Ads

Senin, 15 Februari 2016

Kisah si Bangau Putih Jilid 010

Ucapan ini bagi mereka yang sudah biasa bercakap-cakap dengan kata-kata yang tak senonoh dan kata sandi yang mengandung makna dalam, memancing senyum mereka. Tentu saja Sin-kiam Mo-li juga maklum apa yang dimaksudkan oleh Raja Pedang itu. Ia pun kagum akan kelihaian orang itu yang tadi banyak mengalah, maka sambil tersenyum manis dan melempar kerling tajam penuh tantangan, ia pun menjawab,

“Dalam bidang apa pun, aku siap menandingimu, Kiam-ong!”

Jawaban ini membuat mulut-mulut yang sudah tersenyum kini menjadi semakin lebar dan Siangkoan Lohan mengeluarkan suara ketawa bergelak.

“Ha-ha-ha, sungguh merupakan pertunjukan ilmu pedang yang amat hebat! Terima kasih, Sin-kiam Mo-li dan Toat-beng Kiam-ong, kalian berdua memang serasi sekali untuk menjadi pasangan dalam hal apa pun, ha-ha-ha!”

Dua orang yang tadi bertanding pedang itu hanya tersenyum mendengar ucapan ini dan kini, seperti sudah mereka sepakati bersama, keduanya lalu mengatur duduk mereka sehingga berdampingan menghadapi meja makan, saling menuangkan arak dan bercakap-cakap secara mesra dan akrab tanpa mempedulikan orang lain!

Sementara itu, ketua Cin-sa-pang yang sejak pertama kali melihat kehadiran datuk-datuk sesat dalam pesta itu sudah merasa tidak senang dan tidak puas, kini tak dapat lagi menahan kemarahannya. Jelaslah kini baginya betapa tuan rumah, Siangkoan Lohan ketua Tiat-liong-pang telah berbalik muka, mengikat persahabatan dengan tokoh-tokoh sesat dan kaum pemberontak.

Kalau tadi dia masih ragu-ragu dan mengira bahwa Tiat-liong-pangcu itu hanya menganggap mereka semua sebagai tamu-tamu biasa saja, kini dia merasa yakin bahwa ada sesuatu di antara mereka, semacam persekutuan dan tentu Siangkoan Lohan memiliki hubungan yang mendalam sekali dengan orang-orang yang amat mencurigainya itu.

Tidak ada seorang pun pendekar gagah di manapun juga yang akan sudi bergaul dengan orang-orang macam Sim-kiam Mo-li, apalagi dengan orang-orang Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw! Mereka adalah orang-orang yang berkedok agama dan perkumpulan, berpakaian pejuang, untuk menyembunyikan kejahatan mereka. Mereka menyebarkan agama sesat, mengumpulkan kekayaan secara tidak bersih, suka mempermainkan wanita dan bersekongkol dengan para pembesar korup dan penindas rakyat. Dan sekarang ketua Tiat-liong-pang bergaul dengan orang-orang seperti itu!

Apalagi melihat sikap yang diperlihatkan Siangkoan Lohan terhadap Sin-kiam Mo-li dan Giam San Ek tadi, sungguh membuat hati Ciok Kim Bouw ketua Cin-sa-pang menjadi panas sekali. Dia sudah banyak minum arak dan hawa minuman keras ini pun menambah berkobarnya api kemarahan dalam hatinya.

“Brakkk....!”

Dia menggebrak meja, tentu saja mengejutkan semua orang yang duduk di panggung kehormatan itu dan semua mata kini ditujukan kepada Ciok Kim Bouw. Laki-laki tinggi besar bermuka hitam yang matanya lebar sehingga mirip dengan tokoh Sam-kok yang bernama Thio Hwi itu kini bangkit berdiri dan dia kelihatan gagah sekali.

Mukanya berubah menjadi semakin hitam gelap karena warna merah yang menjalar di mukanya akibat kebanyakan minum arak. Dia sama sekali tidak mabuk walaupun telah banyak minum arak, namun hawa panas arak itu membuat hatinya yang sudah marah menjadi semakin bernyala besar.

