Ads

Senin, 15 Februari 2016

Kisah si Bangau Putih Jilid 005

“Siapa namamu tadi?”

“Tan Sin Hong.”

Namanya juga sederhana, shenya she Tan dan terdapat banyak sekali orang she Tan, nama keluarganya amat besar.

“Sin Hong, engkau ini nekat mempertahankan pusaka Istana Gurun Pasir, atau memang benar di sini tidak ada pusaka?” tanyanya dengan ramah dan kini timbul dari kekagumannya, wajah pemuda ini kelihatan menarik sekali dan menimbulkan gairahnya.

Dengan gerakan lembut dan mesra diusapnya darah yang masih nampak di ujung bibir Sin Hong, dengan jari tangannya. Tentu saja hal ini membuat Sin Hong merasa risi bukan main, akan tetapi didiamkannya saja.

“Aku tidak mempertahankan pusaka apa pun, dan memang setahuku di sini tidak ada apa-apa.”

“Tidak ada kitab-kitab pelajaran ilmu silat?”

“Aku tidak tahu, yang kutahu hanya bahwa beberapa bulan yang lalu, mereka bertiga telah membakari banyak kitab-kitab.“

“Keparat jahanam!” seru Thian Kong Cin-jin dengan kecewa sekali.

“Sayang, sungguh sayang!” teriak pula Thian Kek Seng-jin, amat marah kepada tiga orang tua renta itu yang dianggapnya hanya membuat dia kecele.

“Kenapa kitab-kitab pusaka dibakar?” tanya Sin-kiam Mo-li kepada pemuda itu, juga merasa amat kecewa.

Sin Hong hanya menggeleng kepala,
“Aku tidak tahu,”

Dia tidak berbohong karena memang dia tidak tahu mengapa suami isteri tua renta yang menjadi gurunya itu membakari banyak kitab-kitab yang diketahuinya adalah kitab pelajaran silat.

“Pantas saja kita tidak menemukan apa-apa. Kiranya tua bangka-tua bangka laknat itu telah memusnahkan pusaka mereka!” kata pula Sin-kiam Mo-li. “Sin Hong, hayo engkau membantu kami mengubur mayat-mayat itu!”

Ia memegang tangan Sin Hong dan ditariknya pemuda itu keluar dari dalam istana kuno yang dianggap menyeramkan dan mengecewakan itu. Sin Hong tidak membantah dan dia menggunakan cangkul yang biasa dipakai bekerja di ladang, lalu mencangkul, membuat lubang-lubang untuk mengubur mayat-mayat itu. Dia diperintah membuat lubang biasa untuk tiga orang, yaitu untuk mayat Sai-cu Sin-touw, Ok Cin Cu, dan Coa Ong Seng-jin, kemudian sebuah lubang besar untuk sebelas orang anak buah mereka yang tewas.

Karena dia tidak berani mempergunakan tenaga sin-kang dan hanya menggunakan tenaga biasa, menggunakan sebuah cangkul, maka tentu saja Sin Hong harus bekerja sehari lamanya dan barulah empat belas buah mayat itu selesai dikubur. Kemudian, dia mengangkati tiga buah mayat gurunya ke dalam istana.

Melihat ini, Sin-kiam Mo-li membentak.
“Apa yang akan kau lakukan itu? Biarkan saja mereka membusuk di sini, kita berangkat pergi sekarang juga dan engkau harus ikut dengan kami!”

“Terserah aku menurut saja, akan tetapi bagaimanapun juga aku harus lebih dulu membakar tiga orang mayat ini, sebelum itu, biar di bunuh sekalipun, aku tidak mau ikut!”

Diam-diam Sin Hong berjudi dengan nyawanya, akan tetapi hal ini dilakukannya dengan sengaja. Dia seorang pemuda yang cerdik sekali dan dia tahu bahwa nyawanya diselamatkan oleh wanita tua cantik ini hanya karena wanita ini tertarik kepadanya oleh keberanian dan kenekatannya! Maka kini untuk memenuhi pesan guru-gurunya, dia pun memperlihatkan sikap nekat dengan harapan agar wanita itu memenuhi permintaannya.

