Ads

Senin, 15 Februari 2016

Kisah si Bangau Putih Jilid 008

Manusia hidup tak mungkin terbebas dari persoalan karena hidup berarti komunikasi antara manusia, berarti pergaulan di masyarakat ramai dan dalam setiap persoalan sudah pasti kadang-kadang terjadi pergesekan-pergesekan atau pertentangan pendapat yang menimbulkan persoalan.

Juga dalam kehidupan manusia menghadapi pula peristiwa-peristiwa yang menempatkan dirinya berhadapan dengan hal-hal yang tidak menyenangkan, dengan hal-hal yang mengancam, dengan kehilangan-kehilangan dan sebagainya, yang tentu saja menimbulkan masalah atau persoalan yang kita namakan problem. Hidup ini seolah-olah menjadi ladang di mana problem tumbuh seperti jamur di musim hujan, tiada hentinya, sejak kecil sampai tua dan mati, sejak pagi bangun tidur sampai menjelang pulas di malam hari! Benarkah hidup harus begini? Tidak dapatkah kita terbebas dari problem, dari persoalan?

Selama kita masih hidup, tidak mungkin kita terhindar dari persoalan karena persoalan merupakan peristiwa yang terjadi setiap saat, dalam pekerjaan, dalam hukuman antara keluarga, antara sahabat, bahkan dalam permainan selalu timbul problem.

Namun, kalau kita mau mengkaji dengan seutuhnya, atau lebih tepat lagi, kalau kita mau membuka mata dengan waspada, mengamati segala peristiwa yang terjadi tanpa penilaian, tanpa prasangka, tanpa gambaran bahwa aku diuntungkan atau dirugikan, kalau kita menghadapi segala peristiwa yang terjadi sebagai suatu fakta, suatu kenyataan yang sedang terjadi dan tidak dapat diubah oleh apa pun juga, maka akan nampaklah oleh kita bahwa sesungguhnya problem itu tidak ada.

Problem dalam hal ini diartikan sebagai masalah yang menyusahkan, menyulitkan atau merugikan diri kita. Peristiwa yang terjadi sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan problem dan problem itu baru ada kalau memang kita problemkan, kita adakan! Yang kita anggap sebagai problem biasanya adalah sesuatu yang menimbulkan rasa khawatir atau takut, sesuatu yang kita anggap amat merugikan, sesuatu yang mengancam, dan sesuatu yang melenyapkan sumber kesenangan kita.

Segala macam peristiwa, baik yang kita anggap menyenangkan atau menyusahkan, adalah suatu kenyataan, suatu kewajaran, suatu proses yang terjadi karena suatu sebab, dan karena merupakan fakta yang wajar dan disitu tidak ada susah atau senang, untung atau rugi.

Baru setelah kita menilai, berdasarkan untung rugi bagi diri sendiri, maka fakta itu kita nilai sebagai baik atau buruk, menguntungkan atau merugikan, dan yang merugikan, yang buruk, kita jadikan sebagai suatu problem.

Contohnya demikan. Hujan datang. Ini wajar. Ini kenyataan, fakta yang sedang terjadi dan tak dapat diubah oleh siapapun. Ini suatu proses dari sebab-sebab tertentu. Tidak ada untung atau rugi dalam hujan, tidak ada baik maupun buruk. Akan tetapi, kita menghadapinya dengan si aku menilai-nilai.

Si penjemur terigu merasa dirugikan dan menyumpah-nyumpah, atau menangis karena terigunya rusak dan dia menderita rugi banyak, sebaliknya si petani yang memang membutuhkan air hujan bagi tanahnya, memuja dan memuji Tuhan, berterima kasih dan tertawa-tawa karena peristiwa itu menguntungkan dirinya!

Jelaslah bahwa hujan itu tetap hujan, suatu peristiwa yang wajar, namun menjadi problem atau tidak tergantung kepada kita sendiri yang menilainya. Jelas bahwa problem itu tidak ada kalau tidak kita adakan sendiri!

Demikian pula dengan peristiwa apa pun juga di dunia ini. Jatuh sakit, itu pun suatu kenyataan yang wajar, suatu proses yang bersebab. Kalau kita menerimanya dengan pengamatan yang waspada, menerimanya sebagai suatu kenyataan hidup, tanpa menilai, maka batin kita tidak menjadi keruh oleh suka duka, dan kita dapat bertindak berdasarkan kebijaksanaan untuk menanggunglangi sakit yang datang itu.

