Ads

Rabu, 17 Februari 2016

Kisah si Bangau Putih Jilid 011

Dengan hati penuh perasaan penasaran dan kemarahan Ciok Kim Bouw ketua Cin-sapang meninggalkan perkampungan Tiat-liong-pang di lereng bukit itu, menuruni bukit dengan langkah lebar. Hatinya penuh dengan perasaan marah dan malu, juga penasaran sekali.

Jelaslah bahwa Tiat-long-pang mengambil jalan sesat, bukan hanya bergaul dengan penjahat, datuk sesat, bahkan juga dengan tokoh-tokoh pemberontak. Akan tetapi, Tiat-liong-pang kuat sekali, dan melihat betapa puteranya saja sedemikian lihainya, sukar diukur bagaimana tingginya ilmu kepandaian Siangkoan Lohan.

Dia bergidik kalau teringat akan kehebatan ilmu silat lawannya yang masih muda remaja tadi. Dan dia merasa menyesal bukan main karena semua waktunya selama puluhan tahun dipergunakan untuk belajar silat, ternyata kini menghadapi seorang pemuda remaja saja dia kalah! Padahal dia mempergunakan golok yang diandalkan, sedangkan pemuda itu bertangan kosong. Tiba-tiba dia menggaruk siku lengan kanannya, terasa gatal-gatal.

Ketika dia menggaruknya, dia meringis karena begitu digaruk terasa panas bukan main. Dia berhenti melangkah dan menggulung lengan baju untuk melihat lengannya. Terkejutlah dia melihat betapa di lengan bawah, di bawah siku, terdapat tanda merah kebiruan sebesar jari tangan.

Itulah kiranya yang terasa gatal dan panas! Makin terkejutlah dia ketika teringat bahwa ketika dia dikalahkan oleh pemuda tadi, bagian lengan itu tertotok yang membuat lengannya lumpuh dan goloknya terlepas. Agaknya totokan itulah yang mendatangkan bekas yang gatal dan panas ini.

Selagi dia hendak melanjutkan perjalanan dekat dengan kaki bukit itu, tiba-tiba berkelebat dua sosok bayangan orang dan terdengar suara seorang wanita tertawa mengejek. Dia mengangkat mukanya dan Sin-kiam Mo-li bersama Toat-beng Kiam-ong Giam San Ek telah berada di depannya, berdiri sambil tersenyum dan tertawa mengejek!

Ciok Kim Bouw tentu saja dapat menduga bahwa munculnya wanita ini tentu tidak mengandung niat baik, maka dia pun sudah mencabut golok besarnya dan menghardik.

“Iblis betina, mau apa engkau menghadangku?”

“Hi-hi-hik, Cin-sa-pang! Selama ini aku tidak pernah tahu ketua Cin-sa-pang telah memiliki seorang ketua baru seperti engkau. Sekarang, setelah engkau berani menghinaku di tempat umum, engkau masih bertanya lagi mau apa aku menghadangmu? Tentu saja untuk membunuhmu!”

“Bagus! Memang saat ini yang kutunggu-tunggu, yaitu membunuhmu atau mati di tanganmu. Dan engkau, Toat-beng Kiam-ong, apakah jagoan seperti engkau hendak membantunya mengeroyok aku? Majulah, jangan kira aku takut menghadapi kalian!” tantangnya, mendahului lawan karena dia maklum bahwa tentu orang ini berpihak kepada Sin-kiam Mo-li.

Toat-beng Kiam-ong Giam San Ek tertawa bergelak.
“Ha-ha-ha, engkau sungguh tak tahu diri. Melawan seorang pemuda remaja bertangan kosong saja engkau keok (kalah), perlu apa membantu Sian-li. Biar engkau memecah diri menjadi rangkap sepuluh, akan mampus satu demi satu di tangan Sian-li!”

“Iblis betina, bersiaplah untuk mampus!” bentak Ciok Kim Bouw lantang sambil menyerang dengan goloknya.

Dia merasa betapa lengan di bagian dekat siku terasa nyeri, akan tetapi dia tidak peduli dan terus menyerang sekuat tenaga dan dengan kemarahan meluap-luap. Dia sudah nekat karena maklum bahwa sekali ini, akibat perkelahian itu hanya dua, yaitu kalah dan mati, atau menang dan hidup. Biarpun dia tahu bahwa untuk menang amatlah sukarnya, apalagi di situ berdiri si Raja Pedang yang pasti akan membantu iblis betina itu, namun sedikitnya dia tidak merasa gentar dan menyerang dengan ganas dan dahsyat.

