Ads

Selasa, 05 Januari 2016

Suling Naga Jilid 048

Pakaian itu tadi nampak indah, akan tetapi sekarang penuh tambalan walaupun hal ini tidak mengurangi kepantasan anak itu memakainya.

“Kek, engkau Bu-beng Lo-kai dan aku cucumu. Cucu seorang pengemis tua harus memakai pakaian tambal-tambalan juga, baru cocok!”

Kakek itu kembali tertawa dan mengangguk-angguk, kemudian tiba-tiba dia memandang wajah anak itu dengan sikap serius dan suaranya juga terdengar tegas, tidak main-main lagi,

“Nah, sekarang ceritakan, dari mana engkau memperoleh makanan, arak dan pakaian ini!”

Melihat sikap kakek itu, nyali Suma Lian menjadi kecil juga. Ia menundukkan mukanya, jari-jari tangannya mempermainkan ujung bajunya, kadang-kadang mengangkat muka memandang, lalu menunduk kembali.

“Hayo katakan! Kau.... mencuri, ya?” bentak kakek Bu-beng Lo-kai.

Dengan pandang mata takut-takut, Suma Lian memandang kakeknya dari bawah bulu mata sambil menundukkan muka,

“Kau.. kau marah, kek....?”

“Tentu saja kalau kau membohong! Hayo katakan yang sebenarnya. Kau curi semua itu?” Suma Lian mengangguk.

Bu-beng Lo-kai marah atau pura-pura marah. Dia bangkit berdiri dan membanting kakinya.
“Waduh, celaka! Cucuku menjadi pencuri? Menjadi maling? Tidak, kau harus kembalikan semua ini kepada.....”

Dia tiba-tiba tak dapat melanjutkan kata-katanya karena teringat bahwa semua makanan tadi, juga araknya, sudah masuk ke dalam perutnya! Mana mungkin bisa dikembalikan lagi? Suma Lian yang cerdik anaknya dapat menduga isi pikirannya dan dengan suara mengandung kemenangan anak itupun berkata,

“Makanan sudah kita makan, mana bisa dikembalikan, kek?”

“Baiklah, akan tetapi pakaian ini.... mana pakaianku yang butut tadi? Dia menjenguk ke bawah tebing dan kembali menjambak rambutnya. “Celaka, pakaian itu sudah kuhanyutkan tadi!”

“Punyaku juga, kek. Dan lagi, kalau dikembalikanpun, yang punya tentu tidak mau menerimanya, sudah kutambal-tambal....”

Bu-beng Lo-kai teringat bahwa pakaian yang sudah dipakainya itu, selain tak dapat dilepaskan karena pakaian bututnya sudah hilang, juga sudah penuh tambalan, tak mungkin dikembalikan.

“Masih ada yang baru, yang lain itu, pakaian cadangan itu harus dikembalikan.”

“Tidak bisa juga, kek. Lihat ini”, dan Suma Lian memperlihatkan cadangan pakaian untuk kakek itu dan untuknya sendiri.

Ternyata semuanya telah ditambal-tambal oleh Suma Lian, dilakukan ketika kakek tadi mandi dengan lamanya.

“Wah, wah....! Kau setan cilik....”

“Eh, kenapa kakek marah-marah dan memaki orang? Kata nenek, kebiasaan memaki itu tidak baik, kelak di neraka lidah akan dicabut keluar oleh malaikat.”

“Hushh! Sembarangan saja kau bicara. Apakah nenekmu Teng Siang In itu juga tidak pernah mengajarkan kepadamu bahwa mencuri adalah perbuatan yang amat tidak baik? Keturunan para pendekar Pulau Es bukan pencuri!”

“Aku selalu dilarang mencuri oleh ayah ibu dan nenekku, kek. Akan tetapi, apa yang kulakukan tadi adalah karena terpaksa. Dan yang kuambil pakaian dan makanannya adalah keluarga yang kaya raya, yang agaknya tidak akan merasa kehilangan apa-apa. Bukankah makanan tadi kuambil karena kita berdua kelaparan dan pakaian ini kuambil karena kita berdua amat membutuhkan? Kek, kalau kita mencuri yang mengakibatkan orang yang kecurian itu menderita, dan barang yang kita curi itu untuk kita pakai berfoya-foya, itu barulah tidak benar dan....”

