Ads

Rabu, 17 Februari 2016

Kisah si Bangau Putih Jilid 016

Sebuah di antara puncak-puncak Pegunungan Beng-san disebut Puncak Telaga Warna karena di puncak itu terdapat sebuah telaga kecil yang amat indah. Telaga itu dikelilingi pohon-pohon dan karena airnya jernih dan tenang, maka bayangan terpantul amat jelasnya dan membuat air telaga seolah-olah berwarna-warni.

Puncak ini amatlah indahnya. Hawanya selalu sejuk, bahkan kadang-kadang teramat dinginnya. Karena hawa yang terlalu dingin inilah maka penduduk tinggal di lereng bawah atau kaki puncak.

Akan tetapi, di antara pohon-pohon besar dekat telaga itu nampak sebuah bangunan terselip di antara pohon-pohon raksasa. Sebuah bangunan yang kokoh kuat dan sedang saja besarnya. Rumah itu tidak mempunyai tetangga dan nampak sunyi, namun melihat betapa pekarangannya selalu bersih, dan di belakang rumah terdapat taman bunga dan kebun sayur dan pohon-pohon buah, dapat diketahui bahwa rumah ini dihuni orang.

Memang demikianlah, dan penghuni rumah itu bukanlah orang sembarangan, karena orang biasa saja tentu tidak akan tahan tinggal terlalu lama di tempat yang sunyi dan hawanya amat dingin itu.

Penghuninya adalah dua orang kakek kembar. Mereka berusia kurang lebih lima puluh delapan tahun, dan mereka amat terkenal di dunia kang-ouw dengan sebutan Beng-san Sian-eng (Sepasang Garuda dari Beng-san).

Dua orang kakek ini serupa benar wajah dan bentuk tubuh mereka mirip satu sama lain sehingga sukarlah bagi orang luar untuk membuat perbedaan di antara mereka. Orang-orang kang-ouw jarang ada yang mengetahui bahwa mereka sesungguhnya adalah cucu-cucu dari Pendekar Super Sakti dari Pulau Es. Mereka adalah putera kembar dari kakek Gak Bun Beng yang kini berjuluk Bu Beng Lokai.

Biarpun orang luar sukar untuk mengenal mana yang bernama Gak Jit Kong dan mana yang Gak Goat Kong, namun tentu saja isteri mereka dengan mudah dapat membedakan mereka, isteri mereka berdua hanya seorang, yaitu bekas murid dan anak angkat mereka sendiri yang bernama Souw Hui Lian. Dua orang kembar ini telah jatuh cinta kepada murid mereka sendiri, dan Souw Hui Lian juga mencinta mereka.

Maka kedua orang kakek kembar ini pun menikahlah dengan bekas murid mereka walaupun ayah mereka sebenarnya tidak setuju mendengar kedua orang putera kembarnya itu menikah dengan seorang wanita saja.

Peristiwa pernikahan itu membuat hati ayah mereka, Gak Bun Beng, menjadi kecewa dan berduka. Kakek ini sudah berduka karena ditinggal mati isterinya yang bernama Milana, puteri Pendekar Super Sakti dan Puteri Nirahai. Dalam keadaan berduka, lalu menghadapi kekecewaan karena kedua orang puteranya yang dianggap tidak begitu berbakat dalam ilmu silat kini bahkan menikah dengan seorang wanita saja.

Maka, pergilah kakek Gak Bun Beng meninggalkan Puncak Telaga Warna dan hidup merana bahkan terlunta-lunta sebagai Bu Beng Lokai, sampai kemudian dia menemukan Suma Lian, cucu keponakannya sendiri yang kemudian menjadi muridnya dan pertemuan ini memulihkan kembali gairah hidupnya.

Semenjak ditinggal pergi ayah mereka, Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong hidup di Puncak Telaga Warna, bersama isteri mereka, Souw Hui Lian dan kini mereka telah mempunyai seorang anak laki-laki yang mereka beri nama Gak Ciang Hun dan kini sudah berusia kurang lebih sepuluh tahun. Tentu saja mereka berdua pun merasa berduka bahwa ayah mereka tidak merestui pernikahan mereka bahkan meninggalkan mereka.