Sambil tersenyum mengejek, Sin-kiam Mo-li menggerakkan pedangnya menangkis dan membalas dengan serangan kebutannya yang bulu-bulunya mengandung racun jahat. Ciok Kim Bouw mengelak dan melakukan perlawanan mati-matian, bahkan dengan gerakan-gerakan nekat. Akan tetapi, lengannya kini terasa semakin nyeri dan ngilu sehingga jari-jari tangannya kurang kuat mencengkeram gagang goloknya.

Terpaksa dia memindahkan gagang golok itu ke tangan kiri dan kini melakukan perlawanan mati-matian dengan golok di tangan kiri. Dia memang sudah melatih diri menggunakan golok dengan tangan kiri karena dia pun ahli bermain sepasang golok, akan tetapi bagaimanapun juga, tentu saja gerakannya tidaklah selincah kalau menggunakan golok itu di tangan kanannya. Maka, tentu saja dia semakin terdesak. Belum juga lewat dua puluh jurus sebuah tendangan kaki kiri Sin-kiam Mo-li mengenai pahanya dan dia pun terpelanting. Untuk mencegah lawan menyusulkan serangan, ketua Cin-sa-pang itu bergulingan di atas tanah sambil melindungi tubuh dengan putaran goloknya.

Sambil tertawa-tawa mengejek Sin-kiam Mo-li melakukan pengejaran sambil melecut-lecutkan cambuknya, mengikuti kemana tubuh lawan itu bergulingan. Sama sekali ia tidak memberi kesempatan kepada lawan untuk melompat bangun kembali.

Dikejar seperti itu, Ciok Kim Bouw menjadi sibuk sekali. Bukan saja dia harus meiindungi tubuhnya, akan tetapi juga keadaannya berbahaya sekali karena kalau dia meloncat bangun, tentu dia akan terkena serangan pedang atau kebutan yang amat berbahaya itu.

Kebutan yang dapat dipergunakan sebagai cambuk, juga menotok atau menusuk seperti pedang karena dengan kekuatan sin-kang bulu-bulu kebutan itu dapat menjadi kaku seperti baja, sungguh amat berbahaya. Apalagi setiap lembar bulunya mengandung racun berbahaya!

“Ha-ha-ha, Pangcu dari Cin-sa-pang, sekarang engkau seperti seekor tikus yang lari ke sana-sini dikejar kucing! Sian-li kenapa harus main-main dengan dia? Bunuh saja dengan cepat dan kita kembali ke sana!”

Laki-laki yang sudah tidak sabar karena ingin segera berduaan dengan kekasihnya itu, mendesak. Mendengar ini, Sin-kiam Mo-li mengeluarkan suara mengejek dan ia pun menggerakkan pedangnya, melakukan serangan kilat yang amat hebat pada tubuh yang sedang bergulingan itu.

Sukar agaknya bagi Ciok Kim Bouw untuk menyelamatkan diri dari serangan itu, akan tetapi tiba-tiba Sin-kiam Mo-li mengeluarkan jeritan halus dan pedangnya ditariknya kembali. Cepat ia membalik ke kanan dan dia melihat seorang pemuda sudah berdiri tak jauh dari situ. Tahulah ia bahwa yang menyambitkan kerikil kecil dan mengenai pundak kanannya sehingga lengan kanannya menjadi kesemutan itu adalah pemuda ini! Dan ia pun terkejut ketika mengenal pemuda itu.






Toat-beng Kiam-ong Giam San Ek merasa heran melihat kekasihnya tidak jadi menyerang, dan dia pun ikut memandang. Dilihatnya seorang pemuda yang mengenakan pakaian serba putih, berdiri di bawah pohon, tak jauh dari situ. Juga Ciok Kim Bouw yang baru saja terlepas dari bahaya maut, sudah bergulingan menjauh kemudian melompat berdiri, ikut pula memandang.

Pemuda itu berpakaian serba putih, sederhana sekali, sinar matanya lembut dan mulutnya dihias senyum ramah, sama sekali tidak menunjukkan kelebihan dan nampak seperti seorang pemuda petani biasa saja. Namun, Sin-kiam Mo-li kelihatan kaget kemudian marah ketika ia melangkah maju.

“Bocah setan, kiranya engkau? Bukankah kau.... kau.... yang dari gurun pasir itu?” tanyanya ragu karena walaupun ia masih teringat benar akan wajah yang sudah pernah dibelai, dirangkul dan diciuminya itu, ia masih belum mau percaya.