Sampai kepada kematian seseorang. Kita hadapi sebagai suatu kenyataan yang wajar, suatu proses bersebab, dan kita tidak akan diseret oleh duka melainkan dapat bertindak dengan bijaksana. Kalau sudah begini, akan nampaklah oleh kita bahwa segala sesuatu yang terjadi di dunia ini sudah pasti bersebab, dan segala sesuatu yang terjadi adalah suatu kewajaran, dan di dalam setiap peristiwa itu terdapat suatu pelajaran, suatu hikmah yang amat berharga! Tinggal kita mau membuka mata dengan waspada atau membutakan mata dengan tangis dan rintihan.

Sin Hong adalah seorang yang sejak kecilnya mengalami banyak hal-hal yang amat hebat dan dipandang sepintas lalu, tentu saja semua peristiwa itu amat merugikan dirinya.

Ayahnya dibunuh orang, ibunya juga tewas secara menyedihkan, kemudian tiga orang gurunya sekaligus, terbunuh orang pula. Semua itu terjadi tanpa dia dapat menolong. Akan tetapi, gemblengan tiga orang sakti membuat dia menjadi seorang pemuda yang kuat lahir batin, tidak mudah terseret si aku yang selalu ingin menang sendiri.

Hal ini menjauhkan perasaan dendam dari batinnya dan kalau dia menyelidiki tentang peristiwa yang menimpa keluarganya, hal itu dilakukan tanpa perasaan dendam dan benci, melainkan sebagai pemenuhan tugas seorang pendekar yang harus menentang kejahatan. Orang-orang yang menghancurkan keluarga ayahnya amatlah jahat, dan dia ingin tahu apa yang menyebabkan mereka melakukan semua kejahatannya.

Malam itu sunyi sekali dan biarpun Sin Hong tidur pulas karena lahir batin, sedikit suara yang tidak wajar cukup untuk membuatnya terbangun dengan kaget. Dia mendengar gerakan tidak wajar di atas genteng rumah itu dan mendengar pula suara orang merintih.

Hal ini sudah cukup membuat dia sadar sepenuhnya dan di lain saat tubuhnya sudah meloncat keluar dari dalam kamar, keluar dan langsung dia meloncat naik ke atas genteng. Malam itu gelap, hanya diterangi cahaya ribuan bintang, namun cukup terang baginya untuk melihat berkelebatnya bayangan orang yang berlari di atas wuwungan.






“Heiii, berhenti dulu!”

Sin Hong meloncat dan mengejar. Bayangan hitam itu tiba-tiba membalik dan ternyata dia mengenakan kedok hitam, dan begitu Sin Hong tiba dekat, dia sudah menyambutnya dengan serangan totokan pada ulu hati Sin Hong. Gerakannya demikian cepat dan mengandung hawa pukulan dahsyat yang mengejutkan Sin Hong. Pemuda ini cepat menangkis sambil memutar telapak tangan untuk menangkap lengan orang.

“Plakkk.... brettt!”

Bayangan itu tertangkap lengannya, akan tetapi lengan itu dibetot dan lengan bajunya saja yang robek dan tertinggal di tangan Sin Hong. Orang berkedok itu meloncat dari atas wuwungan, melayang masuk ke dalam malam gelap diantara pohon dan rumah tetangga dan lenyap.

Sin Hong tidak mengejar karena dia belum tahu siapa orang itu dan apa maksudnya malam-malam datang ke rumahnya. Karena tidak tahu, maka tadi pun dia tidak turun tangan secara keras, hanya berusaha menangkap saja namun gagal dan hal itu saja sudah membuktikan bahwa bayangan hitam itu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi.

Karena khawatir mendengar suara rintihan tadi, Sin Hong cepat meloncat turun kembali ke dalam rumah, langsung menuju ke kamar Tang-piauwsu karena di dalam rumah itu hanya ada mereka berdua.

Daun pintu kamar itu terbuka lebar dan suara rintihan lemah masih terdengar dari sebelah dalam kamar. Cepat Sin Hong meloncat masuk. Kamar itu remang-remang, diterangi sebatang lilin di atas meja di sudut. Sin Hong melihat sesosok tubuh menggeletak di atas lantai, berlumuran darah dan orang itu bukan lain adalah Tang-piauwsu!

“Paman....!”

Seru Sin Hong sambil menghampiri dan berlutut, cepat memeriksa keadaan orang itu. Luka di dadanya amat parah dan tahulah dia bahwa tidak ada harapan lagi bagi Tang Lun.

“Paman, siapa yang melakukan ini?”