Sejenak dia memandang kepada semua tamu yang hadir semeja dengannya di tempat kehormatan itu, kemudian dia menatap tajam kepada Siangkoan Lohan yang juga sudah bangkit berdiri mengerutkan alisnya melihat sikap tamunya ini. Siangkoan Lohan tidak pernah mempunyai hubungan akrab dengan ketua Cin-sa-pang, dan mengundangnya karena nama Cin-sa-pangcu ini memang terkenal sekali.

“Adakah sesuatu yang tidak menyenangkan hatimu, Ciok-pangcu, maka engau menggebrak meja?” tanya Siangkoan Lohan sambil memicingkan mata menatap wajah tamunya itu penuh selidik.

“Siangkoan, Pangcu, seorang gagah tidak akan menyimpan penasaran di dalam hatinya dan sebaliknya kalau penasaran itu dikeluarkan saja dengan terus terang! Karena itulah, kalau pernyataanku ini akan menyakiti hati dan menyinggung, sebelumnya harap dimaafkan.”

Suara ketua Cin-sa-pang ini lantang sekali sehingga terdengar oleh semua tamu, baik yang berada di ruangan dalam bahkan terdengar pula oleh mereka yang duduk di luar. Mendengar ucapan yang lantang ini, semua tamu menghentikan percakapan mereka sendiri dan suasana menjadi hening karena semua orang mendengarkan penuh perhatian.

Siangkoan Lohan tertawa,
“Ha-ha-ha, memang seharusnya demikian Ciok Pangcu. Nah, keluarkanlah isi hatimu!”

“Kami semua telah mendengar akan riwayat Tiat-liong-pang, mengenal perkumpulan besar ini sebagai perkumpulan orang-orang gagah, dan diakui pula oleh pemerintah, bahkan keluarga pimpinannya masih ada hubungan dekat dengan keluarga kaisar! Karena itu, ketika menerima undangan, kami bergegas datang berkunjung untuk memberi hormat karena memang di dalam hati kami terdapat rasa hormat kepada pimpinan Tiat-liong-pang yang gagah perkasa dan sudah banyak jasanya terhadap pemerintah maupun terhadap rakyat dengan pembersihan yang dilakukan terhadap para penjahat.

Akan tetapi, apa yang kami temukan di sini sungguh jauh daripada dugaan kami semula! Di sini kami tidak melihat adanya wakil pemerintah, juga tidak melihat partai-partai persilatan besar yang dipimpin para pendekar. Sebaliknya kami melihat banyak orang yang tidak sepatutnya hadir di sini, seperti orang-orang Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai, dan terutama sekali orang seperti Sin-kiam Mo-li. Siapakah yang tidak tahu bahwa ia adalah seorang datuk sesat, seorang wanita iblis yang tidak mengharamkan segala macam perbuatan jahat? Siangkoan Lohan, pertemuan macam apakah yang kau adakan sekarang ini? Pertemuan di antara para penjahat dan pemberontak? Kalau begitu, sungguh amat mengherankan sekali!”

“Keparat bermulut lantang!”

Tiba-tiba terdengar suara Sin-kiam Mo-li membentak dan tubuhnya sudah melayang ke arah ketua Cin-sa-pang. Bagaikan seekor burung garuda saja, iblis betina itu menyerang dengan loncatan melalui atas meja perjamuan mereka karena Ciok Kim Bouw duduk di seberang.






Melihat serangan dengan cengkeraman kedua tangan ke arah kepala dan pundaknya itu, ketua Cin-sa-pang maklum akan datangnya bahaya maut, maka dia pun mengerahkan tenaga untuk menangkis dengan kedua tangannya.

“Bresss....!”