“Cukup! Sekali mencuri tetap mencuri! Maling tetap maling, biar yang dimaling itu batu koral maupun batu permata! Mengambil barang orang lain yang bukan menjadi haknya adalah perbuatan jahat. Kita adalah keluarga pendekar, bukan keluarga maling dan pendekar berkewajiban untuk menentang para penjahat, termasuk pencuri. Mulai saat sekarang kau tidak boleh mencuri lagi. Kita belajar ilmu bukan untuk menjadi pencuri. Berjanjilah, kalau tidak, terpaksa aku akan membawamu pulang ke Hong-can dan....”

Kakek itu berhenti marah-marah ketika melihat betapa ada dua tetes air mata jatuh dari sepasang mata yang memandangnya dengan penuh sesal itu. Dia menarik napas panjang.

“Sudahlah, aku sudah melihat bahwa kau benar menyesal dan bertobat. Lebih baik minta-minta untuk menolong diri sendiri kalau memang kita sudah tidak mampu bekerja lagi, dan lebih baik mati kelaparan dari pada menjadi penjahat! Mengertikah engkau, cucuku?”
Suma Lian mengangguk.
“Aku mengerti, kakekku yang baik.”

Bu-beng Lo-kai tersenyum dan anak itupun tersenyum lagi dan cuaca menjadi cerah.
“Nah, mari sekarang kita pergi menghadap orang yang kau curi miliknya itu.”

Suma Lian membelalakkan matanya.
“Wahh....! Mana aku berani.?”






“Seorang pendekar harus berani bertanggung jawab. Akupun telah makan barang curian, dan memakai barang curian, akupun harus bertanggung jawab. Mari, bawa aku ke rumah dimana engkau melakukan pencurian itu.”

Dengan muka sebentar merah sebentar pucat, Suma Lian terpaksa membawa kakek itu ke rumah besar dimana tadi ia melakukan pencurian. Ia memang seorang anak yang lincah dan karena sejak kecil sudah digembleng oleh ayah ibunya dan neneknya, maka ia memiliki kelincahan dan tidak sukar baginya untuk meloncat naik ke atas tembok rumah itu, kemudian dengan kecepatannya ia menyusup ke dalam kamar-kamar dan dapur, mencuri makanan dan pakaian tanpa diketahui oleh seorangpun di antara para penghuni rumah itu.

Rumah itu besar, terlalu besar untuk ukuran dusun. Suma Lian benar. Memang rumah itu milik orang kaya raya yang takkan merasa kehilangan kalau miliknya hanya diambil sekian saja. Dan ternyata rumah itu milik keluarga bangsawan dari kota raja!

Kadang-kadang, untuk mencari ketenteraman yang tak bisa mereka dapatkan di kota raja yang ramai itu, keluarga Pouw, pemilik rumah itu, pergi ke dusun di luar kota raja ini dan di rumah mereka inilah mereka tinggal. Kalau saja keluarga itu tidak kebetulan berada di situ, tentu tadi Suma Lian hanya dapat mencuri pakaian saja yang ditinggalkan di situ, akan tetapi tidak akan memperoleh makanan-makanan yang lezat, melainkan makanan sederhana yang biasa dimasak oleh para pelayan dan penjaga rumah itu.

Para penjaga pintu, memandang kakek dan anak perempuan itu penuh keraguan ketika mereka minta untuk bertemu dengan pemilik rumah, akan tetapi karena dua orang tamu aneh ini bersih dan majikan merekapun suka menerima siapa saja yang datang bertamu, para penjaga lalu membuat laporan ke dalam, mengatakan bahwa ada dua orang tamu yang aneh, seorang kakek tua sekali dan seorang anak perempuan yang manis, keduanya memakai pakaian bersih dan tambal-tambalan, minta diperkenankan menghadap.

