Ads

Jumat, 19 Februari 2016

Kisah si Bangau Putih Jilid 026

Dalam keadaan menghadapi maut inilah nenek Teng Siang In mengikat janji agar Hong Beng kelak memperisteri Suma Lian! Karena dia menghadapi pesan seorang nenek yang menjelang mati, terpaksa Hong Beng menyanggupi. Hal ini amat mengganggu hatinya dan akhirnya, melalui gurunya, Suma Ciang Bun yang masih saudara sepupu Suma Ceng Liong, disampaikanlah pesan itu.

Suma Ceng Liong dan isterinya, Kam Bi Eng menyerahkan keputusan itu kepada yang bersangkutan kelak, yaitu puteri mereka kalau sudah dewasa. Semua ini diceritakan dalam kisah Suling Naga !

Hong Beng sudah hampir melupakan semua itu. Melupakan wanita yang pernah dicintanya, yang kini telah menjadi isteri orang lain, dan juga dia berusaha melupakan janjinya kepada mendiang nenek Teng Siang In. Dia hanyalah seorang pemuda miskin, tidak punya apa-apa, keturunan tukang kayu, bahkan tidak lagi memiliki ayah bunda.

Bagaimana mungkin dia berjodoh dengan puteri seorang pendekar seperti Suma Ceng Liong? Suma Lian adalah cucu Pendekar Super Sakti Pulau Es! Dan dia hanyalah cucu murid saja! Pula dia belum pernah bertemu lagi dengan Suma Lian selama bertahun-tahun ini. Yang pernah ditemuinya adalah suma Lian yang baru berusia tiga belas tahun.

Bagaimana dia dapat menentukan jodohnya dengan gadis itu? Andaikata dia mau, bagaimana dengan gadis itu? Dia pun sama sekali tidak pernah memikirkan soal jodoh, sampai kini berusia dua puluh enam tahun!

Gu Hong Beng meninggalkan gurunya yang kini menjadi seorang pertapa. Sudah dua tahun dia meninggalkan gurunya, Suma Ciang Bun yang kini lebih suka bersembunyi dalam sebuah gubuk kecil di lereng Pegunungan Tapa-san, tak jauh dari situ di antara sumber air Sungai Han-sui di Propinsi Shen-si.

Kalau orang mengenal Gu Hong Beng beberapa tahun yang lalu, kini dia akan terheran melihat Hong Beng telah menjadi seorang pemuda yang matang, tenang dan sabar, berpikiran luas dan mendalam, tidak lagi seperti dulu di mana dia mudah tersinggung dan amat pencemburu! Tubuhnya agak kurus, namun sepasang matanya memancarkan kelembutan seorang yang berjiwa besar.

Ketika Ci Hwa menangis di dadanya, diam-diam keharuan menyelinap di dalam hati Hong Beng. Keharuan dan kelegaan. Gadis ini tertolong, pikirnya, tertolong secara batiniah karena telah mampu melepaskan semua duka yang menghimpit kalbu. Dan dia terharu karena pernah dia sendiri merasakan hal seperti yang dirasakan gadis itu. Kosong, berduka, merana, kecewa dan kesepian, di mana sudah tidak ada seorang pun di dunia ini yang dapat diharapkan, ditengok, merasa seperti sepotong batang pohon kering di tengah gurun yang kering. Dia mendekap kepala itu dan mengelus rambutnya, merasa seperti mendapatkan sesuatu, merasa berguna karena dia sudah dapat menjadi tempat seorang menumpahkan kesedihannya.

“Menangislah.... menangislah sampai terkuras habis semua kedukaan itu.“ bisiknya, lebih ditujukan kepada hatinya sendiri daripada gadis yang tidak dikenalnya itu.

Duka selalu timbul dari iba diri. Tanpa adanya pikiran yang mengenangkan keadaan dirinya sendiri yang dianggap sengsara, tidak akan timbul rasa iba diri dan takkan timbul duka. Iba diri adalah pembengkakan daripada gambaran si aku, dan si aku ini memang selalu ingin meraih yang menyenangkan dan menghindarkan yang tidak menyenangkan.

