Ads

Selasa, 23 Februari 2016

Kisah si Bangau Putih Jilid 044

Empat orang muda yang tadinya lemas tertotok, kini sudah dapat menggerakkan tubuh mereka. Akan tetapi, Kun Tek, Hong Beng dan Li Sian mendapatkan diri mereka terbelenggu. Sehelai rantai baja panjang mengikat kaki mereka pada tonjolan besi di dinding, dan kedua pergelangan tangan mereka juga dibelenggu, disambung dengan rantai sehingga biarpun mereka mampu menggerakkan kaki tangan, namun mereka tidak dapat bebas.

Hanya Ci Hwa seorang yang tidak terbelenggu dan hal ini adalah karena Tiat-liong Kiam-eng menganggap Ci Hwa tidak berbahaya. Dia menganggap bahwa ilmu kepandaian gadis itu tidak berapa tinggi sehingga tidak perlu dikhawatirkan akan mampu memberontak. Dan dia sendiri yang memimpin penjagaan atas diri empat orang tawanan itu. Sejumlah lima puluh orang ditugaskan berjaga secara bergilir dan dia sendiri seringkali meronda untuk meneliti keadaan empat orang tawanan itu agar jangan sampai ada kesempatan atau kemungkinan lolos.

Ketika Ci Hwa dapat lagi menggerakkan tubuhnya, ia segera bangkit dalam kamar tahanan yang luasnya hanya tiga meter persegi itu dan memeriksa keadaan kamar tahanan. Sebuah kamar yang kuat, dengan tembok tebal dan di bagian depannya terdapat sebuah pintu besi yang bagian atasnya terdapat terali baja. Ia segera melangkah ke pintu dan memandang keluar.

Tempat itu merupakan bangunan yang agaknya memang khusus dibangun menjadi sebuah penjara atau tempat tawanan karena mempunyai banyak sekali kamar-kamar seperti yang ditempatinya itu. Sebuah kamar yang kosong sama sekali sehingga orang harus tidur dan duduk di lantai yang dingin dan keras!

Ketika ia didorong ke dalam kamar ini secara kasar oleh anggauta Tiat-liong-pang, ia sempat melihat betapa hal yang sama diperlakukan oleh para anggauta Tiat-liong-pang kepada Gu Hong Beng dan juga kepada gadis cantik dan pemuda tinggi besar yang tidak dikenalnya, akan tetapi yang sama-sama melawan Tiat-liong-pang dan sekutunya.

“Kasihan Beng-ko....” Ci Hwa mengenang nasib Hong Beng. “Karena menolongku, dia sampai ikut tertawan. Ah, bagaimana aku harus menolongnya? Biar berkorban nyawa sekalipun, aku bersedia untuk menyelamatkannya.”

Ia termenung dan menyadari sepenuhnya bahwa ia telah jatuh cinta kepada pemuda tampan dan halus yang pernah merenggutnya dari tangan maut ketika ia nekat hendak membunuh diri di hutan itu. Ia tahu bahwa tiga orang tawanan lain berada di dalam kamar-kamar sebelah karena ia dilemparkan dalam kamar terakhir, dan dia pun melihat betapa tiga orang itu lebih dahulu dibelenggu sebelum ditinggalkan dalam kamar tahanan. Akan tetapi ia tidak dapat berhubungan dengan mereka karena kamar mereka bersebelahan.

Biarpun malam itu di luar amat gelapnya, namun di bangunan besar yang menjadi tempat tawanan ini cukup terang oleh lampu-lampu gantung. Agaknya memang tempat itu sengaja diterangi agar gerak-gerik para tawanan dapat dilihat jelas oleh para penjaga. Ci Hwa melihat dua orang penjaga membawa lentera mengiringkan seorang laki-laki tinggi kurus menuju ke tempat para tawanan.

Agaknya masih ada tawanan lain di tempat itu selain mereka berempat, dan kini laki-laki tinggi kurus itu melakukan perondaan, menjenguk ke dalam setiap kamar yang berisi tawanan melalui ruji besi di bagian atas pintu.

Dari jauh, Ci Hwa melihat dari sinar lentera itu dan kembali ia tertegun. Tadi, ketika ia dan tiga orang lainnya diseret ke tempat tawanan ini, ia pun sudah tertegun dan terheran melihat laki-laki tinggi kurus itu, yang ternyata menjadi pimpinan para anak buah Tiat-liong-pang yang melakukan penjagaan di tempat itu. Ia merasa sudah mengenal laki-laki itu akan tetapi di mana. Seorang laki-laki yang usianya kurang lebih tiga puluh lima tahun, bertubuh tinggi kurus, dengan sepasang mata tajam dan muka agak pucat.

