Ads

Selasa, 05 Januari 2016

Suling Naga Jilid 047

Para pembaca yang mengikuti kisah-kisah terdahulu dari seri PENDEKAR SUPER SAKTI ATAU SULING EMAS , tentu tidak asing dengan nama ini. Gak Bun Beng! Di dalam cerita SEPASANG PEDANG IBLIS diceritakan dengan jelas dan menarik tentang kehidupan pendekar ini, seorang pendekar besar yang setelah mengalami jatuh bangun akhirnya berjodoh dengan wanita yang dicinta dan mencintanya, yaitu Puteri Milana, puteri dari Pendekar Super Sakti Suma Han dan Puteri Nirahai.

Seperti kita ketahui, mereka hidup menjauhkan diri dari istana dimana Puteri Milana pernah membantu kaisar untuk menghadapi para pemberontak. Mereka mempunyai sepasang anak kembar, yaitu Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong yang kemudian menjadi Beng-san Siang eng (Sepa-sang Garuda dari Beng-san).

Ketika nenek Milana masih hidup, Gak Bun Beng bersama isterinya, Milana, berkali-kali membujuk sepasang anak kembar itu untuk segera menikah karena mereka berdua sudah ingin sekali memondong cucu. Akan tetapi, Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong tidak pernah mau menuruti permintaan orang tua mereka ini. Keduanya tak pernah dapat saling berpisah, jadi sukar sekali bagi mereka untuk mendapatkan isteri-isteri yang cocok.

Akhirnya, puteri atau nenek Milana marah sekali dan setiap hari memarahi kedua orang putera kembarnya yang usianya sudah semakin banyak itu. Hal ini membuat Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong lalu pergi minggat meninggalkan Beng-san. Mereka merantau dan akhirnya, seperti telah diceritakan di bagian depan cerita ini, mereka mempunyai seorang murid wanita bernama Souw Hui Lan dan ternyata wanita inilah satu-satunya wanita yang mereka cinta berdua, dan ternyata kemudian Souw Hui Lan juga mencinta mereka!

Sementara itu, kakek Gak Bun Beng dan nenek Milana, untuk menghibur hati mereka yang merasa kecewa atas sikap kedua orang anak mereka itu, mengasingkan diri di puncak Beng-san dan mereka hanya bertapa.

Kemudian, pada suatu hari, muncullah dua orang putera mereka itu bersama seorang gadis manis dan mereka menyatakan bahwa kini mereka ingin menikah dengan gadis itu, yang juga menjadi murid mereka!

Mereka itu, kedua orang anak kembar mereka itu, hendak menikah dengan seorang gadis saja! Milana menentang keras dan hampir saja turun tangan membunuh anak-anaknya sendiri kalau saja tidak dicegah suaminya yang minta kepada kedua orang anak kembarnya itu untuk pergi dan mengurus sendiri saja pernikahan yang dianggapnya memalukan itu.

Sepeninggal tiga orang itu yang terpaksa meninggalkan Beng-san dengan hati tertekan, nenek Milana meninggal karena sakit. Pukulan batin yang hebat ini tak tertahankan oleh kakek Gak Bun Beng. Urusan kedua orang puteranya sudah membuat dia berduka dan kecewa sekali, dan kini dia ditinggal mati isterinya yang tercinta dalam keadaan batinnya masih menderita oleh pukulan pertama.

Dengan hati penuh duka, Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong mengajak murid dan calon isteri mereka runtuk berkunjung lagi ke Beng-san dan menyembahyangi jenazah ibu mereka. Mereka minta ampun kepada jenazah ibu mereka, dan ketika mereka minta ampun kepada Gak Bun Beng, pendekar ini hanya menggeleng kepala dengan penuh duka.

“Aku tidak mencampuri lagi urusan kalian. Lakukanlah apa yang kalian suka, aku.... aku.... sudah tidak bisa berpikir lagi.... tinggalkanlah aku sendiri bersama kuburan isteriku,” demikian katanya setelah jenazah Milana dikubur dan sampai berbulan-bulan Gak Bun Beng hidup di dekat kuburan isterinya, tak pernah mau merawat dirinya.