Dua pasang lengan saling bertemu dan akibatnya, Ciok Kim Bouw hampir terpelanting, akan tetapi tubuh Sin-kiam Mo-li juga terdorong ke samping di mana wanita itu dapat berjungkir balik dengan indahnya. Keduanya sudah meraba gagang senjata ketika Siangkoan Lohan berseru keras,

“Kalian tidak boleh membikin ribut di sini!”

Bentakan ini berwibawa sekali dan baik Sin-kiam Mo-li maupun Ciok Kim Bouw tidak berani bergerak melakukan serangan. Bahkan sambil tersenyum mengejek Sin-kiam Mo-li melangkah kembali ke kursinya di dekat Toat-beng Kiam-ong Giam San Ek. Akan tetapi Ciok Kim Bouw tetap berdiri dan kini dia saling pandang dengan tuan rumah.

Wajah Siangkoan Lohan yang biasanya memang merah itu kini menjadi semakin merah dan matanya mencorong tajam, ada api kemarahan terpancar di dalamnya. Kemudian dia melirik ke arah para tamu yang duduk di ruangan dalam. Alisnya berkerut ketika dia melihat kurang lebih dua puluh orang tamu sudah bangkit berdiri dan sikap mereka seolah-olah mereka itu mendukung pernyataan ketua Cin-sa-pang dan mereka semua itu kini memandang kepadanya dengan sinar mata mengandung penuh pertanyaan dan keraguan.

Suaranya terdengar tegas ketika dia bicara, bukan ditujukan kepada Ciok Kim Bouw ketua Cin-sa-pang, akan tetapi juga kepada semua tamu, terutama mereka yang berdiri dan nampaknya berpihak kepada pernyataan Ciok Kim Bouw tadi.

“Ciok-pangcu, semua tamu yang kuundang adalah sahabat-sahabat dari semua golongan! Mereka yang menjadi tamuku saat ini maklum belaka bahwa mereka datang untuk merayakan hari ulang tahunku yang ke enam puluh. Pertemuan ini adalah pesta perayaan ulang tahun, bukan pertemuan yang membicarakan urusan politik. Siapa yang kuundang itu merupakan hakku dan agaknya tidak perlu aku minta nasihat darimu. Kalau engkau merasa tidak suka dengan pesta ini, engkau boleh pergi dan aku tidak akan menahanmu! Siapapun diantara para tamu yang tidak suka akan keadaan di sini, boleh saja pergi!” Kalimat terakhir ini jelas ditujukan kepada para tamu yang masih berdiri.

Terdengar suara ketawa dan ternyata yang tertawa itu adalah Toat-beng Kiam-ong Giam San Ek. Jagoan ini merasa mendongkol bukan main melihat Sin-kiam Mo-li yang dianggapnya sebagai calon kekasih barunya tadi dihina oleh orang, maka kini dia hendak melampiaskan rasa dongkolnya.

“Ha-ha-ha, setelah kekenyangan makan dan minum, sengaja mencari alasan untuk mencela dan pergi. Ha-ha-ha, sungguh tidak tahu malu!”

Mendengar ucapan ini dan melihat betapa Siangkoan Lohan ikut pula mentertawakannya, Ciok Kim Bouw membuka mulut dan memasukkan jari telunjuk kanan ke dalam tenggorokannya. Segera dia muntah-muntah dan keluarlah semua makanan dan minuman yang tadi memasuki perutnya!

“Siangkoan-pangcu, lihat semua yang kumakan dan kuminum sudah kukembalikan! Sekarang dengarlah baik-baik. Sin-kiam Mo-li dan kawan-kawannya dari Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai pernah membunuh tiga puluh orang lebih murid Cin-sa-pang! Aku tidak mendendam untuk itu karena memang pihak Cin-sa-pang ketika itu ada pula yang bersalah. Akan tetapi, melihat betapa kini ia dan kawan-kawannya duduk bersamaku di sini, sungguh aku merasa terhina sekali. Sekarang aku tantang Sin-kiam Mo-li atau orang-orang Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai!”