Pemuda yang pernah dirayunya sampai ia hampir gila karena dirangsang berahi dan pemuda itu selalu dingin saja dan tidak pernah tergairah, adalah seorang pemuda yang lemah dan sama sekali tidak mengenal ilmu silat. Waktunya baru berjalan setahun lebih sedikit, bagaimana mungkin kini pemuda itu mampu menyambitkan kerikil yang membuat lengannya hampir lumpuh?

Pemuda itu memang Tan Sin Hong! Seperti telah kita ketahui, Sin Hong meninggalkan kota Ban-goan untuk pergi ke kota raja, untuk mencari hartawan she Lay, pengirim barang berharga yang mengakibatkan hancurnya keluarga ayah ibunya. Ingin dia menemukan hartawan itu, untuk menyelidiki kematian ayahnya yang penuh rahasia, karena siapa tahu hartawan itu menyimpan rahasia dan dari dia maka rahasia kematian ayahnya akan dapat dibongkarnya.

Dan pada hari itu, dia tiba di kaki bukit di mana terdapat sarang Tiat-liong-pang, tanpa disengaja, melihat Ciok Kim Bouw yang terancam maut di tangan seorang wanita yang membuat darahnya berdenyut kencang dan jantungnya berdebar. Dia mengenal wanita itu yang bukan lain adalah Sin-kiam Mo-li, seorang di antara datuk sesat yang telah menyerbu Istana Gurun Pasir yang mengakibatkan kematian tiga orang gurunya.

Sin-kiam Mo-li yang pernah menggelutinya, berusaha memperkosanya, kini tiba-tiba saja berada di kaki bukit itu, sedang berusaha keras membunuh seorang laki-laki tinggi besar bermuka hitam yang dengan susah payah membela diri. Biarpun dia tidak mengenal siapa pria bermuka hitam itu dan apa urusannya berkelahi dengan Sin-kiam Mo-li, tanpa ragu-ragu lagi Sin Hong menyelamatkan pria itu dari ancaman maut dengan menyambitkan sebuah kerikil kecil yang mengenai pundak kanan wanita iblis itu.

Kini dia menghadapi Sin-kiam Moli dengan senyum, dan diam-diam dia bersyukur melihat kenyataan bahwa pertemuan dengan wanita iblis yang telah menyebabkan kematian tiga orang gurunya itu sama sekali tidak membangkitkan kemarahan atau kebencian dalam hatinya. Ini merupakan suatu kemajuan dalam dirinya, pikir Sin Hong. Dia mengangguk untuk menjawab pertanyaan Sin-kiam Moli tadi, membuyarkan keraguan wanita iblis itu.

“Benar, Sin-kiam Mo-li, aku adalah pemuda gurun pasir itu, dan engkau ternyata masih saja mengumbar kejahatan dan menyebarkan perbuatan kejam di manapun engkau berada. Engkau hendak membunuh orang yang sudah jelas tidak lagi mampu melawanmu,”

Sin Hong menoleh ke arah Ciok Kim Bouw yang berdiri agak jauh sambil memijit-mijit lengan kanannya, sedangkan golok tadi sudah disarungkannya kembali.

Ciok Kim Bouw maklum bahwa baru saja dia terbebas dari maut oleh kemunculan pemuda berpakaian putih itu. Entah dengan cara bagaimana pemuda itu dapat membuat Sin-kiam Mo-li menghentikan serangannya yang membuat dia kewalahan tadi. Kini dia memandang penuh perhatian, siap untuk membantu pemuda itu. Bagaimanapun juga, kini muncul seorang yang agaknya dapat diharapkan akan membantunya menghadapi musuh-musuhnya yang terlalu lihai baginya itu.

Akan tetapi, terdapat keraguan pula di dalam hati ketua Cinsa-pang ini. Pemuda berpakaian putih itu kelihatan demikian lemah lembut, dan tadi pun dia belum mengeluarkan tanda bahwa dia pandai ilmu silat. Hanya sikapnya saja yang demikian tenang, bahkan menghadapi Sin-kiam Mo-li yang sudah dikenalnya, nampak demikian tenang dan berani pula mencela.

“Awas....!”

Tiba-tiba Ciok Kim Bouw berteriak memperingatkan Sin Hong karena pemuda itu sedang menoleh kepadanya dan pada saat itu dia melihat Sin-kiam Mo-li telah menggerakkan pedangnya menusuk ke arah lambung pemuda berpakaian putih itu!