“Mereka tidak memberi nama dan tidak mengenal nama Taijin, hanya minta menghadap pemilik rumah,” demikian penjaga itu mengakhiri laporannya.

Laki-laki yang disebut Taijin itu tersenyum. Dia seorang laki-laki yang usianya kurang lebih lima puluh tahun, berpakaian longgar dan wajahnya membayangkan kesabaran yang penuh wibawa.

Pemilik rumah itu adalah seorang bangsawan, bahkan dia memiliki pangkat yang cukup tinggi karena dia adalah seorang diantara para menteri pembantu kaisar! Dia pernah menjabat sebagai seorang panglima pasukan keamanan kota raja, dan kini ia menjadi seorang menteri yang mengatur tentang pendapatan istana, yaitu pemasukan pendapatan dari pajak dan lain-lain.

Pada waktu itu, Pouw Taijin atau dahulu pernah dikenal sebagai Pouw-ciangkun (perwira Pouw), bersama isterinya dan lima orang anak-anaknya, empat laki-laki dan seorang anak perempuan, sedang beristirahat di dusun itu. Akhir-akhir ini memang, dia semakin sering saja berada di dusun itu, karena keadaan di kota raja membuat dia tidak betah di gedungnya di kota raja.

Bu-beng Lo-kai dan Suma Lian disuruh masuk ke ruangan tamu oleh seorang penjaga dan belum lama mereka duduk, muncullah tuan rumah dari pintu sebelah dalam. Bu-beng Lo-kai cepat mengajak cucunya bangkit berdiri dan memberi hormat kepada laki-laki yang memandang kepada mereka dengan mata terbelalak penuh keheranan itu.

“Maafkan kami kalau mengganggu,” kata Bu-beng Lo-kai dan kata-katanya yang teratur menunjukkan bahwa dia bukanlah seorang gelandangan biasa saja, “cucuku ini ingin membuat pengakuan kepada tuan rumah.”

Pouw Tong Ki, nama dari pembesar itu, semakin heran memandang kepada kakek tua renta dan anak perempuan itu. Dia seorang berpengalaman, dan melihat pakaian kakek dan anak perempuan itu yang baru akan tetapi tambal-tambalan, jelas bahwa pakaian itu bukan membutuhkan tambalan melainkan sengaja ditambal-tambal, dapat menduga bahwa dia berhadapan dengan orang-orang kang-ouw yang mempunyai kebiasan yang aneh-aneh.

“Saya Pouw Tong Ki, pemilik rumah ini. Silahkan kalian duduk.“

“Nanti saja kami duduk setelah cucuku membuat pengakuannya,” kata Bu-beng Lo-kai dengan tegas dan diapun menowel lengan cucunya.

Suma Lian berdiri dengan muka sebentar merah sebentar pucat. Bukan main malunya apalagi melihat betapa tuan rumah itu amat ramah memandang kepadanya.

“Nona kecil yang baik, apakah yang hendak nona katakan? Katakan saja dan jangan ragu-ragu,” katanya sambil tersenyum ramah.

Sikap ini banyak menolong dan setelah beberapa kali menelan ludah, akhirnya Suma Lian berkata, suaranya lirih akan tetapi cukup tegas dan jelas.

“Saya.... saya minta maaf karena tadi saya....” sukar sekali baginya untuk mengeluarkan kata-kata pengakuan itu.

Mengaku menjadi pencuri! Tentu saja hal ini merupakan pukulan hebat bagi dirinya, bagi “aku” nya. Makin tinggi orang membentuk gambaran tentang dirinya, semakin sukar pula baginya untuk mengenal dan mengakui kesalahannya.

“Cucuku, apakah engkau ingin menjadi seorang pengecut?” tiba-tiba kakek itu bertanya dan ucapan ini seperti api yang membakar dada Suma Lian!

“Saya datang untuk minta maaf dan mengaku bahwa tadi saya telah mencuri makanan yang sudah kami makan berdua, dan pakaian beberapa stel yang sudah kami pakai dan kami jadikan cadangan-cadangan kami!” katanya dengan sikap gagah dan sepasang matanya yang jernih itu memandang kepada wajah tuan rumah tanpa mengenal takut sedikitpun!

