Ads

Kamis, 21 Januari 2016

Suling Naga Jilid 084

Tiba-tiba saja Bi Lan yang sejak tadi merasa tegang dan penuh harapan, merasa seolah-olah meledak dan ledakan itupun menjadi tangis! Segala macam perasaan girang, terharu, bercampur dengan kekhawatiran, harapan dan kekecewaan sejak pemuda itu mengaku cinta kepadanya sampai tadi pemuda itu melakukan perjalanan tanpa bicara sepatahpun kata, tercurah keluar bersama air matanya dan iapun menangis terisak-isak, menyembunyikan mukanya di dalam kedua lengan yang memeluk lutut kaki yang diangkatnya. Tubuhnya terguncang-guncang karena isaknya.

Tentu saja Sim Houw menjadi terkejut bukan main dan tangannya kini sudah menyentuh pundak Bi Lan dan suaranya terdengar penuh perasaan khawatir ketika dia berkata,

“Moi-moi, engkau kenapakah? Kenapa engkau menangis, Lan-moi? Apakah yang telah terjadi? Sakitkah engkau?”

Bi Lan tidak dapat menjawab karena tangisnya membuat ia tersedu-sedu dan sukar untuk dapat mengeluarkan kata-kata. Sim Houw agaknya tahu akan hal ini maka dia tidak mendesak, membiarkan gadis itu menangis sampai segala yang mengganjal hatinya mencair. Akhirnya tangis itupun mereda dan Bi Lan mulai mengangkat mukanya, menyusuti air matanya dan kadang-kadang ia memandang kepada pemuda itu dengan sepasang mata basah dan merah.

“Bi Lan moi-moi, engkau kenapakah? Sakitkah engkau?” kembali Sim Houw bertanya setelah gadis itu tidak tenggelam ke dalam isak tangisnya lagi.

Bi Lan mengangguk.
“Toako, aku memang sakit.“ jawabnya dan legalah hatinya bahwa kini, setelah menangis, kata-katanya menjadi lancar.

Sim Houw mengerutkan alisnya dan mencoba untuk memandang dengan penuh perhatian di dalam cuaca remang-remang itu.

“Sakit? Sakit apakah, Lan-moi?”

“Sakit.... hati! Hatiku yang sakit.”

“Ehhh?” Sim Houw terbelalak heran. “Sakit hati? Bagaimana rasanya?”

Dengan sungguh-sungguh dia memperhatikan, mengira bahwa gadis itu menderita semacam penyakit yang tidak dikenalnya.

“Rasanya?” Bi Lan menelan kembali senyumnya karena merasa geli. “Rasanya.... aku ingin marah-marah, ingin mengamuk dan menangis saja.”

“Ahhh....?” Sim Houw masih belum mengerti dan menjadi bingung. “Dan kau sudah menangis tadi.“

“Ya, akan tetapi belum marah-marah, masih belum mengamuk.”

Kini Sim Houw baru agak mengerti. Kiranya ada sesuatu yang membuat gadis ini merasa mendongkol dan marah, pikirnya. Dan mengertilah dia apa artinya sakit hati tadi, bukan penyakit badan, melainkan penyakit perasaan.

“Akan tetapi, ada.... apakah, moi-moi?”

“Siapa yang tidak sakit hatinya, toako? Sejak meninggalkan istana, engkau diam saja seperti patung, atau seolah-olah menganggap aku bukan manusia lagi melainkan patung hidup yang tak dapat bicara. Kenapa engkau bersikap demikian, mendiamkan aku sampai hampir sehari lamanya? Engkau sungguh kejam!”

Baru Sim Houw mengerti dengan jelas sekarang dan diam-diam hatinya lega, akan tetapi mukanya juga menjadi merah karena dia merasa semakin salah tingkah. Lalu dengan suara lirih dan gemetar dia berkata,

“Lan-moi, kau maafkanlah aku, Lan-moi. Sama sekali aku bukan menganggap engkau patung, akan tetapi aku.... ah, terus terang saja, aku.... tidak berani bicara, Lan-moi. Semua yang terjadi di istana itu.... semua bagiku bagaikan sebuah mimpi yang amat indah dan aku takut kalau-kalau mimpi itu akan buyar dan aku akan sadar kembali dan mimpi itu akan lenyap kalau aku bicara. Aku .... sungguh aku tadi ingin sekali bicara, akan tetapi setiap kali menggerakkan bibir, aku merasa takut dan seperti tercekik leherku. Kau maafkanlah aku, moi-moi.”