Dengan napas terengah Tang Lun menjawab,
“....tidak.... tahu.... amat cepat.... berkedok.... Sin Hong....“

Sin Hong cepat menotok beberapa jalan darah di dada dan pundak. Totokan ini menolong mengurangi rasa nyeri, sesak, dan Tang Lun melanjutkan kata-katanya, agak lancar.

“Sin Hong dahulu sebelum dilamar ayahmu ibumu pernah saling mencinta dengan Kwee Tay Seng.“

“Paman, siapa yang melakukan ini terhadap Paman? Siapa yang menyerang tadi? Seorang berkedok, akan tetapi siapa kiranya dia, Paman?”

“Entahlah…. luar biasa lihainya....” Tang Lun tidak kuat lagi, lehernya terkulai dan nyawanya melayang.

Sin Hong mengepal tinju. Tang Lun tidak mengenal pembunuh itu! Dia merasa yakin bahwa tentu pembunuh itu ada hubungannya dengan mereka yang membasmi keluarganya. Dia merasa menyesal sekali mengapa tadi tidak dikejarnya orang berkedok itu dan menawannya.

Akan tetapi, dia sama sekali tidak membayangkan bahwa orang berkedok ini telah membunuh Tang Lun. Dan Tang Lun hanya memberi tahu bahwa ibunya pernah saling cinta dengan Kwee Tay Seng, atau Kwee-piauwsu, orang yang dicurigai oleh Tang Lun dan Ciu Hok Kwi sebagai pembasmi keluarganya. Agaknya itulah yang hendak diceritakan kepadanya namun ditahannya, sore tadi di depan Ciu-piauwsu.

Hemmm, apakah karena cintanya terhadap ibunya gagal oleh karena ibunya menikah dengan ayahnya lalu orang she Kwee itu menjadi marah dan menaruh dendam kepada ayahnya? Jadi ibunya mencinta laki-laki itu, akan tetapi kakeknya dahulu menolak pinangan keluarga Kwee!

Pada keesokan harinya, ketika mendengar akan peristiwa itu, Ciu Hok Kwi datang dan dia pun berlutut dan menangisi jenazah Tang Lun. Kemudian ketika jenazah itu dimasukkan peti oleh para piauwsu lainnya yang datang berlayat, bersama para tetangga, setelah diperiksa oleh pembesar yang berwenang untuk itu, Ciu Hok Kwi bersembahyang dengan suara cukup nyaring,

“Tang-toako! Kita yakin bahwa yang melakukan ini tentulah pembunuh Tan-toako pula, yaitu anjing she Kwee. Tenangkanlah rohmu, Toako, karena sekarang juga aku, Ciu Hok Kwi, akan menuntut balas kepada anjing she Kwee itu!”

Setelah berkata demikian, dengan langkah lebar Ciu Hok Kwi lalu pergi meninggalkan rumah itu. Semua orang memandang dengan gelisah, dan Sin Hong lalu melangkah keluar pula dari rumah itu, diam-diam membayangi Ciu Hok Kwi yang pergi dengan muka merah dan sikap marah.

Dia ingin sekali melihat apa yang hendak dilakukan oleh piauwsu itu. Dan seperti yang sudah diduga dan dikhawatirkannya, Ciu Hok Kwi langsung saja menuju ke rumah Kwee Tay Seng, pemimpin Ban-goan Piauwkiok. Beberapa orang piauwsu segera keluar dari kantor perusahaan itu menyambut kedatangan Ciu Hok Kwi dengan sikap heran.

“Aku ingin berjumpa dan bicara dengan Kwee Tay Seng!” demikian Ciu Hok Kwi berkata lantang, dengan sikap marah.

Selagi para piauwsu memperlihatkan sikap kurang senang, tiba-tiba dari dalam muncul seorang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh lima tahun. Dari belakang batang pohon tak jauh dari situ, Sin Hong menonton dan kehadirannya tidak menarik perhatian karena di tempat itu sudah berkumpul beberapa orang yang tertarik melihat ribut-ribut itu. Sin Hong masih dapat mengenal Kwee-piauwsu. Masih nampak gagah dan tampan, bertubuh tinggi besar dan berdada bidang.

Seorang laki-laki yang jantan dan gagah, dan kini dia memandang dengan penilaian lain karena teringat bahwa laki-laki ini pernah saling mencinta dengan ibunya di waktu masih muda. Seorang pria yang ganteng, dan tidak heran kalau ibunya pernah saling mencinta dengannya.

