Ads

Rabu, 17 Februari 2016

Kisah si Bangau Putih Jilid 015

“Nah, itulah rumahnya,”

Kata Ci Hwa menunjuk ke sebuah rumah yang cukup besar dan bercat merah, di halaman depan tumbuh bunga-bunga mawar. Semua daun pintu dan jendela rumah itu masih tertutup dan suasananya sunyi sekali.

“Aku akan segera mengetuk pintu dan minta bicara dengan Lay-wangwe,” kata Sin Hong sambil melangkah lebar untuk menghampiri pintu depan.

“Nanti dulu, Toako. Kalau engkau datang begitu saja ingin menemuinya, tentu dia curiga dan kalau dia melarikan diri, engkau akan kehilangan dia dan akan sukar kalau harus mencari orang yang sembunyi-sembunyi. Sebaiknya kalau aku berjaga di bagian belakang agar dia tidak dapat melarikan diri. Kalau dia lari dari pintu belakang, aku akan menahannya.”

Sin Hong merasa semakin kagum. Dibandingkan gadis ini, dia kalah jauh dalam hal pengalaman dan kecerdikan.

“Baiklah, Hwa-moi, engkau benar sekali.”

Gadis itu lalu berkelebat dan dengan cepat berlari memutari rumah itu untuk mengintai dan berjaga di belakang rumah. Setelah menunggu beberapa lamanya untuk memberi kesempatan kepada Ci Hwa tiba di belakang rumah dan mencari tempat pengintaian yang tepat, Sin Hong lalu menghampiri pintu depan. Dia tidak ingin menimbulkan keributan dengan masuk sebagai seorang pencuri. Dia mengetuk pintu depan beberapa kali.

Tak lama kemudian daun pintu terbuka dan seorang kakek berusia enam puluh tahun muncul sambil menggosok-gosok mata dengan punggung tangan dan dia nampak masih mengantuk, juga ketika pintu terbuka, dia agak menggigil kedinginan oleh angin pagi yang menerpa masuk.

“Ahhh, Kongcu, sungguh merupakan waktu yang aneh untuk mengunjungi rumah pelesiran!” Dia terkekeh. “Kongcu datang terlalu pagi atau terlalu malam. Anak-anak manis itu masih tidur pulas semua, nanti kurang lebih jam sepuluh mereka baru akan bangun. Apakah Kongcu menghendaki seorang di antara mereka? Dengan tambahan istimewa, kiranya ia mau dibangunkan pagi-pagi begini.”

Wajah Sin Hong berubah merah. Sialan, pikirnya, dia disangka ingin melacur! Dia menggeleng kepala dan berkata,

“Tidak, Lopek. Aku bukan datang untuk pelesir, melainkan mencari seorang tamu, yaitu Lay-wangwe.”

Mendadak pandang mata orang itu berubah, penuh kecurigaan dan alisnya berkerut.
“Tidak ada yang bernama Lay-wangwe di sini.” katanya ketus.

Sin Hong tidak mau menggunakan kekerasan yang akan meributkan suasana dan membikin takut Lay-wangwe.

“Lopek, aku tahu bahwa Lay-wangwe bermalam di sini. Ketahuilah, aku adalah seorang sahabat baiknya yang perlu sekali bicara dengan dia sekarang juga. Amat penting!” Sin Hong mengeluarkan sepotong perak dan menyerahkannya kepada pelayan itu.

Melihat berkilaunya perak, pandang mata kakek itu silau dan sikapnya berubah walaupun dia masih ragu-ragu

“Akan tetapi aku tidak mengenal siapa Kongcu, dan selain itu tamu yang sedang tidur nyenyak tentu akan marah sekali kalau kuganggu dan kuketuk pintunya. Apa yang harus kukatakan kalau dia terbangun dan marah-marah kepadaku karena gangguanku?”