Selain iba diri, si aku ini pun menjadi sumber dari segala iri hati, cemburu, kemarahan, kebencian dan selanjutnya. Si aku memang diperlukan untuk kehidupan lahiriah, di mana diatur ketentuan dan norma kehidupan bermasyarakat, ada punyaku dan punyamu, hakku dan hakmu, akan tetapi seyogianya cukup sampai di situ saja. Lahiriah!

Kalau sampai menyusup ke dalam, menjadi batiniah, maka si aku selalu mengadakan ikatan-ikatan sebanyaknya. Dan ikatan inilah yang menimbulkan iba diri, menimbulkan duka. Senang kalau mendapatkan, dan susah kalau kehilangan. Senang kalau diuntungkan, dan susah kalau dirugikan, demikian seterusnya.

Dapatkah kita hidup tanpa bayangan si aku secara batiniah? Dapatkah batin ini bebas daripada kemilikan? Lahiriah mempunyai namun batin tidak memiliki? Mungkinkah itu? Takkan terjawab melalui teori dan pendapat yang masih bersumber daripada akal si aku, yaitu pikiran yang selalu mempertimbangkan rugi untung. Jawabannya hanya terdapat dalam penghayatan, penelitian, dan pengamatan secara waspada, mawas diri lahir batin tanpa pendapat.

Ci Hwa menemukan hiburan bagi kesedihannya yang tadi hampir tak tertahankan lagi. Hidup bukan hanya urusan hilang atau tidaknya keperawanan! Hidup ini masih panjang, dan beraneka ragam isinya! Orang ini, benar! Tidak ada kesulitan yang tak dapat diatasi. Ia memang sudah diperkosa orang, sudah tidak perawan lagi, akan tetapi apakah hal itu harus berarti bahwa ia tidak penting lagi hidup, tidak berhak lagi untuk hidup dan menikmati hidup ini? Betapa bodohnya.

Enak saja kalau ia mati tanpa hukuman bagi orang yang menjadikan ia begini! Enak, terlalu enak bagi Siangkoan Liong! Tidak, ia bahkan harus hidup, dan satu di antara tujuan hidupnya adalah membalas penghinaan ini kepada Siangkoan Liong!






Air matanya sudah habis. Tangisnya pun terhenti dan ia pun sadar bahwa secara tidak pantas ia telah bersandar di dada orang sekian lamanya, sampai baju biru itu basah kuyup oleh air matanya. Ci Hwa menarik kepalanya ke belakang, melepaskan dirinya dan mundur tiga langkah, lalu mengangkat muka memandang.

Mukanya pucat sekali, pipinya masih basah, akan tetapi matanya yang membendul merah itu tidak menitikkan air mata lagi. Sinar matanya memandang penuh selidik dan karena Hong Beng juga memandang kepadanya, mereka saling pandang dan barulah tampak oleh Ci Hwa bahwa wajah pemuda di depannya ini sama sekali berbeda dengan wajah Siangkoan Liong. Bukan hanya bentuknya yang berbeda, namun bayangan yang terkandung dalam pandang mata itu, senyum itu sama sekali berbeda.

Pandang mata dan senyum Siangkoan Liong penuh daya tarik memabukkan, kelembutannya seperti besi berani yang dingin dan membetot. Akan tetapi kelembutan pada wajah pemuda ini seperti kelembutan langit biru. Dan ia pun merasa malu kepada diri sendiri.

“Maafkan aku.... sekali lagi maafkan aku. Aku tadi telah gila barangkali. Engkau benar, aku telah gila dan aku hanya menuruti dorongan hati saja. Maafkan aku.” katanya.

Hong Beng tersenyum.
“Namaku Gu Hong Beng, seorang perantau yang tidak tentu tempat tinggalku. Boleh aku mengetahui namamu?”

“Namaku Kwee Ci Hwa, aku datang dari Ban-goan.”

