Ads

Kamis, 07 Januari 2016

Suling Naga Jilid 054

“Ha-ha-ha, heh-heh, akhirnya engkau kembali juga kepadaku, Liong-siauw-kiam!”

Nenek itu tertawa-tawa dan menciumi sarung pedang itu dengan hati yang amat girang. Ia duduk menghadapi meja penuh hidangan dan memang ia merayakan kemenangan dan hasil baik telah berhasil merampas kembali pedang pusaka yang tadinya menjadi milik nenek moyang perguruannya itu.

Sai-cu Lama mengangkat cawan araknya.
“Selamat, Nio-nio, selamat! Pinceng ikut merasa girang sekali. Memang agaknya bintang dari Hou Taijin amat terang cemerlang, sehingga orang-orang yang ikut membantunya mendapat nasib yang baik. Buktinya, pinceng sendiri berhasil mendapatkan Ban-tok-kiam. Padahal pedang pusaka ini dahulu pernah menggegerkan dunia persilatan dan menjadi milik isteri dari Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir. Apakah tidak hebat?” Dia menepuk-nepuk sarang pedang di punggungnya.

Kim Hwa Nio-nio menerima ucapan selamat itu dan meneguk arak dari cawannya.
“Semua ini adalah berkat bintang terang Hou Taijin, dan agaknya semua cita-citanya akan tercapai dan kita yang menjadi para pembantunya, tentu akan ikut pula menikmati hasil baik yang dicapainya.”

“Aih, tiada hasil baik dapat dicapai tanpa rintangan-rintangan dan tanpa susah payah, Nio-nio. Kita masih harus menghadapi perjalanan yang panjang. Beberapa hal mendatangkan kegelisahan di hati pinceng. Terutama sekali hilangnya Suma Lian tentu akan membuat Hou Taijin kecewa sekali.”

“Hal itu tidak perlu dikhawatirkan, Sai-cu Lama. Sejak pertama kali kau menyerahkan anak perempuan yang kau tawan itu, aku sudah menduga bahwa Hou Taijin agak ragu-ragu untuk mengambil anak itu secara paksa. Agaknya Hou Taijin masih jerih akan nama besar keluarga Pulau Es dan dua orang selirnya itulah yang membisikkan kekhawatiran itu. Aku sedang berpikir-pikir bagaimana harus memyingkirkan dua orang selir itu, karena Hou Taijin terlalu percaya kepada mereka. Lama-lama mereka dapat menjadi penghalang kemajuan kita sendiri. Tidak, Lama, kurasa tentang hilangnya Suma Lian itu tidak akan mendatangkan kekecewaan terlalu besar bagi Hou Taijin”.

“Mudah-mudahan begitu,” kata pendeta gendut itu sambil mengunyah daging yang agak alot.

Mereka bercakap-cakap sambil makan minum merayakan kemenangan. Kini Hwa Nio-nio yang berhasil mendapatkan kembali Liong-siauw-kiam.

“Akan tetapi, yang membuat pinceng merasa penasaran adalah munculnya kakek jembel gila itu! Dia berhasil melarikan Suma Lian dan kakek itu lihai luar biasa!”

“Hemm, aku tidak khawatir. Sampai di mana sih kelihaian seorang tua bangka jembel?”

Kata Kim Hwa Nio-nio sambil mengelus Liong-siauw-kiam, seolah-olah hendak memamerkan senjata pusaka itu dan menunjukkan bahwa dengan adanya senjata pusaka itu, ia tidak takut melawan siapapun juga.

“Sungguh, Nio-nio. Kau harus percaya kepada omongan pinceng. Kakek itu memang sudah tua sekali, akan tetapi dia benar-benar sakti! Dan dia menjadi tamu di rumah keluarga Pouw. Bahkan selain melarikan Suma Lian, diapun melarikan anak perempuan keluarga Pouw itu. Dia yang mengetahui semua rahasia pembunuhan itu. Hemm, pinceng akan selalu merasa khawatir dan tidak enak sebelum dapat memenggal kepalanya!”

“Jangan khawatir, kalau dia berani muncul lagi, aku akan membantumu memenggal kepalanya, Lama.”

