Ads

Senin, 15 Februari 2016

Kisah si Bangau Putih Jilid 002

Dia lalu dengan susah payah menarik tubuh ibunya yang kedua kakinya terhimpit tubuh onta, kemudian mencoba untuk menggendongnya, akan tetapi baru beberapa langkah saja anak itu berjalan, dia disambar hantaman badai dan dia pun terguling bersama mayat ibunya, bergulingan.

“Ibuuuuu....!”

Anak itu berteriak, dan pada saat itu, Tiong Khi Hwesio telah menyambar tubuhnya dan dibawa meloncat ke balik sebuah batu karang untuk berlindung dari serangan badai. Wan Ceng juga sudah menyambar mayat wanita itu dan membawanya ke tempat yang sama.

“Ibuuu....! Lepaskan ibuku, jangan ganggu ibuku.!”

Tiba-tiba anak itu meronta dan saking marah dan khawatirnya, anak itu memiliki tenaga yang demikian hebatnya sehingga dia berhasil melepaskan diri dari pegangan Tiong Khi Hwesio dan kini dia menyerang Wan Ceng yang masih memondong tubuh wanita yang telah mati itu. Anak laki-laki itu menubruk, tangan kirinya mendorong ke arah dada Wan Ceng, dan tangan kanannya mencoba untuk merampas tubuh wanita itu gerakannya cepat dan juga mengandung tenaga yang kuat.

Wan Ceng tidak melawan, hanya menarik tubuh atas untuk mengelak dari dorongan anak itu, dan ia membiarkan anak itu merampas tubuh mayat itu. Anak laki-laki itu kini memandang mayat itu, menghadapi tiga orang tua itu dengan mata terbelalak. Mata itu liar dan beringas, seperti mata seekor anak harimau tersudut. Dia siap melawan tiga orang itu mati-matian untuk mempertahankan dan melindungi ibunya.

“Jangan kalian mengganggu ibuku! Akan kulawan sampai mati! Biarpun kalian Dewa Kematian, Dewa Badai dan Dewa Padang Pasir, aku tidak takut!”

Dia menantang dan sikapnya sungguh berani, sikap seorang yang sudah nekat karena tidak melihat jalan lain.

Tiga orang tua renta itu sejenak terpesona, juga terharu. Mereka adalah orang-orang sakti yang sudah banyak makan garam, banyak pengalaman dan tahu saja artinya duka karena mereka pun sudah kenyang mengalami duka dalam kehidupan mereka. Oleh karena itu, mereka dapat menduga bahwa anak ini menjadi demikian nekat dan berani karena terhimpit duka yang bertubi-tubi dan yang terakhir kalinya agaknya karena melihat ibunya yang tercinta tewas.

Atau mungkin saking bingung, khawatir dan dukanya, dia sampai tidak sadar bahwa ibunya telah kehilangan nyawanya dan yang hendak dilindungi dan dipertahankan itu adalah sesosok mayat yang telah mulai menjadi dingin!

Dengan hati terharu penuh iba Kao Kok Cu melangkah maju.
“Anak yang baik, kami bukanlah dewa atau iblis, kami adalah orang-orang biasa yang datang ingin menolongmu. Tidak ada yang akan mengganggu ibumu lagi, Nak, karena ibumu telah meninggal dunia. Lihatlah baik-baik dan jangan keliru menyangka orang.”

Suara itu begitu halus, tenang dan sabar dan suara itu saja sudah cukup membuat anak itu percaya dan kini anak itu memandang wajah mayat yang dipeluknya. Wajah seorang wanita yang kurus pucat, dengan mata setengah terbuka, dengan pandang kosong tanpa cahaya sama sekali, seperti mata sebuah patung yang pernah dilihatnya. Dia mengangkat mayat itu mendekat dan dia merendahkan mukanya sampai mukanya dekat sekali dengan muka mayat itu. Tidak bernapas lagi hidung dan mulut ibunya.

“Ibuuuuu....!”

Dan untuk kedua kalinya dia pun terjungkal bersama mayat ibunya, dan roboh pingsan di dekat mayat itu.

“Omitohud....!”

Tiong Khi Hwesio mengeluh ketika dia melihat peristiwa ini. Kao Kok Cu menarik napas dan menggeleng-geleng kepalanya sedangkan Wan Ceng lalu mendekati anak itu, berlutut dan mengurut tengkuk dan dadanya.