Pouw Tong Ki nampak terkejut dan terheran-heran.
“Tapi.... tapi pakaian yang kalian pakai itu bukan milik kami. Kami tidak mungkin memiliki pakaian tambal-tambalan.“

“Memang sengaja saya tambal-tambal agar sesuai dengan keadaan kami sebagai pengemis,” jawab Suma Lian.

“Maaf,” sambung Bu-beng Lo-kai. “Kami sudah biasa memakai pakaian tambal-tambalan sehingga tidak enak rasanya memakai pakaian utuh tanpa tambalan.”

“Ah....! Ahh....! Bukan main ji-wi (kalian berdua) ini....! Anakku harus melihat ini, harus dapat mencontoh!” Pouw Taijin bertepuk tangan dan dua orang penjaga muncul di pintu luar.

“Cepat kalian cari siocia dan minta agar datang ke sini dengan cepat!”

“Saya sudah minta maaf, kenapa harus memanggil orang lain?”

Suma Lian memprotes karena bagaimanapun juga, ia merasa tidak suka kalau perbuatannya mencuri itu diberitahukan kepada orang-orang lain!

“Nona, harap jangan salah duga. Yang kupanggil adalah puteriku, puteri tunggal, dan karena pakaiannyalah yang kau ambil dan kau pakai itu, bukankah sudah sepatutnya kalau ia datang sendiri menerima permintaan maaf darimu?”

Suma Lian tidak mampu membantah lagi, hanya mukanya berubah merah sekali. Ia harus menebalkan muka lagi, berhadapan dengan orang yang kini pakaiannya ia pakai! Tak lama kemudian, dari pintu dalam muncul seorang gadis cilik yang manis, sebaya dengan Suma Lian, pembawaannya tenang sekali akan tetapi sepasang matanya membayangkan kecerdikan. Sejenak gadis cilik itu memandang kepada Bu-beng Lo-kai dan Suma Lian, lalu bertanya kepada Pouw Tong Ki,

“Ayah, ada apakah ayah memanggil aku agar cepat datang ke sini dan siapa pula dua orang yang pakaiannya aneh-aneh ini?”

“Li Sian, dengar baik-baik. Ayahpun tidak mengenal kedua orang ini, akan tetapi mereka datang minta bertemu dengan kita berdua karena nona kecil ini ingin menyampaikan sesuatu kepada kita. Kepadaku sudah disampaikan maksud kedatangannya dan dengarlah apa yang akan ia katakan kepadamu.”

Nona cilik itu memandang kepada Suma Lian, memandang penuh perhatian dari rambut sampai ke sepatunya, lalu ia mengerutkan alisnya dan berkata kepada Suma Lian,

“Siapakah engkau yang berpakaian seaneh ini dan hendak menyampaikan apa?”

Suaranya halus teratur, tidak galak dan mengandung kelembutan, akan tetapi ia agaknya terkejut dan terheran-heran mendengar kata-kata ayahnya tadi.

Untuk kedua kalinya, Suma Lian mengangkat mukanya, meluruskan kepala dan membusungkan dadanya, lalu berkata,

“Aku datang ke sini untuk minta maaf dan untuk membuat pengakuan bahwa tadi aku telah menyelinap ke dalam rumah ini dan mencuri makanan, yaitu dua panci masakan, seguci arak dari dapur, dan dari dalam kamar-kamar aku mengambil.... eh, mencuri beberapa stel pakaian untuk kakekku ini dan untukku sendiri, juga sepatu ini. Pakaian-pakaian itu sudah kutambal-tambal, jadi tidak mungkin dikembalikan seperti yang dikehendaki kakekku, juga makanan itu terlanjur kami makan habis.”

Pouw Li Sian menjadi bengong, memandang ke arah pakaian Suma Lian. Ia mengenal bajunya sendiri yang sudah ditambal-tambal itu, juga ia mengenal sepatunya. Akan tetapi, yang membuat ia bengong, kenapa anak ini, yang sudah berhasil melakukan pencurian tanpa diketahui, kini malah datang membuat pengakuan dan minta maaf?