“Aih, engkau terlalu memandang rendah pihak lawan, Nio-nio, dan hal itu juga menggelisahkan hatiku. Ketahuilah bahwa orang-orang seperti kakek jembel itu amat berhahaya.”

“Subo, ucapan locianpwe Sai-cu Lama memang patut diperhatikan,” tiba-tiba Bhok Gun berkata kepada gurunya.

“Memang kini di kota raja bermunculan orang-orang pandai. Bukan saja Sim Houw dan Can Bi Lan yang berhasil kita bekuk, akan tetapi beberapa hari yang lalu muncul pula dua orang pemuda itu yang sudah kami laporkan kepada subo. Merekapun lihai sekali dan merupakan lawan yang tidak boleh dipandang ringan.”

Yang dimaksudkan oleh Bhok Gun adalah Cu Kun Tek dan Gu Hong Beng yang belum lama ini mereka serbu di dalam restoran namun mereka gagal karena dua orang pemuda perkasa itu dapat meloloskan diri meninggalkan beberapa orang anak buah mereka yang luka-luka.

“Karena itulah maka aku telah minta kepada Bi-kwi. Ke mana saja sih tiga orang kakek gila yang menjadi gurumu itu, Bi-kwi? Kenapa sampai sekarang belum juga muncul?”

“Suhu bertiga sudah berjanji akan datang, mereka pasti akan datang, sukouw. Harap jangan khawatir,” jawab Bi-kwi. “Dan apa yang dikatakan oleh Bhok suheng ada benarnya. Agaknya kini para pendekar bermunculan di kota raja dan mereka itu agaknya sengaja hendak menentang kita. Oleh karena itu, kita harus meningkatkan kewaspadaan dan sama sekali tidak boleh memandang ringan kepada mereka.”

“Ah, sudalah, Kita nanti sama-sama hadapi saja mereka itu. Kini yang penting, bagaimana dengan Sim Houw dan Can Bi Lan yang telah kita tawan itu? Sebaiknya, mereka itu diapakan?”

“Orang she Sim itu terlalu berbahaya sekali, sukouw, menurut pendapatku sebaiknya dibunuh saja. Kalau dibiarkan hidup lebih lama lagi, akan berbahaya bagi kita.”






“Aku setuju sekali!” kata Bhok Gun. “Memang orang she Sim itu harus dibunuh. Ilmunya tinggi, selagi dia berada dalam kekuasaan kita, sebaiknya segera dibunuh saja. Akan tetapi nona itu jangan dibunuh dulu. serahkan kepadaku, subo. Biar aku yang akan menjinakkannya. Bukankah ia masih sumoi dari Bi-kwi, murid dari para susiok Sam Kwi, berarti orang sendiri? Kalau ia sudah dapat dijinakkan, tentu akan mau membantu kita dan berarti kedudukan kita menjadi lebih kuat.”

”Omitohud....!“ kata Sai-cu Lama. “Ingat, nona itu sudah menjadi murid dari Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir! Bukan lagi orang segolongan dengan kita.”

Tentu saja kakek yang merampas Ban-tok-kiam ini khawatir sekali kalau gadis itu dibiarkan hidup. Kalau gadis itu mati, dia boleh bernapas lega dan Ban-tok-kiam sepenuhnya menjadi miliknya.

“Memang sebaiknya kalau Can Bi Lan itu dibunuh saja, dan sebelum itu, biarlah kalau Bhok Gun hendak menikmatinya dulu,” kata Kim Hwa Nio-nio sambil tersenyum ke arah murid yang disayangnya itu. Bhok Gun menyeringai girang.

“Hemmm, manusia mana yang hendak membunuh murid kami?”

Tiba-tiba terdengar seruan keras dan bagaikan setan-setan saja, nampak tiga bayangan orang menyelonong masuk ke dalam ruangan itu. Beberapa orang penjaga yang berusaha mencegahnya, sudah terlempar ke kanan kiri oleh dorongan mereka.

“Suhu!” teriak Bi-kwi dengan girang melihat bahwa yang muncul itu adalah tiga orang gurunya.

“Aih, akhirnya kalian muncul juga, Sam Kwi!” Kim Hwa Nio-nio juga menyambut dengan wajah girang.