“Orang she Ciok!” Siangkoan Lohan membentak. “Engkau sungguh tak tahu diri. Engkau adalah tamu, mengerti? Dan aku tuan rumah! Aku larang engkau membikin rusuh di sini dan menantang para tamuku!”

“Kalau begitu, aku menantang engkau. Siangkoan Lohan, karena engkau kini telah menyeleweng dan melindungi datuk-datuk sesat, dan telah mengusirku berarti telah menghinaku!”

Setelah berkata demikian, Ciok Kim Bouw lalu meloncat ke tengah panggung dan mencabut golok besarnya. Bagi seorang gagah, nama dan kehormatan lebih penting daripada nyawa. Dia tadi telah dihina orang, bahkan diusir, maka satu-satunya jalan untuk mencuci penghinaan ini hanyalah mengadu nyawa di ujung senjata.

Mendengar tantangan ini, semua tamu di ruangan dalam dan luar menjadi tegang. Tak mereka sangka akan terjadi pertentangan seperti itu. Siangkoan Lohan sendiri menjadi marah, akan tetapi wajahnya yang merah itu masih nampak tersenyum walaupun sinar matanya makin mencorong. Dia bangkit dari tempat duduknya dan menjura kepada para tamunya,

“Harap Cu-wi (Anda sekalian) suka memaafkan kami karena kami terpaksa harus menyingkirkan dulu pengacau ini.”

Akan tetapi pada saat itu, terdengar suara halus.
“Harap Ayah duduk saja dan biarkan aku yang mengusir anjing yang banyak menggonggong ini.”

Semua orang melihat munculnya seorang pemuda. Begitu saja dia muncul dan tahu-tahu berada di atas panggung. Entah dari mana datangnya. Mungkin karena semua orang tadi mencurahkan perhatian kepada Ciok Kim Bouw dan Siangkoan Lohan, maka tidak melihat munculnya pemuda ini karena memang pemunculannya amat luar biasa. Bagaikan seekor burung walet saja tadi dia melompat dari bawah panggung dan hinggap di atas panggung dengan sikap yang amat tenang.

Mendengar ucapan pemuda ini, semua orang yang belum pernah mengenalnya baru tahu bahwa inilah putera Siangkoan Lohan, putera dan anak tunggal yang bernama Siangkoan Liong dan semua orang tertegun dan kagum.

Siangkoan Liong memang amat mengagumkan. Seorang pemuda yang bertubuh sedang, berusia kurang lebih dua puluh enam tahun, dengan wajah yang tampan sekali. Begitu tampannya wajah itu sehingga seperti wajah wanita saja. Kulit mukanya putih halus, dengan hidung mancung dan bibir merah, akan tetapi sepasang matanya mencorong seperti mata naga, seperti mata ayahnya dan alis yang tebal hitam itu menghilangkan keraguan orang bahwa dia adalah seorang pria tulen. Pakaiannya seperti seorang siu-cai (sastrawan) namun mewah, seperti biasa pakaian seorang pemuda bangsawan terpelajar.

Gerak-geriknya halus lembut dan seperti gerak-gerik seorang sastrawan tulen yang tidak mengenal ilmu silat. Padahal, ilmu silat pemuda ini tidak kalah hebat dibandingkan dengan ayahnya, setidaknya sudah hampir menyusulnya. Kini dengan sikapnya yang lembut, Siangkoan Liong menghadapi Ciok Kim Bouw, sejenak mereka saling pandang seperti dua ekor ayam jago yang saling menilai dan mengukur kekuatan lawan melalui pandang mata.

“Paman, apa pun yang telah terjadi, engkau sebagai seorang tamu telah melakukan pelanggaran sopan santun. Aku tidak tahu apa persoalannya dan tidak ingin pula tahu, akan tetapi aku melihat betapa dengan sengaja Paman telah menumpahkan makanan dan minuman suguhan Ayah ke atas lantai, menimbulkan kejijikan dan kotor. Oleh karena itu, kalau Paman mau membersihkan kotoran yang Paman tumpahkan, kemudian pergi dari sini dengan aman, aku pun menganggap urusan ini selesai dan akan mintakan maaf kepada ayahku. Nah, bersihkan lantai itu, Paman”

Biarpun sikap dan omongannya halus, namun Ciok Kim Bouw merasa terhina sekali. Bagaimana dia akan dapat melihat dunia kang-ouw kalau dia menuruti permintaan ini, membersihkan lantai dari tumpahan perutnya tadi, di depan sekian banyaknya para tamu?

