Ads

Jumat, 19 Februari 2016

Kisah si Bangau Putih Jilid 028

Semenjak Siangkoan Liong membunuh dua orang anggauta Tiat-liong-pang yang hendak memperkosa Kwee Ci Hwa, para anggauta Tiat-liong-pang kini tidak berani lagi berbuat jahat dan sembarangan saja. Mereka semua maklum betapa kejam dan tanpa ampun adanya putera ketua mereka itu dan mereka kini patuh akan semua perintah atasan.

Siangkoan Lohan juga sudah mendengar akan hal itu dan dia sempat menegur puteranya mengapa membunuh dua orang anak buah sendiri.

“Ayah, apa yang akan dapat diharapkan dari anak buah yang suka berbuat sewenang-wenang tanpa menurut peraturan? Akhirnya mereka takkan dapat dikendalikan dan kalau sudah begitu, mungkin kelak mereka akan berani membalik dan melawan kita. Mengendalikan orang-orang itu harus dengan tangan besi. Mereka harus takut dan tunduk, taat sepenuhnya kepada kita, barulah kita dapat mempergunakan mereka dengan baik. Apalagi, bukankah kita mempunyai tujuan yang tinggi dan membutuhkan disiplin yang kuat? Kalau mereka tidak berdisiplin, tidak sangat taat seperti sepasukan tentara yang terkendali baik, bagaimana mungkin usaha kita akan berhasil?”

Siangkoan Liong yang biasanya pendiam itu kini bicara penuh semangat dan Siangkoan Lohan menjadi girang sekali.

Benar kata-kata Ouwyang Sianseng, pikirnya, puteranya ini memang ada bakat untuk menjadi kaisar! Sikapnya saja sudah nampak jelas. Maka, mulai hari itu, Siangkoan Lohan lalu mengadakan peraturan-peraturan yang membuat para anak buahnya tidak lagi berani berbuat sewenang-wenang tanpa perintah atasan.

Setiap hari mereka dilatih oleh Siangkoan Lohan sendiri, kadang-kadang dibantu oleh para sekutunya, yaitu Sin-kiam Mo-li, Toat-beng Kiam-ong Giam San Ek, bahkan kadang-kadang Siangkoan Lohan turun tangan sendiri memberi gemblengan sehingga pasukan Tiat-liong-pang yang kini ditambah jumlahnya itu terbentuk sebagai pasukan yang cukup kuat, dengan jumlah hampir tiga ratus orang!

Pada suatu hari, pasukan itu dilatih perang-perangan, dipimpin oleh Sin-kiam Mo-li dan Toat-beng Kiam-ong. Pasukan dibagi dua, dengan pakaian seragam yang berbeda pula, yang setengah dipimpin Sin-kiam Moli dan yang sebagian lagi dipimpin oleh Toat-beng Kiam-ong.

Pasukan yang dipimpin Toat-beng Kiam-ong bertugas untuk menyerbu Tiat-liong-pang sedangkan yang dipimpin oleh Sin-kiam Mo-li bertugas mempertahankan benteng perkumpulan itu.

Penjagaan dilakukan dengan ketat, bahkan sebelum tiba saatnya pasukan “musuh” datang menyerbu. Benteng Tiat-liong-pang dianggap sebagai beteng kota raja yang harus diserbu dan diduduki. Tentu saja ada disebar mata-mata dari pihak penyerbu untuk menyelidiki pertahanan benteng, juga dari pihak yang diserbu untuk mengetahui gerak-gerik musuh. Sampai malam pun masih dilakukan penjagaan ketat, dan pasukan penyerbu yang dipimpin Toat-beng Kiam-ong belum juga melakukan penyerbuan.

Latihan itu dilakukan secara besar-besaran. Diam-diam Siangkoan Lohan telah memerintahkan kepada Toat-beng Kiam-ong sebagai penyerbu untuk berhubungan dengan Cia Tai-ciangkun, komandan pasukan pemerintah di perbatasan utara yang juga sudah bersekutu dengan mereka, demikian pula menghubungi Agakai dan dari dua orang sekutu itu, diterima bantuan pasukan yang akan menyergap Tiat-liong-pang dari berbagai jurusan!