Mereka sudah berusaha mencari ayah mereka, namun tak pernah berhasil sehingga akhirnya mereka putus asa dan menanti saja di Puncak Telaga Warna dengan penuh keprihatinan kalau mereka teringat kepada ayah mereka yang sudah amat tua itu.

Adanya Gak Ciang Hun, putera mereka, merupakan hiburan terbesar bagi mereka dan mengurangi rasa dosa mereka terhadap ayah mereka karena bagaimanapun juga, pernikahan mereka dengan Hui Lian telah menghasilkan seorang putera. Bukankah itu berarti bahwa Tuhan memberkahi mereka dan memberkahi pernikahan itu?

Pada suatu pagi yang amat sejuk dan indah karena matahari pagi mulai mengusir kegelapan dan memandikan puncak Telaga Warna itu dengan cahaya keemasan setelah semalam suntuk puncak itu diselimuti kabut yang menciptakan embun pagi,

Gak Ciang Hun telah berada di dalam taman bunga. Anak ini memang suka sekali bangun pagi dan bermain-main seorang diri di dalam taman, sepasang matanya penuh kebahagiaan memandang burung-burung pagi berloncatan dan beterbangan dari dahan ke dahan, sambil berkicau penuh keriangan.

Anak ini baru berusia sepuluh tahun dan dia hanya hidup bersama dua orang ayahnya dan seorang ibunya. Memang kadang-kadang ayahnya atau ibunya membawanya menuruni puncak pergi ke dusun-dusun, atau ke pasar dusun untuk membeli segala keperluan rumah tangga mereka dan menjual hasil kebun atau buruan mereka sehingga anak ini beberapa kali sebulan dapat bertemu dengan banyak orang di dusun-dusun.

Namun karena setiap harinya hanya bermain-main sendiri saja maka tentu anak ini merasa kesepian dan mencari hiburan dengan bermain-main sendiri di tempat-tempat indah, di mana dia dapat melihat binatang-binatang dan mendengarkan suara mereka.

Pagi hari itu, selain menikmati kicau burung yang ramai menyambut datangnya pagi, diapun melihat banyak kupu-kupu kuning. Sebetulnya untuk kupu-kupu itulah maka sepagi itu dia sudah duduk di taman. Semenjak beberapa hari ini, sampai kurang lebih sebulan, taman itu akan penuh kupu-kupu kecil kuning. Sedang musimnya. Indah sekali kupu-kupu yang puluhan ribu banyaknya itu, membuat taman itu menjadi lebih cerah, seolah-olah taman itu sedang penuh dengan bunga-bunga kuning yang sedang berkembang.

Karena ingin segera menikmati keindahan pagi itu, Ciang Hun hanya sebentar saja berlatih silat di kebun belakang tadi. Di kebun belakang, tak jauh dari taman itu, oleh orang tuanya dibuatkan sebuah petak rumput yang luas dan tempat ini dipergunakan keluarga itu untuk berlatih silat. Memang setiap pagi Ciang Hun harus berlatih silat, akan tetapi pagi ini hanya sebentar saja dia berlatih dan dia segera berlari-lari memasuki taman setelah melihat kupu-kupu kuning mulai beterbangan.

Tiba-tiba ada beberapa ekor burung beterbangan dari atas pohon, meluncur turun dan menyambari kupu-kupu kuning kecil itu. Melihat ini, Ciang Hun menjadi marah. Dia meloncat dan menggunakan kedua tangannya untuk mengusir burung-burung itu sambil mengeluarkan teriakan-teriakan sehingga burung-burung itu terbang ketakutan.

Akan tetapi, tak lama kemudian ada saja beberapa ekor yang menyambar turun sehingga Ciang Hun segera mengambil batu-batu kecil untuk menyambiti dan mengusir mereka, melindungi kupu-kupu kuning kecil. Setelah dia mempergunakan batu-batu kecil, barulah burung-burung itu terbang pergi, tentu saja untuk menyambari kupu-kupu yang beterbangan jauh dari taman itu.






