Ads

Sabtu, 23 Januari 2016

Suling Naga Jilid 097

“Sin-kiam Mo-li....! Aku Bi-kwi murid Sam Kwi datang berkunjung. Keluarlah dan temui aku karena aku tidak ingin melanggar daerahmu!”

Wanita itu adalah Bi-kwi atau Ciong Siu Kwi, wanita yang cantik. Berbeda dari hari-hari kemarin semenjak ia menjadi isteri Yo Jin, kini ia kembali seperti sebelum itu, seperti ketika ia masih menjadi Bi-kwi yang sesat dan jahat. Kini ia mengenakan pakaian mewah sehingga membuat dirinya semakin cantik, apalagi ia menambah pemerah bibir dan pipi, juga penghitam alis. Sebatang pedang tergantung di punggungnya. Ini merupakan siasat yang telah diaturnya bersama Sim Houw dan Bi Lan.

Untuk dapat mendekati Sin-kiam Mo-li dan menyelidiki apakah puteri keluarga Kao benar berada di situ, ia harus kembali menjadi Bi kwi murid Sam Kwi yang jahat, seorang tokoh dunia sesat yang ditakuti orang. Kini ia berdiri di luar hutan pertama dari daerah tempat tinggal Sin-kiam Mo-li dan beberapa kali ia mengeluarkan seruan itu dengan teriakan melengking nyaring karena didorong oleh tenaga khi-kang. Ia harus pandai bersandiwara, apalagi di tempat itu terdapat para tosu Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai yang pernah bermusuhan dengannya karena ia membela Yo Jin

Baru tiga kali ia mengulangi teriakannya, muncullah seorang gadis berpakaian serba hitam yang berwajah manis dan bersikap genit. Gadis ini adalah Hek Nio, seorang di antara tiga gadis pelayan Sin-kiam Mo-li. Ia diberi tugas untuk turun menyambut tamu itu. Ketika Sin-kiam Mo-li mendengar suara itu, ia teringat bahwa mendiang ibu angkatnya memang bekerja sama dengan Sam Kwi, tiga orang datuk sesat yang terkenal.

Karena nama Bi-kwi juga sudah terkenal di dunia kaum sesat, maka Sin-kiam Mo-li menganggapnya sebagai teman segolongan dan iapun mengutus Hek Nio untuk keluar menyambut, sedangkan Ang Nio dan Pek Nio sibuk bekerja di dapur setelah mereka bertiga semalam suntuk melayani tujuh orang tosu yang tak mengenal lelah itu.

Melihat munculnya Hek Nio, Bi-kwi cepat maju menghampiri dan memberi hormat yang dibalas pula oleh Hek Nio dengan hormat karena pelayan inipun sudah pernah mendengar akan nama Bi-kwi yang lihai. Ia belum pernah bertemu dengan Bi-kwi, juga majikannya belum, akan tetapi tadi ia telah diberitahu akan ciri-ciri Bi-kwi oleh Sin-kiam Mo-li yang sudah mendengar pula tentang keadaan diri Bi -kwi.

“Benarkah saya berhadapan dengan Setan Cantik (Bi-kwi) Ciong Siu Kwi?” Hek Nio berkata, sikapnya tetap menghormat.

“Benar, akan tetapi aku ingin bertemu dengan Sin-kiam Mo-li sendiri, bukan orang lain,” kata Bi-kwi hati-hati, akan tetapi sengaja memperlihatkan sikap angkuh, seperti sikapnya dahulu sebelum ia menjadi nyonya Yo Jin.

Hek Nio menjura.
“Maaf, saya adalah pelayan bernama Hek Nio yang diutus oleh majikan saya untuk menyambut tamu. Akan tetapi, bagaimana saya dapat yakin bahwa engkau adalah benar Bi-kwi Ciong Siu Kwi? Kata majikan saya, kalau bukan Bi-kwi yang sesungguhnya, tidak boleh masuk.”

“Huh, apakah Sin-kiam Mo-li begitu bodoh sehingga tidak mengenal mana orang asli dan mana palsu? Mau bukti? Nah, inilah buktinya!”