Dan perhitungannya yang tidak ngawur ini memang tepat! Kembali Sin-kiam Mo-li memandang tajam penuh kagum. Seorang pemuda biasa, mungkin hanya pemuda petani yang bekerja sebagai tukang kebun dan pelayan di istana kuno ini, namun memiliki keberanian dan nyali yang agaknya hanya patut dimiliki oleh para penghuni istana Gurun Pasir! Juga ia merasa tertarik sekali mendengar bahwa pelayan ini hendak membakar jenazah tiga orang sakti itu. Pantasnya keluarga mereka yang melakukan hal ini, bukan seorang pelayan biasa.

“Kenapa engkau berkeras hendak membakar mayat mereka?” tanyanya.

“Karena ketika masih hidup, mereka pernah mengatakan bahwa mereka kalau sudah mati suka dibakar mayat mereka.”

“Akan tetapi untuk membakar mayat mereka, kenapa harus mayat mereka kau usung ke dalam istana?” tanya Thian Kong Cinjin yang juga merasa tertarik.

“Karena aku ingin membakar mereka di dalam istana agar istana itu pun ikut terbakar habis.”

Jawaban ini membuat tiga orang itu melongo dan Sin-kiam Mo-li mengerutkan alisnya. Celaka, jangan-jangan pemuda yang dikaguminya ini miring otaknya!






“Kenapa hendak dibakar istana ini?” tanyanya, memandang tajam.

Akan tetapi wajah pemuda itu biasa saja.
“Mereka sudah meninggal dunia dan aku akan pergi dari sini. Kalau tidak ada yang tinggal lagi di sini dan tidak ada yang mengurusnya, tempat ini hanya akan menjadi buruk sekali dan akhirnya akan ambruk pula. Maka sebaiknya dibakar saja. Dengan demikian, dapat membuktikan kebenaran pengakuanku bahwa tidak ada pusaka apapun tersimpan di sini. Bukankah begitu?” Ucapan ini cerdik sekali dan tiga orang itu pun mengangguk-angguk.

“Benar sekali!” kata Thian Kek Seng-jin. “Biar dibakarnya habis, biar rata dengan tanah, biar terbasmi lenyap seperti halnya Istana Pulau Es. Ha-ha-ha, dunia kang-ouw akan tahu bahwa Istana Gurun Pasir terbasmi lenyap dari permukaan bumi oleh kita bertiga. Ha-ha-ha!”

Thian Kong Cinjin juga tertawa, senang bahwa setidaknya mereka dapat melampiaskan kedongkolan hati karena teman-teman banyak yang mati dan mereka tidak menemukan pusaka, dengan cara melihat istana itu terbakar habis.

Sementara itu, tanpa memperdulikan apakah tiga orang itu setuju atau tidak, Sin Hong telah mengangkuti mayat ini ke dalam, meletakkan mereka di atas tiga dipan yang dipersiapkannya, kemudian dia pergi ke bagian belakang untuk mengambil beberapa guci minyak.

Semua gerakannya ini diperhatikan oleh Sin-kiam Mo-li, sedangkan dua orang pendeta sudah tidak peduli lagi, masih mencoba mencari ke sana sini barangkali menemukan sesuatu yang berharga untuk dibawa pulang sebagai oleh-oleh.

Biarpun tubuhnya terasa lelah karena mencangkul tiada hentinya sampai sore, namun Sin Hong merasakan lagi keanehan betapa kelelahan itu sebentar saja lenyap dan kesegaran tubuhnya pulih kembali, seperti ketika tadi dia menderita luka-luka.

Maka dengan tenang dia menuangkan minyak ke sudut-sudut ruangan istana itu, juga menuangkan minyak kepada dipan-dipan di mana tiga sosok mayat itu rebah. Setelah itu, dia pun menyalakan api dimulai dari serambi depan yang sudah dibasahi pula dengan minyak. Dia menghabiskan semua persediaan minyak di gudang dan sebentar saja api pun berkobar besar sekali, membakar istana itu dan segala isinya.

Sin-kiam Mo-li, Thian Kong Cinjin dan Thian Kek Seng-jin berdiri jauh di pekarangan depan memandang ke arah api yang berkobar semakin tinggi, sedangkan Sin Hong berdiri pula di situ seperti patung memandang ke arah api dan diam-diam hatinya menangis. Tak disangkanya bahwa dalam sehari dia kehilangan tiga orang gurunya yang amat dicintanya!