Akan tetapi, biarpun dia sedang menoleh ke arah Ciok Kim Bouw, tentu saja Sin Hong tahu akan serangan gelap itu. Pada waktu itu, tingkat ilmu kepandaiannya sudah mencapai titik yang tinggi sekali berkat penggabungan tenaga sin-kang yang diterimanya dari tiga orang gurunya dan berkat gemblengan ilmu-ilmu yang sudah mendarah daging di tubuhnya. Dia tahu akan tusukan yang datang menuju lambungnya dan tanpa menoleh, ketika tusukan tiba, tubuhnya sudah bergeser dan mengelak tanpa banyak kesulitan sehingga tusukan pedang Sin-kiam Mo-li mengenai tempat kosong!

Sin-kiam Mo-li yang merasa penasaran dan bangkit kebenciannya kepada pemuda yang membuatnya tergila-gila namun yang berani menolak cintanya itu, sudah melanjutkan serangannya bertubi-tubi dengan kebutan dan pedangnya.

Demikian cepat dan bersambungan datangnya serangan-serangan ini, namun semua dapat dihindarkan dengan amat mudahnya oleh Sin Hong, hanya dengan menggerakkan kedua tangan ke depan seperti menolak. Setiap kali telapak tangannya mendorong, ada kekuatan dahsyat yang meniup pergi bulu-bulu kebutan, bahkan telapak tangan itu berani menampar pedang itu sehingga tertangkis.

Ciok Kim Bouw yang tadinya siap untuk membantu dengan goloknya yang akan dimainkan dengan tangan kiri, tidak jadi bergerak dan kini dia berdiri melongo. Kalau tadi ada seorang pemuda yang halus dan lembut gerak-geriknya menghadapinya dengan tangan kosong dan dia dikalahkan, kini ada seorang pemuda lain yang juga dengan tangan kosong bahkan berani melawan kebutan dan pedang di tangan Sin-kiam Mo-li! Kalau tidak melihat sendiri, tentu dia tidak akan percaya bahwa ada orang, apalagi masih begitu muda, berani menghadapi Sin-kiam Mo-li hanya dengan kedua tangan kosong saja.

Toat-beng Kiam-ong Giam San Ek juga merasa heran dan kagum melihat betapa pemuda berpakaian serba putih itu berani melawan Sin-kiam Mo-li dengan tangan kosong. Akan tetapi dia percaya sepenuhnya bahwa kekasihnya tentu akan menang dan dalam waktu singkat merobohkan pemuda itu, dan dia tidak akan membunuh Ciok Kim Bouw, khawatir kalau kekasihnya merasa tersinggung dan marah. Biarlah Sin-kiam Mo-li yang melaksanakannya sendiri.

Akan tetapi, betapa kagetnya ketika tiba-tiba Sin-kiam Mo-li mengeluarkan jeritan tertahan dan sebagian dari bulu kebutan itu rontok berhamburan ketika bertemu dengan jari-jari tangan Sin Hong yang mencengkeram! Tentu saja melihat Sin-kiam Mo-li terhuyung ke belakang, Giam San Ek cepat melompat maju dan menyerang dengan pedangnya.

“Tranggg....!”

Pedang itu ditangkis oleh golok Ciok Kim Bouw. Si muka hitam ini menjadi gembira sekali dan timbul semangatnya melihat betapa pemuda berpakaian putih itu benar-benar mampu menahan Sin-kiam Mo-li, bahkan dalam belasan jurus saja sudah merontokkan bulu kebutannya. Maka, melihat majunya Toat-beng Kiam-ong, dia pun maju membantu Sin Hong.

“Mundurlah!”

Sin Hong membentak sambil mendorongkan kedua tangan bergantian ke arah Giam San Ek. Si Raja Pedang ini meloncat meninggalkan Ciok Kim Bouw untuk menghadapi Sin Hong, namun dia bertemu dengan tenaga dorongan amat kuat, merupakan tenaga tidak nampak, seperti angin yang menahannya dan membuatnya terhuyung. Tentu saja dia terkejut bukan main dan pada saat itu Sin-kiam Mo-li berseru keras.

“Kiam-ong, mari kita pergi!”

Wanita itu pun sudah meloncat dan melarikan diri! Melihat ini, tentu saja Kiam-ong terkejut dan tanpa bertanya lagi dia pun membalik dan mengambil langkah seribu menyusul temannya. Melihat ini, Ciok Kim Bouw menjadi semakin kagum kepada Sin Hong. Dia cepat menghadapi pemuda itu dan mengangkat kedua tangan ke depan dada sambil membungkuk memberl hormat.

