Ads

Senin, 15 Februari 2016

Kisah si Bangau Putih Jilid 007

Sin Hong masih ingat kepada dua orang kuli tua ini Walaupun dia tidak tahu lagi siapa nama mereka. Tulang-tulang menonjol di balik kulit yang menjadi keras karena kerja berat itu menambah bayangan kemiskinan diderita dua orang ini.

Melihat seorang pemuda menghampiri kantor itu, dua orang kuli ini cepat bangkit memberi hormat dan kegembiraan membayang di wajah mereka, kegembiraan penuh harap untuk mendapatkan pekerjaan yang mendatangkan hasil bagi mereka.

“Selamat pagi, Tuan Muda. Apakah Tuan Muda hendak mengirim barang yang perlu pengawalan?” tanya seorang di antara mereka penuh harapan.

Begitu mudah membaca kegembiraan penuh harapan membayang di wajah mereka sehingga Sin Hong merasa terharu. Melihat rumah ini, bertemu dengan dua wajah tua yang tidak asing ini, mendatangkan kenangan lama dan mengingatkan dia akan ayah ibunya yang sudah tiada.

Pohon cemara itu masih tumbuh di samping rumah dan dia masih mengenal cabang-cabangnya yang kini semakin besar dan tinggi, juga batu besar di bawahnya, di mana dahulu dia seringkali bermain di atasnya. Hatinya terharu, namun wajahnya tidak membayangkan perasaan hatinya dan dia masih tersenyum ramah ketika menjawab,

“Ji-wi Lopek (Paman Tua Berdua), aku ingin bertemu dengan Tang-piauwsu. Apakah dia berada di sini?”

Dahulu, delapan tahun yang lalu, Tang-piauwsu merupakan pembantu utama ayahnya dan pengawal ini dahulu adalah seorang bujangan berusia tiga puluh tahun lebih, tidak berkeluarga dan tinggalnya mondok pula di rumah ayahnya.

Tentu kini sudah berusia empat puluh tahun, dan dia ingin sekali tahu apakah pengawal itu masih tinggal di situ ataukah pindah ke rumah lain dan hanya berkantor di situ. Atau diam-diam dia gelisah, jangan-jangan Tang-piauwsu sudah tidak ada, tewas pula ketika mengawal dia dan ibunya dan kemudian dikeroyok oleh para perampok berkedok. Akan tetapi, jawaban orang itu melegakan hatinya.

“Tang-piauwsu? Tentu saja dia berada di sini, Kongcu. Kongcu hendak bicara tentang pesanan pengawalan? Biar saya panggilkan dia, tentu sedang berada di bagian dalam rumahnya. Akhir-akhir ini kesehatannya seringkali terganggu.”

Dua orang itu lalu masuk ke dalam setelah mempersilakan Sin Hong duduk menanti di bangku yang terdapat di dalam kantor itu. Sin Hong duduk dan mengamati keadaan kantor itu.

Seingatnya, kantor ini dahulu lebih bersih dan lebih banyak mejanya, dan sedikitnya ada lima orang piauwsu yang duduk di situ melayani tamu. Juga ada sedikitnya lima orang kuli yang menerima barang-barang dan menyimpannya dalam gudang sebelum dikirimkan. Akan tetapi sekarang kantor itu kosong sama sekali tidak ada orangnya, dan meja yang terdapat di situ hanya dua, kini kosong.

Suara sepatu dari dalam membuat dia mengangkat muka memandang. Muncullah Tang-piauwsu. Dia masih ingat benar wajah itu, hanya kini nampak jauh lebih tua daripada delapan tahun yang lalu. Tubuh yang tinggi besar dari Tang Lun, demikian nama piauwsu itu, kini agak membungkuk, kumis dan jenggotnya tidak terpelihara dan biarpun usianya baru empat puluh tahun lebih sedikit rambutnya sudah banyak bercampur uban, mukanya memperlihatkan garis-garis pengalaman pahit yang dalam, dan yang lebih mengherankan hati Sin Hong adalah buntungnya telinga kiri piauwsu itu! Daun telinga kirinya tidak ada. Sin Hong cepat bangkit berdiri dan Tang-piauwsu yang mengira mendapat langganan baru, segera memberi hormat.