Ciang Hun duduk kembali di atas bangku taman dan merasa lega. Kini kupu-kupu kuning itu beterbangan bebas, di antara bunga-bunga, bahkan ada yang terbang tinggi ke atas pohon tanpa diganggu burung-burung itu!

Memang sejak kecil anak ini telah digembleng oleh orang tuanya sehingga dalam usia sepuluh tahun, selain menguasai dasar-dasar ilmu silat, juga di dalam batinnya telah bersemi watak yang gagah dan tidak rela melihat yang lemah dijadikan korban keganasan yang kuat. Sudah bersemi watak seorang pendekar, watak membela golongan lemah yang tertindas.

“Indah sekali kupu-kupu itu!” Tiba-tiba terdengar suara halus.

Ciang Hun cepat menoleh dan dia melihat seorang wanita muda telah berdiri di situ sambil memandangi kupu-kupu kuning kecil yang beterbangan kian kemari. Anak itu merasa heran sekali dan perhatiannya kini beralih dari kupu-kupu ke arah gadis itu.

Seorang gadis yang usianya kurang lebih dua puluh tahun. Sekali pandang saja tahulah Ciang Hun bahwa gadis itu tak pernah dikenalnya dan bukanlah seorang gadis dari dusun di lereng bawah. Bukan gadis dusun! Pakaiannya amat berbeda, juga sikapnya berbeda. Gadis ini mengenakan pakaian yang aneh sekali. Pakaian yang penuh tambal-tambalan! Seperti pakaian pengemis saja.

Akan tetapi, kalau pakaian pengemis tambal-tambalan dan kotor sekali, sebaliknya pakaian yang menutupi tubuh gadis ini, tambal-tambalan akan tetapi amat bersih! Juga potongannya tidak seperti pakaian gadis dusun yang kebesaran, melainkan ringkas, dan ketat membungkus tubuh gadis itu sehingga nampak pinggangnya yang ramping kecil, seperti pinggang lebah. Sepatunya yang kecil terbuat dari kulit hitam dan nampak kuat.

Rambutnya juga berbeda lipatannya dengan rambut para gadis dusun. Rambut itu hitam lebat dan panjang, kini digelung ke atas secara aneh, ditusuk dengan tusuk konde panjang sederhana, seperti sebatang sumpit merah. Sepasang mata gadis itu seperti mencorong, dan mulutnya tersenyum-senyum ketika ia membalas pandangan Ciang Hun.

“Adik yang baik, engkau benar sekali. Burung-burung itu memang jahat dan perlu diusir! Mereka itu menyambari dan membunuh kupu-kupu yang tidak berdosa!” kata pula gadis itu dan pandang matanya nampak ramah sekali.

Ciang Hun mengerutkan alisnya, lalu menjawab,
“Aku mengusir burung-burung itu bukan karena menganggap mereka jahat, melainkan karena tidak tega melihat kupu-kupu itu dimakan. Burung-burung itu pun tidak jahat!”

Gadis itu melebarkan matanya, nampak heran mendengar jawaban itu.
“Akan tetapi, bukankah mereka itu memakani kupu-kupu yang tidak berdosa?”

“Kita pun suka makan ayam, babi, kelinci dan binatang lain yang tidak berdosa, apakah kita pun jadi jahat?” Anak itu membantah. “Agaknya kupu-kupu itu memang menjadi makanan burung, jadi burung-burung itu pun tidak bersalah. Tidakkah begitu?”

Kini gadis itu yang nampak heran dan bingung, lalu mengangguk-angguk.
“Wah, agaknya benar juga engkau.” Lalu ia tertawa cerah, suara ketawanya nyaring dan merdu sekali. “Adik kecil, engkau sungguh cerdik sekali. Jawabanmu itu membikin aku takluk dan mengaku kalah! Siapa sih engkau ini? Siapa namamu?”