“Orang muda, sikapmu jauh lebih baik daripada ayahmu. Akan tetapi engkau tidak tahu mengapa aku menumpahkan semua makanan itu ke atas lantai. Aku terpaksa melakukan itu, dan siapapun yang menyuruhku, aku tidak akan sudi membersihkannya. Terserah kepadamu, akan tetapi aku tidak sudi membersihkan tumpahan itu!”

Sepasang mata yang jeli itu mengeluarkan sinar berkilat.
“Paman, aku tidak suka bermusuhan dengan siapapun, akan tetapi aku tadi mendengar tantanganmu kepada ayahku. Kalau engkau tidak mau membersihkannya, terpaksa aku akan mewakili Ayah untuk memberi hajaran kepadamu.”

Sikap ini terlampau memandang rendah dan tentu saja Ciok Kim Bouw menjadi marah. Kiranya di balik kelemah lembutan sikap pemuda ini tersembunyi kesombongan yang luar biasa.

“Orang muda, tidak perlu banyak cakap lagi. Keluarkan senjatamu dan mari kau coba untuk memberi hajaran kepadaku!”, tantangnya sambil melintangkan golok besarnya di depan dada. Golok besar dan berat, berkilauan saking tajamnya dan nampak mengerikan.

Ciok Kim Bouw adalah seorang yang lihai, dan dengan golok di tangannya, dia seperti seekor harimau tumbuh sayap. Para tamu ingin sekali melihat bagaimana putera tuan rumah ini akan menghadapi Ciok Kim Bouw atau Cin-sa-pangcu yang lihai itu dan senjata apa yang akan dipergunakannya. Akan tetapi, betapa kaget dan heran hati mereka ketika melihat pemuda itu tersenyum berkata lembut,

“Paman, pergunakanlah golokmu, aku akan menghadapimu dengan kedua tangan kosong saja.”

Ciok Kim Bouw sendiri terbelalak mendengar ini. Betapa sombongnya anak ini, pikirnya. Menghadapi golok besarnya dengan tangan kosong? Siapa tokoh di dunia persilatan akan berani melakukan hal itu? Akan tetapi, pemuda itu sendiri yang mencari penyakit. Dia akan menghajar pemuda ini, tentu saja tidak berniat untuk membunuhnya atau melukainya secara hebat.

“Baiklah, agaknya engkau memiliki kepandaian yang setingkat mendiang guruku maka berani menghadapi golokku dengan tangan kosong. Nah, bersiaplah untuk menerima seranganku, orang muda yang sombong!”

Ciok Kim Bouw memberi kesempatan kepada pemuda itu untuk mempersiapkan diri dengan memasang kuda-kuda, akan tetapi, pemuda itu tetap berdiri seperti tadi, seperti orang bermalas-malasan, dengan kedua lengan tergantung di kanan kiri, berdiri seenaknya.

“Aku sudah siap siaga, Paman. Mulailah dengan seranganmu!”

“Bagus! Lihat golokku!” bentak Ciok Kim Bouw sebelum menyerang dan di lain detik, goloknya telah berubah menjadi sinar menyilaukan mata yang menyambar-nyambar.

Golok itu membuat gulungan sinar putih yang lebar, dan menyerang ke arah pemuda itu dari berbagai jurusan, bertubi-tubi dan susul menyusul, ganas bagaikan seekor burung garuda menyambari anak-anak ayam.