Duka, kecewa dan kesengsaraan batin selalu menjadi akibat dari pada ikatan. Ikatan batin selalu mendatangkan duka nestapa. Isteriku, anakku, hartaku, kedudukanku, MILIKKU.

Kalau batin sudah ikut memiliki apa yang dipunyai oleh badan, maka sekali waktu yang dimiliki itu menentangnya, tidak menurut, atau meninggalkannya, maka batin itu akan menderita, kecewa, berduka. Badan memang membutuhkan banyak hal untuk dipunyai, karena badan harus bertumbuh terus, mempertahankan hidupnya. Badan membutuhkan sandang, pangan, papan, bahkan badan berhak menikmati kesenangan melalui panca indriya dan alat-alat tubuhnya. Akan tetapi, semua yang dibutuhkan badan itu, biarlah dipunyai oleh badan saja. Kalau sampai batin ikut memiliki, maka akan timbul ikatan.

Segala yang dimiliki itu akan berakar di dalam batin, sehingga kalau sewaktu-waktu yang dimiliki itu dicabut dan dipisahkan, batin akan berdarah dan merasa nyeri, kehilangan, kecewa, berduka dan akhirnya mendatangkan sengsara. Batin harus bebas dari ikatan, tidak memiliki apa-apa !

Mempunyai akan tetapi tidak memiliki, itulah seninya! Yang mempunyai adalah badan, akan tetapi mengapa batin ikut-ikut memilikinya? Cinta kasih bukan berarti memiliki dan menguasai! Dan cinta kasih ini urusan batin, bukan urusan badan. Urusan badan adalah cinta asmara, nafsu berahi dan kesenangan badaniah. Badan mengalami sesuatu yang mendatangkan nikmat dan kesenangan, dan ini adalah urusan badan. Kalau sudah habis sampai di situ saja, memang semestinya demikianlah.

Akan tetapi kalau sang aku, yaitu pikiran atau ingatan, mencatatnya dan sang aku ingin mengulanginya, ingin menikmatnya lagi, maka ini berarti batin ingin memiliki dan timbullah ikatan terhadap yang menimbulkan kenikmatan atau kesenangan itu. Dan kalau sekali waktu, kita harus berpisah dari yang telah mengikat kita, maka timbullah duka dan sengsara.

Seperti juga Gak Bun Beng dan Milana, kita selalu mengatakan dengan mulut bahwa kita mencinta anak-anak kita. Akan tetapi cinta kita itu membuat kita ingin selalu ditaati oleh anak-anak kita! Kita merasa berkuasa atas diri mereka! Kita merasa bahwa kita memiliki mereka dan berhak mengatur kehidupan mereka! Dan yang beginilah yang kita anggap cinta! Kalau sekali waktu anak-anak kita membantah dan tidak mentaati kehendak kita, maka kita lalu kecewa, marah-marah, berduka dan mungkin saja cinta kita berubah menjadi kebencian dan sakit hati inikah yang dinamakan cinta?

Bukankah cinta kita kepada anak-anak kita ini kita samakan dengan cinta kita terhadap binatang peliharaan atau benda-benda lain yang mendatangkan kesenangan bagi kita? Di dalam cinta kasih, tidak ada lagi “aku yang ingin disenangkan”! Di dalam nafsu dan kesenangan, selalu “aku” yang menonjol.

Cinta kasih tidak menuntut apa-apa untuk “aku”. Cinta kasih mementingkan orang yang dicinta, sama sekali tidak berpamrih untuk diri pribadi. Cinta kasih beginilah yang tidak akan menimbulkan duka dan sengsara, karena tidak mengejar kesenangan untuk diri sendiri saja, yang sudah mengikat batin, yang akan mendatangkan duka dan sengsara sebagai kebalikannya.

Kurang lebih setahun kemudian, barulah Gak Bun Beng meninggalkan kuburan isterinya. Akan tetapi dia telah berubah. Kakek yang tadinya merupakan seorang pertapa yang gagah perkasa itu, yang arif bijaksana itu, kini menjadi seorang kakek jembel yang kotor sekali tubuhnya. Tak pernah mau mengurus tubuhnya, dan hidup berkeliaran seperti pengemis yang gila. Tak seorangpun memperdulikannya dan diapun tidak memperdulikan apa-apa lagi.