Uang itu telah diterima dan lenyap ke dalam saku baju pelayan itu. Sin Hong sudah merasa menang, akan tetapi dia pun harus berhati-hati dan jangan sampai menimbulkan kecurigaan. Dia tahu bahwa Lay-wangwe telah memesan kepada para pelayan di tempat itu untuk merahasiakan kehadirannya di rumah itu.

“Kalau dia sudah terbangun dan marah-marah, katakan saja bahwa aku seorang sahabatnya datang untuk memberi tahu kepadanya bahwa ada bahaya mengancam dirinya, dan dia harus cepat pergi bersamaku kalau ingin selamat.”

Mendengar ini, pelayan itu terbelalak.
“Wah, kalau begitu gawat!” katanya dan dia pun lari masuk ke dalam rumah besar itu setelah menutup kembali pintu depan.

Sin Hong menanti sambil mendekatkan telinganya ke daun pintu agar dapat mendengar lebih baik. Dia siap untuk mempergunakan kekerasan kalau jalan halus ini gagal.

Akan tetapi siasatnya tadi berhasil baik. Ketika pelayan itu mengetuk daun pintu kamar di mana Lay-wangwe masih tidur mengorok sambil merangkul dua orang wanita pelacur yang mengapitnya, dia terbangun dan tentu saja dia marah-marah karena merasa terganggu.

“Lay-wangwe, ada keperluan penting sekali, harap bangun!” demikian suara pelayan yang mengetuk pintu kamar itu.

Dua orang pelacur terbangun lebih dahulu dan mereka segera menutupi tubuh mereka dengan selimut, sementara itu Lay-wangwe bangkit dan duduk dengan sukar karena perutnya amat gendut. Dia pun menutupi tubuhnya dengan selimut dan mengomel.

“Keparat, siapa berani menggangguku?”

Kepada seorang di antara dua orang pelacur itu dia memberi isyarat untuk membuka daun pintu. Ketika daun pintu terbuka dan dengan takut-takut pelayan tua itu terbungkuk-bungkuk masuk.

Laywangwe membentak marah.
“Apa kau sudah bosan hidup, berani mengganggu aku sepagi ini?”






“Maafkan saya, Lay-wangwe, akan tetapi di luar telah datang seorang tamu yang mengaku sahabat baik Wangwe dan dia mengatakan bahwa ada bahaya mengancam diri Wangwe dan kalau Wangwe menghendaki agar selamat, Wangwe harus cepat-cepat pergi bersama dia sekarang juga.”

Laki-laki pendek gendut itu terbelalak, wajahnya berubah pucat dan cepat-cepat dia meraih pakaiannya secepat mungkin.

“Bagaimana orangnya? Masih mudakah? Atau sudah tua? Dan siapa namanya?” Dia bertanya sambil mengenakan pakaiannya.

“Dia belum sempat mengaku siapa namanya, akan tetapi orangnya masih muda dan orangnya ramah sekali, baik sekali, Lay-wangwe. Dan dia nampaknya bersungguh-sungguh.“

“Kalau begitu aku harus cepat pergi dari sini!” katanya sambil melemparkan beberapa potong uang perak kepada dua orang pelacur itu.

Dia keluar dari kamar dan melihat betapa beberapa buah kamar yang berderet di situ juga nampak terbuka, agaknya ribut-ribut itu membangunkan tamu-tamu lain. Hal ini sebenarnya biasa saja, namun orang she Lay yang sudah ketakutan itu kini memandang penuh kecurigaan, seolah-olah bahaya yang disebutkan tadi datang dari kamar-kamar itu. Dia pun cepat-cepat melangkah keluar, tidak tahu betapa beberapa buah kancing bajunya salah memasuki lubangnya dan kedua matanya kemerahan dan ujungnya dihias kotoran mata.

Setelah membuka pintu depan dia berhadapan dengan Sin Hong! Sekali lihat saja tahulah Sin Hong bahwa dia berhadapan dengan orang yang dimaksudkan oleh Tang-piauwsu dan Ciu-piauwsu, orang gendut botak yang terkenal dengan nama Lay-wangwe, pengirim emas yang mengakibatkan tewas ayahnya dan membuat perkara menjadi berlarut-larut sampai kematian Tang-piauwsu itu. Akan tetapi, dia belum yakin benar bahwa si gendut ini hanya merupakan umpan untuk menjebak ayahnya. Bagaimana kalau dia ini benar-benar pengirim emas, sama sekali tidak bersalah?