“Namaku Ciang Hun.”

“Apakah ada hubunganmu dengan Beng-san Siang-eng?”

“Mereka itu adalah ayahku! Aku bernama Gak Ciang Hun.”

Gadis itu kelihatan girang bukan main.
“Aih, pantas engkau cerdik dan pintar sekali! Kiranya adik ini putera Beng-san Siang-eng? Engkau harus menyebut enci (kakak perempuan) padaku!”

Biarpun Ciang Hun jarang bergaul dengan orang asing, namun dia bukan seorang anak pemalu. Ia lalu menghampiri dan agaknya senang melihat gadis yang berwajah manis, kalau tersenyum muncul lesung pipit di kedua pipinya dan pandang matanya ramah sekali.

“Enci, engkau siapakah?”

“Namaku Suma Lian dan engkau boleh memanggil aku enci Lian.”

Anak itu terbelalak memandang kepada Suma Lian, pandang matanya penuh kekagetan, keheranan dan kekaguman.

“Suma....? Enci, shemu sama dengan she dari kakek buyut. Kata ayah, kakek buyutku bernama Suma Han adalah seorang pendekar sakti, penghuni Istana Pulau Es yang tidak ada lawannya di dunia ini!”

Suma Lian tersenyum dan membelai kepala anak itu.
“Tidak salah keterangan ayahmu, adik Ciang Hun. Kakek buyutmu bernama Suma Han itu juga kakek buyutku, karena itu kita adalah enci dan adik sendiri.”

Gadis bernama Suma Lian itu adalah puteri dari pendekar Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng yang tinggal di dusun Hong-cun, dekat kota Cin-an. Biarpun ayah ibunya merupakan pendekar-pendekar yang sakti, namun gadis ini sejak berusia dua belas tahun, telah menjadi murid Bu Beng Lokai, paman kakeknya sendiri (baca cerita SULING NAGA).

Pada saat itu berkelebat tiga bayangan orang. Gerakan mereka cepat sekali namun Suma Lian dapat melihat mereka. Seorang di antaranya menyambar ke arah Ciang Hun dan dua orang yang lain menerjang dan menyerang Suma Lian!

Gadis itu terkejut, tidak menyangka bahwa dirinya akan diserang secara tiba-tiba oleh dua orang itu, maka cepat ia pun mempergunakan gin-kang (ilmu meringankan tubuh), meloncat menjauhi dua orang penyerangnya. Ketika ia turun dan menengok, ternyata Ciang Hun telah dirangkul dan dilindungi seorang wanita cantik, sedangkan dua orang penyerangnya tadi adalah dua orang laki-laki berusia hampir enam puluh tahun yang kembar dan keduanya nampak gagah perkasa!

Kini kedua orang kakek kembar itu, yang juga terkejut dan penasaran melihat betapa serangan mereka tadi dengan amat mudahnya dihindarkan lawan yang ternyata hanyalah seorang gadis muda, sudah siap untuk menyerang lagi.

“Tahan dulu, kedua paman Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong! Aku bukan orang lain dan tidak berniat buruk!”

Seru Suma Lian melihat mereka sudah hendak menyerangnya lagi itu karena sekali lihat pun ia dapat menduga bahwa ia tentu berhadapan dengan dua orang putera kembar gurunya, dan tentu wanita itu ibu dari Ciang Hun.

“Ia adalah enci Suma Lian, cucu buyut dari kakek buyut Suma Han!” teriak Ciang Hun kepada ayah ibunya.

Mendengar ini, tentu saja sepasang kakek kembar itu terkejut dan juga merasa heran, saling pandang lalu mereka menghadapi dengan pandang mata penuh selidik.

“Nanti dulu!” kata Souw Hui Lian yang tadi bergerak cepat lebih dahulu menyelamatkan dan melindungi puteranya. “Ia harus dapat membuktikannya!”