Kasihan sekali Gak Bun Beng, walaupun semua itu adalah akibat dari pada keadaan batinnya sendiri. Dia merasa kesepian. Dia merasa amat iba kepada dirinya sendiri dan dia merasa nelangsa karena merasa tidak ada gunanya lagi hidup di dunia, baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain.






Selama ini, yang dimilikinya sampai mengikat batinnya adalah isterinya dan dua orang puteranya. Akan tetapi, dua orang puteranya tidak mentaatinya, kemudian isterinya, satu-satunya orang yang masih tinggal, yang masih menjadi miliknya lahir batin, meninggalkan dirinya! Dalam perantauan yang tidak ada tujuan ini, akhirnya dia berkeliaran di kota raja!

Biarpun keadaannya sudah menjadi seorang kakek jembel yang seperti tidak waras otaknya, namun Gak Bun Beng bekas pendekar yang sudah sering menjelajah di kota raja. Dia mengenal keadaan kota raja dan masih peka oleh berita-berita yang bersimpang siur. Dia mendengar pula tentang keadaan yang kacau balau di istana, tentang pembesar Hou Seng yang menguasai istana dan membuat kaisar menjadi seperti boneka. Semua percakapan di jalan didengarnya dengan peka. Namun, dia hanya tertawa dan sama sekali tidak memperdulikannya.

Sampai pada saat dia beristirahat di bawah jembatan dan melihat seorang anak perempuan berlari-lari itu. Sebelumnya, sudah ada beberapa orang yang lewat di atas jembatan itu dan mencari-cari seorang anak perempuan. Timbul perasaan iba di hatinya yang memang berwatak pendekar dan suka menolong mereka yang tertindas.

Kasihan dia melihat seorang anak perempuan dikejar-kejar, apalagi karena dia melihat bahwa seorang di antara pengejarnya adalah Kim Hwa Nio-nio! Dia mendengar nama ini dari orang-orang di tepi jalan, bahwa Kim Hwa Nio-nio adalah pengawal pribadi utama dari pembesar Hou Seng! Hatinya tertarik, terutama sekali melihat betapa gerak-gerik nenek itu jelas memperlihatkan kelihaiannya sebagai seorang yang memiliki ilmu kesaktian!

Kalau biasanya dia acuh saja terhadap segala peristiwa di sekelilingnya, dan andaikata ada suatu peristiwa yang membuat dia terpaksa turun tangan, maka semua itu dia lakukan dengan sembunyi-sembunyi tanpa diketahui orang.

Akan tetapi, dia merasa kasihan kepada anak perempuan itu dan cepat dia menariknya ke kolong jembatan dan tanpa banyak cakap lagi karena waktunya hanya sempit, dia lalu menukar pakaian dan melumuri tubuh Suma Lian agar pantas menyamar sebagai seorang anak perempuan pengemis. Dan usahanya campur tangan secara diam-diam itu berhasil.

Akan tetapi pada saat dia hendak membebaskan anak itu, muncul Kim Hwa Nio-nio sehingga terpaksa dia mempergunakan kepandaian yang selama ini disembunyikannya saja untuk melindungi anak itu dan dirinya sendiri. Dan sungguh sama sekali tidak disangkanya bahwa anak itu ternyata adalah cucu keponakannya sendiri, puteri dari keponakannya, Suma Ceng Liong!

Bu-beng Lo-kai (Pengemis Tua Tanpa Nama), nama baru yang dipergunakan Gak Bun Beng, memegang tangan anak itu dan tersenyum ramah.

“Suma Lian, sekarang ceritakan kepadaku bagaimana engkau bisa sampai ke kota raja dan jatuh ke tangan orang seperti Kim Hwa Nio-nio itu.”

“Yang menculik aku bukan nenek itu, kek, melainkan seorang pendeta Lama berjuluk Sai-cu Lama.”