“Siapa.... siapakah engkau....?”

Lay-wangwe bertanya dengan sangsi ketika melihat seorang pemuda yang sama sekali tidak pernah dikenalnya.

Akan tetapi, Sin Hong melangkah maju.
“Apakah engkau yang bernama Lay-wangwe?”

Karena tidak mengenal pemuda itu, muncullah lagak Lay-wangwe yang memandang rendah orang lain, apalagi orang ini mengganggunya dan dia tidak melihat adanya gangguan dan dia tidak melihat adanya bahaya mengancam seperti yang dikatakan pelayan tadi.

“Benar, akulah Lay-wangwe. Engkau siapa dan mau apa?” Kemudian dia menoleh ke kanan kiri dan menyambung, “Engkau bilang ada bahaya? Engkaulah yang mengatakan ada bahaya tadi, dan di mana bahaya itu?”

Sin Hong tersenyum.
“Lay-wangwe, di sinilah letaknya bahaya kalau engkau tidak mau bicara terus terang padaku. Ketahuilah, aku adalah putera dari mendiang Tan-piauwsu, pemimpin Peng-an Piauwkiok yang dahulu mengangkut emasmu ke Tuo-lun! Ingatkah engkau? Engkau datang kepada ayah, mengirim peti berisi emas ke Tuo-lun, kemudian di tengah jalan, ayah dibunuh orang dan engkau menuntut ganti kerugian dan menyita rumah dan perusahaan ayah. Kemudian, terjadi pembunuhan pula atas diri Tang-piauwsu belum lama ini. Nah, katakanlah, apa yang kau ketahui tentang semua pembunuhan itu?”

Lay-wangwe terbelalak memandang kepada Sin Hong, kemudian dia tersenyum lebar, mengejek.
“Orang muda, hanya untuk itu engkau berani mengganggu aku? Memang aku yang mengirim emas itu, dan karena hartaku hilang, aku menyita rumah dan perusahaan ayahmu. Aku telah menderita rugi besar dan engkau masih hendak menggangguku? Aku tidak tahu apa-apa tentang pembunuhan itu!” Dan dia pun membalikkan tubuhnya hendak masuk lagi.

“Tunggu dulu!” Sin Hong berseru dengan suara keras.

Lay-wangwe membalik dan kini matanya menjadi semakin merah dan alisnya berkerut karena dia sudah marah sekali.

“Engkau mengaku sebagai seorang hartawan di kota raja, akan tetapi ternyata engkau bukan hartawan kota raja karena di sana tidak ada seorang pun mengenalmu! Dan ketika engkau hendak mengirim peti berisi emas itu melalui Ban-goan Piauw-kok, engkau menolak ketika petinya hendak dibuka dan isinya diperiksa, bahkan engkau membatalkan pengiriman itu, lalu mengirimkannya tanpa membuka peti melalui ayahku. Siapakah engkau ini sebenarnya dan apa maksudmu memancing ayah dengan umpan kiriman emas itu untuk menjebaknya?”

“Bocah kurang ajar! Berani engkau menyelidiki keadaanku? Engkau patut dihajar!”

Dan tiba-tiba saja, orang yang gendut itu bergerak cepat sekali, menyerang Sin Hong dengan pukulan kedua tangannya dengan bertubi-tubi! Orang akan terkejut sekali melihat betapa “hartawan” Lay itu tiba-tiba saja menjadi seorang laki-laki yang ganas dan dapat melakukan penyerangan secepat dan sekuat itu padahal tubuhnya bulat dengan perutnya yang gendut.