“Pendekar muda yang gagah perkasa telah menyelamatkan nyawaku yang tidak berharga. Aku adalah Ciok Kim Bouw, ketua Cin-sa-pang. Tidak tahu siapakah nama Taihiap (Pendekar Besar) yang mulia?”

Sambil memandang wajah laki-laki tinggi besar itu. Sin Hong berkata,
“Maaf, Pangcu. Pertemuan antara kita hanya kebetulan saja dan saya tidak ingin dikenal, yang paling penting adalah agar Paman mengetahui bahwa Paman telah menderita luka pukulan beracun yang amat berbahaya.”

“Ahhh....!” Ciok Kim Bouw berseru kaget, lalu menyingkap lengan bajunya yang kanan, memperlihatkan tanda merah kehitaman sebesar jari di bawah sikunya. “Memang luka ini mendatangkan rasa gatal dan nyeri sekali.“

“Hemmm, itulah tanda bekas totokan jari beracun yang amat keji Pangcu,” kata Sin Hong. “Biar saya mencoba untuk mengobatinya.”

“Terima kasih, Taihiap, dan silakan,” kata ketua Cin-sa-pang itu sambil menyodorkan lengan kanannya,

Sin Hong memegang lengan itu, kemudian menggunakan jari tangannya menotok jalan darah di atas siku, lalu mengurut luka itu. Terasa nyeri bukan main oleh Ciok Kim Bouw, namun ketua ini menahan rasa nyeri, Sin Hong lalu mencengkeram bagian yang berwarna merah kehitaman, menggunakan hawa sakti di tubuhnya melalui telapak tangan untuk “membakar” hawa beracun itu.

Rasa nyeri dan panas membuat wajah ketua itu berpeluh, akan tetapi rasa panas itu semakin lama berkurang dan rasa nyeri pun lenyap. Setelah Sin Hong melepaskan tangannya, warna merah itu lenyap dan rasa nyerinya pun lenyap.

“Sudah baik kembali, Pangcu, dan saya harus melanjutkan perjalanan saya,” berkata demikian, Sin Hong lalu meloncat dengan cepat.

Ciok Kim Bouw hendak memanggil, namun diurungkan niatnya karena pemuda itu telah berkelebat cepat dan sudah jauh sekali. Dia hanya berdiri mengikuti bayangan itu yang makin mengecil akhirnya lenyap, berulang kali menarik napas panjang, kemudian dia pun melarikan diri dari tempat berbahaya itu.

Sehari bertemu dengan dua orang muda yang demikian lihainya cukup bagi ketua ini, membuka matanya bahwa tingkat kepandaiannya masih jauh daripada cukup untuk dipakai malang melintang di dunia kang-ouw. Dia merasa rendah diri dan semenjak itu, dia lebih sering tinggal di pusat perkumpulan Cin-sa-pang untuk melatih diri, dan memperdalam ilmu silatnya.

Sementara itu, di ruangan paling dalam dari rumah perkumpulan Tiat-liong-pang, Siangkoan Lohan menjamu beberapa orang tamunya. Para tamu lain telah pulang dan kini hanya mereka yang menjadi sekutunya sajalah yang duduk semeja dengannya.

Mereka adalah Sin-kiam Mo-li, Toat-beng Kiam-ong Giam San Ek, Agakai kepala suku Mongol, Thian Kong Cinjin wakil ketua Pat-kwa-pai dan Thian Kek Sengjin tokoh besar Pek-lian-pai. Masih ada beberapa orang lagi, di antaranya terdapat tiga orang berpakaian perwira yang agaknya baru datang karena mereka ini tidak nampak dalam pesta perayaan ulang tahun siang tadi. Ada pula terdapat seorang laki-laki, yang tentu akan membuat Sin Hong terheran-heran kalau dia melihatnya. Laki-laki ini bertubuh tinggi kurus, bermuka pucat dan bermata tajam sekali.

Mereka sedang bercakap-cakap dengan sikap yang serius, dipimpin oleh Siangkoan Lohan. Pada saat itu, Siangkoan Lohan sedang menyatakan penyesalannya kepada Sin-kiam Mo-li.

“Sungguh sayang sekali engkau tidak dapat menemukan ketua Cin-sa-pang itu, Mo-li. Padahal semua orang yang lain telah dapat dibasmi. Akan tetapi sudahlah, kukira dia tidak akan banyak bercerita, aku mengundang kalian hadir dalam pesta ulang tahun sebagai sesama kaum persilatan, tidak ada bukti apa-apa tentang gerakan kita.”

