Ads

Sabtu, 23 Januari 2016

Suling Naga Jilid 095

Memang benar mereka itu selalu bermusuhan dengan pemerintah Mancu, namun di samping ini merekapun terkenal sebagaai orang-orang sesat yang mengelabuhi rakyat dan tidak segan melakukan segala macam bentuk kejahatan yang kejam. Akan tetapi, kalau hanya menjadi tamu, apa salahnya. Dia boleh mendengarkan tanpa mencampuri, tanpa melibatkan dirinya.

Dia merasa serba salah, akan tetapi karena keadaan mendesak, diapun menjura dan berkata,
“Aku telah melakukan kesalahan, karena itu terserah kepadamu. Kalau kesalahanku dimaafkan dan aku dianggap sebagai tamu, aku merasa terhormat sekali dan mengucapkan terima kasih.”

Sin-kiam Mo-li tertawa dan tidak perduli akan sikap tujuh orang tosu yang rata-rata mengerutkan alis tanda tidak setuju. Akan tetapi karena yang menjadi pemilik tempat itu adalah Sin-kiam Mo-li, merekapun tidak dapat mencegah. Thian Kek Seng-jin, tokoh Pek-lian-kauw itu, tertawa bergelak.

“Ha-ha-ha, kami bertujuh adalah tamu kehormatan dari Sin-kiam Mo-li, dan kini Gu-taihiap juga menjadi tamu kehormatan, berarti antara kita telah terikat tali persahabatan yang akrab. Gu-taihiap, terimalah hormat pinto, Thian Kek Seng-jin dari Pek-lian-kauw!”

“Pinto Coa-ong Seng-jin, sutenya,” kata kakek kecil bongkok bermuka monyet yang memegang seekor ular hijau itu.

“Pinto Ang-bin Tosu dari Pek-lian-kauw juga,” kata tosu kecil muka merah.

“Dan pinto saudaranya berjuluk Im Yang Tosu,” kata tosu yang wajahnya membayangkan kecongkakan, dengan mata sipit dan mulut tersenyum sinis.

“Ha-ha, kita sudah pernah berkenalan, Gu-taihiap. Pinto Ok Cin Cu dari Pat-kwa-pai dan dia itu Lam Cin Cu suteku, dan wakil ketua kami Thian Khong Cin-jin. Perkenalkan kami dari Pat-kwa-pai, ha-ha-ha!”

Hong Beng dengan perasaan amat tidak enak membalas penghormatan mereka dan menjawab,
“Kita sama-sama menjadi tamu di sini, bukan berarti ada ikatan apa-apa di antara kita.”

Para tosu itu hanya tertawa dan dengan gembira Sin-kiam Mo-li lalu memberi tanda kepada tiga orang pelayannya yang cepat bermunculan dari belakang pohon karena sejak tadi merekapun berada di situ, siap menanti perintah pimpinan mereka setelah mereka tadi melaporkan tentang kemunculan pemuda lihai itu.

“Kalian layani Gu-taihiap untuk membersihkan diri. Berikan pakaian bersih, kemudian ajak dia menemuiku di ruangan tamu. Sediakan sebuah kamar untuk dia, kamar yang berada di sebelah kamarku. Layani dia baik-baik dan jangan ada yang kurang ajar! Awas, dia ini tamuku yang terhormat!”

Tiga orang wanita cantik itu saling pandang dan tersenyum mengangguk. Mereka sudah cukup mengenal watak guru dan majikan mereka, dan mereka tahu bahwa Sin-kiam Mo-li tergila-gila kepada pemuda ini. Ucapannya tadi memperingatkan agar mereka bertiga tidak berusaha untuk “mendekati” pemuda itu yang sudah diaku sebagai milik pribadi Sin-kiam Mo-li! Sambil tersenyum ramah mereka lalu menggandeng tangan Hong Beng dan diajaknya pemuda itu pergi bersama mereka.

Ingin Hong Beng memberontak ketika kedua tangannya digandeng dengan sikap genit dan manja oleh Ang Nio dan Pek Nio, akan tetapi Hek Nio yang berjalan di belakangnya berbisik,

“Taihiap, tanpa bimbingan kami, mana mungkin engkau akan dapat tiba di rumah kami dengan selamat?”

