Ads

Senin, 15 Februari 2016

Kisah si Bangau Putih Jilid 009

Kota Sang-cia-kou terletak di sebelah selatan kota Ban-goan, juga Tembok Besar berdiri megah di luar kota ini yang merupakan perbatasan pula antara Propinsi Ho-pei dan Mongol. Dari kota inilah dahulu tentara Mancu banyak yang menerobos melewati Tembok Besar.

Di sebuah lereng bukit yang berdiri di luar kota Sang-cia-kou terdapat sebuah perkampungan dengan bangunan-bangunan besar seperti benteng. Dari tempat ini, kota Sang-cia-kou dapat dilihat dengan jelas dan seluruh penduduk Sang-cia-kou dan sekitarnya mengenal belaka bangunan besar itu, yang nampak seperti benteng di lereng bukit.

Perkampungan itu adalah tempat perkumpulan Tiat-liong-pang (Perkumpulan Naga Besi) yang amat terkenal sebagai perkumpulan orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan memiliki pula watak yang keras dan menjagoi di seluruh daerah itu. Bukan hanya karena ketuanya dan anak buahnya berwatak keras dan berkepandaian tinggi yang membuat orang-orang merasa jerih, melainkan karena perkumpulan itu pun dilindungi oleh pemerintah.

Perkumpulan Tiat-liong-pang telah berjasa kepada pemerintah Mancu, ketika pasukan Mancu menyerbu ke selatan, banyak memperoleh bantuan dari perkumpulan ini. Oleh karena itu, setelah pemerintah Mancu yaitu Dinasti Ceng berkuasa, tentu saja perkumpulan ini dianggap berjasa dan dilindungi oleh pemerintah.

Hal ini membuat Tiat-liong-pang menjadi sebagai perkumpulan yang kaya dan berpengaruh. Perkumpulan ini bergerak di bidang keamanan dan dengan dalih menjaga keamanan, perkumpulan ini minta sumbangan-sumbangan besar dari para hartawan dan pedagang yang selalu memenuhi tuntutan mereka demi keamanan!

Pada waktu itu, setelah dipegang secara turun-temurun, Tiat-liong-pang jatuh ke tangan seorang yang memiliki kepandaian amat tinggi sebagai ketuanya. Seluruh dunia kang-ouw tahu belaka nama Siangkoan Tek atau yang lebih terkenal dengan panggilan Siangkoan Lohan (orang tua gagah Siangkoan). Baru mendengar namanya saja, orang-orang sudah menjadi gentar karena entah sudah berapa ratus atau berapa ribu orang jatuh di tangannya karena berani menentangnya! Kepandaiannya sedemikian hebatnya! sehingga menjadi dongeng di antara orang-orang kang-ouw, seolah-olah Siangkoan Lohan memiliki kesaktian seperti dewa!

Pada hari itu, jalan pendakian ke bukit itu kelihatan ramai oleh orang-orang yang mendaki bukit, tidak seperti biasanya. Sejak pagi, ada saja orang mendaki, ada yang menunggang kuda, ada yang menunggang kereta, ada pula yang berjalan kaki. Dan mereka yang naik ke bukit itu terdiri dari bermacam-macam orang, akan tetapi rata-rata kelihatan seperti orang-orang kang-ouw, bahkan banyak yang menyeramkan.

Memang mereka adalah orang-orang kang-ouw yang mendaki bukit untuk memenuhi undangan Siangkoan Lohan, ketua Tiat-liong-pang karena pada hari itu, di perkumpulan itu diadakan pesta perayaan ulang tahun Siangkoan Lohan yang ke enam puluh.

Siangkoan Lohan tidak mengundang terlalu banyak orang. Dipilihnya mereka yang kedudukannya sudah tinggi saja, yaitu tokoh-tokoh dunia kang-ouw yang kenamaan, ketua-ketua dan tokoh-tokoh perkumpulan besar. Biarpun demikian, tetap saja melihat mengalirnya para tamu sejak pagi, tidak kurang dari seratus orang datang bertamu!

Para murid Siangkoan Lohan, yang menerima tugas dari guru mereka, mengadakan pemilihan. Para tamu yang dianggap sebagai kaum muda yang tingkatnya belum tinggi, dipersilakan duduk di bagian luar sedangkan mereka yang dianggap sebagai tamu kehormatan dipersilakan duduk di dalam dan yang paling dihormati duduk di panggung bersama-sama Siangkoan Lohan sendiri!