Bi Lan memandang kepada Sim Houw dan pemuda itupun memandangnya. Mereka saling pandang di antara keremangan senja sehingga hanya dapat melihat bentuk muka masing-masing. Bi Lan merasa heran sekali. Mengapa keadaan pemuda itu sama benar dengan keadaan dirinya ketika mereka melakukan perjalanan tadi? Iapun ingin sekali bicara, namun amat sukar mengeluarkan kata-kata!

“Bagaimana sekarang, toako? Apakah masih takut untuk bicara?” tanyanya, setengah menggoda.

“Tidak, moi-moi. Kalau kuingat, memang aku bodoh sekali. Kenyataan yang demikian indahnya membuat aku mabok dan seolah-olah aku tidak percaya akan kenyataan itu. Setelah kini kita bicara, aku tidak takut lagi. Maafkan aku.”

Kembali hening, keduanya seolah tidak tahu harus berbuat apa, harus bicara apa. Terutama sekali Sim Houw. Jantungnya berdebar penuh ketegangan yang luar biasa, yang tidak dikenal sebelumnya, akan tetapi dia tidak mengerti mengapa demikian.






Agaknya Bi Lan yang lebih tabah dalam menghadapi keadaan yang menegangkan dan membuat mereka merasa canggung itu.

“Toako.”

“Ya, Lan-moi?”

“Toako, aku ingin sekali mengetahui apakah semua pernyataanmu di depan suhu dan subo itu benar-benar keluar dari lubuk hatimu? Apakah engkau bicara sejujurnya ketika itu?”

”Pernyataan yang bagaimana, moi-moi?”

Sim Houw bertanya, hanya untuk mencari ancang-ancang atau batu loncatan. menghadapi pertanyaan itu, karena sesungguhnya dia dapat mengerti apa yang dimaksudkan gadis itu.

Bi Lan mengerutkan alisnya. Kenapa sekarang orang yang selama ini dianggap sebagai sepandai-pandainya orang, lihai bijaksana dan cerdik pandai, mendadak saja berubah menjadi orang yang tolol?

“Pernyataanmu bahwa engkau cinta padaku. Benarkah itu, toako, atau hanya kau jadikan alasan saja untuk menjawab desakan suhu dan subo?”

“Lan-moi, tentu saja benar! Sama benarnya dengan pengakuanmu bahwa engkau cinta padaku. Bagaimana mungkin engkau masih meragukan cintaku kepadamu, moi-moi?”

“Tentu saja aku ragu-ragu. Kenapa selama ini, selama kita berkenalan bahkan melakukan perjalanan bersama, mengalami hal-hal yang menegangkan bersama, engkau tidak pernah menyatakan cintamu, baik dalam perbuatan atau dengan ucapan? Kenapa, toako? Apakah cintamu itu baru timbul ketika kita berada di Istana Gurun Pasir?”

“Tidak, moi-moi! Aku cinta padamu sejak kita pertama kali bertemu!”

“Kalau begitu, kenapa selama ini engkau diam saja, toako? Kenapa engkau agaknya hanya menyimpan saja perasaan cintamu di dalam hati, bahkan seperti hendak merahasiakannya terhadap diriku? Kenapa?”

Sim Houw sudah siap sekarang dengan jawabannya. Dia mengangkat muka, memandang bentuk wajah yang nampak dalam keremangan cuaca itu.

“Karena aku selama ini menjadi pengecut terhadap cintaku sendiri, moi-moi. Aku tidak berani mengaku, bahkan aku selalu menyangkal akan adanya kemungkinan bahwa engkau mencintaku. Aku takut! Karena takut gagal maka aku lebih suka merahasiakan perasaan cintaku.“

“Kau takut kalau-kalau cintamu tidak kubalas?”

“Tidak, moi-moi. Bahkan aku selalu merasa bahwa tak mungkin engkau cinta padaku. Aku takut kalau-kalau aku akan kehilangan engkau, takut kalau aku mengaku cinta, engkau lalu menjauhkan diri dariku.”

“Sim-toako, engkau kuanggap secerdik-cerdiknya orang, akan tetapi dalam hal ini engkau sungguh bodoh. Apakah engkau tidak dapat melihat perasaan hatiku terhadap dirimu dalam setiap pandang mataku, kata-kataku dan perbuatanku?”