“Aku ingin bertanya, siapa berani mencoba untuk membunuh murid kami Siauw-kwi? Hayo maju dan boleh coba-coba dengan kami yang menjadi gurunya!” kata pula Im-kan Kwi, Si Iblis Akhirat yang biarpun bertubuh kate pendek, namun suaranya besar dan cerewet. “Enak saja membicarakan mati hidupnya murid kami. Hayo siapa berani?”

Si kate itu, bersama dua orang saudaranya, berdiri dengan marah dan mereka memandang kepada semua orang, satu demi satu dengan sikap menantang.

“Omitohud....! Hebat sekali! Inikah Thai-san Sam Kwi yang amat terkenal itu?”

Tiga orang kakek yang baru tiba itu menoleh ke arah Sai-cu Lama.
“Siapakah Lama ini?” tanya Hek-kwi Ong yang tinggi besar.

“Duduklah, sam-wi sute (tiga orang adik seperguruan), duduklah yang baik. Kita berada di antara orang sendiri. Pendeta ini adalah Sai-cu Lama, seorang rekan kita yang amat baik dan tangguh.”

“Hemmm, kami sudah mendengar namanya. Mudah-mudahan kepandaiannya sebesar namanya,” kata pula Iblis Akhirat yang pendek.

“Suci Kim Hwa Nio-nio. Siapa yang mau membunuh murid kami Siauw-kwi tanpa perkenan kami tadi?” kini Iblis Mayat Hidup yang tak banyak bicara itu bersuara.

Melihat sikap tiga orang gurunya yang jelas memperlihatkan ketidak senangan, Bi-kwi cepat berkata,

“Suhu bertiga harap jangan salah mengerti. Kami memang sedang membicarakan tentang diri Siauw-kwi, dan kebetulan sekali suhu bertiga sudah datang sehingga dapat memberi keputusan yang tepat tentang apa yang harus kami lakukan terhadap murid suhu yang murtad itu.”

“Bik-kwi, kau mengatakan bahwa Siauw-kwi murtad. Dalam hal bagaimanakah ia murtad dan mengapa pula sekarang ia menjadi tahanan? Kami tahu bahwa sejak dahulu engkau tidak menyukainya, akan tetapi hal itu belum dapat menjadi alasan bahwa engkau boleh membunuh murid kami begitu saja tanpa ijin kami!” kata Iblis Akhirat dengan sikap marah.

“Begini, suhu. Karena aku merasa menjadi sucinya, maka tadinya aku menganggap diriku cukup untuk mewakili suhu bertiga karena suhu bertiga tidak hadir. Siauw-kwi telah murtad dan menjadi pengkhianat bersekutu dengan Sim Houw yang merampas pedang Liong-siauw-kiam. Ia bersekutu dengan orang she Sim itu untuk menentang kita! Apakah pengkhianatan seperti itu tidak patut untuk mendapat hukuman yang keras?”

“Keterangan Bi-kwi itu benar, sam-wi sute. Muridmu Bi-kwi telah gagal merampas Liong-siauw-kiam dan Siauw-kwi telah bersekutu dengan musuh. Akan tetapi akhirnya, aku dapat menangkap mereka berdua dan karena aku yang berhasil merampas kembali Liong-siauw-kiam, maka pedang pusaka ini sekarang menjadi hak milikku!”

Tiga orang kakek itu saling pandang dan Iblis Akhirat yang seperti biasa menjadi juru bicara mereka bertiga, berkata,

“Hemm, kalau sudah terjatuh ke tanganmu sama saja, suci. Pokoknya pusaka itu tidak jatuh ke tangan golongan lain. Akan tetapi kami masih merasa penasaran dan ingin membuktikan sendiri apakah benar Siauw-kwi telah mengkhianati kami. Bawa mereka berdua itu menghadap!”

Akan tetapi. seolah-olah sebagai jawaban dari ucapan Iblis Akhirat itu, mendadak terdengar suara ribut-ribut dan kegaduhan itu datang dari bagian belakang gedung. Makin lama makin gaduh dan muncullah seorang komandan jaga dengan muka pucat dan napas memburu.

“Celaka, Nio-nio.... celaka...., orang tawanan itu lolos.”