Guru-gurunya dibantai orang, dibunuh dan istana diserbu tanpa dia dapat membela sedikit pun. Kalau dia tadi membela dan melawan, dia tahu bahwa akan terjadi bentrokan hebat dalam tubuhnya dan mungkin sekali dia akan tewas. Dia tidak takut menghadapi bahaya kematian itu, akan tetapi dia merasa ngeri untuk melanggar janji dan sumpahnya terhadap tiga orang gurunya.

Setelah istana itu terbakar, barulah teringat oleh Sin-kiam Mo-li bahwa mereka sebenarnya masih membutuhkan istana itu, setidaknya untuk satu malam. Hari telah mulai gelap dan mereka membakar satu-satunya tempat untuk melewatkan malam dengan enak!

“Wah, celaka! Kita malam ini harus bermalam di mana?” katanya kepada dua orang temannya.

“Ha-ha-ha, perlu apa bermalam? Kita langsung saja meninggalkan neraka ini!” kata Thian Kong Cinjin.

“Benar, akupun merasa tidak suka tinggal lebih lama di tempat ini,” sambung Thian Kek Seng-jin.

Kedua orang kakek pendeta sesat ini sebenarnya jerih kalau-kalau pembunuhan atas diri tiga orang tua itu dan pembakaran istana itu akan mendatangkan akibat yang hebat, kalau-kalau kebakaran itu kelihatan orang dan ada kerabat Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir yang datang.

“Ih, mana mungkin melakukan perjalanan melintas gurun pasir di waktu malam? Sungguh berbahaya sekali. Biarlah malam ini kita bermalam di sini, setidaknya di kebun sana itu banyak terdapat pohon-pohon. Mari kita mencari tempat istirahat di sana,” kata Sin-kiam Mo-li dan dua orang kawannya setuju karena mereka pun mengerti betapa bahayanya melakukan perjalanan melintasi gurun pasir yang luas di waktu malam gelap.

Sin-kiam Mo-li menarik tangan Sin Hong diajak ke kebun di mana memang terdapat banyak pohon buah-buahan dan tumbuh-tumbuhan lain yang berguna. Sin-kiam Mo-li memilih tempat di bawah sebatang pohon besar, dan ia pun tidak lagi mempedulikan dua orang temannya yang mengambil tempat istirahat di bawah sebatang pohon lain lagi.

Rumput-rumput hijau menjadi hamparan tikar hijau yang lembut dan lunak. Sin-kiam Mo-li memandang Sin Hong yang masih berdiri menghadap ke arah istana yang masih terbakar itu.

“Sin Hong, kumpulkan kayu bakar dan daun kering. Nanti kita membuat api unggun di sini.”

Sin Hong tidak menjawab akan tetapi juga tidak membantah, lalu mengumpulkan kayu bakar. Dia tahu bahwa akan percuma saja kalau dia melarikan diri sekarang, karena ketika melirik, wanita itu mengikuti setiap gerakannya dengan pandang mata, juga dua orang pendeta di sana itu memandang kepadanya.

Setelah bahan api unggun terkumpul, dia pun berdiri lagi termenung memandang ke arah istana yang terbakar, diam-diam mengharapkan agar tiga jenazah gurunya itu akan terbakar sempurna sehingga semuanya akan menjadi abu. Dia tidak merasa menyesal bahwa guru-gurunya telah meninggal dunia. Semua orang akhirnya akan mati juga dan kematian tiga orang gurunya adalah kematian orang-orang yang gagah perkasa?

Pernah dia mendengar mereka bertiga itu berbincang-bincang tentang kematian dan ketiganya mempunyai harapan agar dapat mati sebagai pendekar! Dan ternyata harapan mereka itu terpenuhi! Mereka mati dengan gagah perkasa, dikeroyok belasan orang tokoh sesat yang lihai, dan sebelum mati mereka berhasil menewaskan empat belas orang lawan! Tak perlu disesalkan kematian mereka.

Yang penting sekarang harus mencari jalan untuk melarikan diri karena selama dia belum dapat meloloskan diri dari pengawasan tiga orang ini, nyawanya tetap saja terancam maut yang mengerikan.

“Sin Hong, kenapa engkau melamun? Apakah engkau menyesal akan kematian tiga orang tua bangka itu?” tiba-tiba Sin-kiam Mo-li bertanya.

Sin Hong menggeleng kepala dan menjawab lirih namun suaranya tegas,
“Tidak!”