Pedangnya tergantung di punggung dan pandang mata yang tajam itu membayangkan kecerdikan dan juga kekejaman. Kini, melihat sinar lentera menyoroti muka orang itu, melihat lirikan mata itu, tiba-tiba Ci Hwa teringat. Ciu-piauwsu! Ya, sudah beberapa kali ia bertemu dengan rekan ayahnya itu. Dia seorang piauwsu (pengawal barang kiriman) di Ban-goan, di kota tempat tinggalnya, Sebagai seorang piauwsu, rekan dari ayahnya, tentu saja ia mengenalnya, seperti ia mengenal semua piauwsu di kota Ban-goan.

Bahkan akhir-akhir ini, Ciu-piauwsu yang bernama Ciu Hok Kwi itu menarik perhatian keluarganya ketika Ciu-piauwsu mendatangi Ban-goan Piauwkiok dan menantang ayahnya!

Ayah Kwee Tay Seng atau Kwee-piauwsu menyambut tantangan Ciu-piauwsu sehingga terjadi perkelahian, di mana Ciu-piauwsu tidak mampu menandingi ayahnya, mengaku kalah dan pergi sambil mengancam. Itulah Ciu-piauwsu! Dan kini, tahu-tahu dia muncul di tempat ini, sebagai kepala para anggauta Tiat-liong-pang!

Mengingat ini, tiba-tiba saja Ci Hwa melihat kesempatan baik untuk menyelamatkan Hong Beng dan dua orang lainnya. Kalau saja ia dapat mendekati Ciu-piauwsu! Bagaimanapun juga, mereka adalah sekota, bahkan orang itu juga seorang piauwsu, seperti ayahnya.

Dan ia pun teringat bahwa Ciu Piauwsu adalah seorang piauwsu di perusahaan piauwkiok milik ayah Tan Sin Hong! Ciu Piauwsu adalah pembantu dari mendiang Tan Piauwsu. Apakah ini hanya suatu kebetulan saja? Otak gadis ini bekerja dan semakin mantap hatinya untuk mendekati Ciu Piauwsu, dengan cara apa pun, bukan sekadar untuk berusaha menyelamatkan Hong Beng dan dua orang tawanan lain, juga untuk menyelidiki tentang kehadiran seorang piauwsu di Ban-goan di antara orang-orang Tiat-liong-pang!

Seorang yang telah mengalami peristiwa hebat seperti yang diderita oleh Ci Hwa, memang dapat berubah segala-galanya. Rasa sakit hati, putus asa, duka dan kekhawatiran yang melanda hatinya semenjak ia diperkosa dan dihina oleh Siangkoan Liong, membuat ia menjadi seorang yang nekat. Ia tidak lagi menghargai dirinya sendiri, yang ada hanyalah satu tekad, ialah membalas dendam, melampiaskan kebencian atau rasa cinta tanpa mengenal batas lagi, tanpa memperdulikan keselamatan diri atau harga diri lagi.

Kini, Ciu Hok Kwi dan dua orang anak buahnya yang memeriksa setiap orang penghuni kamar-kamar tahanan itu, sedang menuju ke kamar tahanan di mana Ci Hwa berdiri memegangi terali besi dan memandang keluar.

“Ciu Piauwsu....!” Ci Hwa memanggil dengan suara lembut.

Ciu Hok Kwi memandang tajam dan sejenak dia menatap wajah gadis itu dengan penuh perhatian. Ketika Ci Hwa berada di perkampungan itu dan menjadi korban Siangkoan Liong, Ciu Hok Kwi tidak berada di sana sehingga dia tidak tahu akan semua peristiwa yang menimpa diri gadis itu. Kini, ketika dia melakukan perondaan, tiba-tiba saja seorang di antara para tawanan itu, seorang gadis manis sekali dengan mulut yang penuh gairah, memanggilnya dengan sebutan Ciu Piauwsu, sebutan yang luar biasa sekali di situ karena tiada seorang pun menyebutnya seperti itu!