Hanya kurang lebih tiga puluh orang duduk di ruangan dalam, di antaranya beberapa orang duduk semeja dengan Siangkoan Lohan, sedangkan selebihnya duduk di ruangan luar, di jamu oleh para pembantu dan murid Siangkoan Lohan. Akan tetapi, mereka yang duduk di luar tidak merasa terhina, karena mereka pun maklum bahwa mereka masih belum pantas untuk duduk satu ruangan, apalagi satu meja, dengan ketua Tiat-liong-pang itu!

Siangkoan Tek atau Siangkoan Lohan yang usianya sudah enam puluh tahun itu masih nampak lebih muda daripada usianya. Tubuhnya yang tinggi kurus masih tegap dan nampak kokoh kuat. Mukanya merah dengan jenggot panjang sampai ke dada.

Rambutnya yang mulai dihias uban itu digelung dan ditutupi sebuah topi yang dihias bulu merak dan emas. Pakaiannya gemerlapan indah berwibawa, membayangkan kehormatan dan kekayaan. Sepasang matanya yang mencorong seperti mata naga itulah yang membuat kebanyakan orang tidak berani menatap pandang matanya terlalu lama.

Siangkoan Lohan adalah seorang yang congkak, mengandalkan kedudukan, kepandaian dan hartanya sehingga dalam semua surat undangannya, dia mencantumkan bahwa keluarganya tidak menerima sumbangan dalam perayaan itu dan diharapkan agar para tamu datang tanpa membawa sumbangan!

Hal ini saja merupakan ketidak lajiman dan sekaligus memperlihatkan kecongkakannya seolah-olah dia hendak mengatakan bahwa dia tidak membutuhkan sumbangan-sumbangan karena dia sudah kaya raya! Dan semua orang juga tahu belaka akan kekayaan kakek ini. Ketika dia berusia tiga puluh tahun lebih, mengingat akan jasa perkumpulan Tiat-liong-pang, dia dihadiahi seorang puteri dari istana! Seorang gadis yang amat cantik, dan setelah mendapatkan isteri seorang puteri, tentu saja hubungannya dengan istana menjadi dekat dan mengumpulkan kekayaan bagaikan orang mencari pasir di sungai saja bagi Siangkoan Lohan.

Isterinya itu sayang sekali meninggal dunia ketika melahirkan seorang putera. Semenjak diboyong dari istana ke bukit itu, sang puteri memang selalu berduka. Biarpun Siangkoan Lohan termasuk seorang pria yang gagah dan tidak buruk, akan tetapi wataknya yang keras, juga kesukaannya mengumpulkan wanita cantik, merongrong hati puteri itu sehingga ketika melahirkan, kesehatannya demikian lemah dan ia pun meninggal dunia ketika melahirkan.

Puteranya, yang merupakan anak tunggal karena Siangkoan Lohan tidak pernah lagi mempunyai anak dari wanita lain, sungguhpun amat banyak wanita yang telah digaulinya baik secara sah maupun tidak. Oleh karena hanya mempunyai seorang anak saja, maka sudah tentu dia amat memanjakan anaknya yang diberi nama Siangkoan Liong, sesuai dengan nama perkumpulannya. Dia pun menggembleng puteranya itu sejak kecil dengan ilmu silat, dan mengundang guru-guru kesusastraan untuk mengajar Siangkoan Liong.

Anak ini memang cerdik sekali, maka dia dapat menguasai kedua ilmu itu dengan amat baiknya sehingga kini dia menjadi seorang pemuda yang amat lihai ilmu silatnya, akan tetapi juga amat pandai membawa diri seperti seorang terpelajar tinggi.






Ketika para tamu yang duduk di ruangan dalam melihat siapa yang duduk di kursi kehormatan, banyak di antara mereka terheran-heran dan berbisik-bisik di antara mereka sendiri. Ada beberapa orang duduk di kursi kehormatan, semeja dengan ketua Tiat-liong-pang itu, mengelilingi sebuah meja bundar yang luas.

Selama ini mereka mengenal Tiat-liong-pang sebagai perkumpulan yang dekat dengan pemerintah Kerajaan Ceng, dan biarpun sepak terjang ketua dan para anggautanya keras dan menekan terhadap rakyat jelata, namun mereka menggolongkan diri mereka sebagai pahlawan, sebagai pendekar dan sama sekali tidak mau mencampuri atau mendekati golongan hitam atau sesat!