Anak itu pun mengeluh, lalu membuka matanya. Dia segera mencari dengan pandang matanya dan ketika dia melihat tubuh ibunya menggeletak tak jauh dari situ, dia pun bangkit dan menubruk mayat ibunya sambil menangis.

Akan tetapi, anak itu agaknya memang memiliki kekerasan dan ketabahan hati. Tidak lama dia menangis dan agaknya dia sudah teringat lagi akan tiga orang tua itu, maka dia lalu bangkit berdiri memandangnya, dia lalu menjatuhkan diri berlutut menghadap mereka, agaknya sama sekali tidak peduli akan luka-luka yang diderita tubuhnya, babak belur dan lecet-lecet, juga kaki kanannya kehilangan sepatunya dan pergelangan kaki itu menggembung besar, tanda bahwa kaki itu salah urat.

“Harap Sam-wi Locianpwe (Tiga Orang Tua Perkasa) memberi ampun kepada saya yang tadi bersikap kurang ajar. Dalam keadaan seperti ini, saya menjadi bingung dan mengira Sam-wi (Kalian Bertiga) bukan manusia “

Tiga orang itu saling pandang dan sependapat bahwa anak ini ternyata memiliki pendidikan yang baik dan mengenal aturan. Juga, mata mereka yang tajam dapat mengenal bahwa anak ini memiliki nyali yang besar, sikap gagah dan juga bakat yang baik sekali untuk menjadi seorang pendekar.

“Anak baik, sekarang belum waktunya banyak bicara. Apakah engkau hanya berdua dengan ibumu ini?” tanya Kao Kok Cu.

Anak itu mengangguk.

“Kalau begitu, yang terpenting sekarang, mari ikut bersama kami dan kami juga akan membawa jenazah ibumu agar mendapatkan penguburan yang sepatutnya di tempat kami.”

“Baik, Locianpwe dan terima kasih atas perhatian Sam-wi.” kata anak itu yang segera bangkit dan tanpa diperintah lagi dia menghampiri mayat ibunya, bermaksud untuk memondongnya.

Hal ini saja membuat tiga orang tua itu menjadi kagum. Anak ini tidak cengeng, tahu diri, cerdik dan tabah sekali.

“Biarkan pinceng yang membawa jenazah ibumu, anak baik,” kata Tiong Khi Hwesio dan sekali kedua lengannya bergerak, mayat wanita itu telah dipondongnya.

Anak itu terbelalak dan merasa seperti melihat sulapan atau sihir saja. Dia hampir tidak melihat hwesio tua itu menyentuh mayat ibunya atau mengulurkan tangan, seolah-olah mayat itu yang terbang ke dalam pondongan hwesio tua itu!






“Dan engkau pun tidak sehat benar, marilah engkau kugendong!”

Kata pula Kao Kok Cu dan anak itu menjadi semakin terkejut ketika tiba-tiba saja tubuhnya melayang naik dan tahu-tahu dia telah berada di atas punggung kakek yang lengan kirinya buntung!

Hampir dia menjerit ketakutan dan hampir kehilangan lagi kepercayaannya bahwa tiga orang itu adalah manusia. Jangan-jangan mereka ini benar-benar iblis-iblis yang hendak membawa pergi dia dan mayat ibunya!

Akan tetapi, nenek itu berkata,
“Mari kita pergi!” dan kini anak itu mengalami peristiwa yang membuat dia takkan dapat melupakannya selama hidupnya.

Dia merasa dibawa terbang oleh kakek lengan satu dan ketika dia melirik ke kanan, dia melihat hwesio itu pun seperti terbang membawa mayat ibunya, sedangkan nenek itu terbang paling depan.

Badai masih mengamuk hebat, namun tiga orang ini dapat berlari secepat terbang menempuh badai yang menyerang dari samping. Cepat sekali gerakan mereka dan berkali-kali dia harus memejamkan matanya saking ngeri.

Dan ketika mereka keluar dari daerah badai, anak itu merasa betapa mereka berlari lebih cepat lagi. Kadang-kadang mereka itu melompati jurang-jurang seperti terbang, membuat dia merasa ngeri bukan main, dan akhirnya dia pun hanya memejamkan mata agar tidak melihat betapa tubuhnya meluncur pesat di atas pundak kakek yang terbang di atas pasir.