Jawabannya yang singkat membuat Hong Beng maklum bahwa gadis ini tentu ingin menyembunyikan persoalan dirinya, maka dia pun tidak mendesak.

“Aku tidak ingin minta kepadamu untuk menceritakan segala urusanmu, nona Kwee akan tetapi....“

“Nanti dulu, kalau aku tidak salah ingat, engkau tadi menyuruh aku menganggap engkau seorang kakak sendiri. Benarkah?”

“Benar, lalu kenapa?” Hong Beng memandang, tersenyum ramah. “Aku memang belum pernah mempunyai seorang adik perempuan.”

“Aku belum pula mempunyai seorang kakak laki-laki, bahkan tidak mempunyai saudara. Boleh aku memanggilmu Bengko (kakak Beng)?”

“Tentu saja, Hwa-moi (adik Hwa), tentu saja dan aku merasa terhormat sekali!” kata Hong Beng.

“Nah, sekarang legalah hatiku. Aku mempunyai seorang kakak dan pelindung, akan tetapi maaf, aku tidak mungkin dapat menceritakan mengapa aku tadi hendak membunuh diri.”

“Jangan khawatir aku selalu menghargai rahasia seseorang. Akan tetapi, tentu boleh aku mengetahui keadaan dirimu, keluargamu, ke mana dan apa maksud perjalananmu, bukan?”

Gadis itu mengangguk dan keduanya duduk di atas akar pohon besar, saling berhadapan. Ci Hwa lalu menceritakan keadaan dirinya. Menceritakan bahwa ayahnya, Kwee Tay Seng atau Kwee Piauwsu, seorang duda, telah tertuduh melakukan pembunuhan terhadap seorang rekannya, piauwsu lain dan segala yang terjadi kemudian di Ban-goan.

“Karena aku merasa penasaran, nama baik ayah ternoda, maka aku pun lalu pergi hendak melakukan penyelidikan kepada perkumpulan Tiat-liong-pang yang disebut-sebut oleh orang she Lay itu. Itulah sebabnya aku berada di sini.”

Gu Hong Beng mengangguk-angguk, sama sekali tdak mau menduga-duga mengapa hal itu menyebabkan Ci Hwa hendak membunuh diri tadi.

“Dan engkau sudah melakukan penyelidikan?”

“Sudah, Tiat-liong-pang terletak di bukit sana itu, akan tetapi perkumpulan itu amat besar, amat berpengaruh dan amat kuat, juga dekat dengan keluarga istana sehingga rasanya sedikit kemungkinan mengapa perkumpulan itu sampai membunuh piauwsu di Ban-goan. Tidak ada hubungan dan kepentingannya sama sekali.”

“Hemmm, siapa tahu ada rahasianya yang lain. Kadang-kadang kebakaran besar dimulai dari bunga api kecil, peristiwa besar dimulai dari urusan sepele.”

“Mungkin benar, akan tetapi seorang seperti aku bagaimana mungkin dapat menyelidiki perkumpulan besar itu lebih mendalam lagi? Di sana gudangnya orang pandai sedangkan ilmu silatku hanya terbatas sekali. Dan engkau sendiri, Koko, ceritakanlah keadaan dirimu dan bagaimana engkau dapat berada di sini.”

Hong Beng tersenyum. Kalau hendak menceritakan pengalamannya, tentu tidak cukup sehari (baca kisah Suling Naga ), maka dia pun hanya menceritakan keadaan dirinya secara singkat saja,

“Aku seorang yang sebatangkara. Aku tidak mempunyai ayah ibu lagi, dan selama bertahun-tahun ini aku hidup bersama guruku. Akan tetapi, sejak dua tiga tahun ini guruku bertapa, tidak mau diganggu dan tidak mau mencampuri urusan dunia. Karena itu, aku diijinkan untuk mengembara, tanpa tujuan, ikut saja keinginan hati dan kaki meluaskan pengalaman dan pengetahuan. Dan di dalam perjalanan itu, aku mendengar akan kebangkitan para datuk sesat yang katanya membuat persekutuan di utara ini. Karena sejak dahulu guruku selalu membawaku menentang para datuk kaum sesat, maka aku tertarik sekali dan aku pun mendengar bahwa Tiat-liong-pang yang menjadi pusat persekutuan itu. Dan di sinilah aku, kebetulan bertemu denganmu tadi.”