Dan kini apa yang mereka lihat? Ketua Tiat-liong-pang duduk menjamu tokoh-tokoh hitam yang terkenal sebagai datuk-datuk iblis! Di antara para tamu yang duduk semeja dengan Siangkoan Lohan terdapat seorang wanita berusia kurang lebih setengah abad akan tetapi masih nampak cantik, tinggi ramping dengan pakaian mewah dan riasan mukanya tebal menunjukkan bahwa dia seorang pesolek. Wanita ini bukan lain adalah iblis betina Sin-kiam Mo-li yang sudah banyak dikenal oleh orang-orang kang-ouw sebagai tokoh besar yang amat kejam dan lihai.

Selain nenek ini, terdapat pula dua orang kakek tua renta yang membuat para tamu yang duduk di ruangan dalam itu terkejut bukan main karena mereka melihat tanda gambar pat-kwa (segi delapan) di dada seorang di antara mereka, dan gambar bunga teratai di dada yang lain. Jelas mereka berdua adalah tokoh-tokoh Pat-kwa-pai dan Pek-lian-pai, dua perkumpulan pemberontak yang juga amat terkenal karena penyelewengan dan kejahatan mereka sebagai perkumpulan iblis.

Dan memang benar, kakek yang rambut dan jenggotnya sudah putih, tinggi kurus berwibawa, membawa tongkat setinggi badan adalah Thian Kong Cinjin, wakil ketua Pat-kwa-pai, sedangkan kakek kedua yang kurus kering bermuka merah darah, memegang tongkat naga hitam dan matanya seperti mata kucing, adalah Thian Kek Sengjin, tokoh besar perkumpulan Pek-lian-pai.

Selain tiga orang datuk sesat ini, di tempat kehormatan itu hadir pula tiga orang lain yang menarik perhatian. Yang seorang adalah Toat-beng-kiam-ong (Raja Pedang Pencabut Nyawa) Giam San Ek yang usianya sekitar empat puluh lima tahun. Dia seorang pendekar selatan, ahli bermain pedang dan kabarnya, setiap kali jagoan ini mencabut pedangnya, pedang itu tidak akan kembali ke sarungnya sebelum minum darah lawan!

Dia ditakuti sekali, dan menjadi sahabat Siangkoan Lohan sejak lama. Tubuhnya sedang dan wajahnya masih tampan, apalagi karena dia pesolek, pakaiannya indah dan sikapnya agak ceriwis.

Orang ke dua nampak gagah tinggi besar, mukanya hitam matanya besar mengingatkan orang akan tokoh cerita Sam-kok yang bernama Thio Hwi, dan hanya beberapa orang saja mengenal tokoh ini. Dia adalah Ciok Kim Bouw, berusia lima puluh tahun dan dia menjadi pangcu (ketua) dari Cin-sa-pang, sebuah perkumpulan di Secuan yang terkenal kuat pula. Ciok Kim Bouw tidak begitu akrab dengan Siangkoan Lohan, akan tetapi mungkin mengingat akan kebesaran nama perkumpulannya, maka Siangkoan Lohan mengundangnya.

Orang ke tiga jelas merupakan seorang Mongol, nampak berwibawa dengan pakaian sukunya, dan dia pun bukan orang sembarangan karena dia adalah Agakai, kepala suku yang cukup besar dan berpengaruh di Mongol. Agakai ini berusia lima puluh tahun lebih dan dia adalah putera dari Tailucin, tokoh Mongol yang amat terkenal dan pernah menggemparkan, yang terbunuh oleh keluarga Pulau Es dan Agakai ini mengaku bahwa nenek moyangnya masih keturunan Jenghis Khan! Dia pun menjadi tamu kehormatan, bukan karena kepandaiannya yang tidak berapa hebat dibandingkan dengan tokoh-tokoh yang semeja dengannya, melainkan karena kedudukannya sebagai kepala suku yang berpengaruh di utara.

Pesta itu meriah karena hidangan yang serba lezat, arak yang berlimpah-limpah dan terutama sekali karena pesta itu diramaikan oleh serombongan gadis cantik yang memainkan musik, bernyanyi dan menari. Mereka bukanlah rombongan penyanyi dari luar, melainkan para selir dari Siangkoan Lohan sendiri yang memang terlatih memainkan alat musik, bernyanyi, dan menari.