Sin-kiam Mo-li memang hanya menceritakan bahwa ia dan Toat-beng Kiam-ong tidak berhasil mengejar Ciok Kim Bouw. Ia merasa malu kalau harus menceritakan bahwa ia dan Raja Pedang itu lari ketakutan karena bertemu dengan seorang pemuda dari Istana Gurun Pasir.

Hanya kepada Toat-beng Kiam-ong ia terpaksa menceritakan siapa adanya pemuda berpakaian putih yang amat lihai itu. Ketika mereka melarikan diri meninggalkan Sin Hong, Raja Pedang itu bertanya siapa adanya pemuda yang memiliki kepandaian hebat itu. Terpaksa Sin-kiam Mo-li lalu menceritakan bahwa ia pernah bertemu dengan pemuda itu ketika ia dan kawan-kawannya melakukan penyerbuan ke Istana Gurun Pasir sehingga akhirnya berhasil membunuh tiga orang tua sakti di istana itu, dan kemudian membakar istana kuno itu. Akan tetapi ketika itu, si pemuda masih merupakan pemuda lemah. Ia pun tidak tahu bagaimana pemuda itu muncul sebagai seorang yang demikian lihainya.

“Lain kali harap Siangkoan Pangcu lebih berhati-hati,” seorang di antara tiga orang berpakaian perwira tinggi itu berkata. “Jangan sampai menimbulkan kecurigaan, terutama sekali kepada pemerintah sehingga kita akan terbentur dan mengalami banyak rintangan. Nah, sekarang harap Pangcu ceritakan dengan jelas segala hasil usaha yang telah dilakukan dan rencana selanjutnya.”

Perwira ini nampaknya berwibawa dengan kumisnya Yang tebal dan sikapnya yang agak sudah biasa memerintah dan ditaati.

“Harap Song-ciangkun jangan khawatir. Kami sengaja mengundang tokoh-tokoh kang-ouw yang kenamaan dan memiliki kepandaian, untuk menarik mereka sebagai pembantu dan buktinya, sebagian besar dari mereka boleh diharapkan akan membantu kita. Adapun mereka yang menentang, telah kami singkirkan. Lolosnya seorang di antara mereka, ketua Cin-sa-pang itu tidak ada artinya. Hasil besar usaha kami terutama sekali pembasmian Istana Gurun Pasir dan penghuninya, walaupun untuk hasil itu kami kehilangan banyak sekali kawan dan untuk itu, biarlah diceritakan sendiri oleh ia yang telah berjasa, Sin-kiam Mo-li. Mo-li, ceritakanlah pengalamanmu di Gurun Pasir dua tahun yang lalu itu.”

Sin-kiam Mo-li tadi sudah diperkenalkan kepada tiga perwira itu dan ia maklum bahwa Song-ciangkun itu adalah utusan panglima perang Kerajaan Ceng yang berkuasa di perbatasan utara dan yang telah bersekutu dengan Siangkoan Lohan. Dua orang perwira lain adalah pembantu-pembantunya. Memang usaha persekutuan yang dipimpin oleh Siangkoan Lohan untuk memberontak itu sudah direncanakan sejak kurang lebih sepuluh tahun yang lalu.

Penyerbuannya ke gurun pasir merupakan satu di antara usaha persekutuan itu untuk memperlicin jalan. Istana Gurun Pasir dan penghuninya dianggap sebagai suatu bahaya besar, karena mereka semua maklum belaka bahwa keluarga Istana Gurun Pasir, seperti juga keluarga Pulau Es, selalu menentang pemberontakan walaupun mereka bukan orang-orang yang menghambakan diri kepada pemerintah Mancu. Oleh karena itu, juga terdorong oleh perasaan benci oleh permusuhan sejak dahulu, Sin-kiam Mo-li dan kawan-kawannya dari Pat-kwa-pai dan Pek-lian-pai, melakukan penyerbuan ke Istana Gurun Pasir.

“Penyerbuan kami yang berhasil baik namun mengorbankan banyak kawan itu terjadi kurang lebih dua tahun yang lalu. Kami kehilangan empat belas orang kawan, akan tetapi berhasil membunuh tiga orang penghuni istana yang amat lihai, juga kami telah membakar habis istana itu.”