“Selamat pagi, Kongcu. Kongcu mencari saya? Sayalah Tang-piauwsu, dan kalau Kongcu membutuhkan pengawalan.”

“Paman Tang, lupakah Paman kepadaku?” kata Sin Hong, suaranya agak menggetar karena keharuan.

Orang ini pernah membela dia dan ibunya dari serangan gerombolan perampok berkedok. Melihat wajah orang ini, seketika lenyaplah keraguannya dan dia hampir yakin bahwa dugaan mendiang subonya itu keliru.

Orang tinggi besar dan telinga kirinya buntung itu memandang kepada Sin Hong penuh perhatian dan keraguan. Betapapun dia mengingat-ingat, tetap saja dia tidak mampu mengenal pemuda itu.

“Maaf.... maafkan saya yang sudah tua dan lemah ingatan, akan tetapi siapakah Kongcu....” katanya agak bingung.

Sin Hong tersenyum ramah sambil maju melangkah mendekati Tang Lun, kemudian berkata lembut,

“Paman Tang Lun, aku adalah Sin Hong, Tan Sin Hong, sudah lupakah engkau?”

Sepasang mata itu terbelalak dan wajah itu menjadi pucat sekali, kemudian berubah merah, matanya memandang penuh perhatian dari kepala sampai ke kaki, kemudian dia menubruk Sin Hong dan menangis!

Orang tua itu, yang terkenal sebagai seorang piauwsu yang gagah perkasa, kini merangkul Sin Hong sambil menangis terisak-isak seperti anak kecil, Sin Hong membiarkan saja karena maklum bahwa agaknya baru sekarang orang ini memperoleh kesempatan melepaskan semua penanggungan batinnya melalui tangis, bukan hanya pelepas derita batin, akan tetapi juga mungkin karena keharuan, kekagetan dan kegembiraan melihat Sin Hong masih hidup.

Akhirnya dia dapat juga bicara. Sambil memegang kedua pundak Sin Hong, dia mendorong halus dan mengamati wajah pemuda itu dengan air mata masih bercucuran. Bukan air mata buaya, pikir Sin Hong dan dia masih tetap percaya akan kejujuran orang tua ini.

“Sin Hong! Tan Sin Hong ya Tuhan Yang Maha Kuasa! Siapa dapat percaya? Siapa dapat mengenalmu? Sudah bertahun-tahun aku menangisi kalian semua, ayahmu, ibumu, engkau sendiri. Siapa kira kini engkau muncul dalam keadaan selamat, masih hidup dan sudah dewasa? Ya Tuhan, apa saja yang telah terjadi denganmu, Nak? Bagaimana mungkin engkau masih dapat keluar dengan selamat dan di mana ibumu?”

“Nanti dulu, Paman. Aku tentu akan menceritakan semua pengalamanku selama ini, akan tetapi lebih dulu aku ingin mendapatkan keterangan darimu tentang segala yang telah terjadi, segala urusan mengenai keadaan ayah pada delapan tahun yang lalu.”

Orang itu mengangguk-angguk.
“Baik, baik…. akan tetapi mari kita duduk, Sin Hong.”






Mereka duduk berhadapan dan Tang Lun menatap wajah pemuda itu dan berkata,
“Sebelum aku menjawab semua pertanyaanmu dan menceritakan segala hal yang kuketahui dengan sebenarnya, terlebih dahulu aku ingin mengetahui satu hal. Jawablah, Sin Hong, katakanlah bagaimana keadaan ibumu”.

Melihat betapa sepasang mata itu memandang dengan penuh selidik, penuh harap dan penuh kecemasan, Sin Hong merasa tidak tega untuk membuat orang tua itu berada dalam keadaan bimbang dan gelisah.