Anak itu lalu bercerita tentang kemunculan Sai-cu Lama di kebun rumah orang tuanya di dusun Hong-cun, menculiknya ketika ia sedang berlatih silat di bawah pimpinan neneknya. Bu-beng Lo-kai mendengarkan penuh perhatian.

“Nenekmu Teng Siang In tidak mampu melindungimu dan merampasmu kembali dari tangan Sai-cu Lama itu? Wah, kalau begitu pendeta Lama itu tentu lihai bukan main!” kata kakek itu.

“Memang dia lihai sekali dan sekarang dia membantu Kim Hwa Nio-nio menjadi kaki tangan pembesar yang disebut Hou Taijin itu.”

Kakek itu mengangguk-angguk, lalu memandang wajah anak itu.
“Dan bagaimana sekarang, cucuku? Engkau sudah berada di kota raja dan sudah bebas, apakah engkau ingin pulang ke Hong-cun? Aku akan mengantarmu sampai ke luar dusunmu, lalu kutinggalkan di sana kalau kau ingin pulang.”

“Dan engkau sendiri hendak pergi ke mana, kek?” tanya anak itu, memandang kepada orang tua itu dengan sinar mata mengandung rasa kasihan. Kakek ini demikian menderita, pikirnya.

“Aku? Ha, aku sendiri tidak tahu akan kemana? Aku tidak punya apa-apa lagi.... di manapun menjadi tempat tinggalku. Aku tidak butuh apa-apa lagi.” Akan tetapi di dalam suaranya ini terkandung kedukaan dan keputus asaan yang mendalam.

Merantau! Ah, betapa keinginan ini sejak lama sudah memenuhi hati Suma Lian. Sudah beberapa kali ia mengajak ayah ibunya, juga neneknya, agar ia dibawa merantau, terutama ke kota raja. Akan tetapi mereka mengatakan bahwa keadaan sekarang tidak aman dan ia masih terlampau kecil untuk melakukan perjalanan jauh. Sekarang, ia sudah berada di kota raja. Sayang kalau ia harus pulang kembali begitu saja. Jiwa petualang bergelora di dalam hatinya.

“Kek, aku tidak mau pulang!” Tiba-tiba ia berkata dengan suara lantang.

“Eh?” Bu-beng Lo-kai memandang heran. “Tidak mau pulang?”

“Aku tidak mau pulang dulu, aku ingin ikut denganmu!”

“Ikut denganku?” kakek itu termenung, akan tetapi Suma Lian melihat dengan jelas perubahan pada wajah yang ditutupi rambut itu. Sepasang mata yang masih tajam itu kini mengeluarkan sinar, walaupun masih redup. Ada gairah. “Ikut denganku? Hidup seperti ini? Tanpa rumah tanpa apa-apa, seperti jembel berkeliaran dan terlantar?”

“Mengapa tidak? Bagi seorang perantau, tak perlu tempat tinggal tetap. Aku dapat tidur dimana saja. Bukankah keluarga kita, keturunan para pendekar Pulau Es, berjiwa perantau dan tabah menghadapi segala hal? Aku dapat tidur di kuil, di hutan, dimana saja, kek.”

“Tanpa pakaian indah, tidak ada uang, tidak ada kekayaan apapun?”

“Aku tidak ingin pakaian yang indah-indah, asalkan bersih. Kebersihan perlu sekali, kek. Bukankah seperti kata nenekku, kebersihan itu pangkal kesehatan dan kesehatan itu pangkal kegembiraan? Bagaimana kita bisa gembira kalau kita tidak sehat, dan bagaimana kita bisa sehat kalau kita tidak bersih? Bagaimana, kakekku yang baik, bolehkah cucumu ini ikut merantau bersamamu dan setiap ada kesempatan kau mengajarkan ilmu silat keluarga kita kepadaku?”

Ada semacam cahaya memasuki hati kakek itu. Suma Lian, anak perempuan berusia dua belas tahun ini, mendatangkan gairah hidup di dalam batinnya, membuat dia merasa bahwa dia masih dibutuhkan orang! Dia masih berguna!

“Baiklah, cucuku. Baik, kita merantau bersama.”