Sin-kiam Mo-li duduk di atas rumput hijau. Ia telah menurunkan tiga batang pedang itu dari pinggangnya. Pedangnya sendiri, Ban-tok-kiam dan Cui-beng-kiam dan menaruhnya di atas rumput tak jauh dari jangkauannya. Ia melonggarkan ikat pinggangnya, bahkan melepas sepatunya untuk mengusir kelelahan akibat perkelahian mati-matian tadi.

“Sin Hong, engkau duduklah di sini,” katanya sambil memandang penuh gairah kepada pemuda itu.

Sin Hong duduk dengan mengangkat kedua lututnya dan itu tanpa menoleh. Sin-kiam Mo-li memandang kagum sekali. Pemuda ini tidak pandai ilmu silat, akan tetapi agaknya memiliki tubuh yang amat kuat daya tahannya. Pemuda itu tadi telah ditamparnya, ditendang dan dipukul oleh dua orang pendeta itu, dan biarpun pukulan-pukulan itu dilakukan tanpa pengerahan sin-kang tetap saja sudah tentu akan membuat pemuda itu menderita nyeri.

Dan semua itu masih ditambah lagi dengan ancaman-ancaman yang menakutkan, dan hebatnya lagi dia harus mencangkul dan mengubur jenazah empat belas orang tadi. Mencangkul sehari penuh. Dan kini pemuda itu kelihatannya sama sekali tidak kelelahan!

Sin Hong sedang melamun, mencari akal bagaimana akan dapat meloloskan diri dari tiga orang ini tanpa menggunakan kekerasan, ketika tiba-tiba ada sebuah tangan yang kecil dengan jari-jari mungil menyentuh pundaknya dan rambutnya, membelai dan mengusap rambutnya. Ketika dia menoleh, hidungnya mencium keharuman pupur dan minyak, dan ternyata wajah wanita cantik kejam seperti iblis itu telah berada dekat sekali dengan mukanya. Sin-kiam Mo-li telah duduk dekat sekali dengannya dan kini merangkul lehernya.

Sin Hong adalah seorang pemuda yang sudah dewasa, sudah dua puluh satu tahun usianya. Walaupun selama hidupnya dia belum pernah berhubungan dengan wanita, bahkan bergaul dekat pun belum pernah, namun tentu saja dia mengerti apa maksud wanita ini mendekatinya dan bersikap demikian mesra. Seketika wajahnya menjadi merah dan jantungnya berdegup kencang penuh ketegangan.

Dia melihat betapa dua orang kakek iblis itu duduk tak jauh dari situ, dapat dengan mudah melihat apa yang dilakukan wanita ini, akan tetapi agaknya wanita ini tidak merasa sungkan atau malu lagi. Dia merasa ngeri. Manusia-manusia macam apakah yang telah menawannya ini?

“Sin Hong, berapakah usiamu sekarang?”

Sin-kiam Mo-li berbisik dekat telinga pemuda itu, bahkan bibir itu lalu mengecup leher di bawah telinga. Meremang bulu tengkuk Sin Hong ketika merasa betapa bibir basah yang mengeluarkan napas panas itu menyentuh lehernya. Akan tetapi dia menguatkan perasaannya dan menjawab dengan sikap dan suara biasa saja.

“Dua puluh satu tahun.”

“Aih, kalau begitu engkau sudah dewasa, bukan anak-anak lagi. Sin Hong, pernahkah engkau mempunyai seorang pacar?”

Kini kedua tangan wanita itu tanpa malu-malu membelai dan jari-jari tangan itu merayap-rayap ke seluruh bagian tubuh Sin Hong.

Pemuda ini merasa ngeri bukan main ngeri dan jijik. Belaian-belaian itu lebih menyiksa baginya daripada tamparan dan tendangan tadi, dan ingin sekali dia menyerang wanita iblis yang tidak tahu malu ini. Akan tetapi, janjinya terhadap tiga orang gurunya merupakan belenggu yang amat kuat dan dia pun mengerahkan kekuatan batinnya.

“Belum pernah.” jawabnya pula, sikapnya acuh saja sehingga wanita itu menjadi semakin bergairah.

Seorang pemuda yang sudah berusia dua puluh satu, sudah dewasa dan sedang segar-segarnya, belum pernah berdekatan dengan wanita, seorang perjaka tulen!

“Bagus sekali!” Sin-kiam Mo-li berseru girang. “Kalau begitu malam ini akan kujadikan seorang laki-laki sejati yang lengkap. Engkau layani aku dan senangkan hatiku, dan aku mungkin akan menyelamatkanmu, bahkan akan mengambilmu sebagai murid dan kekasih. Hemmm, engkau mau, bukan?”