Hong Bengpun melemaskan kedua tangannya dan menurut saja dituntun oleh dua orang wanita cantik itu. Dia merasa tidak berdaya, dan merasa seperti seekor domba dituntun ke pejagalan. Apa gunanya meronta? Dia sudah menjadi tamu, dan terpaksa harus menerima pelayanan nyonya rumah!

Dia diajak melalui lorong yang berputar-putar, melalui lorong setapak dan kadang-kadang menyeberangi semak-semak, tidak melanjutkan jalan menurut lorong, dan akhirnya Hong Beng yang diam-diam mencurahkan perhatian, dapat mengetahui rahasia jalan itu. Ternyata lorong itu menurut garis-garis pat-kwa dan selanjutnya, setiap kali membelok atau memilih jalan bercabang, dia menduga terlebih dahulu dan memang cocok. Giranglah hatinya dan dia lupa bahwa dia masih berada di bawah kekuasaan Sin-kiam Mo-li.

Hong Beng diajak ke kamarnya, sebuah kamar yang besar dan mewah, dan diapun dipersilahkan mandi membersihkan lumpur dan berganti pakaian kering yang sudah disiapkan pula. Akan tetapi ketika tiga orang gadis cantik itu hendak turun tangan memandikannya, dia menolak keras!

“Apakah kalian berani hendak bersikap kurang ajar kepadaku? Akan kulaporkan kepada Mo-li!”

Benar saja, ancamannya ini berhasil baik. Tiga orang gadis itu mundur dengan wajah takut dan Ang Nio berkata,

“Gu-taihiap tidak perlu marah. Kami bertiga tidak berniat kurang ajar, hanya bermaksud untuk membantu saja. Kalau taihiap tidak mau dilayani, silahkan mandi sendiri, akan tetapi yang bersih karena kalau tidak bersih tentu ada bau busuk dari lumpur itu dan kami akan mendapat marah besar.”

Hong Beng merasa diperlakukan seperti anak kecil, dimanja, akan tetapi walaupun dia merasa panas di dalam hatinya, dia diam saja dan segera mandi. Segar rasa badannya, apalagi setelah mengenakan pakaian bersih dan kering, pikirannya menjadi semakin tenang dan diam-diam dia bertanya di dalam hati, apa sebetulnya yang telah terjadi dengan diri Hong Li maka kini ia dapat menjadi anak angkat dan murid seorang wanita seperti Sin-kiam Mo-li.

Dia teringat akan cerita Kao Cin Liong bahwa tadinya Hong Li diculik oleh seorang pendeta dari Tibet yang berjuluk Ang I Lama yang lihai ilmu silatnya dan pandai ilmu sihir pula. Kemudian, ketika bertemu dengan pendeta itu, Kao Cin Liong dan Suma Hui tidak mampu mendapatkan jejak Hong Li dan ternyata kakek pendeta itu tidak pernah melakukan penculikan. Bahkan kemudian kakek itu kabarnya tewas terbunuh dan para pendeta Lama menuduh suami isteri Kao itu yang telah membunuhnya.

Dan kini, tahu-tahu Hong Li berada di tempat kediaman Sin-kiam Mo-li, bukan sebagai anak culikan, melainkan sebagai anak angkat dan juga murid! Ingin sekali dia dapat bertemu dengan anak itu dan mendengarkan keterangannya. Kalau sudah mendengarkan keterangan anak itu, barulah dia akan bertindak, sedapat dan sekuat mungkin, untuk menghadapi Sin-kiam Mo-li sebagaimana mestinya.






Apakah Sin-kiam Mo-li penolong anak itu? Kalau benar demikian, tentu saja dia tidak akan memusuhinya. Sementara ini dia akan bersikap biasa saja, sebagai seorang tamu yang dihormati dan menghormati nyonya rumah, dan diam-diam dia akan memperhatikan bagaimana hubungan antara Sin-kiam Mo-li dengan tujuh orang tosu itu dan apa saja yang akan mereka bicarakan tanpa mencampuri urusan mereka.

Begitu dia selesai berpakaian, tiga orang gadis pelayan itu telah memasuki kamarnya lagi dan mengatakan bahwa kini mereka bertugas mengantar Hong Beng ke ruangan makan seperti yang diperintahkan majikan mereka. Hong Beng mengangguk dan keluar bersama mereka tanpa membantah. Hatinya panas kembali dan merasa kesal sekali ketika dia melihat betapa tiga orang gadis itu mengamatinya penuh perhatian, bahkan Ang Nio mengembang-kempiskan hidung sambil mendekatinya, jelas gadis itu mencium-cium ke arah tubuhnya!