Sin-kiam Mo-li lalu menceritakan peristiwa yang terjadi dua tahun yang lalu itu, didengarkan dengan penuh perhatian oleh tiga orang perwira tinggi itu, dan mereka mengangguk-angguk kagum dan juga senang. Lenyapnya Istana Gurun Pasir dan para penghuninya bagi mereka merupakan lenyapnya satu di antara bahaya yang mungkin akan menyusahkan mereka dan menghalangi rencana mereka.

Setelah Sin-kiam Mo-li selesai bercerita, Song-ciangkun berkata kepada Siangkoan Lohan.
“Bagus sekali dan jasa itu cukup besar, akan kami catat. Sekarang, bagaimana dengan usaha menghimpun kekuatan dari luar tembok? Sampai di mana hasilnya?”

“Hal itu ditangani sendiri oleh saudara Agakai yang juga hadir di sini dan yang akan dapat menceritakan dengan jelas,” jawab Siangkoan Lohan sambil memandang kepada kepala suku Mongol itu.

Kepala suku Mongol yang mengaku putera mendiang Tai-lucin dan keturunan Jenghis Khan itu, yang usianya sudah lima puluh tiga tahun mengangkat dadanya yang bidang dan dengan sikap yang agung karena yakin akan kemampuan dirinya, dia lalu menceritakan hasil usahanya yang telah dicapai. Dia menceritakan bahwa dia telah mendapatkan banyak kemajuan dalam membangkitkan kembali kekuasaan dan kebesaran Mongol, membangun kembali Kerajaan Mongol yang pernah menguasai seluruh Cina dan negeri di sekitarnya.

“Jangan khawatir,” Dia menutup ceritanya. “Biarpun suku terbesar belum dapat saya bujuk, namun kelompok-kelompok suku yang kecil-kecil, terutama mereka yang terdesak dan keadaan hidupnya kekurangan, sudah menyatakan persetujuan mereka dan apabila saatnya tiba, kami dapat mengerahkan tidak kurang dari seratus ribu orang.”

Song-ciangkun dan dua orang kawannya kelihatan gembira sekali mendengar laporan Agakai itu. Bagus, pikir Song-ciangkun yang sudah tahu akan siasat yang dipergunakan atasannya, yaitu Panglima Coa yang berkuasa sebagai komandan pasukan yang bertugas jaga di perbatasan utara. Panglima Coa memang berniat untuk melaksanakan pemberontakan setelah dapat dibujuk dan dihasut oleh Siangkoan Lohan. Dan dia berpendapat bahwa tanpa bantuan pasukan lain yang besar dan kuat, akan sukarlah diharapkan untuk dapat berhasil menggempur pasukan pemerintah.

Akan tetapi, kalau suku bangsa Mongol mau membantu, mengingat akan kemampuan tempur mereka, tentu akan lain jadinya. Pula, pasukan yang dipimpin Panglima Coa dapat terus minta tambahan pasukan untuk memperkuat posisinya, dengan dalih bahwa bangsa-bangsa liar dari luar tembok mengadakan gangguan dan pemberontakan.

Dan pihak pasukan pemberontak yang dipimpin Panglima Coa membiarkan Agakai bermimpi bahwa gerakan itu adalah demi kepentingan pembangkitan kembali kekuatan dan kekuasaan Mongol! Dengan demikian, kedua pihak diam-diam hanya akan saling mempergunakan demi keuntungan sendiri!

Dan Siangkoan Lohan tahu akan hal ini, maka diam-diam dia ingin mempergunakan kesempatan itu untuk keuntungan diri sendiri atau lebih tepat, keuntungan dan masa depan puteranya! Kalau gerakan itu berhasil, kalau mereka berhasil menggulingkan pemerintah Mancu, Panglima Coa sudah setuju untuk mengangkat Siankoang Liong menjadi kaisar kerajaan baru yang mereka bangun, dan Coa-ciangkun tentu saja menjadi orang ke dua setelah kaisar!

“Dan bagaimana dengan pusat kedudukan di perbatasan untuk penyebaran mata-mata dan utusan melewati Tembok Besar seperti yang Pangcu pernah ceritakan kepada Coa Tai-ciangkun?” tanya pula Song-ciangkun.

Siangkoan Lohan tersenyum gembira.
“Sudah beres, Ciangkun! Rencana yang kita jalankan delapan tahun yang lalu kini telah matang. Piauwkiok di Ban-goan itu telah kita kuasai sepenuhnya sehingga dengan menyamar sebagai para piauwsu, maka utusan-utusan dan mata-mata kita dapat dengan mudah hilir mudik menyeberangi Tembok Besar tanpa menimbulkan kecurigaan sama sekali. Dan untuk pengurusan dalam keperluan itu, telah kami serahkan kepada murid-murid kami sendiri yang boleh dipercaya.”