Setelah mereka berhenti, barulah anak itu membuka matanya dan dia pun menahan keinginannya untuk berteriak saking herannya. Dia diturunkan, lalu digandeng masuk ke dalam sebuah istana besar yang indah dan juga menyeramkan karena istana itu berdiri megah di tengah-tengah gurun pasir, tidak mempunyai tetangga seorang pun!

Jenazah ibunya juga dibawa masuk dan nenek itu lalu merawat jenazah ibunya, diberi pakaian yang utuh, kemudian diadakan upacara sembahyang sekadarnya sehingga dia sebagai putera ibunya dapat memberi hormat dan berkabung atas kematian ibunya. Dia pun menurut saja ketika tiga orang tua itu mengusulkan agar ibunya segera dikubur pada hari itu juga. Mereka lalu menggali lubang di kebun belakang dan mengubur jenazah itu tanpa peti.

Setelah penguburan selesai dan mereka semua kembali ke dalam istana, barulah anak itu yakin bahwa semua yang dialaminya bukanlah mimpi. Kemarin sore dia dibawa oleh tiga orang tua ini, bersama jenazah ibunya, dengan cara luar biasa, lari bagaikan terbang, sehingga malam-malam mereka tiba di istana ini.

Hanya semalam ibunya yang telah menjadi jenazah itu dirawat dan pada keesokan harinya, penguburan ibunya telah dilakukan dengan baik dan selesai. Kini dia telah menjadi seorang anak yang kehilangan ibu, tidak tahu berada di tempat apa, merasa berada di tempat yang aneh, bukan bagian dari dunia, bersama tiga orang manusia yang juga luar biasa.

Apakah dia masih hidup, ataukah sudah berada di akhirat? Akan tetapi kalau dia sudah mati, tentu dia bertemu dengan ibunya. Tidak, dia masih hidup! Ibunyalah yang telah mati, dan dia berada di tempat tiga orang sakti. Sebagai putera seorang ahli silat, tentu saja dia pernah mendengar tentang orang-orang tua yang sakti, akan tetapi biasanya mereka itu adalah pertapa-pertapa atau pendeta-pendeta di kuil. Dan kini, tiga orang tua itu, biarpun yang seorang adalah hwesio, bukan tinggal di dalam gua, melainkan di dalam sebuah istana!

Demikianlah anak itu membolak-balik pikirannya sendiri ketika dia berlutut di atas lantai, di depan tiga orang yang duduk di bangku rendah sambil bersila itu. Kemudian dia teringat betapa tiga orang tua ini sudah melimpahkan kebaikan-kebaikan kepadanya.

Pertama, kalau tidak ada mereka yang datang ketika dia diserang badai di gurun pasir itu, tentu dia sudah tewas pula bersama ibunya dan onta mereka. Ke dua, mereka pula yang membawa dia dan jenazah ibunya ke istana aneh ini dan ke tiga, mereka telah mengurus penguburan ibunya sampai selesai. Teringat akan semua ini, dia lalu memberi hormat kepada mereka sampai dahinya berkali-kali menyentuh lantai.

“Sam-wi Locianpwe telah menyelamatkan saya dan telah mengurus pemakaman ibu, sungguh budi kemuliaan ini sampai mati pun saya tidak akan melupakannya,” demikian dia berkata berulang kali dan baru berhenti setelah kakek yang lengan kirinya buntung itu berkata dengan suara halus.

“Anak baik, duduklah yang benar, dan ceritakan dengan jelas bagaimana asal mulanya maka engkau bersama mendiang ibumu dapat berada di tempat berbahaya itu dan terserang badai.”

“Nanti dulu !” Tiba-tiba Wan Ceng berkata. “Siapa tahu dia menderita luka berat. Mari, majulah ke dekatku ke sini, Nak, akan kuperiksa keadaanmu.”

Mendengar ini, anak itu tidak berani membantah dan dia pun merangkak dan mendekati nenek itu. Wan Ceng cepat memeriksa dan ternyata anak itu hanya menderita lecet-lecet dan babak belur, luka di kulit saja, sedangkan pergelangan kakinya yang membengkak itu adalah karena salah urat. Dengan cepat Wan Ceng mengurut kaki itu dan membetulkan kembali urat yang tertarik dan salah duduk, dan mengobati lecet-lecet dengan obat luka.

”Nah, engkau tidak apa-apa sekarang, ceritakanlah keadaanmu,” kata Wan Ceng.