Semua orang menjadi kagum mendengar bahwa gadis-gadis yang muda-muda dan cantik-cantik, pandai bermain musik, menyanyi dan menari itu adalah selir-selir dari tuan rumah! Diam-diam di antara para tamu muda banyak yang timbul perasaan iri hati! Kalau orang sedang berbintang terang, pikir mereka, apa saja kesenangan yang diinginkan tercapai! Kepandaian tinggi, kedudukan mulia, harta benda, kehormatan, berkecukupan lahir batin dan dikelilingi wanita-wanita muda yang cantik-cantik!

Demikianlah kebiasaan kita, suka membayangkan keadaan orang lain yang dianggap serba lebih daripada keadaan kita. Kita selalu membayangkan hal-hal yang belum kita miliki, membayangkan hal-hal yang kita anggap serba lebih indah, lebih menyenangkan, tanpa kita sadari bahwa semua bayangan keinginan ini sungguh jauh bedanya dengan kenyataannya. Seperti bumi dengan langit bedanya. Karena kita belum memilikinya, maka yang kita bayangkan itu hanyalah segi indah dan senangnya saja. Padahal, tidak ada apa pun di dunia ini yang sifatnya hanya sepihak, hanya indah dan menyenangkan saja.

Kalau sesuatu itu menyenangkan, maka sesuatu itu pula pada suatu ketika akan berbalik menyusahkan, karena senang-susah merupakan dua hal yang kembar dan berpasangan, tak terpisahkan pada akhirnya walaupun nampaknya tidak bersamaan.

Karena itu, orang yang tidak berkedudukan membayangkan betapa senangnya orang yang berkedudukan, terhormat, mulia dan sebagainya. Sebaliknya, orang yang sudah berkedudukan, di samping kesenangannya yang makin lama makin terasa menipis, juga mengalami segi-segi buruknya, akibat daripada kedudukannya itu, seperti pertanggungan jawabnya, iri hati dari orang lain, mereka yang ingin merebut kedudukannya, resiko-resikonya, kebosanannya dan sebagainya lagi.

Demikian pula bagi yang tidak memiliki harta, memandang dan membayangkan keadaan orang berharta tentu saja yang dibayangkan hanya segi senangnya saja. Banyak uang, apa pun yang dikehendaki tercapai! Padahal, tidak semua hal yang dikehendaki dapat dicapai dengan uang! Ketenteraman hati, kedamaian, cinta kasih, semua itu tak dapat dicapai dengan uang segunung sekalipun.

Bagi yang sudah banyak uang, maka kenikmatan karena banyak uang sudah tidak terasa, atau kalau pun terasa, makin lama semakin menipis. Sebaliknya, gangguan-gangguan yang timbul karena banyak uang, terasa setiap hari! Tiada bedanya dengan memiliki banyak selir cantik, dan lain-lain hal yang dianggap kesenangan luar biasa bagi mereka yang belum memilikinya.

Karena itu, seorang bijaksana akan waspada, tidak akan silau oleh semua gemerlap itu, sadar bahwa yang berkilauan itu belum tentu emas, dan kesenangan sama sekali bukanlah kebahagiaan, kesenangan hanya sedalam kulit, bagaikan awan tipis berarak di angkasa, bagaikan angin semilir lembut dan semua itu hanya akan lewat sebentar saja! Bahkan akan nampak betapa di balik kesenangan itu bersembunyi saudara kembarnya, yaitu kesusahan!

Maka, seorang bijaksana tidak akan mengejar kesenangan, tidak akan menginginkan hal-hal yang belum dimilikinya. Bukan berarti menolak kesenangan yang ada! Kesenangan hidup merupakan satu di antara anugerah yang boleh dinikmati oleh setiap orang karena untuk menikmatinya kita sudah diberi alat yang amat sempurna. Dari seluruh tubuh kita tersedia sarana yang sempurna untuk menikmati kesenangan, yaitu kesenangan yang ada pada kita. Sekali kita mengejar kesenangan, maka kita akan diperbudak oleh nafsu dan terjadilah pelanggaran-pelanggaran, penyelewengan-penyelewengan.

Di antara mereka yang duduk semeja dengan tuan rumah, terdapat seorang yang tidak kelihatan segembira yang lain. Dia nampak acuh saja, hanya lebih sering minum arak daripada makan hidangan dan nonton pertunjukan hiburan. Bahkan alisnya seringkali berkerut dan sepasang matanya berkilat penuh penasaran kalau memandang ke arah Siangkoan Lohan.