Siangkoan Lohan dan puteranya, Siangkoan Liong sendiri merencanakan bagaimana sebaiknya kelak kalau mereka sudah menyerbu kota raja, untuk menyusupkan dan menyelundupkan kawan-kawan yang berkepandaian tinggi, dari golongan hitam, dari Pek-lian-pai dan Pat-kwapai, ke dalam benteng kota raja dan dapat melakukan pengacauan dan bantuan dari dalam.

Pagi harinya nampak sunyi di sekitar bukit di luar kota San-cia-kou yang menjadi benteng Tiat-liong-pang itu. Seolah-olah tidak ada sesuatu yang terjadi. Padahal, mata-mata dari kedua pihak sudah berkeliaran, bersembunyi di balik pohon-pohon dan semak-semak belukar.

Tiba-tiba muncul seorang gadis dari kaki bukit. Ketika gadis itu tadi melewati Sang-cia-kou dan bertanya tentang letak Tiat-liong-pang, jejaknya sudah selalu diikuti orang dari jauh. Namun, gadis itu acuh saja walaupun ia tahu bahwa ada beberapa orang selalu mengamati dan membayanginya.

Ketika dahulu ia berkunjung ke Tiat-liong-pang bersama ayahnya, mereka naik kereta dan tentu saja ia sudah lupa akan jalannya, apalagi hal itu sudah terjadi sangat lama, di waktu ia masih kecil. Dengan langkah santai ia mendaki bukit. Seorang gadis yang amat menarik perhatian orang, apalagi melakukan perjalanan seorang diri di tempat sunyi itu.

Ketika ia sudah tiba di lereng, tentu saja kehadirannya segera menimbulkan kecurigaan para mata-mata yang bertugas mempertahankan benteng Tiat-liongpang. Seorang gadis cantik dan sikapnya halus, gerak-geriknya pun halus, naik seorang diri ke bukit ini! Tentu mata-mata musuh! Akan tetapi kalau mata-mata musuh, mengapa naik ke bukit secara terang-terangan begitu saja, mudah dilihat dari manapun juga?

Tiba-tiba muncullah lima orang anggauta pasukan Tiat-liong-pang yang bertugas jaga di lereng itu. Kalau pasukan penyerbu mengenakan seragam kuning, pasukan yang bertahan ini mengenakan seragam biru, hampir sama dengan seragam pasukan pemerintah karena memang Tiat-liong-pang pada waktu itu dianggap sebagai benteng kota raja yang hendak diserbu. Lima orang pasukan itu muncul dan mengepung gadis itu sambil menodongkan tombak mereka, sikap mereka galak.

“Berhenti!” bentak kepala pasukan yang berkumis jarang itu, “Siapa engkau dan menyerahlah, engkau tentu mata-mata musuh!”

Gadis itu bukan lain adalah Pouw Li Sian. Seperti telah kita ketahui, gadis ini baru saja datang dari kota raja di mana ia menyelidiki keadaan keluarganya. Dengan hati berduka ia memperoleh berita bahwa selain ayah ibunya, juga semua keluarganya, kakak-kakaknya telah ditawan dan tewas, kecuali seorang kakaknya yang sulung, bernama Pouw Ciang Hin, yang kabarnya diampuni, bahkan kini menjadi seorang perwira yang bertugas di perbatasan utara.

Karena Pouw Ciang Hin kini merupakan satu-satunya anggauta keluarganya, maka dengan nekat ia pun menyusul ke utara. Ia teringat akan Siangkoan Tek atau Siangkoan Lohan, ketua dari Tiat-liong-pang yang pernah menjadi sahabat baik ayahnya.

Ayahnya dahulu seorang Menteri Pendapatan, sedangkan Siangkoan Lohan amat berjasa terhadap pemerintah sehingga mendapat kekuasaan dan dikenal semua pembesar tinggi. Pernah ia diajak ayahnya berkunjung ke Tiat-liong-pang dan karena ia tahu betapa sulitnya mencari seorang perwira di antara pasukan yang berjaga di tapal batas utara, maka ia ingin minta bantuan ketua Tiat-liong-pang agar dapat diselidiki, di mana kakaknya itu ditugaskan.






Kini, tiba-tiba saja ia ditodong tombak, oleh lima orang perajurit! Ia tidak merasa gentar, bahkan dengan wajahnya yang manis itu berseri gembira, ia balas bertanya,

“Apakah kalian ini perajurit kerajaan yang berjaga di tapal batas utara?”