Dia memandang tajam dan heran lalu melangkah dekat. Dia hanya tahu bahwa di antara empat orang tawanan yang tadi mengamuk dan ditangkap, gadis ini adalah yang paling lemah dan tidak berbahaya, demikian menurut keterangan Siangkoan Kongcu. Oleh karena itu, dia pun tidak merasa perlu untuk membelenggu gadis ini.

Ci Hwa melihat sikap orang itu, maklum bahwa orang she Ciu itu agaknya lupa dan tidak mengenalnya. Memang ketika berada di Ban-goan, di antara mereka tidak ada hubungan sesuatu dan jarang berjumpa. Gemblengan batin yang mengalami guncangan dan tekanan hebat itu telah membuat gadis yang hijau itu kini menjadi seorang wanita yang matang dan penuh perhitungan!

Ia tersenyum, senyum manis dan ia tahu bahwa senyumnya dengan tarikan pada dagunya itu akan menciptakan lesung pipit yang manis pada lekukan pipinya yang kiri, yang sengaja ia miringkan agar tersorot sinar lentera yang dibawa oleh kedua orang anak buah Tiat-liong-pang itu.

“Aih, Ciu Piauwsu, apakah engkau sudah lupa kepadaku? Kita sama-sama dari Ban-goan, karena itu, harap kau suka mengingat akan kawan sekota dan suka menolong aku.!” dalam suaranya, Ci Hwa menggetarkan permohonan yang amat sangat, demikian pula sinar matanya memandang penuh harapan.

Ciu Hok Kwi tertarik. Dia bukan seorang pelahap wanita seperti Toat-beng Kiam-ong atau Siangkoan Liong, akan tetapi dia bukanlah kanak-kanak. Dia seorang laki-laki dewasa yang sudah berpengalaman, maka tentu saja dia dapat menangkap gairah dalam pandang mata gadis manis ini, di mana terkandung penawaran dan janji manis sekali.

“Hemmm, jangan ngawur! Aku bukan piauwsu.!”

Dia masih mencoba karena dia belum mengenal gadis itu, matanya tak dapat dihindarkan lagi mengamati lekukan dan tonjolan bukit dada yang menjadi amat jelas karena Ci Hwa menekan dadanya pada jeruji besi kuat-kuat.

“Aih, Ciu Piauwsu, harap jangan salah sangka. Aku.... aku mengenalmu sebagai seorang piauwsu yang gagah. Namaku Kwee Ci Hwa.... dari Ban-goan Piauwkiok! Nah, engkau tentu masih ingat, bukan?”

Ciu Hok Kwi terbelalak, lalu mengelus dagunya yang halus karena jenggotnya dia cukup bersih, matanya yang tajam itu mengamati wajah gadis cantik itu penuh perhatian.

“Ah, engkau she Kwee.... dari Ban-goan Piauw-kiok?”

“Benar, Ciu Piauwsu, aku puteri majikan Ban-goan Piauw-kiok!”

Ciu Hok Kwi mengangguk-angguk dan tersenyum simpul, lalu mendekat, untuk dapat mengamati wajah cantik itu lebih jelas lagi.

“Ah, kiranya puteri Kwee Piauwsu! Dan mengapa pula engkau sampai tertawan di sini?”

Ci Hwa, gadis yang sebetulnya masih hijau itu, kini telah menjadi matang oleh musibah yang menimpa dirinya, membuatnya menjadi amat cerdik dan pandai sekali bersandiwara. Mudah saja baginya kini untuk menekan batinnya sehingga air mata mengalir turun dari kedua matanya ketika ia mendengar pertanyaan Ciu Hok Kwi itu.

“Aih, Ciu Piauwsu, harap engkau suka menaruh kasihan kepadaku dan suka menolongku, mengingat bahwa kita sama-sama datang dari Ban-goan. Nasibku sungguh malang.... dan di tempat asing ini, siapa lagi yang dapat kumintai tolong kecuali engkau seorang? Tolonglah aku, selamatkan aku dan.... aku akan berterima kasih sekali, aku berhutang budi dan aku akan membayarmu dengan apa saja, Ciu Piauwsu.“

Kembali Ciu Hok Kwi melihat sikap yang menantang dan penuh janji manis itu, dari sepasang mata yang basah air mata, dari mulut yang setengah terbuka, dari tonjolan dada yang ditekan pada jeruji besi.

“Bagaimana aku dapat menolongmu? Aku tidak berani membebaskanmu, nona Kwee, karena para pemimpin sendiri yang menawanmu.”