Orang ini adalah Ciok Kim Bouw, atau Cin-sa-pangcu. Hatinya kesal bukan main ketika dia melihat Sin-kiam Mo-li berada di antara orang-orang yang duduk di panggung kehormatan bersama dia dan tuan rumah dan yang lain-lain. Dia mengenal siapa adanya Sin-kiam Mo-li! Seorang datuk sesat, seorang iblis betina yang pernah secara kejam membunuhi beberapa orang murid Cin-sa-pang setelah terjadi bentrokan antara mereka. Hal itu terjadi kurang lebih sembilan tahun yang lalu.

Ketika itu, Cin-sa-pang diketuai oleh suhengnya yang bernama Louw Pa. Dia sendiri tidak mencampuri pekerjaan suhengnya yang memimpin Cin-sa-pang, karena dia tidak suka akan keadaan suhengnya yang pernah menjadi bajak laut. Dia lebih suka berkelana seorang diri dan memperdalam ilmu silatnya. Akan tetapi, terjadilah peristiwa itu.

Suhengnya, Louw Pa, mempunyai seorang putera yang bernama Louw Heng Siok. Pemuda ini menarik perhatian iblis betina Sin-kiam Mo-li yang menangkapnya dan mempermainkannya kemudian membunuhnya. Mendengar ini, Louw Pa memimpin anak buahnya, lebih dari tiga puluh orang banyaknya, menyerbu tempat kediaman Sin-kiam Mo-li, yaitu di kaki Pegunungan Heng-tuan-san di tepi Sungai Cin-sa.

Tempat itu berbahaya sekali dan akhirnya, Louw Pa dan seluruh anak buahnya tewas dibantai oleh Sin-kiam Mo-li dan kawan-kawannya. Hanya seorang saja yang sempat lolos karena belum memasuki daerah itu sampai dalam, dan dialah yang menceritakan keadaan Louw Pa dan anak buahnya itu.

Melihat keadaan Cin-sa-pang setelah suhengnya tewas, Ciok Kim Bouw lalu turun tangan, membangun kembali Cin-sa-pang, memperkuatnya, menerima anggauta baru dan mengubah sama sekali cara hidup Cinsa-pang sehingga perkumpulan itu menjadi perkumpulan orang gagah cukup terkenal. Bukan lagi perkumpulan para bajak! Dan dia pun tidak mendendam kepada Sin-kiam Mo-li karena selain iblis betina itu lihai sekali, juga dia menganggap bahwa kematian suhengnya adalah karena kesalahan sendiri.

Akan tetapi, kini dia didudukkan semeja, makan bersama dengan iblis betina itu! Tentu saja dia merasa tidak enak dan tidak senang. Tak disangkanya bahwa Siangkoan Lohan yang dianggap sebagai seorang tokoh yang bersih, kini bergaul dengan orang-orang seperti Sin-kiam Mo-li dan para tosu Pat-kwa-pai dan Pek-lian-pai!

Sementara itu, di pihak mereka yang duduk di ruangan dalam, di bawah panggung kehormatan, banyak juga yang merasa penasaran. Apalagi melihat sikap jagoan yang bernama Giam San Ek, yang genit, banyak di antara mereka yang merasa muak. Giam San Ek agaknya sudah setengah mabuk.

Tanpa malu-malu setiap kali ada seorang selir habis menari, dia bangkit dari tempat duduknya, menghampiri penari itu dan memberi hadiah beberapa potong perak dengan gaya yang royal!

Siangkoan Lohan tersenyum saja melihat hal ini. Toat-beng-kiam-ong Giam San Ek adalah seorang sahabatnya, dan dia tahu benar akan kelihaian pendekar pedang itu, dan dia pun maklum bahwa sahabat ini adalah seorang laki-laki yang mata keranjang dan paling suka wanita muda yang cantik, suatu kesukaan yang menjadi kesukaannya pula.

“Ha-ha-ha, Toat-beng-kiam-ong, kalau engkau suka, boleh engkau memilih satu dua orang di antara mereka untuk menemanimu malam ini, ha-ha-ha!”

Ucapan Siangkoan Lohan itu pun dikeluarkan tanpa sungkan-sungkan, terdengar oleh banyak orang yang merasa semakin muak. Tentu saja banyak pula di antara mereka yang menjadi gembira dan menyambut ucapan itu dengan sorakan. Akan tetapi, orang-orang yang menghargai kegagahan dan kesopanan, tentu saja menjadi merah mukanya mendengar kelakar yang saru (tabu) itu. Yang bermuka tebal adalah Si Raja Pedang Pencabut Nyawa sendiri.