Persekutuan ini lalu berunding sambil makan minum, dan agaknya tiga orang perwira utusan Coa-ciangkun itu merasa gembira sekali dengan hasil pertemuan malam itu. Apalagi ketika pertemuan itu selesai, mereka diantarkan ke dalam kamar masing-masing, sebuah kamar yang indah mewah dan bersih, dan lebih hebat lagi, masing-masing disambut senyum manis dan gaya memikat dari seorang wanita muda yang siap melakukan apa saja untuk menyenangkan hati tamu agung itu. Siangkoan Lohan memang pandai mengambil hati orang dan untuk itu, dia tidak segan-segan memerintahkan selir-selirnya untuk menghibur tamu agung!

Ambisi merupakan ladang subur pertumbuhan si aku. Kita tidak pernah merasa puas dengan apa yang kita miliki, tidak pernah merasa senang dengan keadaan kita sendiri. Kita selalu memandang keadaan orang-orang lain dan membanding-bandingkan, dan keadaan orang yang lebih kaya, lebih tinggi kedudukannya, lebih pintar, lebih terhormat dan sebagainya membuat kita selalu merasa diri sendiri rendah, kurang dan serba tidak memuaskan! Dari sinilah timbul ambisi! Ingin yang lebih daripada keadaan sekarang!

Dan mulailah kita melakukan pengejaran terhadap bayangan indah berupa cita-cita atau ambisi itu. Bagaikan bayangan, yang kita kejar itu tidak pernah berhenti, makin didapat, semakin kurang dan semakin haus. Sekali tidak mampu menikmati keadaan sekarang, sampai kapanpun tidak akan pernah mampu menikmati keadaan diri sendiri karena mata ini selalu memandang keadaan orang lain yang serba lebih, dan mata selalu memandang untuk mengejar yang di depan dan cita-cita atau ambisi ini makin dikejar semakin membesar dan semakin menjauh sehingga takkan habisnya kita mengejar, sampai mati! Kita dibius oleh kata-kata yang indah seperti cita-cita, kemajuan, dan sebagainya lagi.

Lalu apakah kita lalu menjadi layu, melempem, tak bergairah dan tidak melangkah, statis dan acuh, mati kutu? Bukan demikian bagi orang yang bijaksana dan waspada akan keadaan diri pribadi setiap saat. Kewaspadaan ini akan menuntun ke arah perbuatan dan langkah yang benar. Hati yang tidak dibebani keinginan-keinginan, iri hati, membanding-bandingkan, hati yang demikian itu bersih dan akan mampu menampung datangnya sinar bahagia, dapat menikmati keadaan bagaimanapun juga. Batin yang kosong dari segala macam nafsu sajalah yang mengenal apa artinya cinta kasih dan hidup penuh sinar cinta kasih adalah bahagia.

Ambisi atau pengejaran keinginan selalu mendatangkan perbuatan-perbuatan yang menyeleweng! Segala cara dilakukan orang untuk mencapai tujuan. Tujuan menghalalkan segala cara karena tujuanlah yang terpenting bagi seorang yang ambisius. Namun sebaliknya, caralah yang terpenting bagi orang yang waspada, karena cara inilah kehidupan sehari-hari, langkah-langkah hidup, sedangkan tujuan hanyalah bayangan, khayalan yang dikejar-kejar.

Pengejaran akan sesuatu yang dianggap akan mendatangkan kebahagiaan membuat kita buta, dalam mengejar itu kita tidak peduli lagi apakah kita melangkahi orang, menendang orang yang kita anggap menghalang di depan. Pengejaran kesenangan inilah sesungguhnya yang menciptakan segala macam tindakan kemaksiatan!

Hal ini jelas nampak di sekeliling kita kalau saja kita mau membuka mata. Pengejaran kesenangan melalui uang menimbulkan perampokan, pencopetan, pencurian, penipuan, korupsi, penyuapan, penyelundupan dan sebagainya lagi, cara-cara yang dihalalkan untuk mencapai tujuannya, yaitu memperoleh uang secara mudah dan banyak, termasuk diantaranya perjudian.

Pengejaran kesenangan melalui sex menimbulkan perkosaan, perjinaan dan pelacuran. Pengejaran kesenangan melalui kedudukan menimbulkan perebutan kekuasaan, pertentangan pemberontakan, perang!