“Tidak usah membebaskan aku, asal aku.... jangan sampai terbunuh.... katakan kepada mereka bahwa aku ini calon isterimu atau apa saja, asal aku dapat terhindar dari bahaya maut.“

Berdebar rasa jantung Ciu Hok Kwi. Dia memang belum menikah, dan sukar ditemukan seorang gadis yang demikian manis seperti Ci Hwa menawarkan diri seperti ini!

“Akan tetapi ceritakan dulu bagaimana engkau sampai tertawan? Apakah engkau memusuhi Tiat-liong-pang?”

“Mana aku berani? Aku akan bercerita terus terang saja kepadamu, Ciu-toako dan hal ini baru kepadamu saja kuceritakan.” Ci Hwa berbisik-bisik dan Ciu Hok Kwi semakin tertarik karena gadis itu menyebutnya toako, bukan Piauwsu lagi, sebutan yang lebih akrab. “Aku meninggalkan rumah orang tuaku, engkau tentu mengerti, sebagai seorang gadis yang ingin meluaskan pengalaman dan menambah pengetahuan. Ketika tiba di dekat tempat ini, aku diganggu lima orang pemburu, aku dikeroyok dan kalah, dan hampir aku diperkosa oleh mereka berlima. Aku sudah ditelanjangi, empat orang memegang kaki tanganku dan orang ke lima sudah siap untuk memperkosa aku yang masih perawan.“

Entah dari mana Ci Hwa memperoleh kemampuan bercerita seperti itu, sengaja menggambarkan keadaan yang dapat merangsang pendengarnya. Usahanya berhasil karena mendengar cerita itu, sepasang mata Ciu Hok Kwi seakan-akan menelanjanginya, meraba-raba tubuhnya karena piauwsu muda itu menggambarkan keadaan Ci Hwa seperti yang diceritakannya itu. Dan Ci Hwa sengaja berhenti untuk memancing reaksi dari pendengarnya.

“Lalu bagaimana.... lanjutkan ceritamu....!” kata Ciu Hok Kwi agak terengah-engah dan mukanya yang biasanya pucat itu kini menjadi agak kemerahan, matanya tetap menggerayangi lekuk lekung tubuh Ci Hwa dengan lahap.

“Aku sudah putus asa, hendak menjerit mulutku dibungkam, aku hanya dapat meronta-ronta sekuatku, namun sia-sia karena empat orang itu memegangi kaki tanganku. Dan pada saat terakhir, muncullah Siangkoan Kongcu! Dengan gagahnya dia menghajar lima orang pemburu itu sampai mereka terbunuh semua dan mayat mereka dilempar ke dalam jurang. Lalu Siangkoan Kongcu menghampiri aku yang masih belum sempat berpakaian....”

Kembali ia berhenti dan melihat dengan kegembiraan yang disembunyikan betapa laki-laki itu berkeringat dan menjilati bibirnya sendiri seperti seekor anjing kelaparan melihat daging segar yang membangkitkan selera dan menambah rasa lapar.

“Kemudian.... bagaimana....?” Suara Ciu Hok Kwi lirih dan parau.

“Aku adalah seorang yang mengenal budi. Kalau sudah ditolong orang, maka aku mau membalas budi itu dengan apa saja. Dan Siangkoan Liong seorang laki-laki muda yang tampan, seperti.... engkau, Ciu-toako, dan aku dalam keadaan telanjang. Kami saling tertarik dan aku menyerahkan diri bulat-bulat, menyerahkan segala dengan suka rela, segala yang tadinya hendak diminta secara paksa oleh lima orang pemburu itu, kuberikan kepada Siangkoan Kongcu dengan senang hati, apalagi karena dia berjanji hendak mengawini aku yang selamanya belum pernah berdekatan dengan pria.”

“Lalu.... lalu bagaimana....?”

Kembali Ci Hwa menangis dan suaranya tersendat-sendat ketika ia melanjutkan.
“Akan tetapi dia.... dia mengingkari janji.... aku lalu pergi, hendak membunuh diri.... aku yang masih perawan telah menyerahkan kehormatanku, dan dia ingkar janji....! Ketika membunuh diri, aku dicegah oleh seorang pendekar yang bernama Gu Hong Beng itu. Dia mencegah aku bunuh diri dan menasihati aku kemudian dia hendak membelaku, hendak menuntut pertanggungan jawab Siangkoan Kongcu. Akan tetapi kami kalah dan tertawan.“

“Hemmm, salahmu sendiri, sungguh tidak tahu diri. Bagaimana berani hendak menuntut Siangkoan Kongcu?”