“Hemm, taihiap tidak kotor lagi, tidak ada lagi bau lumpur yang busuk dan amis,” katanya lirih.

“Sekarang baunya sedap!” sambung Pek Nio dengan genit sekali.

Akan tetapi Hong Beng tidak menanggapi, hanya cemberut saja dan ini sudah cukup untuk membuat mereka diam dan tidak berani melanjutkan godaan. Diam-diam Hong Beng bergidik. Sin-kiam Mo-li memiliki tiga orang pelayan yang cantik-cantik dan genit-genit.

Dia tidak dapat membayangkan bagaimana kalau dia terjatuh ke dalam kekuasaan tiga orang gadis ini. Mereka bersikap seperti tiga ekor harimau kelaparan menghadapi seekor kelenci saja. Tentu dia akan diterkam mereka dan dirobek-robek!

Ketika dia tiba di ruangan makan yang lebar dan mewah juga, dengan perabot yang serba mahal, Sin-kiam Mo-li sudah duduk di situ bersama tujuh orang tosu itu. Kini Sin-kiam Mo-li nampak lebih cantik, sudah berganti pakaian dan rambutnya disisir rapi, digelung dan dihias dengan tusuk konde berlian dan jepit rambut batu kemala. Ketika melihat Hong Beng yang mengenakan pakaian bersih berwarna biru itu, pakaian yang banyak dimiliki Sin-kiam Mo-li untuk diberikan kepada laki-laki yang diculiknya dan menjadi korbannya, wanita ini bangkit berdiri.

Sepasang mata yang mencorong itu memandang kagum dan menyapu seluruh tubuh dan wajah Hong Beng tanpa berkedip, membuat pemuda itu merasa salah tingkah dan mengerutkan alisnya, berdiri saja dan balas memandang. Sin-kiam Mo-li tersenyum manis sekali.

“Gu-taihiap, setelah bertukar pakaian dan bersih, ternyata nampak tampan dan gagah bukan main, seperti tokoh Si Jin Kwi!”

Ia memuji terang-terangan tanpa malu-malu lagi di depan para tosu yang tertawa-tawa. Hong Beng mengerutkan alisnya yang hitam tebal itu semakin dalam, dan wajahnya yang putih bersih itu mendadak berubah merah. Dia merasa malu dan juga marah karena pujian itu melampaui batas, tidak patut keluar dari mulut seorang wanita baik-baik, apalagi di depan banyak orang. Orang macam apakah wanita ini, pikirnya. Dia tidak menjawab, hanya berdiri dengan kikuk.

Melihat ini, hati Sin-kiam Mo-li menjadi semakin gembira. Jelas seorang pemuda yang masih hijau, seorang perjaka yang agaknya belum pernah berdekatan dengan wanita. Pikiran ini membuat jantungnya berdebar dan kalau tidak ditahannya, tentu air liurnya keluar dari tepi mulut seperti seekor sapi kelaparan melihat rumput muda menghijau.

“Gu-taihiap, silahkan duduk,” katanya menunjuk ke sebuah bangku di sisi kanannya yang kosong.

Dan karena tidak ada bangku lain yang kosong, semua sudah ditempati para tosu dan Sin-kiam Mo-li, hanya sebuah yang kosong di sebelah kanan wanita itu, dan agaknya memang sudah diatur demikian, terpaksa Hong Beng lalu duduk di situ. Baru saja dia duduk, dia merasa betapa lutut kirinya bersentuhan dengan lutut kanan wanita itu. Cepat dengan gerakan halus dia menarik lututnya dan merapatkan kedua pahanya.

Sin-kiam Mo-li tersenyum dan memberi isarat kepada tiga orang pelayannya. Ang Nio datang membawa seguci arak dan dengan sikap manis ia menuangkan arak merah ke dalam cawan kosong. Sin-kiam Mo-li menyerahkan secawan arak itu kepada Hong Beng.

“Terimalah cawan arak pertama sebagai ucapan selamat datang, taihiap!” katanya dan ketika Hong Beng menerima cawan arak itu, pemuda ini merasa betapa jari tangan yang halus lunak dan hangat menyentuh jarinya.

