat menahan suling itu yang terus menerobos di antara sinar pedangnya dan mengancam ulu hatinya. Giam San Ek berteriak kaget dan melempar tubuh ke samping, lalu meloncat agak jauh dengan keringat dingin membasahi tubuhnya! Nyaris dia celaka oleh suling wanita cantik dan gagah itu!

Biarpun ia pangling dan tidak mengenal suami isteri perkasa yang datang membantunya, tapi begitu menyaksikan gerakan-gerakan mereka, apalagi melihat Kam Bi Eng memainkan suling emas, Kao Hong Li segera dapat menduga siapa adanya mereka.

“Paman Liong dan bibi Eng, terima kasih kalian datang membantuku!” teriaknya dan tendangan-tendangannya membuat lima orang pengeroyoknya menjadi kalang kabut.

Sin-kiam Mo-li dan Toat-beng Kiam-ong adalah dua orang yang cerdik dan licik. Melihat kehebatan musuh, mereka berdua tanpa banyak cakap lagi lalu melarikan diri, diikuti oleh lima orang anak buah mereka yang juga menjadi ketakutan! Kao Hong Li meloncat untuk mengejar, akan tetapi Suma Ceng Liong mencegahnya.

“Musuh yang lari jangan dikejar!” kata pendekar ini.

Dia maklum betapa lihainya lawan, dan tentu licik sekali sehingga mengejar mereka amatlah berbahaya. Siapa tahu mereka itu lari ke tempat kawan-kawan mereka.

Kao Hong Li mentaati cegahan pamannya akan tetapi ia mengerutkan alisnya memandang ke arah menghilangnya tujuh bayangan orang itu dan berkata,

“Sayang, seharusnya mereka itu ditumpas, terutama sekali wanita itu!” Lalu, seperti baru teringat bahwa baru saja ia berjumpa dengan paman dan bibinya, gadis itu memberi hormat dan berkata, “Saya segera mengenal Paman dari gerakan Paman, dan mengenal Bibi setelah melihat suling emas itu!”

“Kami pun mengenalmu setelah melihat gerakan silatmu, Hong Li,” kata Kam Bi Eng sambil mengamati wajah yang cantik manis itu.

“Hong Li, siapakah wanita tadi? Ia kelihatan lihai sekali, dan melihat senjatanya pedang dan kebutan, mengingatkan aku akan seorang iblis betina....”

“Dugaan Paman benar. Ia adalah Sin-kiam Mo-li!”

“Ahhh!” Suami isteri itu terkejut.

“Agaknya ia tidak mengenal saya lagi, Paman, karena ketika ia menculik saya, ketika itu usia saya baru tiga belas tahun. Akan tetapi, saya tidak akan pernah dapat melupakan iblis itu dan tadi, begitu bertemu, saya segera mengenalnya. Padahal, saya memang sengaja hendak mencari dan membunuhnya!” kata gadis itu penuh semangat.

Ia teringat akan pengalamannya ketika berusia tiga belas tahun. Pernah ia diculik oleh iblis betina itu, bahkan kemudian diaku sebagai anak angkat dan murid, akan tetapi ia kemudian tahu bahwa sikap baik iblis betina itu hanya siasat belaka (baca kisahSuling Naga ).

Suma Ceng Liong menatap tajam wajah Kao Hong Li, diam-diam merasa heran mengapa gadis ini seolah-olah diracuni dendam, padahal, dia mengenal benar pribadi ayah dan ibu gadis ini, orang-orang yang berjiwa pendekar dan tidak mudah dikuasai dendam.

“Hong Li, kenapa engkau hendak membunuhnya dan nampaknya engkau amat membencinya? Apakah karena ia dahulu menculikmu?” tanya Ceng Liong tak puas.

Hong Li menarik napas panjang.
“Memang saya sedang menuju ke rumah Paman untuk menceritakan hal ini. Saya tidak mendendam karena ia pernah menculik saya, Paman. Akan tetapi karena ia dan kawan-kawannya telah menyerbu kerumah kakek dan nenek di Gurun Pasir, mereka mengeroyok dan berhasil membunuh kakek, nenek dan juga locianpwe Wan Tek Hoat, bahkan membakar Istana Gurun Pasir.”

“Ihhh....!” Kam Bi Eng berseru kaget.

Suma Ceng Liong juga terkejut sekali.
“Apa? Bagaimana mungkin ia membunuh locianpwe Kao Kok Cu, isterinya, dan bahkan locianpwe Wan Tek Hoat?”

Hampir dia tidak percaya bahwa ada orang mampu membunuh tiga orang sakti itu, apalagi kalau orang itu hanya wanita tadi dan kawan-kawannya.

“Ayah, ibu dan saya sendiri tadinya juga merasa terkejut, heran dan tidak percaya, Paman. Akan tetapi pembawa berita itu adalah murid dari tiga orang tua sakti itu sendiri.”

Hong Li lalu mengulang cerita tentang peristiwa di Istana Gurun Pasir itu seperti yang didengarnya dari Tan Sin Hong. Suami isteri perkasa itu mendengarkan dengan penuh perhatian, dan wajah mereka dibayangi duka mendengar akan kematian tiga orang tua sakti itu. Setelah Hong Li selesai bercerita, Kam Bi Eng tidak sabar lagi bertanya.

“Tiga orang tua yang sakti itu tewas semua, akan tetapi bagaimana mungkin murid mereka itu dapat hidup dan dapat menceritakan peristiwa itu kepada keluargamu?”

“Kami juga berpendapat demikian dan dengan penasaran menanyakan hal itu kepada Tan Sin Hong, dan ternyata bahwa pada saat penyerbuan terjadi, murid itu sama sekali tidak berdaya. Ia baru saja menerima pengoperan tenaga sakti dari tiga orang gurunya dan selama satu tahun dia pantang mempergunakan tenaga sakti karena hal itu berarti akan membunuh dirinya sendiri. Karena itulah maka dia tidak dapat melakukan perlawanan, karena sekali mengerahkan tenaga, dia akan mati konyol.”