Anak itu lalu berlutut kembali seperti tadi dan menceritakan riwayatnya.
“Nama saya Tan Sin Hong, tinggal bersama orang tua saya di kota Bangoan di selatan Tembok Besar. Ayah saya dikenal sebagai Tan-piauwsu (pengawal Tan) karena ayah saya membuka perusahaan piauw-kiok (perusahaan pengawalan barang kiriman) yang mengawal barang-barang dagangan yang dikirim dari dan keluar Tembok Besar.”

Anak itu, yang bernama Tan Sin Hong, dengan lancar lalu menceritakan semua peristiwa yang baru-baru ini menimpa keluarganya.

Pada suatu hari, Tan-piauwsu, ayah Sin Hong, menerima tugas mengawal barang-barang berharga untuk diantar ke kota Tuo-lun, sebuah kota yang terletak di daerah Mongol. Barang itu berupa sebuah peti besar terisi emas permata yang amat berharga, karena itu, Tan piauwsu tidak berani menyerahkan pengawalannya kepada anak buahnya saja. Dia berangkat sendiri mengawal barang itu dan menyerahkan urusan perusahaan kepada Tang-piauwsu, yaitu wakilnya.

Sebulan kemudian, datang seorang utusan yang membawa pesan dari Tan-piauwsu agar isterinya dan puteranya menyusul ke kota Tuo-lun untuk diajak nonton keramaian tradisionil yang diadakan oleh suku bangsa campuran Mancu dan Mongol yang tinggal di sana.

Biarpun perjalanan itu jauh dan memakan waktu lama, namun Nyonya Tan dan puteranya dengan girang memenuhi pesan itu. Tang-piauwsu merasa khawatir dan dia sendiri yang melakukan pengawalan, memimpin dua belas orang anggauta piauw-kiok.

Berangkatlah rombongan ini keluar dari Tembok Besar menuju ke utara. Ketika mereka tiba di dekat kota Tuo-lun, di kaki bukit yang sunyi, tiba-tiba muncul gerombolan perampok bertopeng. yang jumlahnya dua puluh orang lebih. Gerombolan perampok ini menyerang dan tentu saja Tang-piauwsu memimpin anak buahnya melakukan perlawanan.

Pertempuran hebat terjadi, akan tetapi gerombolan perampok itu lihai dan dua kali lebih besar jumlahnya, maka pihak pengawal terdesak dan mulai ada yang roboh. Melihat keadaan berbahaya ini, Tang-piauwsu lalu melarikan kereta yang membawa Nyonya Tan dan Sin Hong, melarikan diri dari tempat itu. Akan tetapi, setelah merobohkan semua pengawal, gerombolan perampok bertopeng itu melakukan pengejaran.

Tang-piauwsu melarikan kereta tanpa tujuan dan akhirnya mereka tiba di padang pasir. Melihat ada orang penduduk daerah itu yang membawa garam menunggang seekor onta, Tang-piauwsu lalu membeli onta itu dan menyuruh Nyonya Tan dan Sin Hong untuk melanjutkan larinya dengan menunggang onta, sedangkan dia sendiri menanti di situ dengan pedang di tangan untuk menahan gerombolan perampok yang tadi mengancam hendak menawan Nyonya Tan yang masih kelihatan muda dan cantik.

Karena ketakutan, Nyonya Tan dan Sin Hong lalu menunggang onta, membawa bekal seadanya saja dan onta itu pun memasuki gurun pasir! Mereka tidak lagi melihat apa yang telah terjadi selanjutnya dengan Tang-piauwsu.

“Karena takut ditawan gerombolan perampok yang kasar itu, yang agaknya, menurut perkiraan Tang-piauwsu, hendak menangkap ibu dan saya untuk membalas dendam kepada ayah, ibu lalu melarikan onta itu tanpa tujuan, terus memasuki gurun pasir yang luas. Akhirnya kami tidak tahu jalan lagi, di mana-mana pasir belaka dan kami membiarkan saja onta itu mengambil jalan sendiri. Entah berapa hari kami melakukan perjalanan seperti itu, kehabisan bekal, bahkan kantung air yang banyak itu pun telah hampir habis. Kami menderita sekali dan akhirnya kami diserang badai. Kami berlindung di balik batu karang, akan tetapi batu karang itu runtuh dan menimpa kami, dan selanjutnya.... Sam-wi, telah mengetahui.”