Mendengar penawaran tuan rumah, dia tertawa bergelak dan dengan sikap genitnya dia melirik ke arah Sin-kiam Mo-li. Sejak tadi memang pendekar pedang yang pesolek ini bermain mata dengan Sin-kiam Mo-li. Biarpun datuk wanita ini sudah berusia lanjut, hampir setengah abad, namun harus diakui bahwa ia masih nampak cantik jelita dan lemah lembut, tubuhnya tinggi ramping dan masih padat berisi dan montok, juga pandang mata dan senyumnya menunjukkan bahwa ia adalah seorang wanita yang sudah matang! Sifat-sifat ini jauh lebih menarik bagi Giam San Ek daripada para selir tuan rumah yang masih muda-muda dan dianggapnya tentu belum berpengalaman seperti Sin-kiam Mo-li.

Juga kabar yang didengarnya tentang kelihaian Sin-kiam Mo-li, terutama dalam permainan pedang sehingga wanita itu dijuluki Pedang Sakti, amat menarik hatinya dan membuat dia semakin bergairah. Maklumlah bahwa dia sendiri juga seorang jago pedang yang hebat.

“Ha-ha-ha, Lohan, banyak terima kasih atas kebaikanmu. Akan tetapi, para selirmu begini muda-muda dan cantik-cantik, mana aku dapat bertahan melayani mereka? Dan pula, sejak semula hatiku telah terpikat oleh kehadiran pendekar wanita yang amat hebat, baik dalam hal ilmu pedang maupun kecantikan dan nama besar, sehingga mataku tidak dapat melihat lain wanita lagi!” Berkata demikian, dia memandang kepada Sin-kiam Mo-li dengan senyum memikat.

Mendengar ucapan ini dan melihat sikap sahabatnya yang dia tahu memang seorang yang mata keranjang, Siangkoan Lohan juga tertawa lagi. Dia mengenal pula watak sahabatnya itu yang polos, maka dia pun tidak mau berlaku sungkan lagi.

“Ha-ha-ha, aku tidak heran, Kiam-ong, kalau kalian saling tertarik karena memang keduanya merupakan ahli pedang yang sukar ditemukan tandingnya. Aih, Sin-kiam Mo-li, di antara sahabat sendiri tidak perlu kita bersungkan-sungkan. Bagaimana kalau engkau dan Kiam-ong saling memperlihatkan ilmu pedang masing-masing dalam suatu latihan bersama untuk meramaikan suasana pesta sederhana ini? Kuharap kalian sudi memenuhi permintaanku, hitung-hitung menyumbang untuk menyenangkan hatiku agar hidupku dapat lebih panjang.”

Semua orang merasa tegang, baik mereka yang ikut bergembira maupun yang tidak senang mendengar kelakar mereka yang tidak sopan tadi. Mereka semua sudah mendengar akan nama Sin-kiam Mo-li sebagai seorang wanita iblis yang amat lihai, juga ilmu pedangnya amat hebat, demikian pula nama Toat-beng-kiam-ong Giam San Ek bukan nama yang tidak dikenal orang. Kalau kedua tokoh pedang ini memperlihatkan ilmu pedang mereka tentu akan merupakan tontonan yang amat menarik.

Sin-kiam Mo-li yang merasa tertarik kepada si Raja Pedang yang memang tampan dan gagah, dan yang sejak tadi melempar senyum dan kerling mata memikat kepadanya, kini tersenyum manis sekali.

“Aih, Lohan, mana aku berani memperlihatkan kebodohanku di depan Raja Pedang? Jangan-jangan nyawaku akan tercabut dalam beberapa jurus saja!”

Tentu saja wanita ini menyindir karena julukan Giam San Ek adalah Toatbeng Kiam-ong (Raja Pedang Pencabut Nyawa)!

Giam San Ek cepat bangkit berdiri dan menjura ke arah Sin-kiam Mo-li sambil berkata,
“Aih, Sin-kiam Sian-li harap jangan merendahkan diri sedemikian rupa, membuat aku merasa malu saja. Sudah lama mendengar nama besar Sian-li, sungguh besar sekali kebahagiaanku hari ini dapat bertemu dan kalau Sian-li sudi, aku akan merasa berterima kasih sekali menerima pelajaran cara memainkan pedang.”