Wajah Ci Hwa agak berseri.
“Ahhh, jadi engkau pun hendak menyelidiki Tiat-liong-pang?”

Hong Beng mengangguk.
“Apakah barangkali dari engkau aku dapat mendengar sesuatu tentang Tiat-liong-pang? Bukankah engkau sudah menyelidiki ke sana?”

Ci Hwa mencabut sebatang kembang rumput dan menggigit-gigit tangkai kembang rumput itu. Manis sekali gadis ini kalau sedang begitu asyik dan juga memiliki daya tarik besar. Ia berpikir-pikir, mengingat apa yang pernah dialaminya dan apa yang pernah didengarnya dari Siangkoan Lohan.

“Memang aku pernah ke sana, akan tetapi tidak banyak yang kuketahui. Aku hanya tahu bahwa penjagaan di sana ketat bukan main. Pernah aku melihat betapa lima orang pemburu binatang yang memasuki wilayah itu, dibunuh begitu saja oleh dua orang anggauta Tiat-liong-pang. Dan mereka berdua itu lihai bukan main, dalam waktu sebentar saja lima orang pemburu itu tewas. Kemudian aku mendengar bahwa Tiat-liong-pang selain besar dan memiliki banyak anak buah pandai, juga dekat dengan istana. Kabarnya, ketuanya, yang bernama Siangkoan Tek atau disebut Siangkoan Lohan, dahulu beristeri seorang puteri istana....“ Ci Hwa teringat akan Siangkoan Liong dan menghentikan ceritanya, kemudian disambungnya, “selain itu, aku tidak tahu apa-apa lagi.”

Hong Beng bukanlah seorang bodoh. Gadis ini hendak melakukan penyelidikan tentang Tiat-liong-pang untuk membersihkan nama baik ayahnya. Setelah tiba di situ dan melakukan penyelidikan, tiba-tiba saja hendak membunuh diri. Tentu telah terjadi sesuatu yang hebat menimpa dirinya. Akan tetapi dia tidak berani bertanya tentang hal itu.

“Ceritamu tentang perkumpulan itu semakin menarik, Hwa-moi. Biarlah aku akan melakukan penyelidikan yang mendalam, dan kalau benar berita yang kuterima bahwa Tiat-liong-pang menghimpun persekutuan kaum sesat, aku harus menentang mereka. Bahkan kabarnya, seorang iblis betina yang berjuluk Sin-kiam Mo-li bergabung pula di situ, padahal iblis betina itu adalah musuh besarku sejak bertahun-tahun yang lalu, bersama para tosu Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw. Selama mereka itu masih berkeliaran, sepak terjang mereka selalu hanya membikin kacau dan mengganggu keamanan rakyat belaka.”

Ci Hwa memandang kagum. Pemuda ini kelihatannya demikian sederhana. Ia sudah membuktikannya sendiri tadi. Semua serangannya yang dilakukan dengan marah, sedikit pun tidak pernah dapat menyentuh ujung bajunya, dan kini pemuda itu menyatakan sebagai musuh datuk-datuk sesat yang lihai.

“Beng-koko, engkau tentu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi sekali. Bolehkah aku mengetahui, siapa gerangan gurumu?”

Hong Beng tidak pernah menyembunyikan sesuatu, akan tetapi dia pun bukan orang yang suka menyombongkan diri dan gurunya. Akan tetapi, melihat pertanyaan yang polos itu, dia pun menjawab sederhana,

“Suhuku bernama Suma Ciang Bun, seorang pendekar keluarga Pulau Es”

“Aihhh....!”

“Kenapa?”