Lima orang perajurit itu saling pandang. Mereka jelas anak buah Tiat-liong-pang, akan tetapi pada saat itu mereka bertugas sebagai pasukan yang harus mempertahankan benteng “kota raja”, oleh karena itu, ketika ditanya apakah mereka perajurit kerajaan, mereka menjadi bingung.

“Kalau benar kami perajurit kerajaan, lalu engkau mau apa, Nona?”

Lima orang perajurit itu memandang kagum. Mereka adalah orang-orang kasar yang biasanya bersikap kasar dan kurang ajar terhadap wanita, apalagi secantik ini, akan tetapi semenjak ada dua orang kawan mereka dibunuh oleh Siangkoan Kongcu karena mengganggu wanita, mereka kini harus menahan diri dan tidak berani mengulangi perbuatan itu.

Dengan wajah tetap gembira penuh harap, Pouw Li Sian berkata,
“Aku bernama Pouw Li Sian dan aku datang ke sini untuk mencari kakak sulungku yang bernama Pouw Ciang Hin. Dia menjadi seorang perwira kerajaan yang bertugas di tapal batas utara.“

Mendengar bahwa gadis ini adik seorang perwira kerajaan, berarti musuh, tentu saja berubah sikap lima orang itu.

Tombak-tombak itu dipegang semakin erat dan pemimpin mereka membentak,
“Kalau begitu, menyerahlah engkau, karena engkau harus menjadi tawanan kami dan akan kami hadapkan kepada pimpinan kami!”

Li Sian adalah seorang gadis yang berwatak halus. Biarpun ia telah menjadi murid seorang sakti seperti Bu Beng Lokai dan kini telah memiliki ilmu kepandaian tinggi, namun ia tetap berwatak halus, bahkan belum pernah ia berkelahi mempergunakan ilmu kepandaiannya. Sikapnya jauh berbeda dengan Suma Lian yang menjadi sucinya. Suma Lian galak, keras dan pemberani di samping lincah jenaka.

Akan tetapi Li Sian pendiam dan penyabar. Ia tahu bahwa berurusan dengan lima orang perajurit biasa ini tidak ada gunanya, bahkan hanya akan menimbulkan keributan saja, maka ia pun mengangguk dan senyumnya masih melekat di bibir.

“Baiklah, aku tidak akan melawan, dan bawalah aku kepada pemimpin kalian agar aku dapat bicara dengan dia.”

Lima orang itu dengan masih menodongkan tombak mereka, memberi isyarat agar Li Sian berjalan memasuki hutan. Hemmm, pikir mereka. Kalau saja mereka tidak takut kepada Siangkoan Lohan apalagi Siangkoan Kongcu, tentu gadis yang cantik ini sudah menjadi korban mereka. Takkan ada orang yang tahu!

Tak lama kemudian, di dalam hutan yang menjadi markas besar sementara dari Sin-kiam Mo-li yang bertugas sebagai komandan yang mempertahankan benteng, Li Sian digiring masuk ke dalam sebuah pondok besar di mana duduk Sin-kiam Mo-li dan beberapa orang pembantunya yang menjadi perwira-perwira dalam pasukan mereka.

Jumlah para perwira itu ada lima orang dan mereka sedang merundingkan siasat pertahanan menggunakan sebuah peta yang mereka bentangkan di atas meja. Melihat masuknya lima orang perajurit yang menggiring seorang gadis cantik, Sin-kiam Mo-li mengangkat muka dan mengerutkan alisnya.

Lima orang perajurit itu memberi hormat dan pimpinan mereka lalu melapor kepada Sin-kiam Mo-li dengan sikap seperti seorang perajurit melapor kepada atasannya.

“Li-ciangkun (Panglima Wanita), kami berlima telah menangkap seorang wanita yang kami curigai sebagai mata-mata, dan menurut pengakuannya ia bernama Pouw Li Sian yang hendak mencari kakaknya yang katanya menjadi seorang perwira kerajaan yang bertugas di perbatasan.”