Ia lalu melepaskan Ciang Hun dan sekali meloncat ia sudah berhadapan dengan Suma Lian yang merasa kagum melihat kecepatan gerakan wanita itu. Ia sudah mendengar bahwa wanita itu dahulu adalah murid dari kedua kakek kembar dan ternyata ilmu kepandaiannya sudah lumayan.

“Bibi, apakah engkau tidak percaya kepadaku!” tanyanya sambil tersenyum. “Apakah wajah dan potonganku ini mirip penjahat dan tidak pantas menjadi keturunan keluarga para Pendekar Pulau Es?”

Suma Lian memang memiliki watak yang jenaka, berani, lucu dan kadang-kadang ugal-ugalan, mewarisi watak ayahnya ketika muda. Ia lalu bergaya memutar-mutar tubuh di depan kakek kembar dan isteri mereka itu.

Hui Lian mengerutkan alisnya. Seorang gadis muda yang pakaiannya aneh, tambal-tambalan, dengan sikap yang demikian ugal-ugalan, bagaimana ia dapat percaya begitu saja?

“Kalau engkau benar she Suma dan keturunan para Pendekar Pulau Es, apa buktinya?” bentak Hui Lian.

Suma Lian tersenyum manis dan menjura dengan hormat dan lucu kepada Hui Lian.
“Bibi yang baik, namaku benar Suma Lian, ayahku Suma Ceng Liong dan ibuku Kam Bi Eng. Dan bukan itu saja, aku pun menjadi murid dari paman kakek Bu Beng Lokai, ayah mertuamu sendiri.”

“Hemmm, gadis muda, jangan engkau bicara sembarangan. Ayah mertuaku tidak bernama Bu Beng Lokai!” kata pula Hui Lian, semakin curiga walaupun nama ayah ibu gadis itu sempat mengejutkannya.

“Aih, maafkan aku, Bibi. Mungkin kalian tidak mengenal nama Bu Beng Lokai, akan tetapi sebelum mempergunakan nama itu, paman kakekku yang kini menjadi guruku itu bernama Gak Bun Beng.“

“Kong-kong.!”

Seru Ciang Hun gembira mendengar nama kakeknya disebut. Walaupun dia belum pernah melihat kakeknya, namun seringkali kedua ayahnya bercerita tentang kakeknya dan dia amat merindukannya.

“Nanti dulu!” kata pula Hui Lian. “Kalau benar engkau murid ayah mertuaku, engkau tentu dapat melayani seranganku ini!”

Dan tiba-tiba saja ia lalu menyerang Suma Lian dengan jurus ampuh dari Ilmu Silat Lo-thian Sin-kun (Silat Sakti Pengacau Langit).

Suma Lian tentu saja mengenal baik ilmu silat ini dan sambil mengelak dan bergerak dengan ilmu yang sama, ia pun membalas serangan lawan dengan jurus lain dari Lo-thian Sin-kun.

Hui Lian masih belum merasa puas. Setelah menangkis, ia pun menyerang lagi dan dua orang wanita itu pun saling serang dengan ilmu yang sama sehingga mereka itu seperti dua orang yang berlatih silat saja. Setelah lewat belasan jurus dan ternyata gerakan Suma Lian dalam ilmu silat itu amat bagusnya, barulah Hui Lian merasa puas dan ia pun meloncat ke belakang.

Suma Lian memandang sambil tersenyum manis.
“Lo-thian Sin-kun yang Bibi mainkan sungguh bagus! Apakah Bibi hendak menguji lagi!”

“Cukup engkau memang benar Suma Lian dan maafkan kecurigaan kami karena dalam beberapa hari ini kami terancam bahaya dari seorang musuh yang pandai,” kata Hui Lian.

“Ehhhhh?” Suma Lian terkejut mendengar ini dan baru sekarang ia melihat betapa wajah dua orang pamannya dan juga bibinya nampak muram dan mata mereka merah seperti orang yang kurang tidur. “Akan tetapi kalau benar demikian, mengapa tadi aku melihat adik Hun bermain sendirian di luar?”