Sin-kiam Mo-li merangkul dan kini bagaikan seorang kelaparan melahap sepotong roti, wanita itu menghujankan ciuman pada muka Sin Hong di pipinya, bibirnya, matanya, hidungnya sampai pemuda itu gelagapan dan seluruh tubuhnya menggigil saking ngerinya! Sin Hong merasa seperti dijilati seekor harimau yang hendak mengganyangnya.

Melihat betapa pemuda itu diam saja, tidak menanggapi tidak membalas ciumannya, akan tetapi juga tidak melawan, makin berkobar nafsu berahi dalam diri Sin-kiam Mo-li. Dirangkulnya Sin Hong dan ditariknya pemuda itu rebah di atas rumput yang lunak, jari-jari tangannya mulai membuka kancing dan menanggalkan pakaian pemuda ini.

Dapat dibayangkan betapa ngeri rasa hati Sin Hong. Dia merasa muak, jijik dan juga ketakutan, dan bagaimanapun juga, dia adalah seorang laki-laki yang normal. Jantungnya berdebar dan api gairah mulai merayap dan hendak membakar dirinya. Namun, karena batinnya memang kosong dan bersih daripada bayangan nafsu, maka nafsu yang muncul karena keadaan badan yang sehat itu pun tidak membuatnya mabuk.

Bahkan kini ada hawa hangat yang aneh, yang memang berkumpul di dalam pusarnya, mengalir ke seluruh tubuhnya dan hawa yang hangat ini membuyarkan gairah yang mulai timbul. Dia pun mendiamkan saja segala yang diperbuat oleh Sin-kiam Moli atas dirinya.

“Sin Hong, layanilah aku, senangkan hatiku. Sin Hong, ohhhhh!”

Wanita itu merayu, merintih, mengajak dan melakukan segala usaha untuk membangkitkan gairah Sin Hong. Namun sia-sia belaka. Pemuda itu tetap biasa saja, sedikit pun tidak dilanda nafsu berahi.

Biarpun wanita tak bermalu itu mengeluarkan semua kepandaiannya dalam merayu pria, biarpun kedua tangan bahkan seluruh tubuhnya sibuk untuk merangsang, tetap saja Sin Hong tenang dan tidak terpengaruh. Diam-diam dia merasa bersyukur sekali karena hawa yang hangat itu melindunginya.

“Keparat!” Tiba-tiba Sin-kiam Mo-li mengeluarkan makian ketika mendapat kenyataan betapa sikap Sin Hong biasa saja, sedikit pun tidak tersentuh gairah. “Apakah engkau tidak mau melayaniku? Apakah engkau malu-malu karena engkau masih perjaka?”

Saking mendongkolnya karena nafsu berahi sudah sampai ke ubun-ubunnya akan tetapi pemuda itu sedikit pun belum tersentuh, Sin-kiam Mo-li tanpa malu-malu lagi marah-marah di depan dua orang kakek yang menjadi rekannya.

“Ha-ha-ha, Mo-li, dia seperti mayat saja? Ha-ha-ha, mungkin dia yang tolol ataukah engkau yang sudah terlalu tua!” kata Thian Kong Cinjin.

Kakek ini biasanya pendiam, halus dan berwibawa, akan tetapi sekali ini dia mendongkol melihat sikap rekannya itu. Mereka benar berhasil membasmi Istana Gurun Pasir, akan tetapi juga kehilangan banyak anak buah dan sutenya, Ok Cin Cu juga tewas, dan wanita iblis itu hanya bersenang-senang saja melampiaskan nafsu berahinya, tanpa malu-malu di depannya lagi! Maka, rasa dongkol itu membuat dia kini mampu mentertawakan Sin-kiam Mo-li.

Sin-kiam Moli memandang ke arah kakek itu dengan mata melotot. Ia marah sekali, akan tetapi ia pun maklum bahwa wakil ketua Pat-kwa-pai itu sama sekali tidak boleh dipandang ringan, dan ia pun tidak ingin mencari keributan. Dengan kasar ia pun mencengkeram tubuh Sin Hong dan dibawanya lari berloncatan ke tempat lain, menjauhi dua orang kakek itu dan bersembunyi di balik semak-semak bunga di kebun itu. Ia tidak peduli mendengar suara ketawa dua orang kakek itu dan melempar tubuh Sin Hong ke atas rumput.