Tiba-tiba saja, secepat kilat menyambar, tubuh Bi-kwi sudah bergerak ke depan, akan tetapi yang meluncur maju hanya tangannya saja, sedangkan tubuhnya tetap di tempat. Jarak antara ia dan pelayan itu ada satu setengah meter, akan tetapi lengannya dapat mulur dan tahu-tahu tangan itu telah mencengkeram tengkuk pelayan itu dan mengangkatnya lalu melemparkannya ke atas!

Tentu saja Hek Nio terkejut setengah mati. Iapun seorang yang sudah memperoleh latihan yang cukup lihai. Ketika tadi tangan Bi-kwi bergerak ke depan, ia membuat perhitungan bahwa tangan itu tidak akan mencapai dirinya. Akan tetapi siapa kira bahwa lengan itu dapat mulur dan tahu-tahu tengkuknya ditangkap dan tubuhnya dilempar ke atas. Ia segera berjungkir balik dan dapat turun lagi di atas tanah dengan baik sehingga Bi-kwi mengangguk-angguk.

“Pelayan Sin-kiam Mo-li boleh juga!” katanya.

Kini Hek Nio tidak berani main-main lagi. Semua tanda-tanda yang diberikan majikannya memang cocok dengan keadaan tamu ini. Maka iapun memberi hormat lagi sambil berkata,

“Marilah, toanio. Majikan kami telah menanti di ruangan tamu,” katanya sambil membalikkan tubuh dan melangkah ke depan.

Bi-kwi tersenyum mendengar dirinya disebut nyonya besar, dan iapun mengikuti Hek Nio, akan tetapi dengan hati-hati dan menjaga agar ia selalu menginjak tanah bekas injakan pelayan itu. Di sepanjang perjalanan ini ia membuat catatan dalam hatinya agar hafal akan jalan-jalan di tempat penuh rahasia itu.

Karena ia memang seorang yang amat cerdik, ia sudah dapat membuat peta di dalam ingatannya, dan tahulah ia bahwa rahasia tempat itu berdasarkan pat-kwa sehingga lebih mudah untuk mengenal rahasianya.

Ketika ia dibawa masuk ke dalam rumah sampai ke ruangan tamu, di situ telah menunggu Sin-kiam Mo-li dan tujuh orang tosu. Dua di antara mereka amat dikenalnya, yaitu Ok Cin Cu tokoh Pat-kwa-pai dan Thian Kek Seng-jin tokoh Pek-lian-pai!

Seperti telah diceritakan di bagian depan, Bi-kwi pernah bentrok dengan dua orang tosu ini ketika memperebutkan Yo Jin yang ditawan oleh kedua tosu itu. Dengan sikap tenang, senyum manis di mulut, Bi-kwi memasuki ruangan tamu dan langsung saja ia menghampiri Sin-kiam Mo-li yang duduk tegak dengan sikap angkuh dan pandang matanya tajam penuh selidik mengamati wajah Bi-kwi yang cantik.

Bi-kwi menjura ke arah Sin-kiam Mo-li dan berkata dengan sikap ramah sekali,
“Benarkah aku berhadapan dergan Sin-kiam Mo-li yang terkenal itu? Sungguh mengagumkan, ternyata lebih cantik dari pada yang pernah kudengar!”

Senang juga hati Sin-kiam Mo-li mendapatkan pujian ini dan iapun bangkit berdiri, mempersilahkan duduk sambil berkata,

“Kiranya engkau yang berjuluk Bi-kwi? Memang julukan yang pantas, engkau cantik dan engkau cerdik, tentu juga pandai seperti setan!”

Bi-kwi tertawa.
“Aih, Sin-kiam Mo-li sungguh pandai memuji, membikin aku merasa malu saja.”






“Siancai....! Murid tercinta dari Sam Kwi tentu saja pandai!” tiba-tiba Thian Kong Cin-jin, wakil ketua Pat-kwa-pai berkata sambil tertawa. “Sebelum mati, tentu ketiga Sam Kwi telah mewariskan semua ilmu kepandaiannya kepada murid mereka yang sangat tercinta!”

Kakek ini memberi penekanan kepada kata “tercinta” dan para tosu yang berada di situ tertawa, karena mereka semua sudah mendengar bahwa selain menjadi murid Sam Kwi, Bi-kwi juga menjadi kekasih mereka. Akan tetapi hal seperti ini dianggap tidak aneh oleh kaum sesat, maka dengan sikap enak saja, tanpa malu-malu atau kikuk, Bi-kwi menatap wajah kakek itu dengan tersenyum mengejek.