“Memang ada sekali waktu nampak olehku bahwa engkau seperti mencintaku, namun semua itu kusangkal, kuanggap hanya khayalku belaka, karena tidak patut bagi seorang gadis sepertimu ini mencinta seorang laki-laki seperti aku.”

“Ihhh....! Kenapa, toako? Kenapa tidak patut?”

“Moi-moi, engkau adalah seorang gadis yang masih muda belia, usiamu baru Sembilan belas tahun, sedangkan aku…. aku sudah hampir setengah baya.”

“Aduh kasihan, ratap seorang kakek-kakek.!” Bi Lan menggoda. “Sim-toako, mengapa engkau begitu merendahkan diri? Berapa sih usiamu maka engkau mengatakan bahwa engkau sudah separuh baya?”

“Usiaku sudah tiga puluh empat tahun!”

“Hemm, bagiku engkau belum tua, tentu saja lebih tua dariku. Dan di dalam cinta, apakah ada batas usia?”

“Selain usiaku jauh lebih tua darimu, hampir dua kali lipat, juga aku seorang laki-laki sebatangkara, tidak memiliki apa-apa. Kuanggap diriku sama sekali tidak berharga untuk menjadi jodohmu, moi-moi. Karena perasaan itulah maka aku selalu diam dan merahasiakan cintaku. Akan tetapi di istana gurun pasir, dihadapan dua orang locianpwe yang sakti dan bijaksana itu, bukan hanya sekedar menolongmu, aku merasa bahwa aku harus berterus terang sebagai seorang laki-laki yang berani mengaku dan bertanggung jawab atas segala perbuatan dan ucapannya.”

“Aih, kasihan sekali engkau, toako. Aku.... dapat kubayangkan betapa engkau menderita.... dan aku sendiri, aku sudah tahu sejak lama bahwa engkau cinta padaku, koko.“

“Ah? Engkau sudah tahu?”

Bi Lan mengangguk.
“Aku diberitahu oleh suci Ciong Siu Kwi. Ia mengatakan bahwa engkau cinta padaku, hal itu baginya mudah terlihat. Aku menjadi girang sekali, aku menjadi bahagia sekali, koko, apalagi kalau melihat tingkahmu yang salah langkah.... aku tahu bahwa sejak lama engkau cinta padaku.”

“Anak nakal.!”

Sim Houw yang merasa gembira bukan main lalu tiba-tiba merangkul leher Bi Lan dan seperti sudah selayaknya, tahu-tahu Bi Lan sudah rebah di pangkuannya dan mereka saling peluk. Sejenak mereka diam, Bi Lan menyandarkan kepalanya di dada pria yang dicintanya itu. Ia merasa aman tenteram, merasa berbahagia dan puas, dan keduanya seperti terbuai dan terpesona oleh kenyataan yang indah itu, bahwa keduanya saling mencinta, bahwa tubuh mereka saling merindukan seperti juga hati mereka.

Sambil membelai rambut kepala gadis itu yang terlepas dari sanggulnya dan terurai di atas dadanya, Sim Houw berkata,

“Moi-moi, engkau sudah tahu bahwa aku cinta padamu, akan tetapi aku.... ah, aku selalu ragu-ragu, hampir tidak percaya bahwa seorang gadis seperti engkau dapat jatuh cinta padaku. Sekarangpun aku masih merasa terheran-heran bagaimana engkau dapat cinta padaku, moi-moi.”

Bi Lan membuka matanya memandang, sinar matanya berseri dan mulutnya yang berbibir merah basah itu tersenyum.

“Sejak dulu aku cinta padamu, koko. Aku sudah tidak mempunyai sanak keluarga lagi, bahkan guru-guruku jauh dariku. Sam Kwi jauh dari hatiku karena mereka jahat, sedangkan suhu dan subo di Istana Gurun Pasir juga jauh. Aku sudah tidak mempunyai orang tua, tidak mempunyai kakak atau adik, tidak berkeluarga. Karena itu, dalam dirimu aku menemukan semuanya itu. Bagiku engkau adalah pengganti orang tua, pengganti guru, juga pengganti kakak, keluarga, dan juga kekasin hatiku.”

“Tapi.... tapi kenapa justeru aku yang kau. pilih?”

Senyum di bibir Bi Lan melebar. Perasaan halus seorang wanita membuat ia merasa bahwa tentu kekasihnya ini meragukan karena tahu bahwa ada beberapa orang pemuda pilihan yang juga cinta kepadanya. Mengapa ia memilih Sim Houw dan bukan seorang di antara mereka?