Bukan main girangnya rasa hati Suma Lian. Ia setengah bersorak merangkul kakek itu, akan tetapi lalu menutupi hidungnya.

“Ihh, engkau berbau tak enak sekali, kek. Engkau harus mandi yang bersih, mencuci rambut itu, mengikatnya dan juga berganti pakaian. Aku juga. Hampir muntah aku kalau tercium bau bajuku sendiri ini!”

“Berganti pakaian? Aku tidak punya cadangan pakaian. Selimut bututku sudah menjadi pakaianmu.”

“Aku akan mencarikan ganti untukmu, kek. Mari kita ke dusun atau kota terdekat, dan aku akan mencari pakaian untuk kita berdua.”

Anak itu menarik tangan kakek itu dan merekapun melanjutkan perjalanan, tidak kembali ke kota raja karena mereka khawatir kalau bertemu dengan Kim Hwa Nio-nio dan kawan-kawannya. Kakek itu membawa Suma Lian ke sebuah dusun yang cukup ramai di sebelah barat kota raja dan mereka berdua berhenti di sebuah kuil tua yang kosong.

“Apakah perutmu tidak merasa lapar, kek?” tiba-tiba anak itu bertanya.

Kakek itu mengangguk.
“Sejak kemarin siang aku tidak makan apa-apa,” jawabnya jujur.

Harus diakuinya di dalam hati bahwa dia kadang-kadang sudah tidak perduli lagi apakah perutnya terisi atau tidak, bahkan dia sudah lupa bagaimana rasanya lapar atau kenyang itu. Selama ini dia seperti mayat hidup saja.

“Kalau begitu, kau tinggal saja dan tunggu aku di sini, kek. Aku akan mencari makanan dan pakaian untuk kita.”

Kakek itu memandang dengan alis berkerut.
“Kau akan membelinya?”

Suma Lian tersenyum lucu penuh rahasia.
“Kau tunggu sajalah, dan tanggung beres, kek.”

Anak itu lalu berlari-larian meninggalkan kuil, diikuti pandang mata yang penuh keharuan oleh kakek tua renta itu. Mulailah pohon yang hampir mati kering itu memperoleh air kehidupan lagi, mulai bersemi semangat untuk hidup dan gairah. Dia merasa seolah-olah Suma Lian itu cucunya sendiri, cucu yang amat diharapkan selama bertahun-tahun oleh dia dan mendiang isterinya, cucu yang tak kunjung ada dan kini tiba-tiba saja muncul seorang cucu dalam kehidupannya!

Dia tidak khawatir akan keselamatan Suma Lian. Anak itu pandai berjaga diri, dan diapun tidak perlu mengkhawatirkan munculnya Kim Hwa Nio-nio. Kuil itu berada di dekat pintu pagar dusun sebelah timur sehingga kalau ada orang muncul dari jurusan kota raja, dia akan dapat melihatnya lebih dulu sebelum orang itu dapat bertemu dengan Suma Lian yang berada di tengah dusun itu.

Kurang lebih sejam kemudian, sesosok bayangan kecil berloncatan dan Suma Lian masuk ke dalam kuil itu melalui tembok belakang yang diloncatinya. Ia membawa buntalan yang cukup besar dan wajahnya berseri-seri ketika ia menghadap Bu-beng Lo-kai di ruangan kuil tua yang lantainya sudah mereka bersihkan tadi.

“Makanan dan pakaian yang cukup untuk kita, kek!” kata anak itu sambil membuka buntalannya di depan kakek itu.

Bu-beng Lo-kai memandang dan mengerutkan alisnya ketika dia melihat dua buah panci yang terisi masakan-masakan dan daging, juga bakmi yang masih panas. Dan selain makanan itu, juga terdapat beberapa potong pakaian yang masih baru untuknya, juga untuk anak itu!

“Hai....! Dari mana kau memperoleh semua ini? Tak mungkin kalau engkau mengemis dan diberi orang!” tegur kakek itu.

“Aihh, kek. Nanti saja kita bicara tentang itu. Sekarang, paling perlu mengisi perut yang sudah lapar dengan makanan ini. Dan ini seguci arak untukmu!”