Kerut di antara alis mata Sin-kiam Mo-li makin dalam dan sinar matanya membayangkan kemarahan, Hemmm, tentu ini seorang mata-mata yang dilepas oleh Toat-beng Kiam-ong, pikirnya. Dan laki-laki macam Toat-beng Kiam-ong mana mau melepaskan seorang gadis secantik ini? Tentu gadis ini seorang di antara kekasihnya, pikirnya dengan hati penuh cemburu.

Memang, sejak ia berkasih-kasihan dengan Toat-beng Kiam-ong, di antara keduanya terdapat rasa cemburu besar karena keduanya saling menemukan pasangan yang cocok sekali. Tentu saja Toat-beng Kiam-ong juga membatasi rasa cemburunya sehingga biarpun dia tahu bahwa Sin-kiam Mo-li juga bermain cinta dengan Siangkoan Liong, dia tidak berani mencampuri.

“Tinggalkan ia di sini dan kalian boleh ke luar lagi, berjaga yang hati-hati dan jangan ijinkan siapa pun juga masuk!” perintah Sin-kiam Mo-li kepada lima orang itu yang cepat memberi hormat dan keluar lagi.

Kini Pouw Li Sian yang masih tegak itu beradu pandang dengan Sin-kiam Mo-li. Ia tidak memperhatikan lima orang laki-laki berpakaian perwira yang juga duduk di situ memandangnya, karena ia tahu bahwa agaknya pimpinan di sini adalah wanita cantik itu.

Diam-diam Li Sian merasa heran dan juga kagum melihat Sin-kiam Mo-li, wanita yang sudah setengah tua akan tetapi nampak cantik lemah lembut akan tetapi juga gagah perkasa dan memiliki wibawa besar itu. Teringatlah ia akan cerita gurunya, mendiang Bu Beng Lokai, yang pernah menceritakan tentang isteri gurunya itu. Isteri gurunya juga seorang panglima wanita yang amat terkenal, bernama Panglima Milana, yang kabarnya memimpin laksaan pasukan menundukkan pemberontakan di mana-mana. Juga ibu dari isteri gurunya itu bernama Puteri Nirahai, isteri Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, pernah menjadi seorang panglima wanita yang gagah perkasa. Seperti inikah mereka itu?

Karena membayangkan isteri dan ibu mertua gurunya, Li Sian cepat melangkah maju dan memberi hormat kepada Sin-kiam Mo-li.

“Harap Ciangkun suka memaafkan kalau kedatangan saya ini merupakan gangguan. Sesungguhnya, seperti dilaporkan oleh para perajurit tadi, saya datang untuk mencari kakak kandung saya, kakak sulung yang bernama Pouw Ciang Hin yang kabarnya menjadi seorang perwira pasukan kerajaan yang bertugas di perbatasan utara. Semenjak berusia dua belas tahun saya berpisah darinya dan sekarang saya mencarinya.”

Sin-kiam Mo-li masih memandang dengan sikap tidak senang karena ia masih curiga.
“Kalau mencari kakakmu, kenapa di sini? Apakah di sini tempat pasukan kerajaan bertugas? Tahukah engkau tempat ini, bukit ini?” tanya Sinkiam Mo-li.

Biarpun pertanyaan itu diajukan dengan kaku, namun Li Sian tidak menjadi marah. Dianggapnya bahwa memang harus tegas seperti itulah sikap seorang panglima perang!

“Maaf, Ciangkun Saya tahu bahwa bukit ini adalah tempat pusat perkumpulan Tiat-liong-pang. Saya memang hendak mencari ketua Tiat-liong-pang untuk bertanya barangkali dia dapat membantu saya memberi tahu di mana adanya kakak saya itu.”

Sin-kiam Mo-li menjadi semakin curiga. Tak salah lagi, tentulah seorang mata-mata yang dikirim oleh Toat-beng Kiam-ong, dan wanita secantik ini siapa lagi kalau bukan seorang di antara kekasih laki-laki mata keranjang itu?

“Jangan berbohong!” bentaknya. “Engkau tentu mata-mata yang dikirim Toat-beng Kiam-ong! Mengakulah saja!”

Li Sian terkejut, dan cepat ia menggeleng kepala.
“Saya bukan mata-mata dan tidak mengenal siapa itu Toat-beng Kiam-ong. Saya datang untuk mencari kakak saya dan bertanya kepada ketua Tiat-liong-pang!”