Setelah Sin Hong mengakhiri ceritanya, Tiong Khi Hwesio berseru.
“Omitohud.... permusuhan yang tiada hentinya antara yang untung dan yang rugi! Para perampok merasa dirugikan oleh para piauwsu, banyak bentrokan terjadi antara mereka yang hendak merampok dan mereka yang hendak melindungi barang kiriman!”

“Ada yang mencurigakan dalam urusan ini,” kata Kao Kok Cu, “Bagaimana seorang piauwsu yang berpengalaman begitu sembrono untuk memanggil isteri dan puteranya menyuruh ke tempat yang demikian jauh, melalui perjalanan yang berbahaya.”

“Memang mencurigakan sekali. Dan Tang-piauwsu itu membiarkan ibu dan anak itu melintasi gurun pasir dengan binatang onta tanpa pengawalan, sungguh gegabah sekali,” kata pula Wan Ceng.

“Biarlah pinceng (saya) yang akan pergi ke Tuo-lun untuk mencari Tan-piauwsu dan memberi kabar kepadanya tentang isteri dan puteranya. Sin Hong, engkau tinggal dulu saja di sini sampai pinceng dapat menemukan ayahmu dan dapat mengetahui apa yang sebenarnya telah terjadi.”

Tan Sin Hong mengangguk,
“Baik, Locianpwe, saya akan menanti berita dan hasil penyelidikan Locianpwe.”

Dia merasa suka sekali di tempat yang indah itu, dan dia berhutang budi. Ingin dia membalas budi itu, walaupun hanya dengan membersihkan tempat itu, istana tua itu yang nampaknya tidak begitu terawat dengan baik. Apalagi ketika dia mendapat kenyataan bahwa di istana tua itu tidak terdapat seorang pun pelayan.

Sambil menanti kembalinya Tiong Khi Hwesio, Sin Hong mendengar lebih banyak dari nenek Wan Ceng tentang istana tua itu dan kini dia tahu bahwa penghuni Istana Gurun Pasir itu adalah kakek dan nenek she Kao ini, sedangkan Tiong Khi Hwesio yang kini pergi mencari ayahnya adalah seorang sahabat baik dan tamu kehormatan dari mereka.

Tiga hari kemudian, muncullah Tiong Khi Hwesio. Setelah minum air sejuk jernih yang dihidangkan oleh Sin Hong, kakek ini menarik napas panjang.

“Omitohud.... Tan Sin Hong, pinceng sekali ini terpaksa membawa berita yang tidak menyenangkan untukmu.”

Dan dia pun mengelus kepala anak itu yang sudah berlutut di depannya. Anak itu memang berhati tabah. Biarpun mukanya agak pucat dan matanya membayangkan kekhawatiran, namun suaranya masih tenang ketika dia berkata kepada hwesio tua itu.

“Locianpwe, apakah yang telah terjadi dengan ayah saya?”

Nenek Wan Ceng juga tidak sabar.
“Tek Hoat, apa yang telah terjadi di sana?”

Kakek yang masih kelihatan lelah karena habis melakukan perjalanan jauh itu, mengusap peluh dari leher dan mukanya mempergunakan sehelai saputangan lebar, kemudian menghela napas dan memandang kepada Sin Hong dengan sinar mata kasihan.

“Pinceng tiba di kota Tuo-lun dan melakukan penyelidikan. Akan tetapi ternyata bahwa Tan-piauwsu tidak pernah sampai di kota itu.“

“Ayah.!”

Sin Hong berseru dengan suara tertahan, matanya menatap wajah Tiong Khi Hwesio, penuh pertanyaan dan kekhawatiran.

“Di kota itu pinceng bertemu dengan beberapa orang sahabat baik Tan Piauwsu karena memang sudah beberapa kali Tan piauwsu mengawal barang ke kota itu. Bersama mereka pinceng lalu menyelidiki sepanjang jalan menuju ke kota itu dari selatan yang biasa diambil oleh rombongan piauw-kiok dan di sebuah hutan pinceng menemukan mereka,” Suara kakek ini menurun dan Sin Hong kembali menatap dengan muka pucat.

“Locianpwe menemukan ayah.?“ tanyanya, kini suaranya agak gemetar, jelas bahwa dia telah menduga buruk.

Dan kakek itu mengangguk.
“Pinceng menemukan Tan-piauwsu dan sepuluh orang anak buahnya, semua telah tewas terbunuh.”