Seperti main sulap saja, Suma Lian mengeluarkan seguci arak yang ketika dibuka tutupnya, berbau harum sekali, membuat kakek itu menelan air ludah saking ingin segera mencicipinya.

Kakek itu mengangguk-angguk. Bagaimanapun juga dari manapun asalnya makanan itu, kini sudah berada di situ dan memang sebaiknya dimakan saja dulu, baru nanti dia akan menuntut keterangan dan kalau perlu memberi teguran keras kepada anak ini kalau benar seperti dugaannya bahwa anak ini telah melakukan pencurian!

Dan, barang curian atau bukan, kalau perut sudah sedemikian laparnya, masakan itu luar biasa enaknya! Baru sekarang selama dia ditinggal mati isterinya, kakek itu makan sedemikian lahapnya dan enaknya. Suma Lian juga makan dengan lezat, melupakan bau tak sedap yang datang dari kakek itu dan dari pakaiannya sendiri. Tak lama kemudian, makanan itu sudah mereka sikat habis dan kakek itu dengan wajah puas lalu meneguk arak dari gucinya.

“Nah, sekarang kau....“

“Nanti dulu, kek. Ketika aku pergi tadi, ada kulihat sebatang sungai kecil di belakang kuil ini. Airnya jernih sekali. Mari kita membersihkan badan, mandi dan berganti pakaian dulu, baru bicara. Akan lebih enak begitu. Marilah, kek!”

Anak itu lalu menarik tangan Bu-beng Lo-kai yang terpaksa bangkit berdiri sambil membawa guci araknya. Suma Lian membawa buntalan pakaian dan mereka keluar dari kuil, lalu membelok ke arah belakang kuil dimana benar saja terdapat sebuah anak sungai yang jernih airnya.

“Nah, kau mandilah dan ganti pakaianmu itu dengan pakaian ini, kek. Lihat, kupilihkan yang polos kuning dan putih untukmu, dengan ikat pinggang biru. Tentu pantas sekali untukmu. Dan ini minyak pencuci rambutmu. Cucilah rambutmu dan badanmu yang bersih, kek. Aku menanti disini,” katanya sambil duduk di bawah sebatang pohon besar, tak jauh dari anak sungai itu yang berada dibawah, tidak nampak dari situ.

“Kau dulu yang mandi dan bertukar pakaian. Aku nanti saja setelah engkau. Aku akan berjaga di sini sambil minum arak. Arak ini enak sekali!” kata kakek itu malas-malasan.

“Baiklah, akan tetapi setelah aku selesai, engkau harus mandi dan berganti pakaian, kek. Berjanjilah!”

Kakek itu hendak membantah, akan tetapi ketika melihat wajah anak perempuan itu, tak sampai hatinya membantah. Dia mengangguk-angguk.

“Baiklah.” Dan menenggak arak lagi seteguk dari gucinya, mengecap-ngecap dan menjilat-jilat bibirnya.

Suma Lian membawa satu stel pakaian berwarna biru muda dan sambil tertawa-tawa ia berloncatan menuruni tebing menuju ke sungai itu. Tak lama kemudian terdengar suara ia berkecimpung di dalam air sambil bernyanyi-nyanyi kecil, suara yang amat asing dan baru baginya, namun indah sekali dan menyegarkan batinnya. Kini dia dapat tersenyum-senyum penuh kegembiraan seorang diri, bukan lagi senyum untuk menyembunyikan kedukaan hatinya.

Tak lama kemudian, Suma Lian sudah berada lagi di depannya. Segar sekali wajah yang kini bersih dan putih kembali itu, rambutnya yang hitam panjang itu masih basah kuyup dan diperasnya, lalu dibiarkan terurai agar cepat kering, kedua kakinya memakai sepatu baru dan pakaian yang dipakainya itu membuatnya nampak manis sekali.

“Nah, sekarang engkau mandi, mencuci rambutmu dan berganti pakaian, kek!”