Kalau tadinya para tamu merasa terkejut dan khawatir, kini mereka memandang dengan mata terbelalak dan mulut celangap. Mereka melongo melihat betapa tubuh pemuda itu pun lenyap dan kini hanya nampak bayangannya saja berkelebatan di antara gulungan sinar golok! Hebat bukan main tontonan itu.

Kiranya pemuda itu memiliki gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang luar biasa sekali, yang membuat dia dapat menyelinap di antara sambaran golok secara cepat. Diam-diam Ciok Kim Bouw sendiri terkejut bukan main. Tak disangkanya bahwa putera Siangkoan Lohan yang masih semuda itu telah memiliki ilmu yang demikian hebat.

Dia merasa seperti menyerang sesosok bayangan saja, maka kalau tadinya dia hanya ingin mengalahkan pemuda itu tanpa melukainya, hal itu kini sama sekali tidak mungkin dan dia pun menyerang dengan sungguh-sungguh, mengerahkan tenaganya dan mengeluarkan jurus-jurus terampuh dari ilmu goloknya.

Namun, tetap saja bayangan pemuda itu tidak dapat tercium ujung goloknya, bahkan kini pemuda itu membalas dengan tamparan-tamparan dan tendangan yang cepat datangnya, yang beberapa kali hampir saja mengenai tubuhnya. Dari serangan balasan ini pun dia sadar bahwa selain ilmu meringankan tubuh yang hebat, pemuda itu memiliki pula sin-kang (tenaga sakti) yang amat kuat sehingga tamparannya didahului angin pukulan yang mantap. Maklumlah dia bahwa dia menghadapi seorang lawan yang amat lihai. Pantas saja pemuda ini tadi demikian sombongnya, tidak tahunya memang berkepandaian tinggi sekali.

Para penonton kini banyak yang melongo dan penuh kagum. Bahkan Sin-kiam Mo-li sendiri sampai terbelalak kagum. Ia dapat menilai ilmu golok ketua Cin-sa-pang itu. Jauh lebih lihai dibandingkan dengan mendiang Louw Pa, ketua Cinsa-pang yang dulu. Ia sendiri tentu akan sanggup merobohkan Ciok Kim Bouw, akan tetapi jelas tidak dengan kedua tangan kosong!

Dan kini apa yang dilihatnya? Seorang pemuda berusia muda sekali paling banyak dua puluh tahun, menghadapi ketua Cin-sa-pang itu dengan tangan kosong, bahkan ia melihat benar betapa pemuda itu mempermainkan lawannya! Bukan main! Dan pemuda itu demikian tampan, seperti perempuan! Kagumlah hatinya. Ia sudah mendengar betapa tuan rumah hanya memiliki seorang anak, yaitu laki-laki yang tidak pernah diperkenalkan kepada para tamunya. Bahkan ketika diadakan pesta tadi, pemuda ini tidak memperlihatkan diri. Sekarang, kemunculannya menggegerkan orang.

Tiba-tiba sebuah tangan menyentuh lengannya. Sin-kiam Mo-li menengok dan ternyata Toat-beng Kiam-ong yang menyentuhnya dan memandangnya dengan alis berkerut.

“Engkau kagum melihatnya? Ingat, ada aku di sini.“ bisik laki-laki itu, agak cemburu.

Sin-kiam Mo-li tersenyum dan memutar lengannya sehingga tangannya dapat menangkap tangan Raja Pedang itu, lalu digenggamnya sejenak sebelum dilepas lagi.

“Ihhh, belum apa-apa sudah cemburu,” bisiknya kembali. “Akan tetapi, hati siapa yang tidak kagum kepada pemuda itu? Masih begitu muda, akan tetapi kepandaian silatnya sudah demikian lihainya!”

“Tidak perlu diherankan, memang Siangkoan Liong amat lihai, mungkin sekarang malah lebih lihai dari ayahnya sendiri,” kata Giam San Ek yang mengenal baik keadaan keluarga sahabatnya itu.

“Ehhh? Bukankah ayahnya yang menjadi gurunya?”