Dia tidak berani menolak, lalu menghaturkan terima kasih sambil minum arak itu sampai habis. Arak yang manis dan enak. Akan tetapi Ang Nio memenuhi cawannya lagi dan Sin-kiam Mo-li menyodorkan arak dalam cawan itu sambil berkata,

“Cawan ke dua ini untuk menghormatimu sebagai tamu kami, taihiap.”

Kembali Hong Beng minum arak itu tanpa membantah. Para tosu tertawa dan suasana menjadi gembira ketika Pek Nio dan Hek Nio datang seperti menari-nari, membawa baki berisi mangkok-mangkok penuh masakan yang beraneka macam, masih panas mengepul dan baunya sedap bukan main.

“Aihhh, bukan main sedapnya!” beberapa orang tosu berseru sambil mengecap-ngecapkan bibir.

Segera masakan di dalam mangkok-mangkok besar itu diatur di atas meja dan Sin-kiam Mo-li mempersilahkan mereka makan minum. Hong Beng tidak bersiksp malu-malu karena memang perutnya juga sudah lapar. Diapun ikut memainkan sepasang sumpitnya untuk memindahkan potongan-potongan daging dan sayur ke dalam perut melalui mulutnya, disiram oleh arak yang manis dan sedap.

Sebentar saja, sembilan orang itu telah makan sampai kenyang dan para tosu sudah menjadi setengah mabok karena terlalu banyak minum arak. Hong Beng menjaga diri dan hanya minum kalau setengah dipaksa oleh Sin-kiam Mo-li. Wanita ini sendiri, biarpun tidak mabok, namun wajahnya yang putih cantik itu telah menjadi merah sekali dan sepasang matanya seperti berminyak dan mengkilat. Tiba-tiba ia menuangkan arak ke dalam cawan araknya sendiri yang masih ada setengahnya, lalu mengangkat cawan arak itu diberikan kepada Hong Beng! Tentu saja pemuda ini ragu-ragu untuk menerimanya.

Cawan itu milik Sin-kiam Mo-li, dan tadi masih ada setengahnya! Akan tetapi Sin kiam Mo-li dengan senyum manis sekali dan memandang dengan penuh gairah, berkata dengan suara yang merdu merayu.

“Gu-taihiap, atas nama persahabatan antara kita, demi eratnya persahabatan kita yang mesra, sudilah engkau menerima arak ini, taihiap.”

Bagaimana mungkin Hong Beng mampu menolak? Suguhan arak itu diberikan dengan alasan persahabatan dan kalau dia menolak, berarti dia tidak mau bersahabat! Dan sinar mata wanita itu demikian jeli, demikian penuh permohonan, sehingga diapun tidak tega lagi untuk menolak!

Pemuda ini sama sekali tidak sadar bahwa Sin-kiam Mo-li telah mempergunakan kekuatan sihirnya, mulai merayunya melalui suguhan arak! Hong Beng minum habis arak itu dan ketika dia meletakkan cawan kosong itu di depan Sin-kiam Mo-li, wanita itu menurunkan tangannya seperti tidak disengaja, akan tetapi tangan itu kini menutup tangan kiri Hong Beng dan jari-jari tangan yang kecil panjang dan lunak hangat itu mencengkeram punggung tangan Hong Beng.

Seperti orang linglung, Hong Beng mengangkat muka memandang dan melihat betapa cantiknya wajah wanita di sebelahnya itu, yang memandang kepadanya dengan sepasang mata seperti matahari kembar dan senyum yang lebih manis dan hangat dari pada arak yang diminumnya tadi.

Hong Beng merasa betapa jantungnya berdebar keras, jalan darahnya berdenyut-denyut dan belum pernah rasanya dia melihat wanita secantik Sin-kiam Mo-li! Tanpa disadarinya, diapun membalas senyum itu, bahkan dia membalikkan tangan kirinya dan jari-jari tangannya bertemu dengan jari tangan wanita itu, telapak tangan mereka juga bertemu dengan hangatnya.

“Ha-ha-ha, tiba saatnya bagi kita untuk bermesraan!”