“Ayah....! Ibu....!”

Teriakan Sin Hong ini lirih saja, seperti keluhan dan dalam keadaan berlutut dia menutupi muka dengan kedua tangannya. Tiga orang tua itu hanya memandang dan membiarkan saja. Sampai beberapa lamanya Sin Hong menutupi mukanya, tidak mengeluarkan suara tangis, akan tetapi air mata mengalir dari celah-celah jari tangannya. Kemudian dia mengusap air matanya dengan kedua tangan, lalu dengan suara agak parau dia bertanya kepada Tiong Khi Hwesio.

“Locianpwe, siapa yang membunuh ayah?”

Tiong Khi Hwesio menggeleng kepala.
“Tidak ada yang tahu dan tidak ada tanda-tandanya. Mereka semua tewas dan agaknya dirampok karena tidak ada barang berharga lagi di sana, kecuali pakaian yang menempel di tubuh mereka.”

“Ah, siapa lagi kalau bukan perampok bertopeng itu? Dan yang mengirim utusan mengundang nyonya Tan dan Sin Hong tentu juga anggauta perampok bertopeng itu yang sengaja memancing dan menjebak,” kata kakek Kao Kok Cu. “Agaknya mereka adalah gerombolan perampok yang mendendam kepada Tan-piauwsu sehingga selain merampok, juga ingin membasmi keluarganya.”

“Aku lebih condong mencurigai Tang-piauwsu itu!” Tiba-tiba Wan Ceng berkata.

“Mengawal barang yang amat berharga tentu amat dirahasiakan dan kukira yang mengetahui hanyalah Tan-piauwsu dan pembantunya itu. Tidak akan mengherankan kalau kelak diketahui bahwa yang mengatur semua perampokan dan pembunuhan itu adalah Tang-piauwsu, oleh karena itu dia pula yang menyuruh nyonya Tan dan Sin Hong melarikan diri ke gurun pasir, yang berarti sama dengan mengirim mereka ke lembah maut.”

“Omitohud kita tidak boleh sembarangan sangka. Urusan ini adalah urusan Sin Hong dan biarlah dia saja yang kelak melakukan penyelidikan. Engkau tenangkan hatimu Sin Hong. Teman-teman ayahmu telah mengutus penguburan jenazah ayahmu dan anak buahnya, dan kalau suami isteri tua penghuni Istana Gurun Pasir ini tidak berkeberatan, pinceng mengusulkan agar Sin Hong tinggal di sini mempelajari ilmu dari kita bertiga.”

Suami isteri itu agak terkejut dan memandang wajah hwesio itu penuh perhatian.
“Apa alasanmu berkata demikian, Tek Hoat?” kata nenek Wan Ceng.

“Banyak peristiwa terjadi di dunia yang aneh-aneh dan biasanya kita anggap sebagai hal yang kebetulan saja. Akan tetapi, bukankah di balik peristiwa itu ada yang mengaturnya? Bukankah sudah menjadi kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa maka terjadi hal-hal yang kelihatan kebetulan itu? Contohnya Tan Sin Hong ini. Keluarganya tertimpa malapetaka, ibunya tewas, ayahnya tewas dan dia pun nyaris tewas. Coba lihat segala macam kebetulan yang telah terjadi!

Pertama-tama, kebetulan sekali pinceng mengunjungi kalian dan kemudian kebetulan sekali kita bertiga bermain-main dengan badai gurun pasir! Kalau tidak kebetulan pinceng berkunjung tentu kita tidak bermain-main dengan badai dan kalau tidak kebetulan kita bermain-main dengan badai tentu kita tidak akan melihat Sin Hong! Dan kalau begitu, apa jadinya? Tentu dia telah tewas pula! Bukankah semua kebetulan itu seperti telah diatur oleh Thian (Tuhan)? Nah, kita jangan menolak kehendak Thian dan harus menerimanya sebagai perintahNya. Mari kita terima anak ini sebagai murid kita yang terakhir, untuk menampung peninggalan terakhir dari kita. Bagaimana pendapat kalian?”