“Paman Tang Lun, ibuku telah meninggal dunia, diserang badai di gurun pasir.“

“Ahhhhh....!” Tang Lun menutupi mukanya dengan kedua tangannya, kembali dia menangis! Sampai lama baru dia dapat bicara. “Aku yang berdosa, aku.... aku yang menyuruh engkau dan ibumu melarikan diri ke gurun pasir sehingga ibumu mendapatkan kematiannya di sana dan engkau.... ah, hanya berkat perlindungan Tuhan saja engkau masih dapat hidup sampai sekarang.... aih, Sin Hong, betapa aku selama ini membayangkan kengerian kalian di gurun pasir.... dan semua.... itu karena aku yang menyuruhmu.”

Sin Hong mengerutkan alisnya. Hemm, mengapa orang ini berkata demikian? Apa benar juga dugaan mendiang subonya? Dia merasa tegang, akan tetapi dapat menekan perasaannya. Dia harus menyelidiki semua ini dengan bebas. Setelah orang tua itu tenang kembali, mulailah dia bertanya.

“Paman Tang Lun, sekarang aku minta dengan hormat agar engkau suka menjawab dan menceritakan seluruhnya secara jujur kepadaku. Aku berhak untuk mengetahui segala yang telah terjadi pada orang tuaku, bukan? Nah, pertama, ceritakanlah tentang kepergian ayah ke Tuo-lun, barang apa yang dikawalnya dan siapa menyuruhnya. Ceritakanlah dengan jelas dari awal mulanya, Paman.”

Peristiwa yang terjadi delapan tahun yang lalu itu selalu terbayang di dalam benak Tang Lun, maka tanpa banyak mengingat lagi dia pun bercerita, dengan lancar. Pada suatu hari, demikian dia bercerita, datanglah seorang hartawan ke kantor ekspedisi Peng An Piauwkiok itu. Hartawan itu datang bersama empat orang pelayannya, dia seorang laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun, berpakaian mewah sekali dan keretanya pun indah.

Dia mengaku sebagai seorang hartawan dari kota raja yang datang ke Ban-goan dengan maksud mengirimkan sebuah peti besar berisi emas permata yang harganya tidak kurang dari seratus kati emas. Hartawan itu mengaku she Lay dan selanjutnya disebut Lay-wangwe (hartawan Lay) yang katanya membuka toko rempah-rempah yang amat besar di kota raja.

Karena peti itu berisi barang berharga, maka Tan-piauwsu menuntut biaya pengawalan yang besar, yaitu sepuluh kali emas atau sepersepuluh harga barang yang akan dikawalnya. Lay-wangwe sambil tertawa menyetujui dan mengatakan bahwa dia bahkan akan menambah jumlah itu dengan hadiah lain kalau barangnya itu tiba di tempat tujuan dengan selamat.

“Demikianlah Sin Hong. Karena barang itu amat berharga, ayahmu tidak tega menyerahkan pengawalannya kepada anak buah. Ayahmu berangkat mengawal sendiri bersama sepuluh orang anak buahnya yang terpilih dan urusan di sini diserahkan kepadaku.” Tang-piauwsu melanjutkan keterangannya.

Sebulan kemudian setelah Tan-piauwsu mengawal kiriman berharga itu, datang utusan Tan-piauwsu yang mengabarkan bahwa dia telah tiba dengan selamat di kota Tuo-lun dan minta agar isteri dan puteranya menyusul ke Tuo-lun karena di kota itu sedang ada keramaian dan perayaan besar.

“Karena aku khawatir akan keselamatan ibumu dan engkau, maka aku sendiri yang mengawal kalian, akan tetapi ternyata diperjalanan kita diserang gerombolan berkedok itu dan selanjutnya engkau dan ibumu kusuruh menyelamatkan diri dari kejaran gerombolan dengan menunggang onta memasuki gurun pasir. Ah, peristiwa itu menghantui aku setiap malam selama ini, karena aku merasa seolah-olah aku menyuruh kalian berdua memasuki jurang kematian!”