Sin Hong tentu saja tidak gugup, akan tetapi dia pun agak terkejut karena tidak mengira bahwa Lay-wangwe itu ternyata mampu menyerangnya, bukan hanya dengan cepat sekali, akan tetapi juga dia dapat melihat betapa pukulan-pukulannya mengandung tenaga yang cukup kuat! Kiranya si gendut ini bukan orang sembarangan dan tentu saja kecurigaannya semakin bertambah.

“Hemmm, kiranya engkau seorang tukang pukul!”

Katanya sambil miringkan tubuhnya dan ketika kedua tangannya melancarkan pukulan bertubi-tubi itu lewat, tangannya sendiri bergerak menotok dan robohlah tubuh yang berperut gendut itu, tidak mampu bangkit lagi karena tubuh itu terasa lemas oleh totokan Sin Hong!

Kini muka orang itu nampak ketakutan karena baru dia tahu bahwa dia berhadapan dengan lawan yang luar biasa lihainya, yang dapat merobohkannya dalam satu gebrakan saja! Sulit untuk dipercaya, akan tetapi kenyataannya demikianlah dan dia mulai merasa ngeri dan takut.

“Nah, sekarang ceritakan yang sebenarnya. Siapa yang mengatur pancingan dan jebakan itu, siapa yang telah membunuh ayahku dan Tang-piauwsu? Katakan sebetulnya kalau tidak ingin aku terpaksa menggunakan kekerasan memaksamu!”

Sin Hong sengaja menekankan jari tangannya ke pundak orang gendut itu dan orang itu pun menyeringai kesakitan. Penekanan pada jalan darah di pundaknya itu membuat seluruh tubuh bagian atasnya demikian nyeri seperti ditusuki ribuan jarum dan keringat dingin membasahi muka dan lehernya.

“Aku.... aku tidak tahu siapa pembunuhnya.... aku hanyalah anak buah saja.“ katanya dengan suara terputus-putus saking hebatnya rasa nyeri yang dideritanya.

Sin Hong melepaskan jarinya.
“Lalu siapa pemimpinmu? Siapa yang mengutusmu? Jawab!”

“.... Tiat.... Tiat-liong-pang.!” Tiba-tiba dia menjerit dan berkelojotan.

Sin Hong terkejut bukan main karena pada saat orang itu tadi mulai membuat pengakuan, ada belasan jarum dan paku beracun menyambar ke arahnya dari depan. Dia cepat mengelak dengan loncatan ke samping dan tangannya mendorong sehingga sisa senjata rahasia itu terpukul angin dorongannya dan runtuh.

Akan tetapi ketika dia memandang, dia melihat orang gendut itu sudah berkelojotan dengan muka membiru dan mata melotot. Dia melihat bayangan orang berkelebat lari ke dalam rumah itu. Terlambat untuk menyelamatkan si gendut dan dia pun cepat meloncat dan mengejar ke dalam rumah.

Bayangan yang kelihatan berpakaian hitam itu ternyata memiliki gerakan yang amat cepat. Terdengar jeritan-jeritan wanita ketika Sin Hong berlari cepat memasuki rumah itu. Ternyata wanita-wanita pelacur yang keluar dari kamar masing-masing, terkejut dan ketakutan melihat kejar-kejaran itu, apalagi yang dikejar adalah seorang yang memakai pakaian hitam dan kedok hitam pula!

Dengan penuh semangat Sin Hong melakukan pengejaran karena dia merasa yakin bahwa orang itulah yang menjadi kunci rahasia pembunuhan-pembunuhan itu, setidaknya orang itu tentu yang telah membunuh Tang-piauwsu. Maka dia harus dapat menangkapnya!

Orang itu menerjang pintu belakang dan terus melompat ke dalam kegelapan pagi yang masih remang-remang itu. Tiba-tiba ada orang menyambutnya dengan bentakan nyaring.

“Berhenti!”