“Nah, Li Sian. Engkau sendiri menjadi terheran-heran mendengar pengakuannya. Sikap seperti inilah yang harus kau tiru, anakku!”

“Maksud ayah.... berpakaian pengemis dan.... dan mencuri itu?”

“Bukan! Akan tetapi sikap berani mempertanggung-jawabkan segala perbuatannya itulah! Aihh, betapa akan baiknya kalau semua pejabat dapat bertanggung jawab seperti anak ini! Li Sian, kalau ada orang-orang seperti ini kehabisan pakaian dan kelaparan, lalu mengambil makanan dan pakaian darimu, yang bagi kita tidak ada artinya, apakah engkau rela?”

Li Sian mengerutkan alisnya yang hitam indah itu. Lalu ia menggeleng kepalanya.
“Aku tidak rela, ayah. Kalau mereka datang dan minta kepadaku, mungkin aku akan memberi lebih baik dan lebih banyak dari pada yang telah diambilnya. Akan tetapi mencuri? Tidak, itu tidak benar dan aku tidak rela!”

“Akan tetapi, mereka sudah datang minta maaf. Lalu bagaimana pendapatmu? Kau maafkan mereka?”

“Aku tidak mau memaafkan orang yang mencuri karena ia tentu kelak akan mencuri lagi. Pencurian harus dihukum dan hukumannya terserah kepada ayah. Akan tetapi kalau mengenai barang-barangku, itu kurelakan dan sekarang juga kusumbangkan kepada mereka, ayah.”

“Bagus!” Tiba-tiba Bu-beng Lo-kai berkata dengan pandang mata kagum kepada puteri tuan rumah. “Itupun merupakan suatu pendirian yang gagah dan harus dihormati. Lihat, cucuku, puteri tuan rumah ini pantas kau jadikan teladan. Tegas dan adil!”

Pouw Tong Ki yang kini merasa yakin bahwa dia berhadapan dengan seorang sakti, lalu pura-pura bertanya,

“Orang tua, apakah hanya itu maksud kedatangan ji-wi ke sini? Hanya untuk membuat pengakuan dan minta maaf begitu saja?”

Kakek tua renta itu kini menujukan pandang matanya kepada tuan rumah dan diam-diam Pouw Tong Ki merasa terkejut dan kagum, juga jerih sekali. Sepasang mata itu dapat mengeluarkan sinar mencorong seperti api!

“Benar, akan tetapi aku setuju sekali dengan pendapat puterimu. Yang bersalah harus dihukum. Kami telah bersalah dan kami juga bukan orang yang suka menghindarkan diri dari hukuman. Nah, kami telah mengaku salah, kami telah datang, kalau mau menjatuhkan hukuman, silahkan!”

“Baik, kami akan menghukum ji-wi dan ji-wi sudah berjanji untuk menerima hukuman itu.”

“Tapi hukuman itu harus adil, kalau tidak, aku akan menentangnya! Sudah menjadi kewajiban kita untuk menentang keadilan, bukankah begitu, kek?” tiba-tiba Suma Lian berkata kepada tuan rumah dan iapun tegak berdiri menanti hukuman dengan sikap gagah!

“Hukuman untuk ji-wi adalah satu bulan lamanya harus mau menjadi tamu kehormatan kami di rumah ini! Locianpwe ini akan menjadi temanku bercakap-cakap, sedangkan nona cilik ini menjadi teman bermain dari Pouw Li Sian, anak kami ini. Locianpwe, saya bernama Pouw Tong Ki, menjabat Menteri Pendapatan Istana yang sedang beristirahat di sini, harap locianpwe tidak menolak undangan kami untuk menjadi tamu kehormatan kami!”

Kakek dan cucunya itu menjadi bengong! Mana di dunia ini ada hukuman berupa menjadi tamu kehormatan dan menjadi sahabat? Dan tuan rumah ini ternyata seorang menteri! Seorang “tiong-sin” menteri setia dan bijaksana seperti nampak pada sikapnya, dan dapat mengenal dirinya maka bersikap demikian hormat.