“Apa salahnya? Kalau kedua pihak sudah saling setuju, cinta boleh dimainkan oleh siapa saja, bukan? Tidak benar demikiankah, Mo-li?”

“Hi-hik, sekali ini Thian Kong Cin-jin termakan pertanyaan sendiri yang usil,” kata Sin-kiam Mo-li, senang dan merasa cocok dengan Bi-kwi.

“Akan tetapi nanti dulu! Jangan terlalu percaya kepada wanita ini!” Tiba-tiba Ok Cin Cu berkata dengan lantang sambil bangkit berdiri dari bangkunya, memandang kepada Bi-kwi. “Harap kalian semua ketahui bahwa pinto berdua Thian Kek Seng-jin, pernah bentrok dengan Bi-kwi, dan dalam bentrokan itu, dia bekerja sama dengan seorang pendekar! Jangan-jangan kedatangannya ini adalah sebagai mata-mata dari para pendekar yang mengutusnya!”

Semua orang terkejut dan Sin-kiam Mo-li juga bangkit, meraba gagang pedang di punggungnya sambil memandang kepada Bi-kwi dan membentak,

“Keparat! Benarkah itu, Bi-kwi?”

Bi-kwi memang sudah memperhitungkan serangan yang datang dari dua orang tosu itu sebelum ia datang ke tempat ini, maka iapun bersikap tenang saja, malah tersenyum mengejek tanpa bangkit dari tempat duduknya dan memandang kepada Ok Cin Cu dan Thian Kek Seng-jin, kemudian menghadapi Sin-kiam Mo-li.

“Tidak kusangkal bahwa memang pernah aku bentrok dengan dua orang tua bangka tak tahu malu ini, akan tetapi sayang tosu Ok Cin Cu yang terhormat ini sama sekali tidak menceritakan sebab bentrokan. Nah, Mo-li, aku mau bercerita, dan dua orang tosu tua bangka boleh mendengarkan dan membantah kalau ceritaku bohong.”

Sin-kiam Mo-li mulai bimbang dan kecurigaannya menipis melihat sikap Bi-kwi yang demikian tenang. Orang yang mengandung niat buruk tidak mungkin dapat setenang itu.

“Ceritakanlah sebenarnya!”

“Begini, Mo-li. Pada suatu hari aku mendapatkan seorang kekasih baru yang amat kucinta. Akan tetapi pemuda kekasihku itu karena suatu percekcokan, telah ditawan orang yang dibantu oleh Ok Cin Cu dan Thian Kek Seng-jin! Nah, karena aku harus membebaskan kekasihku itu, maka terjadi bentrok antara aku dan mereka berdua sehingga terjadi perkelahian. Engkau tentu tahu sendiri bagaimana sakitnya rasa hati kalau kekasih diganggu orang, Mo-li. Apakah engkaupun tidak akan menjadi marah kalau kekasihmu yang baru saja kau peroleh dan sangat kau cinta, diganggu orang?”

Sin-kiam Mo-li mengangguk-angguk membenarkan.
“Akan tetapi, bagaimana kau dapat bekerja sama dengan orang dari golongan pendekar? Benarkah itu?”

“Itupun ada ceritanya. Biar Ok Cin Cu melanjutkan keterangannya yang bermaksud melemparkan fitnah tadi. Ok Cin Cu, siapakah pendekar yang kau maksudkan bekerja sama dengan aku itu?”

“Ha-ha-ha, jangan pura-pura menyangkal, manis. Dia adalah Pendekar Suling Naga!”

“Ahh....!”

Sin kiam Mo-li terkejut karena iapun sudah mendengar akan kehebatan pendekar ini yang kabarnya memiliki ilmu kepandaian amat tinggi. Ia memandang kembali kepada Bi-kwi dengan alis berkerut dan mata mengandung kecurigaan.

“Benarkah engkau bekerja sama dengan Pendekar Suling Naga dalam bentrokan melawan kedua orang totiang ini, Bi-kwi?”

Bi-kwi masih tetap tenang dan tersenyum simpul mengandung ejekan kepada dua orang tosu itu.
“Tidak kusangkal, akan tetapi hal itupun ada penjelasannya. Biarlah kulanjutkan ceritaku, Mo-li, dan juga para totiang yang lain agar mendengarkan dan mempertimbangkan secara adil.”