Sin-kiam Mo-li tersenyum.
“Mana ada mata-mata mau mengaku? Kalau mengaku bukan mata-mata yang baik dan melihat engkau berani memasuki wilayah ini seorang diri, tentu engkau memiliki ilmu kepandaian yang lumayan. Nah, engkau menyerahlah, kami tangkap untuk menjadi tawanan perang!”

Tentu saja Li Sian menjadi semakin kaget dan mulailah ia merasa curiga dan penasaran. Jangan-jangan ia masih dianggap musuh oleh pasukan pemerintah, sebagai keturunan keluarga Pouw! Akan tettapi, mengapa kakaknya sudah diampuni bahkan di jadikan perwira?

“Ciangkun, kalau tadi saya ikut lima orang perajurit itu menghadap ke sini adalah karena saya yakin akan dapat bicara lebih baik dengan pimpinan pasukan. Akan tetapi saya datang bukan untuk menyerahkan diri ditangkap begitu saja tanpa bersalah!”

Sin-kiam Mo-li bangkit dan matanya memancarkan sinar mencorong.
“Apa? Engkau seorang mata-mata biasa berani membantah? Tentu engkau mata-mata istimewa dari Toat-beng Kiam-ong maka berani menentang aku. A Sam, tangkap wanita ini!” perintahnya kepada seorang di antara lima perwira yang duduk di situ.

Yang dipanggil A Sam ini seorang laki-laki berusia empat puluh tahun yang tubuhnya gendut seperti babi dikebiri. Perutnya besar dan kepalanya kecil, akan tetapi ketika dia meloncat dari tempat duduknya, dia memiliki kegesitan sehingga mudah diduga bahwa tubuh yang gembrot ini memiliki ketangkasan seorang ahli silat. Dia tersenyum senang, membayangkan bahwa setidaknya dia akan dapat merangkul dan mendekap tubuh gadis cantik manis di depannya itu!

“Baik, Li-ciangkun!” katanya dan dia pun menubruk ke depan, agaknya dengan kedua lengannya yang panjang dan besar itu, dia hendak sekali tubruk sudah dapat menempelkan mukanya pada muka yang cantik itu!

“Hemmm....!”

Li Sian berseru lirih dengan hati penuh penasaran, sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa ia akan mendapatkan sambutan seperti itu! Tentu saja baginya, gerakan A Sam itu terlalu lambat dan dengan teramat mudahnya, sekali menggeser kaki, tubrukan A Sam itu mengenai angin kosong saja dan begitu Li Sian menggerakkan kaki menotok pinggiran lutut, tanpa dapat dicegah lagi, tubuh yang perutnya membengkak itu terjerumus ke depan, ketika terbanting ke atas lantai, perutnya yang lebih dulu menghantam lantai mengeluarkan bunyi “ngekkk!” dan orang itu pun terengah-engah sukar bernapas!

Melihat ini, Sin-kiam Mo-li mengerutkan alisnya, tak senang hatinya dan diam-diam ia memaki pembantu yang tidak becus itu. Juga ia tahu bahwa gadis ini memiliki kepandaian yang lebih tinggi daripada yang diduganya. Akan tetapi tentu saja ia masih memandang rendah.

Seorang mata-mata dari Toat-beng Kiam-ong, sepandai-pandainya, tentu masih jauh kalau dibandingkan dengan tingkatnya, merasa malu kalau harus turun tangan sendiri menandingi seorang mata-mata!

Memang dalam latihan perang-perangan ini, tidak boleh saling membunuh atau melukai dengan berat tentu saja karena mereka semua adalah satu golongan. Bahkan sudah direncanakan bahwa kalau sampai terjadi pertempuran, semua senjata harus dibuang dan hanya mempergunakan kaki tangan saja, ini pun dengan larangan keras saling membunuh atau melukai dengan parah.

Dan melihat betapa gadis itu tadi hanya menotok tepi lutut A Sam dengan ujung sepatunya, yang hanya mengakibatkan A Sam jatuh tertelungkup, ia lebih yakin bahwa tentu gadis ini mata-mata yang sudah tahu pula akan peraturan itu sehingga tidak sampai melukai A Sam.

“Tangkap gadis ini!” bentaknya kepada empat orang perwira yang lain.