“Kiranya Ciu Piauwsu yang datang berkunjung,” kata Kwee-piauwsu dengan sikap ramah dan pandang matanya tajam penuh selidik. “Silakan masuk dan mari kita bicara di dalam.”

“Tidak perlu masuk, di sini pun cukup.” Ciu Piauwsu berkata dengan suara membentak marah. “Kwee Tay Seng, aku datang untuk menuntut balas atas kematian saudara-saudaraku Tan Hok dan Tang Lun! Majulah dan mari kita membuat perhitungan dengan senjata!”

Tangan kanannya bergerak dan Ciu piauwsu telah menghunus pedang yang bergantung di punggungnya.

Sin Hong mengerutkan alisnya, sama sekali tidak setuju melihat sikap Ciu Hok Kwi walaupun orang itu menyatakan hendak membalas dendam atas kematian ayahnya dan Tang-piauwsu. Ciu Hok Kwi dianggapnya terlalu kasar dan sembrono, padahal sama sekali belum ada bukti nyata bahwa pembunuhan-pembunuhan itu dilakukan oleh Kwee Piauwsu. Dia pun hanya menonton saja, akan tetapi diam-diam dia pun siap untuk melindungi keselamatan Ciu Hok Kwi kalau sampai terancam bahaya maut.

Akan tetapi Kwee Piauwsu kelihatan heran mendengar tantangan dan melihat sikap Ciu Hok Kwi.

“Hemmm, Ciu Hok Kwi, sungguh sikapmu ini membuat kami merasa bingung dan tidak mengerti. Saudara Tan Hok telah tewas dalam tugasnya beberapa tahun yang lalu, dan kini yang melanjutkan perusahaan Peng An Piauwkiok adalah saudara Tang Lun. Bagaimana engkau kini mengatakan hendak membalaskan kematian saudara Tang Lun? Dan mengapa pula kepadaku?”

“Orang she Kwee, tidak perlu lagi berpura-pura! Orang lain boleh jadi tidak tahu, akan tetapi aku yakin bahwa yang membunuh Tang-toako malam tadi adalah engkau! Dan dahulu pun yang melakukan pencegatan, merampas barang kiriman dan membunuh Tan-toako adalah engkau pula dan anak buahmu. Nah, sekarang aku membuat perhitungan, hadapi pedangku kalau memang engkau laki-laki sejati! Jangan bertindak dalam rahasia, memakai kedok segala!”

Melihat sikap ini, para piauwsu anak buah Kwee Piauwsu menjadi marah dan beberapa orang sudah mencabut senjata hendak menyerangnya. Melihat ini, Kwee Piauwsu memberi isyarat kepada anak buahnya untuk mundur.

“Jangan kalian mencampuri urusan ini, biar aku sendiri yang menghadapi Ciu-piauwsu.” kemudian dia melangkah maju menghadapi Ciu Hok Kwi dengan sikap tenang, akan tetapi mukanya menjadi merah karena marah.

“Ciu-piauwsu, semua tuduhanmu tadi merupakan fitnah yang amat keji! Aku sama sekali tidak tahu bahwa Tang-piauwsu semalam dibunuh orang, dan aku pun sama sekali tidak tahu-menahu tentang kematian Tan-piauwsu beberapa tahun yang lalu. Apa buktinya bahwa aku melakukan pembunuhan-pembunuhan itu? Jangan engkau melempar fitnah seenak perutmu sendiri tanpa bukti!”

“Buktinya? Engkau adalah saingan paling besar dari perusahaan kami, dan engkau pun saingan mendiang Tan-toako dalam merebut hati wanita. Engkau mendendam padanya dan karena itu sudah jelas engkau yang melakukan semua pembunuhan itu!”

“Keparat!” Kwee-piauwsu menjadi marah karena urusan pribadi tentang cintanya terhadap mendiang isteri Tan-piauwsu diungkit-ungkit oleh orang itu. “Aku tidak melakukan pembunuhan itu, akan tetapi jangan dikira aku takut menghadapi tantanganmu yang ngawur dan tak berdasar!”

Berkata demikian, piauwsu yang tinggi besar itu melolos sabuknya dan sabuk itu ternyata sebuah sabuk rantai baja yang tebal dan panjangnya hampir satu setengah meter. Melihat lawannya sudah mengeluarkan senjatanya, Ciu Hok Kwi segera menerjang dengan pedangnya sambil membentak.

“Mampuslah!”