“Begini, Ciu-toako. Kalau tadinya dia tidak berjanji akan mengawiniku, tentu aku tidak menuntut. Tapi aku tahu bahwa itu tidak tahu diri, karena itu, aku mohon kepadamu, Ciu-toako yang baik, tolonglah aku, selamatkanlah aku dan aku akan berhutang budi kepadamu.“ Kembali pandang mata Ci Hwa menantang.

Ciu Hok Kwi yang sudah terangsang oleh cerita gadis itu tadi, kini tersenyum dan kembali mengelus dagunya,

“Dan dengan apa engkau hendak membalas budiku itu?”

Pertanyaannya ini, disertai kerling tajam, mengandung kegenitan yang jelas.
“Ciu-toako, sudah kukatakan bahwa aku adalah seorang gadis yang suka membalas budi. Aku akan mau melakukan apa saja yang kau kehendaki dariku!” Jawabannya demikian meyakinkan dan melenyapkan keraguan hati Ciu Hok Kwi.

“Engkau mau kalau malam ini engkau menemani aku tidur di kamarku?” tanya murid pertama Siangkoan Lohan itu dengan tegas, tanpa malu-malu lagi.

Mau tidak mau, wajah Ci Hwa menjagi merah dan ia merasa betapa mukanya panas sekali, akan tetapi gadis ini memaksa diri tersenyum malu-malu.

“Tentu saja aku mau, Ciu-toako. Apalagi engkau nampak jauh lebih jujur daripada Siangkoan Kongcu.”

“Tapi aku tidak berjanji bahwa kelak aku akan mengawinimu!”

Ci Hwa tersenyum semakin cerah.
“Baik, memang benar bahwa engkau jauh lebih jujur daripada Siangkoan Kongcu. Kalau engkau tidak menjanjikannya, aku pun kelak tidak akan menuntut, Toako.”

Sepasang mata Ciu Hok Kwi, yang tajam seperti mata kucing itu bersinar-sinar. Namun, dia bukan orang bodoh. Dia tidak akan mau percaya demikian saja sebelum ada buktinya. Rasanya terlampau mudah, aneh dan tidak masuk di akal kalau seorang gadis baik-baik seperti Kwee Ci Hwa ini, puteri Kwee Piauwsu yang gagah perkasa di Ban-goan itu, begitu saja menyodorkan dirinya kepadanya!

“Kalau begitu, mari ikut denganku,” katanya sambil mengeluarkan seuntai kunci-kunci dari saku bajunya, lalu membuka daun pintu kamar sel itu.

Melihat banyak kunci itu, diam-diam Ci Hwa girang sekali. Tidak keliru dugaannya, Ciu Hok Kwi ini menjadi kepala jaga di sini dan dialah yang memegang semua kunci pintu kamar-kamar tahanan! Ia pun keluar dari kamar tahanan itu dan membiarkan dirinya dirangkul dan dipandang oleh Ciu Hok Kwi, bahkan ia pun dengan sikap malu-malu, melingkarkan lengannya pada pinggang laki-laki tinggi kurus itu.

“Jaga di sini baik-baik, aku mau bicara penting dengan Nona ini!” katanya kepada para anak buahnya yang berkedip-kedip sambil tersenyum simpul melihat atasan mereka menggandeng seorang tahanan wanita yang manis, hal yang tidak asing lagi bagi mereka.

Sudah menjadi hak Ciu Hok Kwi agaknya, untuk melakukan apa saja terhadap para tahanan, membawa tahanan wanita cantik ke kamarnya, menyiksa, bahkan membunuh tahanan! Setelah tiba di dalam kamarnya, Ciu Hok Kwi yang masih sangsi dan belum dapat percaya benar kepada Ci Hwa, segera minta bukti dari gadis itu untuk melayaninya!

Barulah dia percaya benar setelah gadis itu menyerahkan diri dengan pasrah, bahkan dengan sikap gembira dan manis seolah-olah gadis itu menyukai dan menikmati pula apa yang terjadi antara ia dan Ciu Hok Kwi. Orang she Ciu ini sama sekali tidak tahu betapa di dalam batinnya, gadis itu menangis dan menjerit, betapa tersiksa dan sakit rasanya badan dan batinnya ketika ia harus pasrah saja digeluti oleh orang yang dibencinya itu!