Tentu saja hati wanita itu menjadi gembira bukan main. Orang ini sungguh pandai merayu dan mengambil hati, pikirnya. Julukannya adalah Sin-kiam Mo-li (Iblis Betina Pedang Sakti), akan tetapi pria ini mengubah sebutan Mo-li menjadi Sian-li yang berarti dari julukan Iblis Betina berubah menjadi Bidadari!

“Kata orang, belajar tidak mengenal batas, biarlah aku menambah pengetahuanku tentang ilmu pedang dari Kiam-ong,” katanya dan ia pun bangkit lalu meninggalkan kursinya, menuju ke tengah panggung yang cukup luas, bersiap menghadapi lawan untuk memperlihatkan kehebatan ilmu pedangnya.

Giam San Ek merasa gembira sekali. Dia pun meninggalkan kursinya, lalu berkata kepada Siangkoan Lohan.

“Lohan, sejak dahulu orang mengetahui bahwa sekali aku mencabut pedangku, maka pedang itu tidak akan kembali ke sarungnya sebelum berubah warna menjadi merah. Akan tetapi, tentu saja terhadap Sin-kiam Sian-li aku tidak mau mempergunakan pedangku. Sungguh terlalu sayang kalau sampai ada secuwil kulit dagingnya terluka pedang, segumpal rambutnya sampai terbabat putus. Sungguhpun aku akan merasa bangga kalau tewas di ujung pedang seorang wanita perkasa sepertinya!” Kembali kata-katanya amat manis terdengar oleh Sin-kiam Mo-li, penuh pujian.

Siangkoan Lohan tertawa dan memberi tanda kepada anak buahnya untuk menyerahkan sebatang pedang biasa kepada Raja Pedang itu.

“Bagaimana dengan engkau, Mo-li? Apakah engkau pun tidak tega terhadap Kiam-ong dan ingin mempergunakan pedang pinjaman yang tidak berbahaya?”

Sin-kiam-li tersenyum dan ia pun mencabut pedangnya dengan tangan kanan, dan kebutannya dengan tangan kiri.

“Orang bilang bahwa pedang tidak bermata, akan tetapi aku yakin bahwa pedang dan kebutanku bermata sehingga tidak ada bahayanya aku akan kesalahan tangan mencelakai Kiam-ong, kecuali kalau dia menghendaki hal itu terjadi.”

Dalam ucapan Sin-kiam Mo-li ini pun terkandung sindiran bahwa apa yang akan terjadi akibat dari adu kepandaian itu tentu saja tergantung dari Toat-beng Kiam-ong sendiri. Pendeknya, ia siap siaga untuk mengimbangi sikap orang itu. Mau bersahabat dan hanya main-main, boleh, kalau hendak bersungguh-sungguh dan bertanding mati-matian, ia pun tidak gentar!

Giam San Ek memandang kagum. Bukan main wanita ini, pikirnya. Sudah banyak dia menggauli wanita sepanjang hidupnya, akan tetapi mereka itu selalu wanita muda yang cantik, dan belum pernah dia bersahabat akrab dengan seorang wanita gagah perkasa seperti ini, maka gairahnya semakin berkobar.

“Sin-kiam Sian-li, mari kita main-main sebentar!” teriaknya gembira dan dia pun berseru untuk memberi tanda bahwa dia mulai dengan serangannya.

Dan memang hebat serangannya itu. Agaknya untuk membuktikan bahwa julukannya sebagai Raja Pedang tidaklah kosong belaka, begitu menyerang, pedangnya berkelebat dan lenyap bentuknya, berubah menjadi sinar bergulung-gulung yang mengeluarkan bunyi berdengung ketika menyambar ke arah Sin-kiam Mo-li. Semua orang menahan napas dengan kagum karena dari gerakan pertama ini saja sudah dapat dilihat bahwa Giam San Ek memang seorang ahli pedang yang hebat.

Namun, sambil tersenyum manis Sin-kiam Mo-li mengelebatkan pedangnya menangkis dibarengi kebutannya yang menyambar ke depan, ke arah pelipis kanan lawan. Gerakannya lembut, namun dahsyat mematikan dan serangan balasan itu dilakukan pada saat pedangnya menangkis pedang lawan, sehingga merupakan serangan balasan yang langsung!

“Bagus!”

Kiam-ong memuji sambil meloncat ke belakang menghindarkan kebutan lawan dan menarik kembali pedangnya yang diputar cepat untuk melindungi tubuhnya dari desakan lawan. Perkiraannya benar karena begitu melihat lawan mundur, Mo-li mendesak dengan serangan lanjutan ujung kebutan menotok jalan darah pundak kanan lawan sedangkan pedangnya membabat pinggang.