“Nanti dulu, Paman. Siapakah orang yang mengirim berita dari ayah itu? Yang menyampaikan pesan ayah dari Tuo-lun?”

“Aku sudah mencari orang itu namun tidak berhasil. Ketika dia datang melapor itu, aku sudah merasa heran mengapa Tan-toako tidak mengutus seorang di antara para anak buahnya, melainkan seorang yang asing dan tidak kukenal. Orang itu mengatakan bahwa dia adalah anggauta rombongan piauwsu yang mengawal barang dari Tuo-lun ke selatan, dan Tan-toako yang sudah mengenalnya, menitipkan pesan itu untuk kita.”

“Dan engkau masih ingat orangnya? Wajahnya? Namanya?”

Tang Lun menarik napas panjang dan menggeleng kepala.
“Itulah kesalahan dan kecerobohanku. Karena tidak menduga buruk, aku lupa lagi akan namanya, dan wajahnya juga wajah orang biasa sehingga aku sudah tidak ingat lagi. Akan tetapi aku merasa yakin bahwa dia adalah seorang anggauta gerombolan orang berkedok itu yang sengaja memancing kita melakukan perjalanan jauh itu.”

Pada saat itu, dari luar muncullah seorang laki-laki yang usianya sekitar tiga puluh lima tahun, orangnya bertubuh tinggi kurus dengan muka pucat kekuningan akan tetapi sepasang matanya berkilat dan dia nampak cerdik dan gagah. Sebatang pedang tergantung dipunggungnya dan pakaiannya juga pakaian seorang piauwsu.

Melihat orang ini, Sin Hong segera mengenalnya. Dia adalah Ciu-piauwsu, nama lengkapnya Ciu Hok Kwi, seorang di antara piauwsu-piauwsu pembantu ayahnya. Sebaliknya, Ciu Hok Kwi tidak mengenal pemuda yang sedang bercakap-cakap dengan Tang-piauwsu itu. Disangkanya seorang tamu biasa yang hendak mengirim barang, maka dia pun acuh saja.

“Paman Ciu!”

Sin Hong menegurnya. Orang itu terkejut, memandang Sin Hong penuh perhatian dan pandang matanya mengandung keheranan karena dia tidak mengenal pemuda yang menyebutnya paman itu.

“Ciu-te, apakah engkau lupa kepadanya? Dia adalah Tan Sin Hong,” kata Tang-piauwsu.

Sepasang mata yang bersinar itu terbelalak dan kini dia pun teringat. Kalau tadi dia seperti juga Tang-piauwsu, tidak ingat kepada Sin Hong adalah karena mereka sudah mengira bahwa Sin Hong telah tewas.

“Sin Hong....!” Ciu-piauwsu berseru dan cepat menghampiri, lalu memegang lengan pemuda itu. “Syukurlah, engkau masih selamat, masih hidup! Sungguh merupakan keajaiban! Dan bagaimana dengan ibumu?”

“Ibu telah meninggal dunia diserang badai di gurun pasir.”

“Ahhh....! Kasihan....!”

“Ciu-te, kebetulan engkau datang. Sin Hong sudah pulang dan dia minta keterangan tentang semua peristiwa yang terjadi, dan tadi aku sudah menceritakan tentang sebab keberangkatan ayahnya, kemudan tentang perjalanan dia dan ibunya yang kukawal. Kalau aku lupa dalam keteranganku, engkau dapat menambahkan.”

Ciu Hok Kwi mengangguk dan duduk berhadapan dengan mereka.
“Semua itu agaknya sudah direncanakan orang yang memusuhi keluargamu, Sin Hong,” kata Ciu-piauwsu dengan suara penuh keyakinan.

“Aku pun sudah mengatakan demikian,” sambung Tang-piauwsu.