“Karena engkau tidak hanya memikirkan diri sendiri, koko. Engkau selalu memikirkan kepentinganku dan meniadakan kebutuhanmu sendiri. Engkau tidak pencemburu (seperti Hong Beng, pikirnya) dan engkau tidak mengkhayal dan memikirkan wanita lain (seperti Kun Tek, pikirnya) walaupun engkau pernah kecewa dan patah hati karena wanita. Cintamu kepadaku murni dan engkau hanya ingin melihat aku berbahagia. Karena semua itulah, juga karena aku tertarik kepada pribadimu, kepada wajahmu, kepada perangaimu, kepada.... segala-galamu, maka aku cinta padamu.”

Dihujani pujian-pujian itu, Sim Houw terharu sekali dan tanpa disadarinya lagi dia menunduk, mendekatkan mukanya dan entah siapa yang mulai lebih dahulu, akan tetapi tahu-tahu mereka saling dekap dengan erat dan bibir mereka saling kecup dengan mesra sampai lama, sampai mereka akhirnya menyudahi ciuman itu dengan napas terengah-engah. Bukan terengah karena kehabisan napas, melainkan terengah karena mereka merasa tubuh mereka panas diingin dan darah dalam tubuh mereka berdesir dan bergolak.

Suara seperti rintihan keluar dari leher Sim Houw dan dia menyembunyikan mukanya pada leher yang berkulit putih mulus dan hangat itu, di antara rambut yang membelai mukanya seperti benang-benang sutera hitam.

Sementara itu, dengan tubuh menggigil, Bi Lan memejamkan matanya, menggelinjang dan jantungnya berdebar, tubuhnya tiba-tiba saja terasa lemas dan dari kerongkongannya juga keluar suara seperti merintih halus.

Sampai agak lama mereka berada dalam keadaan seperti itu, sampai tiba-tiba telinga keduanya menangkap suara yang keluar dari dalam perut Bi Lan. Suara berkeruyuknya perut yang menuntut isi! Mendengar ini, keduanya sadar dari keadaan yang asyik masyuk itu, akan tetapi biarpun hatinya merasa agak geli, Sim Houw cukup bijaksana untuk diam saja dan pura-pura tidak mendengar.

Bahkan dia lalu mempergunakan kekuatan sin-kangnya menekan pada perutnya sendiri sehingga terdengarlah suara berkeruyuk yang sama dengan tadi, hanya yang ini lebih nyaring! Bi Lan yang tadi merasa canggung dan malu, ketika mendengar keruyuk ke dua dari perut Sim Houw, lalu tertawa.

“Hi-hik, ada lumba nyanyi dalam perut kita, koko.!”

Sim Houw juga tertawa dan buyarlah suasana asyik masyuk tadi dan mereka berdua tersadar. Walaupun mereka kini merenggangkan diri dan suasana masih mesra, sentuhan tangan mereka masih mengandung getaran asmara, namun mereka tidak lagi dikuasai berahi seperti tadi.

Mereka bangkit berdiri. Sim Houw memegang kedua lengan gadis itu. Mereka berdiri saling berhadapan, dekat sekali dan Sim Houw mencium dahi Bi Lan, lalu berkata, suaranya halus dan menggetarkan kasih sayang amat besar.

“Lan-moi, mulai sekarang kita harus berhati-hati. Kita harus dapat berjaga diri, jangan sampai terjadi kebakaran.“

“Eh? Maksudmu?”

“Tadi ketika kita saling berciuman, aku hampir kebakaran.“

Bi Lan tersenyum dan menahan suara ketawanya. Wajahnya menjadi merah sekali. Untung cuaca sudah mulai gelap sehingga ia tak perlu menyembunyikan kemerahan wajahnya.

“Aku tahu, karena itu, sebelum kita menikah dengan sah, sebaiknya kalau kita berhati-hati, jangan terlalu dekat agar tidak terjadi kebakaran dan pelanggaran.”

“Baiklah, koko.”

Bi Lan mengangguk dan semakin kagum terhadap kekasihnya itu. Demikian kuatnya! Kuat lahir batin.

“Semua itu kita lakukan demi kebahagiaan kita sendiri di kemudian hari, bukan, Lan-moi?”

“Engkau benar.”

Mereka lalu membuat api unggun, dan Sim Houw berhasil menangkap dua ekor ayam hutan. Daging dua ekor ayam hutan inilah yang mengisi perut mereka sebelum mereka akhirnya beristirahat di dalam guha itu, tubuh mereka dihangatkan oleh api unggun.