Ya, ia membenci Ciu Hok Kwi, pertama-tama karena pernah Ciu Hok Kwi menantang ayahnya dan akhirnya orang ini dikalahkan oleh ayahnya. Kedua, karena melihat piauwsu ini ternyata kaki tangan pemberontak, dan kini bahkan terpaksa ia menyerahkan diri kepadanya. Akan tetapi biarlah! Ia sudah tidak memiliki harapan untuk dapat hidup terus, setelah apa yang dialaminya, setelah ia terhina, direnggut kehormatannya oleh Siangkoan Liong. Ia harus mati untuk menebus aib, akan tetapi sebelum mati, ia harus dapat menyelamatkan Gu Hong Beng.

Pemuda itu telah menolongnya, bahkan telah memberi penerangan batin kepadanya dan sekarang, pemuda itu, karena hendak membelanya, telah terjatuh ke tangan musuh! Ia harus menyelamatkannya, dengan jalan apa pun juga. Dan kini telah ia laksanakan cara yang paling menyakitkan, baik badannya maupun batinnya. Ia telah melayani Ciu Hok Kwi, melayani dengan sikap manis pula!

Setelah memperoleh bukti berulangkali dari pelayanan manis Kwee Ci Hwa, akhirnya Ciu Hok Kwi mulai percaya. Ketika mereka mengaso dan rebah bersanding di dalam kamarnya, Ciu Hok Kwi tanpa ragu-ragu lagi menceritakan kepada Ci Hwa yang kini telah dianggap sebagai kekasihnya. Menceritakan bahwa dia sesungguhnya adalah Tiat-liong Kiam-eng, murid pertama dan terpandai dari Siangkoan Lohan, juga merupakan pembantu utama!

“Akan tetapi, Ciu-toako yang baik....” Ci Hwa bertanya sambil memeluk dengan sikap merayu, “bagaimana engkau yang menjadi murid utama Siangkoan Lohan, bekerja sebagai seorang piauwsu di Ban-goan.?”

Ciu Hok Kwi tertawa dan mencium gadis itu,
“Itu adalah siasatku. Kami membutuhkan penghubung yang baik untuk keluar masuk perbatasan Tembok Besar tanpa dicurigai, agar lebih mudah bagi kami berhubungan dengan orang-orang Mongol yang akan membantu gerakan kami. Karena itulah, di Ban-goan tempatnya untuk mengatur semua itu dengan kedok perusahaan piauw-kiok.”

“Tapi.. bukankah engkau menjadi piauwsu pembantu dari Tan-piauwsu yang kabarnya terbunuh di utara itu?”

“Ha-ha-ha, benar, memang benar. Dan itulah siasatku yang amat cerdik. Tanpa disangka orang, aku kini menguasai piauwkiok itu, sehingga terbukalah jalan bagi gerakan kami untuk berhubungan dengan kawan-kawan di luar Tembok Besar.”

“Ah, jadi kematian Tan-piauwsu itu termasuk rencana siasatmu? Engkau sungguh lihai sekali, Koko!”

Ci Hwa balas mencium walaupun di dalam hatinya ia ingin muntah karena jijik mendengar bahwa pembunuhan atas diri Tan-piauwsu itu adalah perbuatan orang ini.

“Kalau begitu, yang membunuh Tan Piauwsu....”

“Ha-ha-ha, akulah orangnya!” kata Ciu Hok Kwi sambil tertawa.

Sepasang mata Ci Hwa terbelalak dan ia mengamati wajah laki-laki itu yang di bawah sinar lilin cukup tampan namun juga menyeramkan.

“Dan orang berkedok yang membunuh Lay-wangwe.”

“Aku juga orangnya! Eh, bagaimana engkau bisa tahu....? Ah kiranya engkaukah yang mencoba untuk menangkap aku itu, Manis? Ha-ha-ha! Untung hanya kutendang lututmu.!”

Ci Hwa terkejut dan juga marah bukan main, akan tetapi ia memaksa dirinya untuk ikut tertawa lalu merangkul dan mencium laki-laki itu sambil memuji.

“Wah, kiranya engkaukah orang itu? Aku sudah merasa kagum sekali karena kelihaiannya! Dan engkau pernah menantang ayahku? Bagaimana engkau dapat dikalahkannya kalau ternyata engkau selihai itu?”