“Nanti dulu, Paman berdua. Aku ingin mendengar cerita Paman Tang Lun tentang pengalamannya ketika aku dan ibu berpisah darimu, Paman. Ceritakanlah selengkapnya, karena mungkin keterangan Paman ini penting bagiku.”

Tang Lun lalu melanjutkan ceritanya. Ketika dia mengawal nyonya Tan Hok dan Sin Hong, mereka dihadang perampok berkedok dan dia melakukan perlawanan mati-matian bersama dua belas orang anak buahnya. Namun, pihak perampok ternyata selain lebih banyak jumlahnya, juga lihai sekali sehingga satu demi satu anak buahnya roboh binasa.

“Melihat keadaan yang tidak menguntungkan dan berbahaya bagi kalian berdua, aku mengajak kalian melarikan diri dan karena para perampok berkedok itu melakukan pengejaran, aku mendapatkan binatang onta dan menyuruh kalian melarikan diri ke dalam gurun pasir, sedangkan aku lalu menanti para pengejar untuk melakukan perlawanan mati-matian dan membiarkan kalian menyelamatkan diri.”

Sampai di sini Tang-piauwsu diam dan meraba-raba telinga kirinya yang sudah tidak berdaun lagi. Tang Lun melakukan perlawanan mati-matian, dikeroyok banyak orang berkedok dan biarpun dia mengamuk dengan golok besarnya, akhirnya dia roboh pingsan karena luka-lukanya dan daun telinga kirinya putus.

“Ketika aku siuman, mereka sudah tidak ada. Ternyata mereka membiarkan aku hidup dan hanya membuntungi daun telinga kiriku! Ah, inilah yang membuatku menyesal bukan main, Sin Hong. Aku sudah menyuruh engkau dan ibumu lari ke gurun pasir karena khawatir kalau kita semua akan dibunuh. Ternyata mereka tidak membunuh aku, dan kalian.... kalian sudah kusuruh memasuki gurun pasir dan ternyata ibumu tewas di gurun pasir!”

Kedua mata kakek tua itu menjadi basah. Tentu ia menderita tekanan batin hebat sehingga dalam usia empat puluh tahun lebih dia sudah kelihatan seperti seorang kakek-kakek!

“Paman Tang, harap lanjutkan ceritamu. Setelah engkau siuman, lalu bagaimana?” tanya Sin Hong, sejak tadi pandang matanya tak pernah meninggalkan wajah orang tua itu, memandang penuh selidik.

“Dalam keadaan luka-luka aku berusaha mencari kalian di gurun pasir, namun kehilangan jejak karena jejak onta itu dihapus oleh pasir yang tertiup angin. Karena aku menderita luka-luka, aku pun pulang ke Ban-goan dan setelah luka-lukaku sembuh, bersama Ciu-te ini aku pergi melakukan penyelidikan ke Tuo-lun. Ternyata ayahmu tidak pernah sampai ke Tuo-lun dan ketika kami menyelidiki, kami mendengar dari para piauwsu di sana bahwa ayahmu bersama sepuluh orang anak buahnya....”

Tang Lun tidak dapat melanjutkan ceritanya, khawatir kalau Sin Hong akan terkejut mendengar nasib ayahnya.

“Paman Tang, aku sudah tahu bahwa ayah dan anak buahnya telah meninggal dunia, tewas dalam sebuah hutan di luar kota Tuo-lun.”

“Aihhh.... engkau. sudah tahu pula?” kata Tang Lun, agak lega hatinya karena dia tidak usah menceritakan lagi peristiwa yang menyedihkan itu. “Kami bersembahyang di depan makam ayahmu dan anak buahnya yang di jadikan satu dan menurut para piauwsu, jenazah mereka dikubur oleh seorang hwesio tua dibantu mereka. Kami tidak berani lancang memindahkan kuburan ayahmu ke sini, karena tidak ada lagi keluargamu di sini.”

“Selanjutnya bagaimana, Paman?” desak Sin Hong.