Empat orang itu pun penasaran melihat betapa kawan mereka, dalam segebrakan saja sudah roboh oleh gadis cantik itu. Mendengar perintah ini, mereka berempat lalu bangkit dan mengurung Li Sian dari empat penjuru. Pondok itu cukup besar dan karena kosong dan hanya ada meja kursi yang mereka duduki tadi, tempat itu cukup luas untuk suatu perkelahian walau dikeroyok empat sekalipun.

Li Sian tidak merasa gentar, hanya menyayangkan bahwa penyelidikannya harus bertumbuk pada halangan perkelahian seperti ini.

“Ciangkun, aku datang bukan untuk berkelahi!” katanya, kini suaranya agak marah, “Aku datang mencari kakakku. Kalau kalian tahu, beritahulah, kalau tidak, tidak mengapa, aku akan pergi lagi dari sini!”

“Engkau harus menyerah, Nona. Itu peraturannya. Menyerah atau kalau dapat mengalahkan kami dan dapat meloloskan diri, cobalah!”

Kata empat orang perwira itu yang sudah mengurungnya dan kini mereka berempat sudah menerjang maju sambil mengulur tangan hendak menangkap gadis yang cantik manis itu, ada yang mencoba untuk menangkap lengannya, pundaknya, pinggangnya, bahkan ada yang langsung merangkulnya.

Karena gerakan mereka itu datang dari empat penjuru, agaknya tidak ada jalan keluar lagi bagi Li Sian, demikian pendapat empat orang perwira atau sebenarnya merupakan murid-murid atau anggauta Tiat-liong-pang yang tingkatnya sudah agak tinggi itu.

Akan tetapi, betapa heran dan kaget hati mereka ketika tiba-tiba saja gadis itu lenyap berkelebat ke atas dan mereka hanya dapat saling menangkap lengan masing-masing! Mereka kebingungan, akan tetapi Sin-kiam Mo-li dapat melihat dengan jelas betapa gadis cantik itu tadi ketika ditubruk dari empat penjuru, telah meloncat dengan gerakan seperti seekor burung walet cepatnya, sehingga luput dari tubrukan itu dan tubuhnya sudah melayang keluar dari pintu pondok. Ia terkejut dan sekali melompat ia pun sudah meluncur keluar pondok dan menghadang di depan gadis itu.

“Berhenti!” bentaknya.

Lima orang perwira itu kini berlarian keluar dan mereka memandang kepada Li Sian penuh kagum. Baru kini mereka mengerti bahwa Li Sian bukanlah seorang gadis biasa, melainkan seorang gadis yang memiliki ilmu kepandaian tinggi!

Sin-kiam Mo-li kini berhadapan dengan Li Sian. Gadis ini mengerutkan alisnya, merasa semakin tidak senang. Kenapa ia dianggap musuh dan hendak ditangkap, pikirnya penuh dengan perasaan yang penasaran.

“Hemmm, Ciangkun, apa kesalahanku maka engkau agaknya hendak memaksa dan menangkap aku?” tanyanya, kini sepasang matanya yang biasanya bersinar halus penuh kesabaran itu mencorong.

Melihat sinar mata ini, Sin-kiam Moli juga terkejut dan tahulah ia bahwa gadis ini benar-benar hebat, seorang yang berilmu tinggi, hal yang sama sekali tidak pernah diduganya. Apakah kekasih Toat-beng Kiam-ong? Agaknya bukan, pikirnya dan biarpun ia tidak merasa cemburu lagi, namun ia merasa penasaran.

Alangkah akan malunya kalau tersiar kemudian bahwa ia, sebagai komandan pasukan yang mempertahankan benteng, tidak mampu menahan seorang wanita asing yang kesalahan masuk ke tempat itu! Kemudian ia teringat akan sesuatu! Ketika dirayakan ulang tahun Siangkoan Lohan, terjadi keributan di tempat ini dan belasan orang tamu, yaitu para pendekar yang tidak sudi menggabungkan diri, telah dibunuh. Jangan-jangan gadis ini mempunyai seorang kakak yang ikut pula terbunuh di waktu itu dan kini ia datang untuk mencari dan menyelidiki!