Bentakan itu dibarengi munculnya Ci Hwa dengan pedang telanjang di tangan. Melihat betapa ada seorang gadis berpedang menghadang di depannya, orang itu tidak berhenti, bahkan menerjang dan menyerang Ci Hwa! Tentu saja Ci Hwa terkejut akan kenekatan orang itu dan ia pun menyambut dengan tusukan pedangnya! Akan tetapi, orang itu menangkis dengan tangan kiri dan tangan kanannya tetap saja mencengkeram ke arah dada Ci Hwa!

“Plakkk!”

Pedangnya tertangkis oleh tangan kosong itu begitu saja sampai hampir terlepas dari pegangannya dan dadanya terancam cengkeraman. Terpaksa Ci Hwa melempar tubuh ke belakang dan berjungkir balik, kemudian ia membalikkan tubuhnya.

Terlambat! Orang yang ternyata luar biasa lihainya itu sudah menendang lututnya dan Ci Hwa terguling. Orang itu menubruk dengan hantaman tangan kanannya ke arah kepala Ci Hwa yang sudah tidak sempat untuk mengelak atau menangkis lagi!

“Dukkk!”

Pukulan hebat dari orang berkedok hitam itu tertangkis oleh tangan Sin Hong yang datang tepat pada saat nyawa Ci Hwa terancam bahaya itu.

Orang itu mengeluarkan seruan kaget, lalu menyerang dengan kedua tangan didorongkan ke arah dada Sin Hong. Pukulan jarak jauh! Ini membuktikan bahwa orang berkedok itu memang lihai bukan main. Sin Hong menyambut dengan dorongan penuh tenaga sin-kang dan orang itu terjengkang! Kembali dia mengeluarkan seruan kaget dan terus meloncat jauh dan menghilang ke dalam kegelapan pagi buta itu. Sin Hong tidak mengejar karena mengkhawatirkan keselamatan Ci Hwa melihat kelihaian orang itu. Siapa tahu masih ada kawanan penjahat di situ yang akan mencelakai Ci Hwa.

“Engkau terluka, Hwa-moi (adik Hwa)?” tanyanya sambil memegang pundak gadis itu.

Ci Hwa menggeleng kepala, lalu bangkit berdiri dan kakinya tidak terluka parah, hanya agak terpincang.

“Mari kita kejar dia!”

Kata Sin Hong dan sambil memegang tangan gadis itu, dia pun meloncat dan Ci Hwa merasa seolah-olah tubuhnya diangkat dan dibawa terbang! Sampai beberapa lamanya Sin Hong dan Ci Hwa mencari-cari, namun si kedok hitam itu sudah lenyap.

“Sayang, dia telah pergi....!” kata Sin Hong yang terpaksa menghentikan larinya.

Gadis itu mengangkat muka memandangnya dengan sinar mata penuh kagum, kemudian ia merunduk dan merasa malu sekali untuk bertemu pandang dengan pemuda itu.

“Hong-ko.“

“Ya. Kenapa, Moi-moi, engkau tidak terluka parah, bukan?”

Gadis itu menggeleng kepalanya.
“Tidak, dan aku terbebas dari maut, berkat pertolonganmu, Hong-ko.”

“Aih, sudahlah, hal itu tidak perlu disebut-sebut lagi. Sayang jahanam itu dapat lolos. Dia tentu tahu banyak tentang rahasia pembunuhan-pembunuhan itu.”

“Siapakah orang berkedok yang lihai itu, Hong-ko?”

“Aku tidak tahu. Aku berhasil bertemu dengan Lay-wangwe yang gendut itu dan ketika aku mulai mengancamnya untuk mengaku, tiba-tiba dia diserang senjata rahasia dan tewas. Penyerangnya adalah orang berkedok itu maka aku mengejarnya.”

“Ahhh....!” Tentu saja Ci Hwa terkejut mendengar bahwa orang she Lay itu tewas pula oleh orang berkedok tadi. “Sungguh aku merasa malu dan menyesal sekali, Hong-ko. Aku memandang rendah padamu, mengira engkau tidak sedemikian pandainya sehingga aku ikut membantumu, ternyata bahkan menghalangimu menangkap orang berkedok itu. Kiranya engkau memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa tingginya.”