“Lay-wangwe menuntut barang-barangnya yang berharga seratus kati emas itu! Tentu saja kami di sini tidak mampu mengembalikan harta sedemikian banyaknya. Hartawan itu lalu menyita semua barang. Semua barang yang berada di rumah orang tuamu dilelang dan dijual, akan tetapi tetap saja tidak mampu melunasi atau mengganti harga barang kiriman itu. Akhirnya tinggal rumah dan kantor ini, yang harus dijual pula. Untung ada Ciu-te ini yang mengusahakan pinjaman uang sebanyak dua ribu tail perak untuk membeli sendiri rumah dan kantor ini dan uangnya diserahkan kepada Lay-wangwe.

"Nah, kini Peng An Piauwkiok tidak memiliki apa-apa lagi, bahkan rumah kantor ini pun menjadi hak milik seorang paman dari Ciu-te dengan perjanjian bahwa kalau dalam waktu sepuluh tahun tidak berhasil mengembalikan uang itu bersama bunganya yang layak, terpaksa akan diambil alih. Akan tetapi, sejak terjadi peristiwa itu, perusahaan kita tidak laku lagi. Orang mulai tidak percaya, apalagi ayahmu tidak ada sehingga kami benar-benar bangkrut. Dua tahun lagi paling lama, rumah dan kantor ini harus diserahkan kepada yang berhak.”

Tang Lun mengakhiri ceritanya dengan suara sedih. Akan tetapi Sin Hong tidak tertarik tentang rumah itu.

“Paman Tang dan Paman Ciu, kalian tadi mengatakan bahwa semua peristiwa itu pasti direncanakan orang-orang yang memusuhi ayah. Mengapa kalian dapat menduga demikian dan siapakah orang-orang yang memusuhi ayah?”

“Sin Hong, peristiwa yang menewaskan ayahmu, juga dua puluh orang anggauta pengawal kita, bahkan telah membuat Peng An Piauwkiok bangkrut, tentu saja tidak kami diamkan. Malapetaka itu masih ditambah lagi dengan lenyapnya engkau dan ibumu. Kami, yaitu terutama sekali aku dan Ciu-te ini, berbulan-bulan lamanya melakukan penyelidikan untuk mengungkap rahasia itu. Kami telah menghubungi banyak piauwsu, bahkan kami memasuki daerah hitam untuk mencari keterangan dari para gerombolan perampok tentang gerombolan berkedok itu. Akan tetapi, semua usaha kami gagal. Tidak seorang pun tahu tentang gerombolan itu, bahkan tidak ada yang pernah mendengar ada gerombolan berkedok di daerah ini. Kami mengambil kesimpulan bahwa tentu gerombolan itu bukan perampok biasa, melainkan orang-orang yang menyamar sebagai perampok, oleh karena itu mereka memakai kedok agar muka mereka tidak dikenal.”

Sin Hong dalam hatinya menyetujui. Memang perampok berkedok itu bukan perampok, pikirnya, melainkan para piauwsu yang menyamar perampok!

“Lalu siapakah menurut dugaan Paman yang mengatur semua itu?”

“Setelah kami berdua menyelidiki, kami mengambil kesimpulan bahwa besar sekali kemungkinan yang mengatur semua ini adalah Kwee-piauwsu pemilik Ban-goan Piauwkiok!” kata Tang Lun dengan nada suara penuh keyakinan.

Sin Hong mengerutkan alisnya. Dia sudah berusia empat belas tahun ketika meninggalkan Ban-goan dan sebagai putera kepala piauwkiok, tentu saja dia tahu siapa Kwee-piauwsu itu. Ban-goan Piauwkiok merupakan saingan Peng An Piauwkiok dan dia pernah mendengar pula bahwa keluarga Kwee yang memimpin Ban-goan Piauwkiok memiliki ilmu silat tinggi. Akan tetapi, selama itu dia hanya mendengar persaingan dalam perusahaan itu, maka tentu saja dia terkejut dan meragu mendengar bahwa keluarga Kwee yang mengatur semua rencana busuk untuk menghancurkan keluarganya dan membikin bangkrut Peng An Piauwkiok.