Suami isteri itu saling pandang. Mereka telah mewariskan ilmu-ilmu mereka kepada putera tunggal mereka yang bernama Kao Cin Liong dan kini tinggal di kota Pao-teng dekat kota raja, juga mereka mengajarkan beberapa macam ilmu kepada Can Bi Lan yang kini menjadi nyonya Sim Houw. Apakah kini mereka harus mengambil seorang murid lagi ketika usia mereka sudah amat tua? Akan tetapi, ada benarnya juga pendapat Tiong Khi Hwesio tadi tentang peristiwa kebetulan yang merupakan tanda kekuasaan dan kehendak Thian. Mereka mengangguk setuju dan Wan Ceng berkata sambil tersenyum.

“Tek Hoat, kalau begitu engkau juga harus tinggal di sini untuk mewariskan ilmumu kepadanya.”

“Ha-ha-ha, tentu saja! Pinceng memang suka sekali menghabiskan sisa usia pinceng di sini, kalau kalian tidak berkeberatan.”

“Kenapa keberatan? Kami suka sekali!” kata kakek Kao Kok Cu. “Akan tetapi kita tidak boleh melupakan hal yang terpenting, yaitu apakah Tan Sin Hong suka tinggal di sini sebagai murid kita?”

Sin Hong sejak tadi mendengarkan saja percakapan itu. Dia sedang tenggelam dalam lamunan penuh duka. Ayah ibunya tewas secara mendadak dan dia tidak memiliki apa-apa lagi. Terutama sekali, dia terkesan sekali oleh percakapan tiga orang tua itu tentang kematian ayahnya. Ayahnya dibunuh orang! Agaknya direncanakan. Tang-piauwsu mencurigakan, walaupun belum ada bukti. Dan dialah yang kelak harus menyelidiki dan membuka rahasia itu, dia perlu memiliki kepandaian yang tinggi. Ilmu silat yang pernah dipelajari dari ayahnya, tidak ada artinya.

Ayahnya sendiri pun tewas melawan penjahat, apalagi dia! Kini, mendengar percakapan tiga orang tua sakti itu yang ingin mengambilnya sebagai murid, dan mendengar kakek Kao Kok Cu menyinggung apakah dia suka menjadi murid mereka atau tidak, tanpa ditanya lagi dia lalu menjatuhkan diri bertiarap di atas lantai, menyentuh lantai dengan dahinya berulang kali.

“Sam-wi Locianpwe, teecu (murid) Tan Sin Hong bersumpah untuk menjadi murid yang baik kalau Sam-wi sudi mengambil teecu sebagai murid.” Berulang-ulang dia berkata demikian.

Dengan suaranya yang lantang dan tegas kakek Kao Kok Cu berkata,
“Tan Sin Hong, benarkah engkau bersedia untuk mematuhi semua perintah kami kalau engkau menjadi murid kami?”

“Teecu bersumpah untuk mentaati dan mematuhi semua petunjuk dan perintah Sam-wi Locianpwe!” kata Sin Hong dengan setulus hatinya.

“Dan engkau tidak akan mengeluh menghadapi latihan yang amat berat?” sambung Tiong Khi Hwesio.

“Biar sampai mati sekalipun dalam mentaati perintah, teecu tidak akan mengeluh.”

Tiga orang tua itu diam-diam menjadi girang dan mulai hari itu, Tan Sin Hong tinggal di situ, bekerja keras sebagai pelayan, membersihkan istana dan bekerja di kebun, melayani semua kebutuhan tiga orang tua itu, akan tetapi sebagai imbalannya, dia pun mulai digembleng oleh mereka bertiga! Menjadi murid seorang saja di antara tiga orang sakti ini sudah merupakan suatu keberuntungan besar, apalagi sekaligus menjadi murid mereka bertiga!

Sin Hong tidak menyia-nyiakan kesempatan yang amat baik ini dan dia pun belajar dan berlatih dengan amat tekunnya, siang malam tak pernah berhenti kecuali kalau sedang bekerja. Bahkan dalam melaksanakan pekerjaannya sekali pun, dia melatih diri sehingga dia memperoleh kemajuan pesat, kalau malam, setelah lelah berlatih, dia mencurahkan pikirannya untuk mengingat semua pelajaran yang diterimanya dari tiga orang gurunya.

Tiga orang tua renta itu maklum bahwa bagi seorang murid seperti Sin Hong, tak mungkin dapat mempelajari semua ilmu mereka bertiga, akan memakan waktu terlalu lama. Mereka sudah tua sekali selain sudah merasa malas untuk banyak bergerak melatih ilmu silat, juga maklum bahwa akan sayang kalau sampai mereka mati sebelum ilmu mereka dapat diterima dengan baik oleh murid terakhir itu.