Dunia nampak amat indah bagi mereka, bahkan keadaan dalam guha yang demikian sederhana, di bawah sinar api unggun, tidur di atas tanah berbatu yang kasar, bau tanah mentah, semua itu nampak amat indahnya.

Keindahan terletak di dalam batin. Batin yang berbahagia membuat segala sesuatu nampak indah menyenangkan, segala penglihatan nampak indah, segala pendengaran menjadi merdu, segala makanan menjadi lezat. Batin yang berbahagia mendatangkan sorga, sebaliknya batin yang keruh mendatangkan neraka. Apapun nampak tidak menyenangkan bagi batin yang keruh.

Batin menjadi keruh karena pikiran selalu sibuk berceloteh. Sayang bahwa kita selalu menjejali pikiran dengan segala macam persoalan sehingga pikiran tiada hentinya bekerja keras dan sibuk, oleh karena itu, batin tak pernah menjadi bening.

Sim Houw dan Bi Lan yang baru saja mendapat sinar cinta, untuk sejenak pikiran mereka tidak sibuk dan batin mereka tidak menjadi keruh. Akan tetapi hanya sebentar saja karena setelah mereka selesai makan dan kini duduk bersila menghadapi api unggun, pikiran mereka mulai bekerja lagi mengingat-ingat akan hal yang telah lalu.

“Sungguh kita beruntung sekali bahwa keadaan berakhir dengan baik di Istana Gurun Pasir,” kata Sim Houw. “Kalau aku teringat betapa tadinya subomu sudah marah sekali kepadamu, dan betapa suhu dan subomu agaknya sudah tidak percaya kepadamu, sungguh aku masih merasa ngeri. Kalau mereka menghendaki, tidak akan sukar bagi mereka untuk menghukum kita, bahkan membunuh kita sekalipun.”

“Akan tetapi aku tetap percaya akan kebijaksanaan mereka, koko. Yang menggemaskan adalah orang yang memburukkan namaku di depan suhu dan subo, dan agaknya aku tahu siapa orangnya!”

Sim Houw memandang wajah kekasihnya. Diapun dapat menduga siapa orangnya, akan tetapi dia tidak mau mendahului Bi Lan.

“Siapakah dia, Lan-moi?”

“Siapa lagi kalau bukan Gu Hong Beng?”

Sim Houw pura-pura kaget.
“Kenapa engkau menyangka dia?”

“Di antara tuduhan-tuduhan yang dilontarkan subo kepadaku, terdapat tuduhan bahwa kita telah melakukan perbuatan yang melanggar susila. Siapa lagi orangnya yang akan menyangka kita berbuat demikian kecuali Gu Hong Beng yang dipenuhi perasaan cemburu dan iri itu? Dia bersama gurunya yang mendesak dan menyerang kita, dan dialah yang menuduh kita secara membuta membela suci Ciong Siu Kwi. Maka aku yakin tentulah dia yang telah memburukkan namaku di depan suhu dan subo.”

Sim Houw menarik napas panjang, maklum mengapa kini pemuda yang gagah perkasa itu, murid dari seorang tokoh keluarga Pulau Es, yang tadinya merupakan seorang sahabat yang setia dan baik dari Bi Lan, kini berubah memburukkan nama Bi Lan. Dia tahu bahwa pemuda itu jatuh cinta kepada Bi Lan, namun ditolak oleh kekasihnya ini, dan agaknya Hong Beng merasa iri hati dan cemburu. Diam-diam dia merasa kasihan karena dia maklum bahwa orang pertama yang tersiksa oleh cemburu bukan lain adalah diri orang yang cemburu itu sendiri.

“Sudahlah, biarkan saja kalau memang benar dia yang memburukkan namamu. Mungkin memang dia menyangka kita membela sucimu secara membuta, mungkin dia mengira bahwa kita telah menyeleweng dari pada kebenaran. Yang penting, kita yakin benar bahwa kita tidak menyeleweng, bahwa kita telah berbuat benar. Kini kita harus mencurahkan segala perhatian kita untuk mencari adik Kao Hong Li. Dan sesuai dengan pesan suhu dan subomu, sebaiknya kita langsung saja menuju ke kota Pao-teng untuk mengunjungi keluarga locianpwe Kao Cin Liong.”

Bi Lan menyatakan persetujuannya dan merekapun tidak lagi membicarakan tentang Hong Beng.

**** 084 ****