“Hemmm, dengan alasan apa maka Jiwi (Kalian) mempunyai dugaan seperti itu?” tanyanya mendesak.

Ciu Hok Kwi membantu rekannya.
“Kami berdua sudah melakukan penyelidikan secara mendalam dan kiranya tidak ada golongan lain yang dapat dicurigai kecuali keluarga Kwee dari Ban-goan Piauwkiok. Memang tidak dapat disangkal bahwa sebagai seorang piauwsu, mendiang ayahmu mempunyai banyak musuh diantara para perampok. Akan tetapi, tidak ada perampok yang mempergunakan cara seperti itu, berkedok pula. Biarpun kami belum memperoleh bukti meyakinkan, akan tetapi hanya keluarga Kwee saja yang mempunyai alasan kuat untuk melakukan semua itu.

Pertama, anak buahnya menyamar sebagai perampok dan berkedok karena kalau tidak, tentu ayahmu, juga Tang-toako dan para anak buah piauwkiok kita akan mengenal mereka. Kedua, mereka tentu sudah mendengar bahwa kami memperoleh biaya besar, maka mereka merasa iri dan mereka melakukan penghadangan. Dengan demikian, mereka memperoleh banyak keuntungan, pertama mendapatkan harta besar itu dan kedua, menghancurkan kita sebagai saingannya yang terbesar di kota ini. Kemudian ketiga, hal ini pun hasil penyelidikan kami dahulu, sebelum mendiang ibumu menjadi isteri mendiang ayahmu, pernah mendiang ibumu dipinang oleh Kwee Tay Seng, yaitu Kwee-piauwsu. Pinangan itu ditolak. Hal ini pun memperkuat alasan mengapa dia menghancurkan keluarga ayahmu.”

Mendengar semua itu, Sin Hong mengerutkan alisnya. Agaknya cocok keterangan itu dengan apa yang didengarnya dari anggauta perampok bahwa gerombolan berkedok itu tadinya merupakan rombongan piauwsu yang menyamar! Benarkah Kwee-piauwsu yang mengatur semua ini? Dia tidak sembrono. Harus diselidikinya lebih dulu sampai terdapat bukti. Tanpa bukti, tidak mungkin dia menuduh keluarga Kwee begitu saja.

“Akan tetapi, andaikata benar dia, setelah berhasil membunuh ayah dan merampas harta kiriman, mengapa pula dia menyerang engkau, Paman Tang? Dan mengganggu ibu dan aku.”

“Mungkin untuk membasmi keluarga ayahmu, agar jangan menimbulkan balas dendam di kemudian hari, atau.... ah, entahlah. Betapapun aku yakin bahwa dialah yang melakukan semua ini.”

“Akan tetapi, setelah engkau dikeroyok dan dikalahkan, kenapa engkau tidak dibunuhnya?”

“Tadinya aku pun merasa heran, akan tetapi kemudian aku mengerti mengapa dia membiarkan aku hidup. Tentu agar aku dapat mengurus piauwkiok ini, memenuhi pertanggung jawabannya sehingga di mata masyarakat, piauwkiok ini menjadi bangkrut, dan mungkin agar aku menjadi saksi hidup bahwa yang menyerang adalah perampok-perampok berkedok, bukan anak buah piauwkiok itu. Ah, dia telah menyiksaku dengan membiarkan aku hidup, merasa berdosa dan menanggung malu karena piauwkiok menjadi begini.“

Sin Hong mengerutkan alisnya. Semua dugaan memang menuding ke arah Kwee-piauwsu dan biarpun belum ada bukti, namun hati siapapun memang condong untuk menuduh keluarga Kwee.

“Oya, Paman Tang. Lay-wangwe itu membuka toko rempah-rempah yang besar di kota raja? Tahukah engkau di jalan mana dia tinggal di kota raja dan bagaimana macam wajahnya?”