“Sudahlah, Hwa-moi, kalau tidak ada engkau yang menghadangnya, tentu aku tidak sempat bentrok dengannya dan dia sudah lebih dahulu menghilang. Mari kita pulang dan melaporkan hal ini kepada ayahmu karena aku memperoleh keterangan yang cukup penting dari Lay-wangwe. Menurut pengakuannya sebelum dia terbunuh dia hanya diperalat oleh Tiat-liong-pang.”

“Tiat-liong-pang? Perkumpulan apa itu dan di mana?”

“Aku tidak tahu, sebaiknya kalau kita tanyakan hal itu kepada ayahmu, mungkin dia lebih tahu.”

Benar saja, ketika Kwee-piauwsu mendengar bahwa si gendut Lay itu diperalat oleh Tiat-liong-pang, dia terkejut bukan main.

“Tiat-liong-pang? Perkumpulan besar di bawah pimpinan Siangkoan Lohan! Sungguh aneh sekali! Perkumpulan itu terkenal amat kuat, dan Siangkoan Lohan adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian amat tinggi. Perkumpulannya terkenal kuat pula dan dia memiliki hubungan dekat dengan istana, bahkan kabarnya dihadiahi puteri dari istana yang menjadi isterinya karena dia banyak berjasa terhadap kerajaan. Apa artinya ini? Mengapa perkumpulan besar seperti Tiat-liong-pang ada hubungannya dengan pembunuhan-pembunuhan ayahmu dan Tang-piauwsu, bahkan kini membunuh Lay-wangwe, kaki tangannya sendiri untuk menutup mulutnya? Apa yang dikehendaki perkumpulan macam Tiat-liong-pang di sini? Sungguh aneh dan sukar dipercaya keterangan orang she Lay itu!”

“Bagaimanapun juga, keterangan itu mendatangkan jejak baru dan saya akan melakukan penyelidikan ke sana, paman Kwee. Sayang bahwa orang berkedok itu dapat lolos, karena dia pasti tahu akan semua peristiwa pembunuhan itu, bahkan mungkin sekali dialah yang melakukan pembunuhan terhadap ayah dan paman Tang.”

Kwee-piauwsu mengangguk-angguk.
“Memang tidak ada jalan lain untuk melakukan penyelidikan setelah orang she Lay itu terbunuh. Akan tetapi berhati-hatilah, Sin Hong, karena Tiat-liong-pang adalah sebuah perkumpulan yang amat kuat dan berpengaruh, juga bukan perkumpulan penjahat.”

“Baik, Paman dan terima kasih atas semua nasihat dan bantuan Paman.”

Pada hari itu juga, Sin Hong meninggalkan rumah keluarga Kwee, dan setelah pemuda itu pergi, wajah Ci Hwa nampak murung dan sinar matanya suram. Ayahnya melihat hal ini dan diam-diam merasa heran, akan tetapi belum sempat dia bertanya, pada keesokan harinya pagi-pagi sekali dia mendapatkan bahwa puterinya itu telah pergi meninggalkan rumah tanpa pamit! Hanya terdapat surat di atas meja dalam kamarnya yang memberitahukan ayah ibunya bahwa ia pergi untuk membantu menyelidiki pembunuh Tan-piauwsu dan Tang-piauwsu, untuk mencuci nama ayahnya yang tadinya disangka menjadi pembunuh.

Nyonya Kwee menangis dan merasa khawatir sekali, membujuk suaminya agar mencari dan mengajak kembali Ci Hwa. Akan tetapi suaminya menghiburnya.

“Ia sudah dewasa dan sudah memiliki bekal kepandaian silat yang cukup kuat untuk menjaga diri sendiri. Biarlah ia mencari pengalaman selagi masih bebas.”

Demikian dia berkata kepada isterinya, akan tetapi diam-diam dia mengharapkan puterinya itu dapat bertemu dan bekerja sama dengan Sin Hong karena Kwee-piauwsu merasa suka sekali kepada Sin Hong yang mirip ibunya, wanita yang pernah dikasihinya itu, dia mengharapkan untuk menjodohkan puterinya dengan pemuda itu!.