Terdengar suara seorang di antara tosu-tosu itu dan ketika Hong Beng menengok, ternyata Ok Cin Cu telah menangkap pinggang ramping dari Hek Nio dan kini gadis berpakaian serba hitam itu telah ditarik ke atas pangkuannya! Hek Nio hanya terkekeh genit ketika tosu itu meraba-raba dan menciumnya.

“Siancai....!” kata Thian Kong Cin-jin, wakil ketua Pat-kwa-kauw dengan alis berkerut ketika melihat ulah anak buahnya itu. “Kita belum mengadakan rapat pembicaraan tentang perjuangan itu sampat matang. Urusan senang-senang boleh ditunda dulu.”

“Hai, Ok Cin Cu, jangan tamak engkau!” seru Ang Bin Tosu tokoh Pek-lian-kauw kepada tokoh Pat-kwa-kauw itu. “Kita ada bertujuh di sini, dan ceweknya hanya ada tiga orang! Harus dibagi rata!”

“Sebaiknya mereka melayani kita secara bergilir!”

“Diundi dulu, siapa yang paling dulu dan bagaimana cara gilirannya menurut undian!”

Sambil tertawa-tawa, tujuh orang tosu itu memberi usul-usul. Akhirnya Sin-kiam Mo-li yang masih saling berpegang tangan dengan Hong Beng itu berkata,

“Cuwi totiang, harap jangan ribut-ribut. Kita di antara kawan sendiri, bukan? Dengarlah, urusan rapat, sebaiknya dilanjutkan besok siang karena malam ini aku.... ehh,” ia menoleh kepada Hong Beng, “ingin beristirahat dulu. Dan tiga orang pembantuku boleh saja melayani kalian, dan memang sebaiknya diadakan undian sehingga tidak terjadi perebutan.” Ia lalu bangkit berdiri dan menarik Hong Beng bangun. Pemuda ini menurut saja ditarik bangkit seperti orang kehilangan semangat. Memang semangat dan kemauannya telah ditekan dan dikurung oleh kekuatan sihir Sin-kiam Mo-li. “Tentang undian itu, silahkan atur sendiri, nah, aku mengundurkan diri lebih dulu.”

Sin-kiam Mo-li menarik tangan Hong Beng dan seperti seekor kerbau yang diikat hidungnya kini ditarik ke pejagalan, Hong Beng menurut saja walaupun pandang matanya mulai bingung. Apa yang didengar dan dilihatnya di ruangan makan itu membuat bulu tengkuknya berdiri. Dia merasa ngeri dan muak sekali, akan tetapi sungguh aneh, tidak ada kemauan untuk meronta sama sekali ketika Sin-kiam Mo-li menariknya menuju ke kamar nyonya rumah itu!

Sejak kecil Hong Beng menerima gemblengan dari Suma Ciang Bun. Ilmu-ilmu dari Pulau Es adalah ilmu yang tinggi dan cara melatih sin-kang membuat batin Hong Beng kuat sekali sehingga kalau memang dia menyadari dan mengerahkan kekuatan batinnya, tidak mudah dia jatuh ke bawah pengaruh sihir.

Akan tetapi, ketika dia makan minum dengan Sin-kiam Mo-li, wanita cantik yang cerdik dan dapat menduga akan kekuatan orang itu telah mempergunakan sihirnya secara perlahan-lahan, sedikit demi sedikit sehingga tanpa disadarinya, Hong Beng tercengkeram olehnya.

Akan tetapi, begitu melihat suasana yang dianggapnya memuakkan di ruangan makan tadi, di mana para tosu memperebutkan tiga orang pelayan wanita itu, keheranan dan kemuakan menyelinap di dalam benak Hong Beng dan membuat dia bercuriga. Walaupun kemauannya sudah lemah dan dia membiarkan dirinya ditarik oleh Sin-kiam Mo-li menuju ke dalam kamarnya, namun diam-diam Hong Beng mulai mengerahkan kekuatan batinnya.

Begitu masuk kamar, Sin-kiam Mo-li menendang daun pintu tertutup dan ia menarik Hong Beng ke tempat tidur, lalu menerkam pemuda itu, mendekap dan menciuminya seperti seekor harimau menerkam domba, penuh dengan nafsu berahi. Akan tetapi, hal ini bahkan mempercepat kesadaran Hong Beng yang biarpun tadi dipengaruhi sihir, masih belum disentuh deh nafsu berahi.