Bi-kwi berhenti sebentar dan memandang kepada para tosu yang hadir bergantian dengan sinar mata yang bercahaya terang dan senyum manis sehingga di luar kesadaran mereka, para tosu yang terpesona oleh kecantikan wanita ini mengangguk.

“Sudah kuceritakan tadi betapa kekasih baruku ditawan oleh mereka berdua. Aku berusaha untuk membebaskannya sehingga terjadi bentrokan di antara kami. Kemudian, Ok Cin Cu dan Thian Kek Seng-jin menemui aku dan mengajukan usul, yaitu, Thian Kek Seng-jin minta kepadaku untuk membantu mereka berdua untuk menyerang dan melawan seorang pendekar keluarga Pulau Es yang bernama Suma Ciang Bun. Dan aku sudah memenuhi permintaan itu sampai akhirnya kami bertiga berhasil melukai pendekar itu yang melarikan diri. Hei, Thian Kek Seng-jin, tidak benarkah ceritaku ini? Tidak benarkah bahwa aku telah membantu kalian menyerang Suma Ciang Bun dan melukainya?”

Thian Kek Seng-jin tidak dapat membantah dan diapun mengangguk.
“Nah, begitu baru laki-laki jujur,” kata Bi-kwi. Ceritanya bahwa ia membantu mereka mengalahkan pendekar keluarga Pulau Es telah mendatangkan kesan baik dalam hati Sin-kiam Mo-li. “Selain Thian Kek Seng-jin, juga Ok Cin Cu minta kepadaku untuk melayani nafsu berahinya semalam suntuk. Kalau aku memenuhi kedua permintaan itu, baru mereka akan membebaskan kekasihku itu. Dan akupun dengan hati rela telah memenuhi permintaan Ok Cin Cu. Hei, Ok Cin Cu, bukankah aku telah melayani dan tidur bersamamu selama semalam suntuk?”

Ok Cin Cu bersungut-sungut.
“Tidak ada bedanya tidur ditemani sesosok mayat!”

“Tentu saja, aku tidak cinta padamu dan hatiku sedang kesal karena kalian menawan kekasihku, mana mungkin aku bersikap hangat?”

Bi-kwi tertawa dan Sin-kiam Mo-li juga tersenyum. Melihat bentuk tubuh Ok Cin Cu yang perutnya gendut sekali itu, mukanya pucat kuning dan rambutnya yang putih riap-riapan, wanita mana yang akan timbul seleranya berdekatan dengan dia?

“Nah, aku telah memenuhi permintaan mereka berdua, membantu mereka mengalahkan keluarga pendekar Pulau Es dan melayani Ok Cin Cu semalam suntuk, akan tetapi apa yang mereka lakukan? Mereka tidak mau membebaskan kekasihku, bahkan menyerang dan hendak membunuh aku!”

“Hemmm....!”

Sin-kiam Mo-li melirik ke arah kedua orang tosu itu yang diam saja tak dapat membantah.
“Karena aku tidak dapat mengalahkan pengeroyokan mereka dan tidak berhasil membebaskan kekasihku, aku berduka sekali dan kebetulan aku bertemu dengan sumoiku, murid ke dua dari Sam Kwi yaitu Siauw-kwi. Nah, pada waktu itu Siauw-kwi sedang berpacaran dengan Pendekar Suling Naga. Mendengar kesulitanku, sumoi Siauw-kwi lalu membantuku dan pacarnya yaitu Pendekar Suling Naga, membantu pula sehingga akhirnya aku berhasil membebaskan kekasih baruku itu. Nah, apakah hal itu berarti aku bekerja sama dengan seorang pendekar untuk menentang kedua orang tosu ini? Pertemuanku dengan dia hanya kebetulan saja dan pendekar itu tidak membantuku, melainkan membantu sumoiku Siauw-kwi yang menjadi pacarnya.”

Sin-kiam Mo-li menarik napas lega dan menoleh kepada Ok Cin Cu dan Thian Kek Seng-jin.
“Benarkah keterangannya itu, ji-wi totiang?”

“Benar, akan tetapi sumoinya yang berjuluk Siauw-kwi dan bernama Can Bi Lan itu telah bergabung dengan para pendekar!” kata Ok Cin Cu, masih bersungut-sungut karena diam-diam dia merasa jengkel mengenang betapa wanita cantik ini pernah melayaninya dengan dingin seperti mayat.