“Benar, guru pertama. Akan tetapi dua tahun yang lalu dia bertemu dengan seorang manusia dewa yang menjadi gurunya.“

“Manusia dewa.?”

“Ssttt, lihat.!” kata Toat-beng Kiam-ong sambil menunjuk ke arah dua orang yang masih bertanding dengan seru itu.

Sin-kiam Mo-li cepat menengok dan kini terjadi perubahan pada pertempuran itu. Gulungan sinar golok menjadi lemah dan menyempit, dan ternyata pemuda itu yang kini mendesak dengan tamparan-tamparan dan tendangannya yang dilakukan amat cepat dan dengan cara aneh dari segala posisi! Akhirnya, betapapun Ciok Kim Bouw hendak bertahan, sebuah tendangan mengenai tangannya yang memegang golok, disusul totokan pada siku kanannya.

“Tranggg....!”

Golok itu terpaksa lepas dari tangannya dan jatuh ke atas lantai! Ciok Kim Bouw berdiri tegak, memegang siku lengan kanan dengan tangan kiri dan memijit-mijitnya karena lengan kanan itu setengah lumpuh. Kemudian dengan muka berubah agak pucat dia mengangguk ke arah Siangkoan Lohan dan berkata dengan suara lantang,

“Siangkoan Lohan, aku Ciok Kim Bouw hari ini mengaku kalah terhadap puteramu. Sudahlah, aku memang tidak berguna dan juga tidak sudi untuk bergaul dengan datuk-datuk sesat!”

Dia lalu memungut goloknya dan melangkah keluar dari tempat pesta. Dua puluh orang lebih yang tadi mendukungnya, kini juga bangkit berdiri dan meninggalkan tempat itu tanpa banyak cakap. Mereka adalah orang-orang yang selalu menentang golongan sesat, dan merasa betapa kini Siangkoan Lohan telah berubah dan mereka tidak mau ikut terlibat dalam urusan persekutuan dengan datuk-datuk sesat.

Ketika mereka yang keluar dari tempat pesta itu tiba di ruang luar, ternyata masih ada lagi belasan orang yang ikut pula meninggalkan tempat itu!

Melihat ini, Siangkoan Lohan mengerutkan alisnya.
“Siancai...., kalau mereka semua dibiarkan pergi, tentu gerakan kita akan gagal sebelum dimulai!” kata Thian Kek Sengjin, tokoh besar Pek-lian-kauw itu kepada Siangkoan Lohan.

Ketua Tiat-liong-pang itu mengangguk-angguk sambil mengerutkan alisnya, kemudian memberi tanda dengan tangan. Lima orang murid kepala cepat datang menghadap.

“Bawa teman-teman dan saudara-saudara secukupnya, mereka tadi harus dibasmi. Kalian tahu apa yang harus dilakukan,” katanya dan lima orang murid itu mengangguk, lalu menyelinap pergi.

“Aih, ini adalah tugas kita bersama,” kata Sin-kiam Mo-li. “Aku akan membantu anak buahmu, Lohan.”

“Aku akan membantumu pula, Sian-li,” kata Toat-beng Kiam-ong sambil mengikuti wanita cantik itu.

Thian Kong Cinjin, wakil ketua Pat-kwa-kauw, dan Thian Kek Sengjin tokoh Pek-lian-kauw, juga cepat bangkit berdiri dan meninggalkan tempat itu, bersama beberapa orang tokoh lain yang sudah tahu apa yang harus mereka lakukan.

Siangkoan Liong setelah mengalahkan Ciok Kim Bouw, acuh saja melihat kesibukan teman-teman ayahnya. Dia hanya mendekati ayahnya dan berkata lirih,

“Ini akibat kekurang telitian Ayah sendiri yang mengundang orang-orang itu.”

Setelah berkata demikian, dengan suara mengandung penyesalan, dia pun pergi masuk ke dalam gedung, membiarkan ayahnya duduk kembali sambil mengerutkan alisnya.

**** 010 ****