Sementara itu, setelah meninggalkan rumah keluarga Kwee, Sin Hong tidak langsung pergi ke luar kota untuk menyelidiki Tiat-liong-pang, melainkan singgah di bekas rumah orang tuanya. Dia melihat betapa bangunan itu, baik kantor piauwkiok maupun rumah tinggalnya, telah dibikin betul, kelihatan baru dan dicat baru pula. Hampir dia tidak mengenal lagi tempat di mana dia tinggal sejak lahir sampai berusia belasan tahun.

Ciu-piauwsu menyambutnya dengan wajah gembira.
“Tan Sin Hong, engkau baru datang? Bagaimana dengan hasil penyelidikanmu?” tanyanya langsung setelah pemuda itu dipersilahkan.

Karena Ciu-piauwsu merupakan satu-satunya orang dari pihak ayahnya yang mengetahui akan semua urusannya itu Sin Hong lalu menceritakan dengan singkat tentang semua hasil usahanya. Betapa dia gagal menemukan Lay-wangwe di kota raja, betapa kemudian dia menyelidiki keluarga Kwee-piauwsu dan atas bantuan keluarga itu dia berhasil menemukan Lay-wangwe di Ban-goan dan kembali ada pembunuhan, yaitu terhadap diri si gendut itu, oleh seorang berkedok.

“Sayang aku tidak dapat menangkap orang berkedok itu,” Dia mengakhiri ceritanya.

“Akan tetapi Lay-wangwe telah meninggalkan suatu pengakuan yang dapat merupakan jejak baru dalam penyelidikanku, paman Ciu.”

“Ah, benarkah? Apa saja yang diakuinya?” Ciu-piauwsu mendesak.

“Menurut pengakuannya sebelum dia tewas oleh senjata rahasia orang berkedok itu, dia hanya diperalat oleh Tiat-liong-pang.”

“Ohhh....!” Wajah Ciu-piauwsu berubah dan matanya terbelalak, dia nampak terkejut bukan main.

“Kenapa, Paman?”

“Celaka, tentu orang gendut botak itu telah membohongimu. Mana mungkin Tiat-liong-pang mencampuri urusan ini? Tiat-liong-pang adalah sebuah perkumpulan besar dan kuat dipimpin oleh Siangkoan Lohan, seorang kakek yang gagah perkasa dan memiliki ilmu kepandaian tinggi. Mana mungkin melakukan kejahatan? Tentu si gendut itu membohongimu!”

“Kurasa tidak, Paman. Betapapun juga, setidaknya kini terdapat jejak baru sehingga aku dapat melanjutkan penyelidikanku.”

“Aku lebih condong untuk menyelidiki Ban-goan Piauwkiok. Orang she Kwee itu lebih mencurigakan.“

“Tidak, Paman. Dugaan kita telah keliru. Paman Kwee Tay Seng sama sekali tidak bersalah.“

“Ah, jangan engkau sampai tertipu oleh sikap manisnya!”

“Tidak, Paman. Aku yakin bahwa dia tidak bersalah dan aku akan melakukan penyelidikan terhadap Tiat-liong-pang.”

Ciu-piauwsu mengangguk-angguk.
“Terserah kepadamu, Sin Hong. Akan tetapi berhati-hatilah. Jangan sampai engkau menuduh pihak yang tidak berdosa dan Tiat-liong-pang merupakan perkumpulan yang kuat sekali, bahkan dekat dengan istana karena ketuanya masih termasuk keluarga kerajaan!”

Pada hari itu, Sin Hong meninggalkan Ban-goan setelah menerima banyak nasihat dari Ciu-piauwsu agar berhati-hati kalau menyelidiki Tiat-liong-pang. Dia melakukan perjalanan cepat menuju ke kota San-cia-kou karena perkumpulan itu terletak di lereng sebuah bukit di luar kota itu.

**** 015 ****