Mendengar ucapan ini, tanpa banyak cakap lagi Kim Hwa Nio-nio, Sai-cu Lama, Bhok Gun dan Bi-kwi berloncatan keluar dari ruangan itu. Sam Kwi saling pandang, lalu menyerbu meja makanan, meneguk arak dari guci dan memilih masakan-masakan yang dianggap paling enak. Mereka bersikap seolah-olah mereka tidak ada hubungannya dengan urusan yang menimbulkan keributan itu.

Apakah yang telah terjadi? Ketika Sim Houw dan Bi Lan, dengan tubuh tertotok dan kaki tangan terbelenggu, dijebloskan ke dalam sebuah kamar tahanan yang kokoh kuat dan terjaga ketat di luar kamar tahanan, Bi Lan yang terkulai lemas itu merasa menyesal sekali.

“Sim-toako, kenapa engkau tidak memenuhi permintaanku? Kenapa kau tidak mau mempertahankan pusaka itu? Dan kemudian, kenapa engkau tidak melarikan diri saja melainkan menyerahkan diri untuk menjadi tawanan? Ahhh, kalau engkau menuruti permintaanku, tentu sekarang engkau masih bebas di luar dan pusaka itu masih tetap berada padamu, toako. Sungguh aku menyesal sekali. Karena kebodohan dan kelemahanku, engkau menjadi korban!”

Sim Houw kembali memandang kepada gadis itu dengan pandang mata yang aneh tadi, pandang mata yang membuat Bi Lan merasa bingung dan canggung,

“Lan-moi, untuk melindungimu dari bahaya, jangankan hanya pedang pusaka, biar nyawakupun kupertaruhkan.”

Bi Lan membelalakkan kedua matanya dan sejenak menatap wajah pemuda itu, mencoba untuk meneliti wajah itu di dalam cahaya remang-remang, ingin mengetahui mengapa Sim Houw bersikap seperti itu kepadanya.

“Akan tetapi.... kenapa, toako? Kita baru saja berjumpa dan berkenalan, akan tetapi kenapa kau.... kau begitu baik kepadaku? Kenapa kau membelaku mati-matian, mengorbankan pusaka, padahal bagi seorang pendekar, bukankah senjata pusaka itu merupakan nyawa kedua? Dan engkaupun mempertaruhkan nyawa untuk melindungiku. Kenapa....?”

Di dalam pertanyaan itu terkandung perasaan ingin tahu yang mendalam sekali sehingga wajah Sim Houw berubah kemerahan. Untung cahaya remang-remang menyembunyikan perubahan air mukanya itu sehingga tidak nampak oleh Bi Lan. Gadis itu hanya melihat Sim Houw menarik napas panjang lalu tersenyum, senyum penuh kesabaran dan pengertian seperti yang dikenalnya dengan baik selama ini.

Tentu saja hati Sim Houw ingin meneriakkan bahwa dia melakukan semua itu karena dia mencinta gadis ini! Ya, dia telah jatuh cinta kepada Bi Lan, seperti yang belum pernah dialaminya semenjak cintanya gagal terhadap Kam Bi Eng. Di dalam diri Bi Lan, dia seperti menemukan Bi Eng ke dua dan dia telah jatuh cinta kepada Bi Lan! Akan tetapi, tak mungkin dia berani menyatakannya.

Dia merasa malu kepada Bi Lan dan kepada diri sendiri. Pertama, dia jauh lebih tua dari gadis ini, tidak sepadan. Dia pantas menjadi paman gadis ini! Dan ke dua, dia tidak mau menderita untuk kedua kalinya, derita yang timbul karena cinta gagal, cinta yang bertepuk tangan sebelah pihak seperti cintanya kepada Kam Bi Eng.

Tidak, dia tidak mau menjadi buah tertawaan Bi Lan dan orang lain dengan pengakuan cintanya, dan dia merasa ngeri menghadapi kegagalan lagi. Lebih baik dia menyimpan rahasia itu di dalam hatinya sendiri, membawa rahasia itu di dalam sisa hidupnya sampai dia mati.

Akan tetapi pertanyaan Bi Lan demikian mendesak, menuntut keterangan. Setelah menarik napas panjang sekali lagi untuk menenangkan hatinya yang berdebar, dia berkata,

“Kenapa, Lan-moi? Ah, perlukah hal itu kau tanyakan lagi? Kita melakukan perjalanan bersama, kita sudah menjadi sahabat, sudah sepatutnya kalau aku melindungimu.”