“Ihhh....!” Dia membentak, meronta dan meloncat turun dari atas pembaringan.

Sin-kiam Mo-li mengembangkan kedua lengannya ke arah Hong Beng sambil bangkit duduk, sepasang matanya berminyak, mulutnya merintih-rintih akan tetapi ia masih mencoba untuk mengerahkan kekuatan sihirnya.

“Gu Hong Beng, kekasihku.... kita.... saling mencinta, ke sinilah, sayang, marilah kita bersenang-senang, bukankah kita telah menjadi sahabat yang amat mesra dan akrab? Ke sinilah, taihiap, kekasihku tercinta.“

Akan tetapi, mendengar ucapan penuh rayuan yang amat asing baginya ini, kesadaran Hong Beng semakin pulih dan dia mengerutkan alisnya, lalu menudingkan telunjuknya dengan marah.

“Sin-kiam Mo-li, sungguh engkau perempuan yang tidak tahu malu, tidak mengenal kesusilaan. Apa yang telah kau lakukan? Aku bukanlah laki-laki pelacur seperti yang kau kira! Aku.... aku akan pergi dari sini, mengajak pergi nona Kao Hong Li!” Berkata demikian, Hong Beng hendak keluar dari dalam kamar itu.

“Berhenti.!”

Tiba-tiba suara Sin-kiam Mo-li sudah berubah, dan ketika ia berkelebat menghadang di depan pintu, Hong Beng melihat betapa wajah yang tadi nampak cantik manis itu kini nampak seperti wajah iblis betina yang beringas, sepasang mata itu mencorong penuh kekejaman dan mulut itu menyeringai mengerikan!

“Gu Hong Beng, laki-laki tak mengenal budi, tak tahu dicinta orang! Engkau sudah menentukan pilihanmu sendiri. Bukankah engkau memilih antara dua, yaitu menjadi tamu atau menjadi tawanan? Engkau memilih menjadi tamu dan aku memperlakukanmu seperti seorang tamu agung, akan tetapi apa balasanmu? Engkau malah menghinaku! Jangan harap engkau dapat keluar dari sini, apalagi membawa muridku!” Berkata demikian, wanita yang marah itu maju menghampiri. “Masih kuberi kesempatan sekali lagi. Engkau mau melayani aku dan bersenang-senang dengan aku selama sebulan ini, ataukah engkau menjadi tawananku dan mungkin akan kubunuh?”

“Cih, perempuan tak tahu malu! Siapa takut mati? Lebih baik mampus dari pada menyerah kepadamu melakukan perbuatan hina dan rendah!”

“Keparat sombong! “

Sin-kiam Mo-li membentak dan wanita ini sudah menerjang maju dengan pukulan dahsyat, menggunakan tangan kirinya menampar ke arah pelipis kepala Hong Beng. Pemuda ini sudah nekat. Bagaimanapun juga, tidak sudi dia memenuhi permintaan wanita iblis cabul itu dan biarpun dia tahu bahwa dia berada di tempat berbahaya, namun dia lebih baik mati dari pada harus menyerah.

Melihat datangnya pukulan dahsyat itu, diapun menangkis dengan tangan kanannya sambil mengerahkan tenaga Soat-im Sin-kang yang amat dingin, sedangkan tangan kirinya membarengi tangkisan itu, mendorong ke arah lambung lawan yang terbuka.

“Dukkk....!”

Dua lengan bertemu dan wanita itu cepat meliukkan tubuh menghindarkan dorongan ke arah lambungnya. Ia dapat merasa betapa tangkisan itu mengandung hawa amat dingin yang menyusup ke dalam tubuhnya. Cepat ia mengerahkan sin-kang melawan dan iapun tahu bahwa pemuda ini benar-benar tangguh, hal yang tidak aneh kalau diingat bahwa pemuda ini adalah murid keluarga Pulau Es yang terkenal memiliki sin-kang dahsyat, yaitu Hui-yang Sin-kang yang panas dan Soat-im Sin-kang yang amat dingin.

Maklum bahwa menghadapi pemuda ini dengan tangan kosong akan memakan waktu lama dan tidak mudah baginya untuk merobohkannya, Sin-kiam Mo-li lalu meloncat ke dekat meja dan menyambar sebatang kebutan bergagang emas yang bulunya merah, dan begitu dikelebatkannya kebutan ini, nampak sinar merah bergulung-gulung menyambar ke arah Hong Beng.