Ciu Hok Kwi balas merangkul dan mencium.
“Siasat, Manisku, siasat! Aku harus pura-pura mengalah agar tidak mendatangkan kecurigaan putera Tan-piauwsu itu. Engkau tentu telah mengenalnya.”

“Ya, Tan Sin Hong itu bukan? Dia menuduh ayah yang mengatur pembunuhan terhadap ayahnya, maka aku ingin mencuci nama ayahku dan membantunya menangkap pembunuh. Kiranya engkau orangnya dan sekarang engkau malah menjadi kekasihku, orang yang akan menyelamatkan aku dari bahaya di sini.”

Kembali Ci Hwa melayani Ciu Hok Kwi dengan sikap manja, mesra dan manis sehingga Ciu Hok Kwi menjadi tergila-gila, tenggelam dalam nafsunya dan akhirnya, setelah lewat tengah malam, diapun tidur pulas kelelahan.

Ci Hwa yang tadinya pura-pura tidur pulas lebih dahulu, segera membuka kedua matanya. Dengan hati-hati ia melepaskan lengan dan kaki pria itu yang merangkulnya, lalu melepaskan diri dan sejenak duduk di atas pembaringan sambil mengamati muka dan pernapasan laki-laki itu. Sudah tidur nyenyak, dapat diketahuinya dari pernapasannya dan dengkurnya. Sekali pukul saja ia akan dapat membunuh laki-laki ini!

Akan tetapi, ia tidak berani melakukan hal ini, karena kalau sampai ia gagal, kalau sampai Ciu Hok Kwi tidak mati oleh sekali pukul dan sempat berteriak, akan gagallah usahanya menolong Gu Hong Beng! Yang terpenting adalah menyelamatkan pemuda itu lebih dulu, pikirnya.

Rasanya sudah gatal tangannya hendak menyerang dan membunuh orang yang sedang tidur ini, apalagi kalau diingatnya betapa ia tadi digeluti dan menderita siksaan lahir batin yang bagi seorang gadis tak tertandingi oleh penderitaan yang bagaimana juga.

Akan tetapi, Ci Hwa dapat menekan perasaannya dan dengan hati-hati ia pun mengambil baju Ciu Hok Kwi yang tadi ditanggalkan dan dilemparkan ke sudut pembaringan. Jari-jari tangannya gemetar ketika ia mencari-cari dan akhirnya ia menemukan seuntai kunci-kunci dan matanya bersinar-sinar. Ia lalu mengenakan pakaiannya, dan sepatunya, lalu turun perlahan-lahan dari atas pembaringan, Ciu Hok Kwi masih mendengkur pulas.

Melihat sebatang pedang tergantung di dinding kamar itu, dicabutnya pedang itu dan dibawanya keluar kamar bersama kunci-kunci tadi. Berindap-indap ia menghampiri tempat tahanan.

Ci Hwa menyelinap di balik dinding gelap dan mengintai. Jalan menuju ke kamar tahanan itu melalui sebuah lorong dan ada tiga orang penjaga bercakap-cakap di mulut lorong itu. Penjaga-penjaga lainnya entah pergi ke mana. Di situ terdapat belasan orang penjaga dan agaknya mereka merasa aman, maka diadakan pergantian penjagaan.

Mungkin yang lainnya sedang tidur dan mereka berjaga dengan bergiliran. Kenyataan bahwa yang berjaga di situ hanya tiga orang, jantung dalam dada Ci Hwa berdebar tegang dan juga gembira. Kalau hanya tiga orang, tentu saja tidak berat baginya untuk membunuh mereka, apalagi keadaan tiga orang itu kini nampak mengantuk. Malam telah amat larut, lewat tengah malam dan mereka bertiga kini tidak bercakap-cakap lagi, melainkan duduk melenggut.

Ci Hwa lalu memungut batu kerikil dan dilontarkan ke depan. Suara kerikil jatuh menggelinding di lantai ini cukup membuat seorang di antara tiga orang penjaga itu terkejut dan memandang dengan curiga. Lalu dia mencabut goloknya dan bangkit dari tempat duduk, lalu melangkah perlahan ke arah pilar yang agak gelap, di mana tadi dia mendengar suara kerikil jatuh.

Baru saja kakinya menginjak di sudut dinding, tiba-tiba nampak sinar berkelebat dan penjaga itu tersentak kaget, matanya terbelalak ketika sebatang pedang menempel jantungnya dan mulutnya tak sempat bersuara karena ada tangan mendekap mulutnya. Dia pun roboh tanpa mengeluarkan suara dan tubuhnya diseret Ci Hwa ke tempat gelap.