“Akan tetapi, antara sahabat tidak mungkin sampai orang harus mengorbankan pusakanya dan bahkan nyawanya, toako.”

“Begini, Lan-moi. Engkau sebatangkara di dunia ini, engkau tidak mempunyai siapa-siapa lagi. Dan akupun hidup sebatangkara. Nasib kita sama. Nah, kalau bukan aku yang melindungi dirimu, habis siapa lagi? Bagaimana aku selanjutnya dapat hidup dengan perasaan tenang kalau aku membiarkan dirimu seorang diri menempuh bahaya besar ini? Tidak, aku tentu takkan pernah dapat mengampuni diriku sendiri. Hidup atau mati, aku harus menemanimu dalam menghadapi ancaman bahaya, Lan-moi.”

Sejenak Bi Lan diam saja seolah-olah kecewa mendengar keterangan itu. Dia seperti merasakan bahwa alasan Sim Houw mempertaruhkan nyawanya tentu karena sebab yang lebih mendalam, bukan sekedar setia kawan seorang sahabat baru! Ia seolah-olah mengharapkan pengakuan yang lain!

“Akan tetapi, toako. Pengorbananmu ini akan sia-sia saja. Engkau tertawan, terbelenggu dan tertotok, tidak berdaya seperti juga aku. Engkau tidak dapat menolongku dan tidak dapat menyelamatkan dirimu sendiri. Bukankah perbuatanmu ini sama saja seperti bunuh diri?”

Sim Houw menggeleng kepala dan senyumnya nampak aneh.
“Jangan khawatir, Lan-moi. Aku tidak melakukan tindakan membabi buta, melainkan ingat sebelum kulakukan sudah kuperhitungkan masak-masak. Satu-satunya jalan untuk menolongmu hanyalah menyerahkan pusaka dan menyerahkan diri. Kalau sudah terbebas dari ancaman mereka, barulah aku akan mampu menolongmu. Totokan ini bukan apa-apa bagiku. Dengan Ilmu I-kiong-hoan-hiat (Ilmu Memindahkan Jalan Darah) aku dapat mengelak dari tototokan itu dan pura-pura lumpuh. Dan belenggu inipun tak ada artinya.”

Dan tiba-tiba saja, di bawah pandang mata Bi Lan yang terbelalak, Sim Houw menggerakkan kedua tangannya dan belenggu di pergelangan tangannya itupun patah-patah tanpa mengeluarkan banyak suara! Kemudian, dengan hati-hati Sim IIouw menotok jalan darah di pundak dan punggung Bi Lan untuk membebaskan gadis itu, dan juga mematahkan belenggu kaki tangannya

“Jangan bergerak, bersikap pura-pura masih tertotok dan terbelenggu,” bisik Sim Houw yang memasangkan kembali belenggu kaki tangannya yang diturut oleh Bi Lan. “Pihak musuh terlalu banyak dan mereka kuat sekali. Kita harus menanti saat baik. Kalau orang-orang tangguh itu sudah tidur, barulah kita akan meloloskan diri dari sini. Untuk membuka ruangan ini membutuhkan banyak tenaga dan aku khawatir sebelum kita sempat lolos, mereka sudah datang dan kita akan menghadapi kesukaran lagi. Ingat kita berada dalam sarang musuh.”

Bi Lan merasa kagum bukan main atas kehebatan ilmu kepandaian Sim Houw, mengangguk dan mentaati petunjuk Sim Houw. Ia tahu bahwa Sim Houw pasti berhasil mengajaknya keluar dari tempat ini, lolos dan bebas!

Akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara berkerotokan ketika pintu baja yang berat dan tebal itu dibuka dari luar. Rantai baja yang besar, yang mengikat pintu, dibuka dan kuncinya juga dibuka. Daun pintu itu terbuka dan masuklah seorang kepala jaga yang bermuka hitam dan kasar, bermata lebar dan mata itu sejak dia masuk sudah memandang ke arah Bi Lan dengan sinar mata yang memuakkan gadis itu.