“Memang ada perbedaan antara aku dengan Siauw-kwi. Ia condong bekerja sama dengan para pendekar karena ia tergila-gila kepada Pendekar Suling Naga, bahkan ketika terjadi pertempuran antara kelompok yang dipimpin oleh Sai-cu Lama dan Kim Hwa Nio-nio, dengan kelompok para pendekar, iapun membantu para pendekar, bahkan bentrok dan berkelahi dengan aku sendiri! Akan tetapi, ketika ia melihat aku berduka karena kehilangan kekasih baruku, ia lalu membantu dan karena aku ingin sekali mendapatkan kekasihku yang tertawan, tentu saja bantuannya kuterima. Harapanku untuk menyelamatkan kekasihku habis ketika dua orang tosu ini melanggar janji dan menipuku!”

Sin-kiam Mo-li percaya akan keterangan Bi-kwi karena dua orang tosu itu tidak membantah. Akan tetapi, hatinya masih tak senang mendengar betapa Bi-kwi pernah dibantu oleh Pendekar Suling Naga, musuh besarnya karena di dalam pertempuran itu, yang membunuh ibu angkatnya, Kim Hwa Nio-nio, adalah Pendekar Suling Naga itulah!

“Bi-kwi, apakah sejak itu engkau tidak pernah lagi berhubungan dengan Pendekar Suling Naga?”

“Huh, untuk apa berhubungan dengan dia? Bertemupun aku tidak pernah! Sebelum dia membantu Siauw-kwi yang membantuku, pendekar itu dan semua temannya adalah musuh-musuh besarku. Sampai sekarangpun, para pendekar adalah musuh besarku!”

“Ha-ha, pendekar mana, Bi-kwi? Coba sebutkan!” kata Thian Kek Seng-jin.

“Tosu bau, pendekar mana lagi kalau bukan keturunan keluarga Pulau Es? Engkau sudah melihat dengan kedua matamu sendiri betapa aku membantu kalian mengalahkan dan melukai Suma Ciang Bun, keturunan keluarga Pulau Es!”

Sikap Bi-kwi yang membenci Ok Cin Cu dan Thian Kek Seng-jin ini memang tidak mengherankan yang lain karena tentu Bi-kwi masih mendendam oleh pelanggaran janji dan penipuan itu.

“Bi-kwi, siapakah kekasihmu itu dan di mana dia sekarang?”

Sin-kiam Mo-li bertanya, tertarik melihat betapa seorang seperti Bi-kwi yang terkenal mempunyai kesukaan yang sama dengannya, dapat membela seorang kekasih seperti itu.

Bi-kwi tersenyum lebar.
“Aih, Mo-li, seperti tidak tahu saja. Mana aku dapat tahan bersama seorang kekasih lebih dari tiga bulan? Aku sudah bosan dan sudah lama dia kusingkirkan.” Kemudian agar tidak harus melalui ujian dengan pria lain, apalagi dengan tosu-tosu buruk di situ yang memandang kepadanya seperti segerombolan bandot melihat rumput muda, iapun menyambung, “Terus terang saja, Mo-li, sudah beberapa lamanya aku menjauhkan diri dari laki-laki. Aku sudah muak dengan mereka dan sebagai gantinya, aku lebih mendekatkan diriku dengan sesama wanita.”

“Ehhh....?” Sin-kiam Mo-li membelalakkan matanya memandang rekannya itu. “Apa.... apa maksudmu?”

Terdengar Ok Cin Cu tertawa bergelak.
“Ha-ha-ha, pantas saja ketika melayani aku, begitu dingin! Tidak tahunya engkau telah mengubah kesukaanmu, Bi-kwi. Mo-li, agaknya dalam hal kesenangan dunia, engkau biarpun lebih lihai dari Bi-kwi, namun kalah pengalaman. Bi-kwi telah menjadi seorang pencinta kaumnya sendiri, suka berhubungan dengan sesama wanita, seperti juga beberapa orang di antara kami lebih suka berdekatan dengan pria-pria muda remaja dari pada dengan gadis-gadis.”