“Ayahku pernah mendongeng tentang keluarga pendekar Pulau Es yang memiliki ilmu kepandaian seperti dewa saja! Engkau tentu lihai sekali, Koko!” pandang mata itu sekali ini tidak menyembunyikan kekaguman mendalam sehingga wajah Hong Beng menjadi kemerahan.
“Sudahlah, Hwa-moi, tidak perlu memuji. Pertemuan kita ini kebetulan saja, akan tetapi agaknya Tuhan telah mempertemukan kita sehingga kita dapat saling bantu dan seperti telah menjadi kakak beradik. Akan tetapi, aku hendak melanjutkan penyelidikanku, dan bagaimana dengan engkau, Hwa-moi?”

“Aku biarpun hanya seorang gadis lemah, akan tetapi aku pun masih ingin mencuci nama baik ayahku. Kalau boleh, aku akan membantumu, Beng-ko.”

“Baiklah, asal engkau berhati-hati dan melaksanakan semua petunjukku. Yang pertama, engkau harus sudah mengusir jauh-jauh kenekatan dan kebodohanmu tadi. Engkau berjanji?”

Ada perasaan perih menusuk ulu hati Ci Hwa, akan tetapi ia harus membantu Hong Beng menyelidiki dan menentang Tiat-liong-pang. Bukan sekedar mencuci nama baik ayahnya, melainkan juga mencuci noda pada dirinya dengan darah dan nyawa Siangkoan Liong!

“Aku berjanji dan bersumpah tidak akan melakukan lagi kebodohan itu, Koko.”

Keduanya lalu meninggalkan tempat itu, menyusup di antara hutan-hutan lebat untuk menyelidiki keadaan Tiatliong-pang.

Setiap orang manusia hidup takkan terluput daripada peristiwa yang menimpa dirinya, baik peristiwa itu biasa saja, agak hebat, hebat atau bahkan sangat hebat seperti yang dialami Ci Hwa. Peristiwa hebat yang diterima sebagai suatu malapetaka dapat menghancurkan perasaan, melenyapkan harapan, bahkan dapat membuat orang menjadi mata gelap, ada pula yang ingin menghentikan semua derita dan siksa batin dengan jalan membunuh diri!

Akan tetapi, sesungguhnya bunuh diri bukanlah jalan pemecahan yang tepat, melainkan hanya merupakan suatu pelarian yang mata gelap. Peristiwa yang telah terjadi pun terjadilah, merupakan sesuatu yang telah lalu. Kalau peristiwa itu terus dikeram di dalam sanubari, maka tentu saja hanya akan menjadi siksaan yang timbul dari kenangan.

Kenangan ini menimbulkan iba diri, dendam, duka. Mengapa kita suka menyimpan suatu peristiwa sebagai kenangan? Mengapa tidak kita biarkan .saja peristiwa itu lenyap, bagaikan sebuah mimpi buruk? Hidup adalah saat ini, bukan kemarin! Kemarin itu sudah mati, baik maupun buruk. Kenangan akan masa lalu hanya mendatangkan dua hal, yaitu penyesalan dan duka, juga kerinduan dan harapan akan mengulang pengalaman lalu yang menyenangkan. Hanya kalau kita mampu menghapus semua kenangan peristiwa masa lalu, baik maupun buruk, maka batin kita akan menjadi bersih, bebas dan siap menghadapi peristiwa yang terjadi di saat ini, dalam keadaan sehat, tanpa dendam, tanpa prasangka, tanpa kebencian.

Peristiwa adalah kejadian yang telah terjadi, sesuatu fakta yang tak dapat diubah pula, karena sudah terjadi. Baik buruknya hanya tergantung daripada penilaian kita sendiri. Di dalam menghadapi setiap peristiwa yang terjadi, yang terpenting bukanlah penilaian, melainkan kewaspadaan.

Kewaspadaan mendatangkan kebijaksanaan dan kesadaran, sehingga kita dengan sepenuhnya dapat menghadapi dan menanggulanginya, sepenuh akal budi yang ada pada kita. Perbuatan menghadapi sesuatu yang diliputi penilaian selalu mengandung pamrih, dan tentu tidak bijaksana lagi.

**** 026 ****