“Aduh, sayang kalau nona manis semulus ini harus dibunuh. Nona, berilah aku cium satu kali saja dan aku akan minta kepada Nio-nio agar engkau jangan dibunuh, melainkan diberikan kepadaku untuk menjadi isteriku. Cium sekali saja, ya?”

Dan muka yang hitam kasar itu mendekat, hendak mencium bibir Bi Lan. Gadis ini menahan diri, akan tetapi mencium bau yang busuk dari mulut orang itu yang semakin mendekat, ia tidak tahan lagi dan tangannya yang memang sudah terbebas dari belenggu itu tiba-tiba menyambar.

“Prakkk....!”

Terdengar tulang patah ketika tangan Bi Lan dengan kerasnya menampar pipi orang itu. Agaknya tulang rahang yang patah-patah dan giginya juga rontok semua. Orang itu mengaduh dan bergulingan di atas lantai seperti cacing terkena abu panas, mengaduh dan memegangi mulutnya yang penuh darah.

Tiba-tiba pada saat para penjaga menjadi kaget dan mereka menyerbu ke depan pintu kamar tahanan, nampak berkelebat dua bayangan dari tempat gelap dan terdengarlah pekik-pekik kesakitan ketika beberapa orang penjaga terguling oleh amukan dua orang itu. Kiranya yang datang itu adalah Hong Beng dan Kun Tek!

“Nona Can, cepat keluarlah!” kata Hong Beng sambil menendang roboh seorang penjaga.

“Sim Houw, aku datang menolongmu, cepatlah keluar!” kata Kun Tek yang masih terhitung paman dari Sim Houw dan diapun merobohkan seorang penjaga lain dengan tamparan tangan kirinya.

Dengan pedang Koai-liong-kiam di tangan, Kun Tek meloncat ke dekat pintu kamar tahanan. Maksudnya untuk membuka pintu itu menggunakan pedang pusakanya Akan tetapi dia merasa heran dan juga girang melihat bahwa pintu yang amat kuat itu sudah terbuka dan nampaklah Sim Houw dan Bi Lan sudah menerobos keluar dari pintu yang terbuka itu.

Melihat bahwa yang menolongnya adalah pamannya yang dulu masih kecil ketika dia berkunjung ke Lembah Naga Silmuan, Sim Houw menjadi girang sekali. Hampir dia tidak mengenal pemuda tinggi besar itu kalau saja tadi tidak menyebut namanya begitu saja. Dan Bi Lan juga merasa girang disamping merasa heran mengapa dua orang pemuda yang pernah saling gempur itu kini datang bersama untuk menyelamatkan ia dan Sim Houw.

Akan tetapi tidak ada waktu bagi mereka untuk bercakap-cakap dan empat orang itu lalu mengamuk, merobohkan setiap penghadang dan sebentar saja mereka sudah dapat menerobos keluar dari kepungan dan berloncatan keluar dari tembok belakang yang mengurung gedung itu.

Ketika Kim Hwa Nio-nio dan kawan-kawannya mengejar ke tempat tahanan, mereka tidak menemukan lagi dua orang tawanan itu. Dengan marah dan mendongkol sekali Kim Hwa Nio-nio hanya dapat mendengar laporan anak buahnya betapa komandan jaga memasuki kamar tahanan dan tahu-tahu telah remuk tulang rahangnya, dan betapa dua orang pemuda yang pernah lolos dari tangkapan mereka tadi telah datang dan membantu lolosnya dua orang tawanan. Dengan tangannya sendiri Kim Hwa Nio-nio menampar kepala dari komandan jaga itu sehingga orang itu roboh dengan kepala retak-retak dan tewas seketika.

“Sam-wi sute, kini percaya betapa baiknya muridmu yang bernama Bi Lan itu?”

Kim Hwa Nio-nio mengomel ketika ia kembali ke ruangan dalam dan melihat tiga orang sutenya itu masih enak-enak saja duduk makan minum.

“Ia telah melarikan diri bersama Sim Houw dan dibantu oleh pemberontak-pemberontak.”

“Hemm, tidak kusangka anak itu menyeleweng,” kata Iblis Akhirat. “Akan tetapi kami ingin bertemu dengannya, dan kalau ia tidak menyerah, kami sendiri yang akan memberi hukuman kepadanya!”

**** 054 ****