“Bocah yang tak tahu diri!” bentak Sin-kiam Mo-li sambil menuding dengan telunjuknya ke arah wajah Li Sian. “Engkau seorang asing berani datang ke wilayah kami tanpa ijin, dan kami masih menerimamu dengan baik-baik dan hanya akan menahanmu menanti sampai para pimpinan berkumpul untuk menentukan keputusan atas dirimu, dan engkau berani memamerkan kepandaian di depanku?”

Wajah Li Sian berubah merah. Baru kini ia melihat bahwa wanita cantik ini sama sekali tidak mengagumkan sikapnya, walaupun ia menjadi seorang panglima wanita. Isteri gurunya tentu tidak seperti ini sikapnya, tinggi hati dan memandang rendah orang lain.

“Ciangkun, aku datang bukan untuk berkelahi, aku datang dengan baik-baik akan tetapi disambut dengan kekerasan. Sudah menjadi hak setiap orang untuk membela diri. Aku sudah banyak mengalah dan hendak pergi saja, kenapa engkau masih juga berkeras hendak menghalangi aku?”

Sin-kiam Mo-li tersenyum mengejek. Memang cantik sekali kalau ia tersenyum, akan tetapi kecantikan yang membayangkan kekejaman.

“Engkau masih muda sudah lihai mulutmu dan ilmumu, coba aku ingin melihat apakah engkau akan mampu melawan aku.”

Setelah berkata demikian, tanpa menanti jawaban Li Sian, Sin-kiam Mo-li sudah menyerang gadis itu dengan cepat dan ganas sekali. Sin-kiam Mo-li adalah seorang datuk sesat yang sudah tinggi ilmu silatnya, amat lihai. Banyak ilmu silat kaum sesat ia kuasai, akan tetapi selain kebutan gagang emas dan pedang yang keduanya beracun, ia pun memiliki ilmu silat tangan kosong yang ampuh karena kedua tangannya berubah kehitaman dan terutama sekali ujung kuku jari-jari tangannya berubah hitam sekali dan mengandung racun jahat.

Sekali tergores kuku saja sudah cukup membuat kulit yang terluka menjadi bengkak, apalagi kalau sampai terkena tamparan tangan yang penuh mengandung hawa beracun itu. Ilmunya ini diberi nama Hek-tok-ciang dan kini, begitu maju menyerang, ia sudah mengerahkan Hek-tok-ciang!

Li Sian memang belum berpengalaman dalam hal perkelahian. Namun, gadis ini sejak berusia dua belas tahun telah digembleng dengan hebat dan tekun oleh seorang sakti dan mewarisi ilmu-ilmu silat yang hebat-hebat selain juga telah berhasil menghimpun tenaga sin-kang yang tinggi seperti Hui-yang Sin-kang dan Swat-im Sin-kang dari keluarga Pulau Es, juga tenaga Inti Bumi yang luar biasa kuatnya.

Pula, ia sudah banyak mendengar nasihat kakek Gak Bun Beng tentang jahatnya ilmu-ilmu yang dikuasai para datuk sesat, maka kini melihat betapa kedua tangan wanita itu berubah kehitaman, ia pun dapat menduga bahwa ia berhadapan dengan lawan dari golongan hitam yang memiliki ilmu pukulan sesat dan curang. Ia pun berlaku hati-hati dan cepat menggeser kakinya untuk mengelak, tidak berani sembarangan menangkis.

Sin-kiam Mo-li merasa penasaran sekali ketika serangannya yang dilakukan dengan cepat dan kuat itu dengan amat mudahnya dielakkan oleh gadis muda itu. Ia mengeluarkan suara melengking dan kini tubuhnya bergerak cepat sekali, menghujankan serangan secara bertubi-tubi dan setiap serangan mengarah bagian yang berbahaya dari tubuh lawan.

Diam-diam Li Sian menjadi marah sekali. Tak disangkanya bahwa wanita cantik ini, yang semula disangkanya gagah perkasa seperti mendiang isteri gurunya, ternyata hanya seorang wanita yang berhati kejam dan serangannya itu ganas sekali, juga jelas menunjukkan gejala bahwa wanita ini adalah dari golongan sesat! Maka, ia pun cepat memainkan Ilmu Silat Lo-thian Sin-kun yang sudah dilatihnya dengan baik.