“Kalau sekarang engkau tetap tidak mau melayaniku, akan kupaksa kau sampai mampus!” desisnya dan kembali ia membelai-belai dan merayu, bahkan kini Sin-kiam Mo-li mengerahkan kekuatan ilmu sihirnya untuk menguasai Sin Hong.

Di bawah sinar api unggun kecil yang dibuatnya, Sin Hong terbelalak melihat bahwa kini Sin-kiam Mo-li nampak masih muda dan amat cantik! Kembali darah mudanya tersirap dan mulai bangkit kembali gairah nafsu berahi di dalam dirinya secara wajar dan normal.

Sin-kiam Mo-li dapat mengetahui hal ini maka girangnya bukan main. Ia menciumi dan mengecupi seluruh tubuh Sin Hong dengan mulutnya, seperti seekor ayam mematuki beras, berusaha sedapat mungkin untuk mengobarkan gairah yang mulai nampak bangkit dalam diri pemuda itu.

Namun, Sin Hong mengerahkan batinnya, memusatkan perhatiannya kepada bayangan tiga orang gurunya dan sungguh aneh. Hawa di pusarnya menjadi semakin panas dan kini bergerak mengalir keluar, berputaran melindungi seluruh tubuhnya dan perlahan-lahan gairah yang menguasainya tadi menjadi lemah dan semakin padam.

Betapapun Sin-kiam Mo-li mengerahkan tenaga ilmu sihirnya, tetap saja kekuatan sihir itu membuyar ketika menguasai Sin Hong. Pemuda ini mengerti bahwa kekuatan yang diterimanya dari tiga orang gurunya itu telah bekerja dan menyelamatkannya dan dia pun merasa girang sekali.

Tenaga dari Ilmu Silat Pek-ho Sin-kun telah memperlihatkan kehebatannya, padahal dia belum mengerahkan sin-kang nya, hanya mengerahkan kekuatan batin untuk menolak pengaruh aneh tadi. Kini, wajah yang nampak muda dan cantik sekali itu berubah menjadi seperti semula, wajah seorang wanita cantik yang mulai nampak tua.

Melihat betapa api gairah yang tadi mulai bernyala di tubuh pemuda itu mendadak menjadi padam kembali, bukan main marahnya Sin-kiam Mo-li. Ia marah dan juga heran, dan merasa terhina!

Selama ini, jarang ada pemuda yang ditawannya mampu menolak hasratnya, baik secara suka rela atau pun dipengaruhi sihirnya. Akan tetapi pemuda ini, pemuda lemah yang tidak pandai silat, dapat menghadapi sihirnya dengan tenang saja dan sama sekali tidak terpengaruh!

Ia sungguh merasa terhina, bukan saja ia merasa ditolak seorang laki-laki, akan tetapi juga sihirnya seperti tidak manjur. Karena kecewa dan marah, sedangkan nafsu berahi telah membakar dirinya dan naik ke ubun-ubunnya, Sin-kiam Mo-li menjadi seperti gila. Ia mulai menampari Sin Hong, mencakar, menggigit, di samping terus merayu sampai akhirnya tubuh Sin Hong penuh dengan luka cakaran dan tamparan, dan akhirnya pemuda ini tidak kuat lagi dan roboh pingsan di atas rumput!

Sedangkan Sin-kiam Mo-li terengah-engah, kelelahan dan ia pun akhirnya tertidur dalam keadaan kehabisan tenaga dan hampir pingsan dibakar nafsu yang dikobarkannya sendiri.

Ketika Sin Hong siuman, malam sudah larut, antara tengah malam dan fajar. Dia merasa betapa hawa dingin menyusup ke dalam tulang-tulangnya melalui kulit tubuhnya yang tak tertutup pakaian, juga ada rasa perih karena luka-lukanya.

Ketika membuka mata dan melihat bahwa dia rebah terlentang di atas rumput, dan tak jauh dari situ rebah pula tubuh Sin-kiam Mo-li yang mendengkur lirih, tahulah dia bahwa wanita itu telah tidur nyenyak karena kelelahan. Inilah kesempatan baik baginya, pikir Sin Hong. Dua orang kakek itu pun tidak nampak, agaknya tidur di bagian lain dari kebun itu dan malam itu cukup gelap, tidak ada bintang nampak di langit yang tertutup awan hitam.