“Ah, dia sama sekali tidak dapat kita curigai, Sin. Hong,” kata Ciu-piauwsu. “Dia telah menderita rugi yang amat banyak. Harta kekayaannya yang berharga seratus kati emas itu, setelah dia menyita semua harta milik keluargamu, belum juga ada sepersepuluh bagian! Jadi, dalam urusan ini dia yang menderita rugi harta paling banyak dan kami tidak pernah mencurigai dia.”

“Aku pun tidak mencurigai siapa-siapa selama belum ada bukti,” kata Sin Hong, “Akan tetapi aku harus mengetahui dengan jelas semua orang untuk bahan penyelidikanku. Paman Tang di mana alamatnya dan bagaimana macamnya orang itu?”

“Aku hanya dua kali bertemu dengan dia, Sin Hong. Pertama kali ketika dia datang membawa peti bersama beberapa orang pembantunya dengan naik kereta. Kemudian ketika dia datang untuk penggantian hartanya yang dirampok, kemudian dia menyerahkan pengurusan penggantian itu kepada pengawalnya.

Menurut keterangan pegawainya, Lay-wangwe memiliki toko rempah-rempah besar di Jalan Singa Batu, dan rumahnya seperti istana. Adapun wajah dan bentuk badannya tidak sukar untuk dikenal, tubuhnya pendek dengan perut gendut sekali, kepalanya bundar dan matanya lebar, memakai gigi emas, hidungnya besar dan mulutnya selalu tersenyum-senyum menyeringai, apalagi kalau berhadapan dengan wanita seperti yang kulihat ketika dia berkunjung dan melihat wanita lewat di depan pintu. Dia termasuk laki-laki yang memiliki ciri mata keranjang. Usianya ketika itu tiga puluh tahunan, jadi sekarang sudah hampir empat puluh tahun.”

“Terima kasih, Paman. Keterangan itu sudah cukup bagiku,” kata Sin Hong.

“Sin Hong, kupikir apa yang dikatakan Ciu-te tadi benar. Engkau hanya akan membuang waktu sia-sia belaka kalau menyelidiki keadaan Lay-wangwe, bahkan kalau engkau muncul dan dia tahu bahwa engkau putera Tan-toako, tentu dia akan marah-marah karena diingatkan akan kerugiannya. Mungkin dia akan menuntut penggantian darimu karena engkau adalah putera Tan-toako. Sebaiknya kalau engkau menyelidiki Kwee-piauwsu. Dia amat mencurigakan dalam hubungan ini karena ada satu hal yang perlu kau ketahui. Akan tetapi biarlah nanti saja kuceritakan kepadamu.”

Sin Hong merasa heran sekali karena dia melihat betapa pandang mata Tang-piauwsu mengerling ke arah Ciu-piauwsu, seolah-olah hendak memberi tanda bahwa dia tidak ingin apa yang hendak diceritakan kepada Sin Hong itu terdengar oleh orang lain. Agaknya Ciu-piauwsu tidak tersinggung atau tidak memperhatikan ucapan Tang-piauwsu itu.

Malam itu, setelah makan malam dan berganti pakaian, Sin Hong beristirahat di dalam kamarnya. Di dalam kamar itu, kamarnya sendiri di waktu dia belum meninggalkan tempat ini, akan tetapi kamar yang sudah kosong dan hanya terdapat sebuah dipan sederhana, dia merebahkan diri sambil termenung.

Langit-langit kamar itu masih sama seperti dulu, dicat biru namun catnya sudah luntur dan terdapat noda-noda bekas air hujan yang bocor. Dia merasa terharu karena kamar ini sama sekali tidak asing, bahkan dia merasa akrab rebah di situ. Karena lelah, juga karena batinnya lelah pula setelah banyak berpikir, dia pun tertidur dan malam pun mulai makin menghitam dan makin sepi.

**** 007 ****