Akan tetapi, Kwee Tay Seng adalah seorang ahli silat Bu-tong-pai yang lihai sekali. Tangannya bergerak dan rantai baja itu membentuk sinar bergulung menangkis serangan pedang yang ditusukkan oleh lawan.

“Tranggg....!”

Nampak bunga api berhamburan ketika pedang bertemu rantai dan keduanya melangkah ke belakang, merasakan betapa tangan mereka tergetar hebat oleh pertemuan kedua senjata itu, tanda bahwa masing-masing memiliki tenaga yang amat kuat.

Ciu Hok Kwi menerjang lagi dan mengirim serangan-serangan dahsyat dengan pedangnya, dan harus diakui bahwa permainan pedang orang she Ciu ini cukup lihai. Kwee-piauwsu tidak berani memandang rendah. Dia menangkis, dan membalas dengan serangan rantainya. Segera kedua orang itu terlibat dalam perkelahian yang seru dan mati-matian.

Dari belakang batang pohon, kini Sin Hong telah maju bercampur dengan orang-orang yang nonton, tak jauh dari tempat perkelahian. Tadinya dia siap untuk melindungi Ciu-piauwsu, akan tetapi segera dia mendapat kenyataan yang mengagumkan bahwa tingkat kepandaian Ciu-piauwsu tidak kalah dibandingkan dengan tingkat lawan. Karena itu, legalah hatinya dan dia pun mengikuti jalannya perkelahian itu, siap untuk mencegah apabila seorang di antara mereka terancam bahaya maut. Biarpun dia berdiri di bagian terdepan, dia tidak takut dikenal orang karena baru kemarin dia tiba di Ban-goan dan tidak ada orang mengenal dia.

Perkelahian itu berlangsung semakin seru dan makin banyak orang datang menonton. Para anggauta piauwsu anak buah Kwee-piauwsu membuat pagar untuk menghalangi para penonton mendekat dan di antara para penonton banyak yang membicarakan perkelahian itu dengan dugaan-dugaan mereka. Sin Hong tentu saja memasang telinga mendengarkan dan percakapan dua orang di sebelahnya menarik perhatiannya.

“Hebat sekali orang itu, dapat menandingi Kwee-piauwsu, siapakah dia itu?”

“Apakah engkau tidak tahu? Dia adalah orang ke dua dari Peng An Piauwkiok setelah Tang-piauwsu.”

“Akan tetapi mengapa dia datang dan menyerang Kwee-piauwsu?”

“Biasa, orang dagang. Tentu karena persaingan.”

Karena Sin Hong menoleh, maka dalam waktu beberapa detik lamanya perhatiannya terpecah dan dia tidak melihat betapa pada saat itu rantai di tangan Kwee-piauwsu mengenai lengan kanan Ciu-piauwsu. Pedang itu terlepas dari pegangan dan Kwee-piauwsu sudah cepat menyusulkan sebuah tendangan yang mengenai lutut Ciu Hok Kwi dan membuatnya roboh terlentang! Akan tetapi Kwee Tay Seng tidak menyerang lagi, melainkan berdiri saja memandang kepada lawan yang sudah dikalahkannya.

Sin Hong sempat melihat betapa kekalahan Ciu Hok Kwi itu karena kesalahan sendiri. Agaknya orang ini terlalu percaya kepada diri sendiri sehingga menerima sambaran rantai itu dengan lengannya, agaknya dengan niat untuk dapat membalas secepatnya.

Akan tetapi ternyata pukulan rantai itu membuat pedangnya terlepas dan tendangan lawan tak dapat dielakkannya lagi. Akan tetapi Ciu Hok Kwi sudah memungut pedangnya, bangkit berdiri dan memandang kepada bekas lawannya dengan mata melotot.

“Hari ini aku mengaku kalah, akan tetapi lain hari aku akan datang menebus kekalahan ini!” Setelah berkata demikian, tanpa pamit lalu dia pergi dengan langkah agak terpincang.

“Hei, orang she Ciu!” Kwee Tay Seng berseru ke arah lawan yang sudah berjalan pergi itu. “Demi Tuhan aku tidak melakukan apa yang kau tuduhkan itu!”

Akan tetapi Ciu Hok Kwi tidak peduli dan terus saja melangkah pergi. Setelah perkelahian itu selesai, orang-orang bubaran, termasuk Sin Hong yang merasa lega juga melihat kesudahan perkelahian itu. Biarpun kalah, Ciu-piauwsu tidak terluka parah. Bahkan kekalahan itu perlu sebagai pelajaran kepada Ciu Hok Kwi untuk kelancangannya.