Oleh karena itulah, mereka masing-masing sengaja memilihkan ilmu-ilmu simpanan mereka saja untuk diajarkan kepada Sin Hong, setelah menggembleng pemuda itu untuk menguasai langkah-langkah dan gerakan-gerakan dasar dari ilmu mereka bertiga. Kao Kok Cu menurunkan Ilmu Sin-liong Ciang-hoat dan biarpun muridnya tidak berlengan buntung, dia mengajarkan juga cara menghimpun tenaga sakti melalui Ilmu Sin-liong Hok-te. Nenek Wan Ceng juga mengajarkan Ilmu Ban-tok-ciang dan melatih pemuda itu untuk menghimpun tenaga beracun agar dapat melakukan Ilmu Ban-tok-ciang (Tangan Selaksa Racun) dengan baik.

Sementara itu Tiong Khi Hwesio menurunkan gabungan Ilmu Pat-mo Sin-kun dan Pat-sian Sin-kun, juga melatih menghimpun tenaga sakti lewat ilmu sinkang Tenaga Inti Bumi!

Tentu saja untuk dapat menguasai ilmu-ilmu yang sakti itu, Sin Hong harus berlatih mati-matian, menggembleng diri sehingga dia tumbuh menjadi seorang pemuda dewasa yang kurus saking bekerja keras setiap hari dan malam untuk menguasai ilmu-ilmu itu! Dan sejak tinggal di situ, dia hanya mau memakai pakaian serba putih untuk mengabungi ayah ibunya yang tewas secara menyedihkan.

Tiga tahun kemudian ketika dia berada di situ mempelajari ilmu, pada suatu hari datang berkunjung seorang laki-laki gagah perkasa yang berusia lima puluh tiga tahun. Dia ini bukan lain adalah Kao Cin Liong, putera tunggal dari Kao Kok Cu dan Wan Ceng, yang datang berkunjung dan membujuk ayah ibunya yang telah tua itu untuk tinggal bersama dia di Pao-teng.

“Ayah dan ibu telah berusia lanjut, dan saya sekeluarga tinggal jauh di Pao-teng, sungguh tidak enak bagi saya kalau mengingat keadaan ayah dan ibu. Sebaiknya kalau ayah berdua tinggal bersama kami di Pao-teng agar kami dapat mengurus semua keperluan ayah berdua,” demikian antara lain Kao Cin Liong membujuk orang tuanya.

Akan tetapi ayah ibunya tetap tidak mau menuruti permintaan puteranya.
“Ketahuilah bahwa aku lebih suka tinggal di tempat yang sunyi ini bersama ayahmu, Cin Liong. Kami dapat mengurus diri sendiri dan andaikata kelak kami meninggal dunia, kami dapat saling mengurus atau merawat dan ada satu di antara kami yang mengabarimu di Pao-teng,” demikian nenek Wan Ceng berkata.

Puteranya tidak merasa heran mendengar ibunya sedemikian enaknya bicara tentang kematian. Dia sudah mengenal watak ibu dan ayahnya yang menganggap kematian sebagai hal yang biasa saja.

“Pula, kami sekarang mempunyai seorang murid yang juga melayani semua keperluan kami. Inilah dia, namanya Tan Sin Hong.” kata Kao Kok Cu. “Juga di sini tinggal pula Tiong Khi Hwesio yang menambah kegembiraan kami. Tidak perlu engkau memusingkan kami tiga orang-orang tua dan biarkan kami dalam kegembiraan kami sendiri.”

Dia lalu menceritakan tentang Sin Hong yang segera memberi hormat kepada Kao Cin Liong yang disebutnya “suheng” (kakak seperguruan). Diam-diam Cin Liong merasa heran dan kagum akan baiknya nasib anak itu yang secara tak terduga telah menjadi murid ayah ibunya dan juga Tiong Khi Hwesio!

Kao Cin Liong tinggal selama satu minggu di istana Gurun Pasir dan setelah dia meninggalkan tempat itu, pulang ke Pao-teng, kehidupan di situ menjadi seperti biasa lagi. Sin Hong tekun berlatih silat, dan tiga orang tua renta itu kadang-kadang masih suka berkeliaran di padang pasir, bahkan beberapa kali masih suka bermain-main dengan badai!

**** 002 ****