Ilmu Silat Lothian Sin-kun (Silat Sakti Pengacau Langit) adalah ilmu silat yang memiliki kecepatan, juga didukung tenaga Inti Bumi, maka kini ia berani untuk menangkal dan balas menyerang. Ketika sebuah cengkeraman kuku dan tangan menghitam itu menyambar ke arah dadanya, Li Sian menangkisnya dengan memutar lengannya dari samping.

“Dukkk!”

Keduanya tergetar dan melangkah mundur. Sin-kiam Mo-li terkejut bukan main. Tak disangkanya bahwa gadis itu sedemikian lihai dan kuatnya sehingga mampu menangkis serangan pukulan Hek-tok-ciang, bahkan membuat lengannya tergetar hebat!

Ia menyerang lagi, namun kini Li Sian bukan hanya menjaga diri, melainkan juga membalas dengan tamparan dan totokan dari ilmu silat Lo-thian Sin-kun, karena ia pun maklum akan kelihaian lawan sehingga kalau saja ia hanya membiarkan diri diserang terus dan hanya bertahan, besar kemungkinan ia akan celaka dan terkena tangan hitam yang jahat itu.

Serang-menyerang terjadi dengan hebatnya sampai dua puluh jurus lebih, dan hal ini dianggap keterlaluan oleh Sin-kiam Mo-li. Menghadapi seorang gadis muda, sampai dua puluh jurus Hek-tok-ciang kedua tangannya tidak mampu merobohkannya, jangankan merobohkan, baru mendesak pun tidak mampu. Padahal di situ telah berkumpul belasan orang perwira atau anggauta Tiat-liong-pang yang sudah tinggi tingkatnya menjadi saksi.

Sin-kiam Mo-li yang selalu membanggakan kepandaiannya itu merasa malu sekali dan kemarahannya pun berkobar. Kalau tadi ia hanya menggertak dan hendak membuat gadis itu menyerahkan diri, maka kini timbul niatnya untuk merobohkan, kalau perlu membunuh gadis muda yang dianggapnya telah membuat malu ini.

“Keparat, engkau tidak boleh dikasih hati!” bentaknya dan tiba-tiba saja kedua tangannya sudah mengeluarkan sepasang senjatanya yang ampuh.

Tangan kiri sudah memegang sebuah kebutan berbulu merah bergagang emas, dan tangan kanannya memegang sebatang pedang. Inilah sepasang senjatanya yang amat ampuh, dan selain ia ahli bersilat pedang sehingga mendapat julukan Sin-kiam Mo-li (Iblis Betina Pedang Sakti), juga kebutannya itu tidak kalah berbahaya daripada pedangnya karena bulu-bulu kebutan berwarna merah itu mengandung racun yang jahat.

Setelah membentak demikian, tanpa malu-malu lagi melihat bahwa gadis muda yang diserangnya itu bertangan kosong, Sin-kiam Mo-li sudah menggerakkan kedua senjatanya, menyerang dengan dahsyatnya.

Melihat ini, Li Sian terkejut. Namun, gadis ini memang memiliki ketenangan luar biasa dan ia pun tahu apa yang harus dilakukannya. Cepat ia memainkan Ilmu San-po Cin-keng, yaitu ilmu langkah ajaib dan bersilat dengan Kong-jiu Jip-tin (Dengan Tangan Kosong Memasuki Barisan).

Langkah-langkah atau geseran-geseran kedua kakinya dengan indah dan lembutnya membuat tubuhnya berkelebatan seperti bayangan yang sukar diserang! Biarpun pedang dan kebutan itu mengepung dan menyambarnya dari semua jurusan, namun Li Sian tetap saja dapat menghindarkan diri dengan langkah ajaibnya!

Namun, melihat kehebatan lawan, kalau hanya terus mengelak pun ia masih terancam bahaya, maka kedua tangannya tidak tinggal diam, kadang-kadang ia pun melayangkan tamparan yang mengandung Hui-yang Sin-kang di tangan kanan dan Swat-im Sin-kang di tangan kiri.

Kembali Sin-kiam Mo-li terkejut bukan main. Sambaran tangan kanan yang mengandung hawa panas dan tangan kiri mengandung hawa dingin itu amat mengejutkannya.

“Bocah setan! Apakah engkau murid Pulau Es?” bentaknya tanpa mengurangi serangannya, kebutannya membabat ke arah muka sedangkan pedangnya menusuk dada.