Pemuda ini melawan sekuat tenaga. Untuk menangkis dan menghindarkan diri dari kebutan berbulu merah yang mengandung racun itu, dia mengeluarkan ilmu silat Hong In Bun-hoat yang gerakan-gerakannya halus namun mengandung kekuatan sin-kang hebat sehingga dapat mendorong pergi ujung kebutan setiap kali ujung kebutan mengancam tubuhnya.

Akan tetapi, karena dia tidak mempunyai kesempatan untuk balas menyerang, sebuah tendangan kaki kiri Sin-kiam Mo-li yang dibarengi dengan menyambarnya kebutan itu, menyerempet pinggang pemuda itu sehingga dia terpelanting dan terhuyung. Marahlah Hong Beng. Dia lalu nekat dan dengan mengeluarkan suara melengking nyaring, dia menyerang dengan Ilmu Silat Cui-beng Pat-ciang yang hebat. Ilmu ini adalah ilmu sesat dari Pulau Neraka, dimiliki oleh guru Hong Beng dari nenek Lulu dan biarpun ilmu ini hanya terdiri dari delapan jurus, namun dahsyatnya bukan kepalang.

Begitu Hong Beng menyerang, diam-diam Sin-kiam Mo-li terkejut karena kebutannya dapat terpukul membalik, bahkan dadanya nyaris terkena pukulan. Untung ia masih sempat membuang diri ke belakang sambil berjungkir balik lalu memutar kebutan di depan tubuh untuk menghalau serangan berikutnya.

Akan tetapi Hong Beng tidak mau memberi kesempatan lagi kepada lawannya. Dia mendesak maju dengan jurus berikutnya dari Cui-beng Pat-ciang (Delapan Jurus Pengejar Arwah)! Kembali kebutan merah itu terpukul membalik dan dua pukulan tangan dari kanan kiri mengancam Sin-kiam Mo-li.

Wanita ini terkejut bukan main. Tak disangkanya bahwa murid keluarga Pulau Es memiliki pukulan yang demikian mengerikan, yang sifatnya ganas dan lebih tepat kalau dimiliki golongan sesat. Karena tidak mengenal jurus-jurus ini, maka ia terdesak dan terpaksa ia kembali melempar tubuh ke belakang, mendekati dinding dan sekaligus ia mencabut sebatang pedang yang tergantung di situ.

Dengan pedang di tangan kanan dan kebutan di tangan kiri Sin-kiam Mo-li kini menyerang Hong Beng. Hebat memang wanita ini kalau sudah memainkan dua buah senjatanya. Pedangnya menyambar-nyambar ganas dan kebutannya membantu gerakan pedang, bahkan kedua senjata itu selain saling bantu dalam serangan, juga saling melindungi. Kalau pedang menangkis, kebutan menyerang dan sebaliknya. Dan Hong Beng yang bertangan kosong itu terdesak hebat!

Ketika dia tersudut dan tidak ada jalan keluar lagi, pemuda ini menjadi nekat hendak mengadu nyawa. Sambil mengeluarkan pekik dahsyat, dia mengerahkan tenaganya dan memukul dengan Ilmu Silat Toat-beng Bian-kun, yang membuat kedua tangannya menjadi lemas seperti kapas, namun mengandung tenaga dahsyat yang dapat mencabut nyawa lawan dengan sekali pukul.

Namun, pedang di tangan Sin-kiam Mo-li menyambar sedangkan kebutannya menotok ke arah pergelangan tangan yang memukul, Hong Beng tentu saja menarik tangannya karena maklum bahwa ujung kebutan itu beracun dan biarpun dia sudah miringkan tubuh, tetap saja pundaknya tercium pedang sehingga bajunya robek berikut kulit dan sedikit daging di pangkal lengan kirinya! Sebuah tendangan yang menyusul, membuat tubuhnya terlempar ke arah pintu kamar.

“Tukk!”

Tubuh itu disambut oleh seorang tosu yang sudah menotoknya dengan ujung tongkat sehingga Hong Beng roboh dengan kaki tangan lumpuh dan tidak mampu bergerak lagi.