“Aih, anak itu belum mengenal bahaya. Mari kita masuk dan bicara di dalam,” kata pula Souw Hui Lian sambil menggandeng tangan Suma Lian, kini sikapnya manis sekali.

Suma Lian tersenyum memandang kepada kedua orang pamannya.
“Maaf, Paman, aku datang membikin ribut saja. Akan tetapi sikap Bibi memang amat mengagumkan, ia cerdik dan pintar!”

Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong hanya tersenyum mendengar pujian itu dan mereka pun lalu masuk ke dalam rumah yang cukup luas itu. Seorang pelayan wanita setengah tua segera muncul ketika dipanggil Hui Lian dan diperintahkan untuk menyediakan minuman untuk tamu yang disebutnya Suma-siocia (nona Suma) ketika diperkenalkan kepada pelayannya.

“Aih, Bibi ini!” Suma Lian berseru memotong ucapan itu. “Kenapa harus menyebutku nona segala? Ciang Hun sudah menyebutku enci kepadaku dan sebagai bibiku, tidak sepatutnya Bibi menyebut nona. Namaku Suma Lian tanpa nona.”

Hui Lian tersenyum dan kini ia tahu bahwa Suma Lian bukan seorang gadis kasar dan kurang ajar melainkan seorang gadis yang jujur, terbuka, lincah dan tidak suka berpura-pura.

“Baiklah, Suma Lian. Sekarang kami ingin sekali tahu, apakah maksud kunjunganmu ini? Kami yakin bahwa tentu kunjunganmu ini mempunyai maksud yang penting sekali.”

Suma Lian berpikir sejenak. Ia memang datang membawa keperluan penting, akan tetapi berita yang dibawanya itu bukan berita menyenangkan, melainkan berita tentang gurunya yang sakit tua dan menghendaki kedatangan kedua orang putera kembarnya itu. Sebaiknya kalau ia mengetahui lebih dahulu bahaya apa yang katanya mengancam keluarga paman dan bibinya ini.

“Nanti dulu, Bibi. Sebelum aku menceritakan keperluan kedatanganku, lebih baik kalau Bibi menceritakan kepadaku tentang bahaya apa yang mengancam kalian. Aku bersedia untuk membantu kalian. Ceritakanlah mengapa kalian tadi begitu curiga kepadaku sehingga tiba-tiba saja menyerangku.”

Gak Jit Kong kini yang menjawab.
“Maafkan kami, Lian-ji (anak Lian). Kami memang sedang panik sehingga tanpa bertanya lagi menyerangmu, karena kami mengira bahwa engkau merupakan komplotan orang jahat yang mengancam hendak menculik anak kami.”

“Komplotan jahat menculik adik Ciang Hun.”

“Benar, Suma Lian,” sambung Gak Goat Kong. “Terjadinya sudah kurang lebih sepekan yang lalu. Mula-mula kami mendengar bahwa di sebuah dusun di kaki gunung terjadi kekacauan ketika ada seorang nenek yang suka menculik anak kecil. Ketika mendengar itu, kami lalu turun tangan dan berhasil mengalahkan nenek itu dan mengusirnya dari dusun yang dikacaunya. Akan tetapi, iblis itu ternyata tidak mau menerimanya begitu saja. Agaknya ia memanggil kawan yang lebih lihai lagi dan sepekan yang lalu mereka datang mengganggu kami.”

“Apa yang mereka lakukan?” Suma Lian bertanya, penasaran.

Kini Souw Hui Lian yang melanjutkan.
“Sepekan yang lalu, pada malam hari, aku mendengar suara gerakan orang di belakang rumah. Ketika aku keluar melalui pintu belakang, ia sudah berada di sana, nenek iblis yang pernah mengacau dusun itu, akan tetapi kini ada seorang temannya, seorang kakek botak. Mereka lihai bukan main.”

“Kami keluar mendengar ribut-ribut di belakang,” sambung Gak Jit Kong, “dan kami bertiga melawan kakek botak itu. Namun dia sungguh lihai dan kami bertiga terdesak. Tiba-tiba mereka meloncat pergi dan kakek itu sambil tertawa mengatakan bahwa sepekan kemudian dia akan datang lagi dan mengancam kami agar menyerahkan putera kami dengan baik-baik, kalau tidak seisi rumah akan dibunuhnya!”