“Tranggg....!”

Bunga api berpijar ketika dua batang pedang saling bertemu dan dengan gerakan indah Kiam-ong mengelak dari totokan ujung kebutan. Pedangnya yang tadi menangkis, sengaja dipentalkan untuk membalas dengan tikaman dari bawah menyerong, menuju ke lambung lawan.

Mo-li mengelak cepat dan balas menyerang, namun sekali ini, Kiam-ong mengeluarkan kelihaiannya. Pedang itu berputar cepat membentuk gulungan sinar yang menyelimuti seluruh tubuhnya sehingga serangan Mo-li kembali tertangkis bahkan sebagai balasan, ada sinar pedang mencuat ke arah pangkal kebutan, dengan maksud untuk membabat putus bulu kebutan itu.

“Hemmm, bagus!”

Sin-kiam Mo-li memuji dengan kagum karena sungguh indah gerakan pedang lawan. Pantas orang ini dijuluki Raja Pedang karena memang gerakan pedangnya amat cepat, kuat dan indah sekali. Dari gerakan dasarnya, ia dapat menduga bahwa agaknya si Raja Pedang ini memiliki dasar ilmu silat pedang dari Bu-tong-pai. Akan tetapi tentu telah dibaur dengan ilmu-ilmu pedang lain karena gerakan-gerakannya juga mengandung gerakan ilmu pedang yang diperkuat tendangan dari utara, juga perputaran badan sambil memutar pedang seperti ilmu pedang dari Korea.

Betapapun juga, harus diakuinya bahwa lawannya memang lihai sekali bermain pedang, lihai dan memiliki tenaga yang dahsyat, juga kecepatan yang mengagumkan. Biarpun mereka hanya main-main Moli harus mengakui bahwa andaikata ia hanya mengandalkan pedangnya, tanpa dibantu senjata kebutannya yang dalam banyak hal bahkan lebih lihai daripada pedangnya, agaknya akan sukar baginya untuk dapat memenangkan suatu pertandingan ilmu pedang melawan Raja Pedang ini.

Makin seru pertandingan itu, semakin kagumlah para tamu karena baru sekarang mereka menyaksikan pertandingan ilmu pedang yang demikian hebatnya. Siangkoan Lohan juga diam-diam merasa kagum. Sebagai seorang ahli silat tinggi yang berpengalaman, dia pun tahu bahwa gulungan sinar pedang kedua orang ahli itu amatlah berbahaya, baru sinarnya saja sudah cukup untuk dapat membunuh lawan!

Untuk membuktikan dugaannya, juga untuk menambah kegembiraan dan kekaguman mereka yang menonton, tuan rumah ini mengambil delapan batang sumpit dari atas meja, kemudian satu demi satu dia melontarkan sumpit-sumpit itu ke arah dua orang yang sedang bertanding ilmu silat pedang.

Dan sumpit-sumpit itu begitu tersentuh sinar pedang, tanpa menimbulkan suara, berjatuhan ke atas lantai dalam keadaan terpotong-potong, ada yang menjadi empat, tiga atau dua, seperti lilin-lilin lunak terpotong pisau tajam saja!

Melihat ini, para tamu semakin kagum dan terkejut, juga ngeri. Pantas dikabarkan bahwa setiap kali mencabut pedangnya, pedang itu tentu kembali ke sarungnya dalam keadaan berlepotan darah, kiranya ilmu pedang dari Kiam-ong memang hebat. Akan tetapi, ternyata Sin-kiam Mo-li tidak kalah hebatnya, nampak betapa wanita ini mampu menandingi kehebatan ilmu pedang Toat-beng Kiam-ong.

Setelah lewat kurang lebih lima puluh jurus, tiba-tiba dari dua gulungan sinar pedang itu nampak bunga api berpijar dibarengi suara benturan pedang yang nyaring, disusul meloncatnya tubuh Kiam-ong keluar dari kalangan pertempuran. Pedang yang dipegangnya, pedang pinjaman dari murid Tiat-liong-pang tadi, ternyata telah buntung ujungnya! Dia tersenyum dan memberi hormat kepada Sin-kiam Mo-li.

“Sin-kiam Sian-li sungguh lihai bukan main! Aku mengaku kalah dalam pertandingan adu pedang. Akan tetapi dalam hal pertandingan mengadu kekuatan di bidang lain, aku yakin akan mampu mengalahkanmu, Sian-li!”