Sin-kiam Mo-li belum pernah mendengar akan hal yang dianggapnya aneh sekali itu, maka ia hanya bengong. Dan memang pengakuan Bi-kwi bahwa ia kini tidak suka kepada pria melainkan suka berdekatan wanita merupakan satu di antara siasatnya. Ia sedang menyelidiki lenyapnya puteri keluarga Kao, seorang gadis remaja berusia tiga belas tahun, dan sudah mengenal pula orang macam apa adanya Sin-kiam Mo-li.

Kalau ia mengaku sebagai orang yang suka menggauli sesama wanita maka apabila benar-benar Kao Hong Li berada di situ dan masih hidup, lebih banyak kesempatan baginya untuk mendekatinya tanpa dicurigainya! Dan ia memiliki alasan untuk mendekati gadis remaja itu.

“Wah, aneh sekali Apa senangnya.... dengan sesama wanita?” kata Sin-kiam Mo-li tanpa malu-malu, sedangkan para tosu itu hanya tertawa-tawa saja.

“Ah, engkau belum tahu, Mo-li. Kalau engkau sudah merasakan senangnya, engkaupun akan sependapat dengan aku, tidak lagi suka kepada laki-laki yang memuakkan.”

Suasana menjadi gembira dan legalah hati Bi- kwi karena kini sikap mereka itu ramah dan senang, seolah-olah ia telah diterima di antara mereka dan tidak lagi dicurigai. Akan tetapi, tiba-tiba Ok Cin Cu yang cerdik berkata kepada Sin-kiam Mo-li.

“Mo-li, kalau kawan kita Bi-kwi ini demikian membenci pendekar keluarga Pulau Es, bahkan kini membenci pria pula, kenapa tidak suruh dia saja membunuh tikus itu?”

Hati Ok Cin Cu masih penuh kebencian dan dendam kepada Hong Beng karena memang pemuda itu musuh besarnya, terutama sekali melihat betapa nyonya rumah agaknya tergila-gila pada pemuda itu.

Sin-kiam Mo-li mengerutkan alisnya. Usul yang baik, pikirnya. Inilah bukti yang paling baik untuk melihat apakah benar Bi-kwi datang dengan iktikad baik ataukah menyimpan rahasia dan menjadi kaki tangan musuh.

“Hemm, baik juga. Pemuda itu berani menolakku, dan berkeras kepala. Memang sebaiknya kalau Bi-kwi yang membunuhnya, akan tetapi tidak sekarang. Yang paling perlu sekarang aku ingin bertanya kepadamu, Bi-kwi. Apakah maksud kunjunganmu yang tiba-tiba ini?”
Berkata demikian, sepasang mata yang mencorong itu ditujukan kepada wajah Bi-kwi dengan penuh selidik.

Bi-kwi tadi sudah terkejut setengah mati bahwa ia akan diserahi tugas membunuh seorang pemuda. Akan tetapi diam-diam ia mencatat kata-kata lanjutan dari Sin-kiam Mo-li yang menyatakan betapa pemuda itu telah menolaknya! Hal ini berarti bahwa Sin-kiam Mo-li jatuh hati kepada pemuda itu, entah siapa dan pemuda itu telah menolak cintanya! Kini ditanya oleh Sin-kiam Mo-li tentang maksud kedatangannya, ia menjawab dengan lancar dan tenang karena memang sebelumnya sudah diatur terlebih dulu sebagai siasatnya.

“Mo-li, seperti engkau ketahui juga, tiga orang guruku....”

“Juga kekasihnya.... heh-heh....” Ok Cin Cu mengejek.

“Benar, juga kekasihku, mereka telah tewas oleh para pendekar. Akan tetapi, para pendekar keturunan keluarga Pulau Es dan Gurun Pasir itu semuanya demikian lihai sehingga seorang diri saja, apakah dayaku? Aku ingin sekali membalas dendam, namun tahu akan kelemahan sendiri. Oleh karena itu, aku lalu teringat kepadamu, Mo-li. Bukankah engkau murid dari mendiang Kim Hwa Nio-nio, bahkan kabarnya juga anak angkatnya? Nah, Kim Hwa Nio-nio juga tewas dalam pertempuran itu. Aku yakin bahwa engkau tentu juga menaruh dendam. Karena musuh-musuh kita sama, maka kurasa alangkah baiknya kalau kita bergabung untuk menghadapi mereka. Karena itulah aku datang ke sini, Mo-li.”