Akan tetapi, setelah melihat sikap Kwee Tay Seng, dalam hatinya Sin Hong merasa semakin kurang yakin bahwa orang she Kwee itu yang merencanakan pembunuhan terhadap keluarganya. Orang itu memperlihatkan sikap yang demikian gagah. Orang seperti itu kalau menghadapi urusan, kiranya akan merasa malu mempergunakan cara-cara yang curang. Sikapnya terhadap Ciu Hok Kwi tadi saja sudah menunjukkan kegagahannya. Setelah dia tiba di rumah kembali, Ciu-piauwsu telah berada di situ dan nampak murung.

“Eh, Paman Cui, engkau pergi ke mana sajakah?”

Sin Hong bertanya, pura-pura tidak tahu akan peristiwa yang terjadi di depan perusahaan Ban-goan Piauwkiok tadi.

“Aku pergi menemui Kwee Tay Seng dari Ban-goan Piauwkiok dan membuat perhitungannya dengan dia. Akan tetapi, dia terlampau lihai dan aku kalah.”

Diam-diam Sin Hong merasa kasihan juga kepada orang yang dengan jujur mengakui kekalahannya itu. Biarpun lancang dan kasar, namun bagaimanapun juga orang ini ingin menuntut balas atas kematian ayah ibunya, juga kematian Tang Lun. Sin Hong tidak banyak bertanya dan mereka lalu mengurus penguburan jenazah Tang-piauwsu.

Setelah pemakaman selesai, Ciu-piauwsu mengajak Sin Hong berbincang-bincang tentang Peng An Piauwkiok. Bagaimana baiknya sekarang setelah Tang-piauwsu meninggal dunia dan apa yang akan dilakukan pemuda itu selanjutnya.

“Paman Ciu, rumah dan kantor ini sudah digadaikan dan tinggal kurang dari dua tahun lagi masanya akan habis. Aku tidak suka melanjutkan pekerjaan ayah, dan tidak sanggup untuk mengembalikan uang pinjaman. Karena itu, terserah kepadamu, akan kau lanjutkan perusahaan ekspedisi ini ataukah akan ditutup saja. Dan rumah ini boleh kau serahkan saja kepada yang berhak, yaitu si pemilik uang yang telah memberi pinjaman kepada mendiang Tang-piauwsu untuk mengganti kerugian.”

“Aku akan melanjutkan, Sin Hong Piauwkiok ini dengan susah payah dibangun oleh mendiang Tan-toako, masa harus ditutup begitu saja? Biarlah aku yang kelak membayar hutang itu. Akan tetapi, karena nama Peng An Piauwkiok sudah kurang dipercaya pedagang, nama piauwkiok ini akan kuganti dan akan kuperbaharui segala-galanya. Pemilik uang itu adalah seorang hartawan yang menjadi sahabat baikku, tentu aku akan dapat meminjam modal dan kelak aku akan menebus rumah dan kantor ini. Akan kusaingi Ban-goan Piauwkiok!” katanya penasaran.

Sin Hong mengangguk.
“Terserah kepadamu, Paman. Aku tidak akan mencampuri urusan Piauwkiok. Bahkan aku akan pergi sekarang juga.”

“Ke mana Sin Hong?”

“Ke mana saja, Paman. Aku ingin merantau,” kata Sin Hong, tidak mau memberitahukan keinginannya untuk melanjutkan penyelidikan tentang pembunuhan-pembunuhan itu.

Dia masih merasa bingung karena setelah melihat sikap Kwee-piauwsu, dia seperti kehilangan pegangan. Kalau bukan orang she Kwee itu yang merencanakan semua pembunuhan itu, lalu siapa lagi? Dan siapa pula orang berkedok yang membunuh Tang Lun? Orang berkedok itu lihai sekali, hal ini dapat diketahuinya ketika dia gagal menangkap lengannya, hanya mendapatkan potongan lengan baju.

Akan diselidikinya sampai dia dapat membongkar rahasia itu, pikirnya. Dan dia tidak yakin akan keterlibatan Kwee-piauwsu, namun dia tetap akan menemui piauwsu itu dalam penyelidikannya.

Pada hari itu juga, Sin Hong berpamit dan meninggalkan Ciu Hok Kwi, membawa buntalan pakaian dan sisa bekal uang yang dirampasnya dari kepala perampok. Ciu Hok Kwi dengan wajah duka, mengantarnya sampai ke pintu gerbang kantor Piauwkiok yang sudah butut itu. Mereka pun berpisah.

**** 008 ****