Kembali Ci Hwa melempar kerikil, lebih keras dari tadi. Kini, dua orang penjaga yang mengantuk itu terkejut dan bangkit, memandang ke kanan kiri, mencari kawan mereka dan keduanya lalu melangkah perlahan-lahan ke depan, mencari-cari. Tadi ketika kawan mereka bangkit dan memeriksa keadaan, mereka sudah terlalu mengantuk sehingga tidak memperhatikan.

Ci Hwa menanti mereka dengan hati tegang. Ia harus dapat sekaligus merobohkan kedua orang ini tanpa menimbulkan banyak kegaduhan, pikirnya, siap dengan pedangnya yang sudah bersih dari darah karena ia mengusapkannya ke tubuh korban pertamanya.

Ketika dua orang penjaga itu tepat tiba di sudut dinding, dua kali pedang di tangan Ci Hwa berkelebat, menyambar ke arah tenggorokan kedua orang itu. Hanya terdengar suara mengorok seperti babi disembelih ketika dua orang itu terkulai roboh mandi darah dan berkelojotan tanpa mengeluarkan teriakan karena tenggorokan mereka hampir putus!

Ci Hwa tidak membuang banyak waktu lagi. Ia meloncati mayat dua orang penjaga itu dan berlari memasuki lorong. Pertama-tama ia menghampiri pintu kamar di mana Gu Hong Beng ditahan.

Hong Beng sedang duduk bersila menghimpun tenaga. Dia tentu saja, seperti yang lain, tidak dapat tidur. Melalui ketukan pada dinding, dia sudah mengadakan hubungan dengan Kun Tek yang ditahan di kamar sebelah kirinya, bahkan mereka berdua dapat bicara sambil berbisik, mengerahkan khi-kang untuk dapat saling tangkap. Dari suara bisik-bisik ini, dia dan Kun Tek sudah sepakat untuk bersiap-siap menghimpun tenaga dan pada keesokan harinya atau kapan saja ada kesempatan, mereka akan menggunakan tenaga dan kekerasan untuk mengamuk. Dengan bisikan-bisikannya, Hong Beng dan Kun Tek berjanji masing-masing akan menghubungi Ci Hwa dan Li Sian.

Cu Kun Tek hendak menghubungi Li Sian yang berada di sebelah kamarnya, sedangkan Gu Hong Beng akan menghubungi Ci Hwa. Akan tetapi, setelah beberapa kali mencoba, Hong Beng tidak menerima jawaban dari Ci Hwa sehingga dia merasa gelisah sekali. Apalagi kalau dia teringat akan perjumpaan mereka pertama kali. Gadis itu hampir saja mati membunuh diri tanpa dia tahu akan sebabnya. Bagaimana kalau sekarang gadis itu mengulang kembali usahanya untuk membunuh diri dalam sel tahanannya karena putus asa? Kini takkan ada lagi yang dapat menghalanginya!

Akan tetapi, satu-satunya cara membunuh diri dalam sel itu, apalagi setelah mereka semua dilucuti senjatanya, hanyalah dengan jalan membenturkan kepala sampai pecah pada dinding kamar tahanan. Dan sejak tadi, dia memperhatikan dengan hati gelisah dan tidak pernah mendengar suara mengerikan dari pecahnya kepala terbentur pada dinding.

Akan tetapi kenapa gadis itu tidak menjawabnya? Sudah beberapa kali dia mengetuk-ngetuk dinding, juga melalui jeruji besi itu dia “mengirim” suaranya dengan kekuatan khi-kang ke dalam kamar tahanan Ci Hwa di sebelah, namun sia-sia belaka semua usahanya itu. Tidak pernah ada jawaban dari kamar sebelah, bahkan dia tldak mendengar ada gerakan.

Tadi memang dia tahu bahwa ada rombongan penjaga yang mendekati pintu kamar tahanan Ci Hwa, bahkan mereka bercakap-cakap, akan tetapi karena ada pula penjaga berdiri di depan pintu kamar tahanannya, dia pun tidak dapat mendekati dan mencoba untuk mendengarkan. Kemudian para penjaga itu pergi dan suasana menjadi sunyi dan sejak itu dia tidak dapat mendengar sesuatu dari kamar Ci Hwa.