Sin-kiam Mo-li mengangguk-angguk dan memandang kepada tujuh orang tosu itu.
“Bagaimana pendapat kalian, para totiang? Aku sendiri setuju untuk menerimanya sebagai sekutu karena Bi-kwi adalah tenaga yang amat baik, hal ini sudah banyak kudengar.”

Para tosu itu lalu saling pandang dan dari pandang mata mereka, merekapun setuju dan senang kalau menerima bantuan seorang seperti Bi-kwi.

“Akan tetapi, tidak mudah untuk bekerja sama dengan kami, Mo-li. Kepada dirimu, kami sudah percaya sepenuhnya. Akan tetapi kalau Bi-kwi ingin bekerja sama dengan kita, sebaiknya kalau ia memenuhi beberapa syarat terlebih dulu,” kata Ok Cin Cu.

Bi-kwi menjebikan bibirnya memandang kepada Ok Cin Cu. Dalam kehidupan para tokoh sesat, memang tidak banyak dipergunakan tata susila dan sopan santun, sudah biasa mereka itu mengemukakan perasaan hatinya secara terbuka, bahkan perasaan tidak senangpun tidak disembunyikan.

“Ok Cin Cu, tosu tua bangka yang bau! Kalau syarat itu kau yang mengajukan aku tidak sudi karena engkau akan menipuku lagi! Biarlah syaratnya ditentukan oleh Sin-kiam Mo-li. Tentu saja kalau disuruh melayani laki-laki, betapapun muda dan gantengnya, aku berkeberatan karena aku sudah tidak dapat lagi melayani pria setelah aku lebih suka berdekatan dengan wanita. Apalagi disuruh melayani kalian ini, terutama sekali engkau, Ok Cin Cu. Aku tidak sudi! Nah, syarat apa yang diajukan agar kalian percaya kepadaku?”

Biarpun di luarnya Bi-kwi bersikap tenang dan menantang, namun jantungnya berdebar penuh ketegangan karena maklum bahwa ia tentu takkan mampu melakukan perbuatan yang jahat dan kejam, yang berlawanan dengan suara hatinya yang sudah berubah sama sekali itu. Ia dapat menyamar sebagai tokoh sesat, karena hal itu hanya lahiriah saja. Akan tetapi betapa mungkin batinnya dapat berubah menjadi jahat kembali? Lebih baik mati!

“Mo-li, tidak ada bukti yang lebih baik dari pada menyuruh ia membunuh pendekar yang menjadi tawananmu itu. Kalau ia mau membunuhnya, barulah kami percaya kepadanya,” kata Ok Cin Cu, marah karena ucapan Bi-kwi tadi menyinggung harga dirinya sebagai seorang pria.

Sin-kiam Mo-li mengangguk.
“Bukti itupun baik sekali. Bi-kwi, mari ikut bersamaku!”

Bi-kwi menahan guncangan hatinya dan dengan sikap dibuat tenang iapun mengikuti Sin-kiam Mo-li, diikuti pandang mata dan tawa tujuh orang tosu itu. Sin-kiam Mo-li membawa Bi-kwi menuruni lorong di bawah tanah.

“Hemm, menjemukan sekali tosu-tosu tua bangka itu!” Bi-kwi mengomel. “Mereka masih tidak percaya bahwa aku adalah musuh besar keluarga Pulau Es dan Gurun Pasir. Padahal, tiga orang guruku tewas di tangan para pendekar itu. Berilah orang-orang dari keluarga itu kepadaku dan akan kubunuh semua mereka!”

Sin-kiam Mo-li menghentikan langkahnya di jalan tangga yang menuruni lorong itu.
“Ketahuilah bahwa aku mempunyai dua orang tawanan dan keduanya adalah anggauta keluarga dan murid dari para pendekar Pulau Es dan Gurun Pasir”

“Ahh....! Benarkah itu, Mo-li? Siapakah mereka?” tanya Bi-kwi terkejut bukan dibuat-buat.

Sin-kiam Mo-li tersenyum bangga akan keberhasilannya.
“Pertama, aku telah berhasil menculik puteri keturunan Pulau Es dan Gurun Pasir.”

“Benarkah? Hebat! Siapa ia?”