Kata Suma Lian sambil menyerahkan pakaian untuk kakek itu. Bu-beng Lo-kai memandang pakaian yang berwarna putih dan kuning polos itu dengan alis berkerut, seperti seorang anak kecil memandang obat pahit yang harus ditelannya. Beberapa kali dia menggelengkan kepalanya.

“Wah, bagaimana aku dapat memakai pakaian sebersih itu? Tentu aku akan takut duduk di tempat sembarangan, selalu harus menjaga agar pakaianku tak menjadi kotor. Wah, repot sekali kalau begitu, tidak bebas lagi aku.”

“Janji, kek. Janji harus dipenuhi, bukankah itu satu di antara sifat kegagahan?”

“Ya-ya, akan tetapi....“

“Tidak ada tapi, kek. Dan aku yakin bahwa dulu, entah kapan, pernah engkau merupakan seorang yang suka akan kebersihan, tidak seperti sekarang ini! Engkau sudah berjanji akan mandi dan berganti pakaian, kek!”

Mendengar ucapan itu, Bu-beng Lo-kai termenung teringat akan isterinya. Isterinya, Puteri Milana, ketika masih muda, sebagai isterinya, juga suka sekali akan kebersihan. Dia sering diomeli isterinya itu kalau menaruh barang di sembarangan tempat, juga isterinya itu menghendaki agar dia selalu bersih, baik badannya maupun pakaiannya. Dan diapun selalu menjaga dirinya agar bersih.

Akan tetapi bertahun-tahun sudah dia hidup tanpa perduli akan apa yang dinamakan kebersihan. Bahkan tidak ada yang kotor baginya. Bukankah daun-daun kering itu juga bersih? Tanah dan lumpur itupun bersih? Akan tetapi sekarang, kata-kata dan sikap Suma Lian mengingatkan dia kembali akan kehidupannya dahulu, sebelum isterinya meninggalkannya untuk selamanya.

“Akan tetapi.... pakaian seperti ini....? Ingat, cucuku, mulai tadi aku sudah memakai nama Bu-beng Lo-kai. Ingat, apa artinya lo-kai? Pengemis tua! Kalau aku memakai pakaian begini, mana mungkin namaku Lo-kai? Seorang pengemis tua harus mengenakan pakaian butut dan penuh tambalan, kalau tidak begitu, mana mungkin dia laku mengemis? Takkan ada orang mau memberi sedekah!”

Tiba-tiba Suma Lian tertawa menutupi mulutnya.
“Hi-hik, sudah kuduga engkau akan mengajukan alasan itu, karena itu akupun sudah siap, kek. Nah, lihat ini!”

Ia mengeluarkan jarum dan benang, lalu ia merobek pakaian kakek itu di sana-sini, merobek kain kuning paha celana dan memindahkan atau menembelkan robekan itu di pundak baju putih dan sebaliknya.

Ia merobek sana-sini, tambal sana tambal sini dan akhirnya pakaian itu menjadi pakaian penuh tambalan yang hanya merupakan pemindahan saja dari bagian-bagian yang dirobek tadi. Kini bajunya yang putih penuh tambalan kuning, sedangkan celana kuning penuh tambalan putih.

“Nah, pakaianmu sudah penuh tambalan, syarat bagi seorang pengemis, bukan?. Akan tetapi, betapapun miskinnya, seorang pengemis tetap berhak untuk hidup bersih. Dan karena itu, disini masih tersedia dua stel lagi untukmu dan lima stel pakaian untukku. Setiap hari kita berganti pakaian, yang kotor akan kucuci sampai bersih, dan setiap hari kita mandi!”

Kembali kakek itu termenung, teringat akan mendiang isterinya. Sama benar watak isterinya dengan anak ini, ketika isterinya masih muda. Keras, lincah, galak, pandai bicara dan juga amat suka akan kebersihan. Dia sudah kehabisan akal untuk membantah lagi dan terpaksa dia menerima satu stel pakaian yang sudah penuh tambalan itu dan menuruni tebing. Dan Suma Lian menahan ketawanya ketika ia mendengar kakek itu berkecimpung dan mendengar pula senandung yang digumamkan mulut itu.

“Yang bersih, kek! Rambutnya juga.!” ia berteriak ke arah bawah tebing.