Suma Lian mengerutkan alisnya.
“Hemmm, sombong sekali iblis itu.”

“Karena itu, setiap malam kami tidak dapat tidur dan berjaga-jaga, dan beristirahat pada siang harinya. Tadi kami masih tidur karena semalam berjaga, dan Ciang Hun yang sudah kami larang untuk keluar sendirian nekat keluar ke taman,” kata Hui Lian.

“Aku ingin nonton kupu-kupu kuning, Ibu!” bantah Ciang Hun. “Dan pula, kata Ibu iblis itu hanya muncul di waktu malam, bukan?”

“Memang benar,” kata pula Hui Lian kepada Suma Lian. “Iblis itu mengancam akan datang pada malam hari, karena itulah kami berani tidur di waktu siang.”

“Hemmm, dan kapankah malam yang dijanjikannya itu?” tanya Suma Lian.

“Malam ini tepat sepekan.”

“Harap kedua Paman dan Bibi tidak khawatir. Kalau malam nanti dia berani muncul, biarlah aku yang akan menghadapinya,” kata Suma Lian.

Biarpun suami itu merasa agak tabah dengan munculnya Suma Lian yang dapat mereka harapkan untuk membantu mereka, namun tentu saja mereka tidak yakin akan kemampuan Suma Lian.

Bagaimanapun juga, Suma Lian baru beberapa tahun ini menjadi murid ayah mereka, tentu tingkat kepandaiannya tidak akan lebih tinggi daripada tingkat kedua orang kembar itu. Kalau mereka maju bertiga saja tidak mampu menandingi kakek botak itu, apalagi gadis muda ini? Betapapun juga, mereka mendapatkan tenaga bantuan dan hal ini saja sudah mendatangkan hiburan bagi mereka.

Suma Lian kelihatan tenang-tenang saja hari itu, bahkan bermain-main dengan Ciang Hun, membiarkan tiga orang itu beristirahat karena selama beberapa hari mereka itu kurang tidur selalu. Ketika malam tiba, Beng-san Siang-eng dan isterinya sudah nampak segar dan siap siaga untuk menghadapi ancaman musuh, Souw Hui Lian tak pernah mau melepaskan puteranya. Menjelang tengah malam, mereka yang berkumpul di ruangan dalam itu mendengar suara ketawa di luar rumah,

“Ha-ha-ha, Beng-san Siang-eng, agaknya kalian sudah siap menghadapi kunjungan kami. Apakah anakmu itu sudah kau persiapkan untuk diberikan kepada kami? Keluarlah, kami tidak ingin bersikap tidak sopan menyerbu ke dalam!”

Mendengar suara ini, Beng-san Siang-eng dan isterinya nampak terkejut dan jelas kelihatan betapa mereka gentar. Hal ini membuat Suma Lian merasa penasaran dan marah sekali. Ia lalu meloncat berdiri dan dengan sikap tenang ia melangkah keluar, diikuti oleh dua orang pamannya, sedangkan Hui Lian tinggal di dalam melindungi puteranya, seperti yang sudah mereka rancangkan.

“Sebaiknya kalau Ciang Hun disembunyikan di dalam, dilindungi ibunya, agar dia tidak terancam bahaya langsung seperti kalau diajak keluar”.

Dengan langkah tegap dan sikap tenang sekali Suma Lian melangkah terus menuju ke serambi luar di mana memang sengaja dipasangi empat buah lampu gantung yang cukup terang. Dua orang kembar itu sendiri merasa kagum akan ketabahan hati keponakan mereka walaupun mereka masih merasa khawatir apakah kehadiran gadis itu akan cukup membuat mereka mampu mengusir dan mengalahkan lawan yang amat tangguh.