Bi-kwi pura-pura bertanya padahal jantungnya berdebar tegang karena ternyata dugaan Bi Lan dan Sim Houw benar, perempuan iblis inilah yang telah menculik Kao Hong Li itu.

“Ia benama Kao Hong Li, puteri dari pendekar Kao Cin Liong keturunan Gurun Pasir dan Suma Hui keturunan Pulau Es. Akan tetapi tak seorangpun yang menyangka padaku, dan baru-baru ini malah kukirim potongan rambutnya dan hiasan rambutnya kepada keluarga Kao yang mengadakan pesta ulang tahun!”

“Ihhh! Jadi engkaukah yang melakukan hal itu, yang melempar fitnah kepadaku?”

Bi-kwi berseru kaget sekali, dan diam-diam ia waspada. Kalau wanita ini yang melakukan penukaran bingkisan di dalam pesta ulang tahun Kao Cin Liong itu, berarti Mo-li sudah tahu akan kehadirannya dan tentu menaruh curiga akan hubungannya yang baik dengan para pendekar!

“He-he, kau kira aku begitu bodoh untuk pergi sandiri ke sana? Ketika mendengar bahwa Kao Cin Liong mengadakan pesta ulang tahunnya aku lalu mengirimkan dua benda itu untuk membuat mereka gelisah dan berduka, dan aku menyuruh seorang teman yang boleh dipercaya untuk mengirim sumbangan itu tanpa diketahui siapa pengirimnya. Dia adalah Sai-cu Sin-touw (Copet Sakti Kepala Singa), seorang kawan baik yang ahli untuk mencuri atau mencopet dengan kecepatan luar biasa. Dan dia sendiripun membenci para pendekar karena seringkali dia bentrok dengan mereka dan pernah beberapa kali dihajar.”

“Ah....!“

Bi-kwi bernapas lega. Tahulah ia kini siapa orang brewok yang menurut para pelayan dalam pesta telah masuk ke dalam dapur pura-pura mabok, kemudian menaruh racun dalam arak. Kiranya itu adalah Sai-cu Sin-touw kaki tangan Sin-kiam Mo-li. Pantas saja dapat menukar bingkisannya tanpa ada yang mengetahuinya, karena dia memang ahli copet sesuai dengan julukannya.

“Dalam satu dua hari ini tentu dia kembali dan ingin aku mendengar laporannya, hi-hi-hik!”

Celaka, pikir Bi-kwi. Kini ia harus mengubah sikapnya, tidak mungkin lagi ia dapat berpura-pura tidak tahu akan penculikan itu.

“Aihh, kiranya dia itu orangmu!” katanya lagi dengan sikap kaget dan memandang kepada nyonya rumah dengan mata terbelalak. “Sungguh suatu hal yang amat kebetulan sekali. Apakah barangkali engkau pula yang menyuruh Sai-cu Sin-touw itu melempar fitnah kepadaku?”

Sin-kiam Mo-li memandang tajam.
“Dua kali engkau mengatakan melempar fitnah. Apa maksudmu?”

“Ketahuilah, Mo-li. Kao Cin Liong mengirim undangan dan membolehkan siapa saja mendatangi ulang tahunnya. Aku mendengar akan hal itu dan aku ingin sekali tahu apa yang terjadi dan ingin pula melihat-lihat keadaan semenjak tiga orang suhuku tewas. Maka aku nekat mendatangi pesta itu. Dan terjadilah fitnah itu. Orangmu itu telah menukar bingkisanku dengan bungkusan terisi rambut dan hiasan rambut itu. Dan tentu saja akulah yang dituduh menculik puteri mereka dan mereka menyerangku! “

“Ehh? He-he-he, sungguh lucu. Aku belum tahu akan hal itu karena Sin-touw belum kembali. Akan tetapi usahanya itu baik pula karena dia hendak mengacaukan pesta itu, dan karena iseng dan karena tahu pula bahwa engkau musuh mereka, maka dia sengaja menukar bingkisan itu. Hi-hik, sungguh lucu.”

“Memang dia telah berhasil mengacaukan pesta dengan menaburkan racun ke dalam arak. Lagi-lagi aku yang menjadi pelampiasan amarah mereka. Tentu saja aku terpaksa melarikan diri menghadapi demikian banyaknya pendekar yang marah kepadaku. Dan akupun lalu lari ke sini untuk berlindung dan bersekutu denganmu.”