“Bagaimana ini, kakek? Hukumannya aneh sekali!” kata Suma Lian, bingung.

“Ha-ha-ha, kita sudah berjanji dan sanggup untuk menerima, sekali-kali tidak baik kalau menolaknya, cucuku.”

Pouw Li Sian menjadi girang sekali dengan keputusan ayahnya dan iapun maju dan memegang tangan Suma Lian.

“Engkau anak yang aneh sekali dan aku suka kepadamu. Namaku Pouw Li Sian. Siapakah namamu?”

“Namaku Suma Lian. Dan akupun merasa heran ada puteri seorang menteri suka bersahabat dengan seorang anak pengemis. Tidak malukah engkau bersahabat dengan aku?”

Pouw Li Sian merangkul pundaknya.
“Engkau dahulu lahir telanjang seperti aku, hanya pakaian saja yang memberi sebutan-sebutan itu. Mari kita lihat kebun buah kami, kini sedang musim apel, banyak dan besar-besar. Mari kita petik!”

Ia lalu menggandeng tangan Suma Lian yang mengikutinya dengan girang tanpa menoleh lagi kepada kakeknya.

“Locianpwe, mari kita bicara di ruangan dalam. Silahkan!”

Pembesar itu bangkit dan mengajak kakek itu masuk ke dalam, diikuti oleh Bu-beng Lo-kai yang merasa semakin suka saja kepada laki-laki yang memiliki kedudukan tinggi akan tetapi berjiwa sederhana itu. Setelah mereka duduk di ruangan dalam, Pouw Tong Ki memperkenalkan isterinya kepada kakek itu, juga empat orang puteranya yang berusia dari Sembilan belas tahun sampai enam belas tahun, kakak-kakak dari Pouw Li Sian.

Bu-beng Lo-kai semakin hormat kepada keluarga ini, contoh keluarga pembesar yang baik dan ramah. Sebaliknya, keluarga itu menganggap kakek yang berpakaian tambal-tambalan dan diaku sebagai tamu kehormatan oleh pembesar itu sebagai seorang kakek yang tentu berilmu tinggi.

Setelah mereka mundur dan para pelayan menghidangkan minuman arak dan makanan kering, pembesar itu lalu bertanya, suaranya bersungguh-sungguh.

“Kalau saya tidak salah duga, locianpwe tentulah seorang pendekar dari keluarga Pulau Es, bukan?”

Bu-beng Lo-kai terkejut, sama sekali tidak mengira akan ditanya demikian.
“Bagaimana Taijin dapat menduga demikian?”

Dia balas bertanya sambil memandang tajam. Kalau penghormatan ini didasarkan dugaan tuan rumah bahwa dia dan cucunya keluarga para pendekar Pulau Es, berarti bahwa penerimaan dan penghormatan keluarga ini mengandung suatu pamrih tertentu dan dia harus berhati-hati.

“Tadinya saya tidak menduga apa-apa, akan tetapi setelah cucumu berkenalan dengan puteriku dan mengaku bernama Suma Lian, maka timbul dugaan itu di hati saya. Bukankah nama marga Suma itu jarang sekali dan dimiliki oleh keluarga Pulau Es?”

Kakek itu menarik napas lega. Dia percaya dan memang benar ucapan pembesar ini. Nama marga Suma yang bukan merupakan keluarga Pulau Es memang ada, akan tetapi tidak banyak dan karena keluarga Pulau Es terkenal di antara para pembesar di kota raja, maka tidak mengherankan kalau pembesar ini segera dapat menduganya demikian.

“Dugaanmu memang tidak keliru, Pouw Taijin. Cucuku Suma Lian itu adalah keturunan langsung dari keluarga Pulau Es.”

“Dan bolehkah saya mengetahui siapa nama locianpwe yang mulia?”

“Aihh.... saya sendiri sudah lupa akan nama saya. Saya hanya orang luar dan saya hanya mempunyai sebutan Bu-beng Lo-kai.”