Kalau tingkat kepandaian Suma Lian hanya sedikit lebih tinggi dari tingkat Hui Lian, tak mungkin mereka akan menang. Bahkan andaikata tingkat ilmu kepandaian gadis itu sama dengan tingkat mereka pun, masih amat disangsikan apakah mereka akan mampu mengalahkan kakek botak itu, apalagi kalau si nenek buruk itu membantunya.

Ketika mereka membuka pintu depan dan tiba di luar, ternyata benar seperti yang dikhawatirkan Beng-san Sian-eng, kakek botak pendek dan nenek bongkok buruk itu sudah berada di situ, berdiri dengan sikap memandang rendah.

Nenek bongkok bermuka buruk itu memegang tongkatnya yang butut dan kakek yang bertubuh pendek berkepala botak dengan muka seperti seekor ikan itu menyeringai lebar. Dia tidak nampak memegang senjata, akan tetapi melihat pakaiannya seperti seorang tosu dengan gambar patkwa (segi delapan) di dadanya, tahulah Suma Lian bahwa ia berhadapan dengan seorang pendeta dari perkumpulan sesat Pat-kwa-pai.

Ketika melihat Beng-san Siang-eng muncul bersama seorang gadis yang muda dan cantik manis, sepasang mata kakek pendek itu bersinar-sinar dan mulutnya menyeringai semakin lebar.

“Bagus, bagus....! Beng-san Sian-eng, dari mana kalian mendapatkan seekor domba betina yang begini muda, montok dan mulus, ha-ha-ha! Apakah ia hendak kau tukarkan dengan anak kalian? Gadis muda ini untuk aku, wah, aku suka sekali!”

“Hok Yang Cu, jangan gila kau! Aku tidak butuh gadis ini dan tidak sudi kalau ditukar dengan bocah laki-laki putera mereka!” tiba-tiba nenek itu membentak, nadanya marah.

Kakek botak itu tertawa bergelak.
“Ha-ha-ha, Beng-san Sian-eng, kalian sudah mendengar sendiri, bukan? Puteramu itu tetap harus kalian berikan kepada kami, dan gadis ini untuk aku, sebagai pengganti kepala kalian! Nah, berikan gadis ini kepadaku dan keluarkan pula bocah laki-laki itu agar jangan membikin Kui-bo (Nenek Iblis) marah-marah!”

Mendengar kata-kata mereka yang amat memandang rendah, apalagi juga amat menghinanya, Suma Lian menjadi merah mukanya dan sepasang matanya yang indah itu mengeluarkan sinar mencorong. Ia melangkah maju menghadapi dua orang kakek dan nenek itu sambil menudingkan telunjuknya.

“Dua orang tua bangka tak tahu diri dan tak mengenal malu! Kalian muncul sebagai iblis-iblis yang curang, tidak memperkenalkan nama. Siapakah kalian dan mengapa kalian mengganggu kedua orang pamanku ini?”

Kakek yang sudah menjadi merah matanya melihat Suma Lian yang cantik manis, kini tertawa bergelak sambil mengelus kepala yang botak dengan tangan kiri sedangkan tangan kanannya menggoyang-goyangkan tangan kanan dengan sikap sombong.

“Ha-ha-ha, anak manis, ketahuilah bahwa pinto (aku) disebut Hok Yang Cu, dan seperti dapat kau lihat pada gambar di dadaku, aku adalah seorang tokoh Pat-kwa-pai yang terkenal! Adapun nenek buruk ini adalah Hek-sim Kui-bo (Nenek Iblis Berhati Hitam), seorang sahabatku. Ia minta bantuanku untuk mengambil putera Beng-san Sian-seng. Akan tetapi engkau muncul, anak manis, heh-heh-heh, setelah melihatmu, mana aku dapat melepaskanmu lagi?”

"Tuabangka iblis! Kedua orang pamanku tidak pernah merasa bermusuhan dengan kalian, mengapa kalian datang mengganggu mereka? Mengakulah apa sebabnya kalian mengganggu, ataukah kalian hanya dua orang tuabangka pengecut yang tidak berani mengaku?”