“Ha-ha-ha, apakah pengantinmu ini banyak bertingkah, Mo-li?” kata Thian Kek Seng-jin, tokoh Pek-lian-kauw yang tadi menggunakan tongkat naga hitamnya menotok Hong Beng yang sudah terluka.

Tosu ini sedang menanti gilirannya karena ketika menarik undian, gilirannya adalah yang terakhir. Tiga orang tosu memasuki kamar bersama tiga orang gadis pelayan, sedangkan yang tiga orang lagi termasuk Thian Kek Seng-jin, menanti giliran mereka. Karena iseng, Thian Kek Seng-jin berjalan-jalan menuju ke kamar Sin-kiam Mo-li sehingga dia dapat merobohkan Hong Beng yang kebetulan terlempar ke pintu ketika dia membuka daun pintu karena mendengar suara perkelahian di dalam kamar itu.

“Biar kubunuh saja tikus ini!” kata pula Thian Kek Seng-jin sambil menggerakkan tongkatnya.

“Jangan!“ teriak Sin-kiam Mo-li. “Dia menjadi sandera yang berharga bagi kita.”

Memang wanita itu cerdik. Mendapat tawanan murid keluarga Pulau Es merupakan modal yang baik, karena pemuda itu dapat menjadi sandera yang tentu akan dihargai oleh keluarga Pulau Es. Selain itu, juga diam-diam ia masih mengharapkan untuk dapat mematahkan semangat pemuda ini dan suatu saat dapat menjatuhkan hati pemuda itu dan menariknya ke dalam pelukannya.

“Ha-ha-ha, pendapat itu boleh juga,” kata Thian Kek Seng-jin sambil tertawa. “Dan bagaimana kalau pinto saja menggantikan pemuda ini untuk menghibur hatimu yang kecewa?”

Sin-kiam Mo-li mengangkat muka memandang tosu itu. Seorang tosu yang biarpun sudah tua, namun nampak penuh semangat. Tubuhnya kurus kering, akan tetapi mukanya merah darah dan gerak-geriknya masih tangkas dan gesit, sepasang matanya bercahaya seperti mata kucing. Boleh juga, pikirnya, karena selain hatinya kesal atas penolakan Hong Beng dan ia membutuhkan teman untuk menghiburnya, juga ia melihat keuntungannya kalau berbaik dengan tosu Pek-lian-kauw yang lihai dan mempunyai pengaruh besar di perkumpulannya itu.

Sin-kiam Mo-li tersenyum.
“Baiklah, totiang. Akan tetapi bantu dulu aku melempar orang keras kepala ini ke dalam kamar tahanan karena tiga orang pelayanku sedang sibuk melayani para tosu lainnya.”

Tentu saja Thian Kek Seng-jin girang sekali. Dia bukanlah seorang pengejar wanita cantik seperti Ok Cin Cu dan yang lain, akan tetapi baginya jauh lebih menyenangkan menjadi teman tidur nyonya rumah yang biarpun sudah lebih tua namun jauh lebih cantik menarik dari pada tiga orang gadis pelayan itu, apalagi kalau dia memperoleh giliran paling akhir! Dia lalu menyambar tubuh Hong Beng, sekali mencokel dengan tongkatnya, tubuh pemuda itu terangkat naik dan dikempitnya.

“Ke mana dia harus dilempar?” tanyanya sambil menyeringai.

Wajahnya yang kemerahan memang tidak begitu buruk seperti para tosu lainnya, maka tidak mengherankan kalau Sin-kiam Mo-li menerimanya.

“Mari ikuti aku,” kata wanita itu yang memasuki sebuah pintu rahasia di ruangan belakang.

Pintu ini tersembunyi di balik sebuah almari yang digeser ke kiri dan di belakang pintu terdapat sebuah terowongan yang menuju ke bawah tanah. Kiranya rumah besar itu selain terjaga di sekelilingnya oleh tempat-tempat rahasia penuh jebakan, juga memiliki ruangan bawah tanah yang cukup luas!

Ia memasuki sebuah kamar tahanan di bawah tanah itu, kamar tahanan yang kuat karena dindingnya dilapisi baja dan pintunya juga dari baja dengan ruji-ruji sebesar lengan yang amat kokohnya pada jendela kamar itu. Dengan kasar Thian Kek Seng-jin melempar tubuh Hong Beng ke dalam kamar ini yang berlantai batu.