Pouw Tong Ki tidak merasa kecil hati mendengar ini. Dia berpengalaman luas dan tahu apa artinya itu. Berarti bahwa kakek ini tidak mau dikenal oleh siapapun juga, dan memang banyak sekali orang-orang sakti yang ingin menyembunyikan diri dari kepandaiannya. Maka dia semakin kagum dan menduga bahwa tentu kakek ini memiliki ilmu kepandaian yang tinggi sekali. Dan diam-diam diapun mempunyai harapan.

Di antara lima orang anak-anaknya, justeru Li Sian seoranglah, satu-satunya anak perempuannya yang menaruh minat akan latihan silat, juga berbakat sekali. Alangkah akan girang hatinya kalau Li Sian dapat menjadi murid kakek ini, menjadi saudara seperguruan atau saudara angkat dari anak perempuan bernama Suma Lian yang mengagumkan hatinya itu!

Mereka lalu bercakap-cakap dan ternyata oleh tuan rumah bahwa kakek yang kelihatannya saja seperti seorang pengemis tua, ternyata memiliki daya tangkap yang tajam dan pengetahuan yang luas sekali. Kakek tua renta itu bahkan pandai menanggapi ketika percakapan menyinggung keadaan kaisar. Kakek itu menyayangkan sekali bahwa seorang kaisar secakap Kaisar Kian Liong itu akhirnya dapat begitu mudah diperdaya oleh seorang menteri durna seperti Hou Seng, hanya karena kaisar itu tergila-gila kepadanya dan menganggapnya penjelmaan dari seorang wanita yang pernah dicintanya.

“Kaisar merupakan mercu-suar dari pemerintahan,” demikian antara lain kata kakek tua renta ini. “kalau kaisarnya lemah, maka pemerintahanpun lemah dan hal ini menurunkan kewibawaan pemerintah terhadap rakyat, juga memberi angin kepada para pembesar durna untuk merajalela. Akibatnya, rakyat yang tertindas dan kalau sampai rakyat merasa tidak puas dengan suatu pemerintah, itu tandanya bahwa pemerintah itu sudah mulai rapuh dan akan mudah jatuh kalau sampai terjadi pemberontakan, karena rakyat tentu akan lebih condong membantu pemberontak dari pada pemerintah yang tidak disukanya. Dan kalau kaisar lemah, sudah menjadi kewajiban para menteri dan pembesar tinggi untuk mengingatkannya.”

“Pendapat locianpwe memang tepat sekali. Akan tetapi celakanya, Hou Seng itu agaknya memang sudah membuat persiapan. Selain sukar untuk membuktikan korupsinya yang hanya beberapa orang yang bersangkutan dengan kekayaan negara saja yang mengetahuinya, juga dia kelihatan amat setia kepada kaisar dan bahkan kini mengumpulkan kekuatan rahasia untuk memperkuat kedudukannya. Menteri-menteri yang kuat disingkirkannya, baik melalui kekuasaan kaisar ataupun melalui kaki tangannya, menteri-menteri yang tidak kuat mentalnya dirangkul dengan sogokan-sogokan besar. Siapa berani menentangnya, tahu-tahu mati dalam keadaan amat menyedihkan dan aneh.

Seperti baru saja terjadi pada diri Pangeran Cui Muda yang kedapatan mati bersama seluruh pengawalnya di sebuah rumah pelesir, tanpa ada tanda-tanda siapa yang melakukan pembunuhan itu. Saya sendiri sudah tahu bahwa itu tentulah perbuatan orang sakti yang menjadi kaki tangan Hou Seng itu. Aihhh.... sungguh sedih sekali hatiku melihat keadaan istana. Karena itulah maka saya lebih sering berada di dusun sunyi ini dari pada di kota raja. Kalau saja orang-orang seperti Panglima Kao Cin Liong itu masih menjadi pembesar di kota raja. Ah, hanya orang-orang dengan kepandaian tinggi seperti dialah yang akan mampu membendung kekuasaan Hou Seng yang merajalela. Saya kira locianpwe tahu siapa adanya Panglima Kao Cin Liong itu, bukan?”