Dari bawah terdengar suara ketawa.
“Wah, engkau cerewet benar seperti seorang nenek tua saja!” Dan Suma Lian kembali tertawa.

Bu-beng Lo-kai membutuhkan waktu yang jauh lebih lama untuk membersihkan tubuhnya yang amat kotor, terutama rambutnya yang sudah menjadi gimbal saling melekat itu. Akan tetapi suatu keanehan terjadi pada dirinya. Begitu dia merendam tubuhnya di dalam air dan membersihkan semua kotoran, dia merasa hatinya demikian ringan dan senang, membuat dia gembira seperti seorang anak kecil saja.

Betapa keriangan hati itu bisa didapatkan dimana saja dan kapan saja, asalkan batin tidak dipenuhi oleh segala macam persoalan yang sebenarnya hanyalah peristiwa-peristiwa yang kita jadikan persoalan sendiri! Tidak ada masalah di dunia ini kecuali hal itu dibuat menjadi masalah. Tidak ada kesusahan kecuali kejadian itu kita buat sendiri menjadi kesusahan!

Kalau batin tidak sibuk lagi oleh segala macam penilaian yang menimbulkan aku yang kemudian melahirkan iba diri, maka segala hal kita hadapi sebagaimana adanya, sebagai suatu kewajaran dan segala tindakan kita terhadap hal yang terjadi itu muncul dari kecerdasan akal budi, tanpa keluhan lagi. Keriangan hati akan selalu terasa oleh kita apabila batin kita bersih dari segala persoalan yang dibuat oleh pikiran.

Terdapat dalam hal yang kecil-kecil dan remeh-remeh, karena hidup merupakan suatu berkah di mana segala-galanya sudah terdapat untuk kita nikmati. Di tanah, di air, di udara, di mana saja terdapat kenikmatan itu, kenikmatan hidup karena setelah batin kita bersih dari pada segala kekuasaan siaku, akan nampaklah sinar cinta kasih yang menerangi alam!

Kakek itu benar-benar mencuci rambut dan tubuhnya sampai bersih! Dan dia nampak belasan tahun lebih muda ketika naik ke tebing itu, rambutnya terurai di belakang punggung, dan wajahnya yang tua nampak segar walaupun penuh dengan kumis dan jenggot putih. Nampak bersih segar dan sehat, apalagi karena garis-garis mukanya masih memperlihatkan bekas wajah seorang laki-laki yang tampan dan gagah.

“Nah, kau kelihatan bersih dan gagah, kek!”

Suma Lian bertepuk tangan kegirangan, membuat orang yang dipuji itu merah mukanya dan untuk menghilangkan rasa kikuknya, kakek itu hendak menjatuhkan diri duduk di atas tanah.

“Eiiiittt, hati-hati, kek!” Suma Lian meloncat dan memegang tangan kakek itu, ditariknya agar tidak jadi duduk. “jangan kotorkan pakaianmu dengan duduk begitu saja di atas tanah yang basah. Tuh, duduk di atas batu itu, sudah kubersihkan tadi!”

Kakek itu menarik napas panjang.
“Nah, nah, sudah mulai bukan? Aku harus selalu menjaga pakaianku agar tidak kotor. Menambah kerepotan saja!”

“Bukan begitu, kek. Kalau sudah terbiasa nanti tentu dengan sendirinya engkau tidak mau mengotori pakaianmu. Ingat, engkau tidak ingin membuat kedua tanganku lecet-lecet, bukan?”

“Tentu saja tidak! Ehh.... apa maksudmu dengan tangan lecet-lecet itu?”

“Ingat, akulah yang akan mencuci pakaianmu setiap hari. Kalau engkau sembarangan saja membuat pakaianmu kotor sekali, bukankah aku yang mencuci yang akan bekerja berat setengah mati, sampai kedua tanganku lecet-lecet karena harus mencuci pakaian yang kotor sekali?”

Bu beng Lo-kai tertawa.
“Ha-ha-ha, engkau memang cerdik. Baiklah, akan kujaga pakaian ini agar tetap bersih.”

“Nah, begitu barulah engkau kakekku yang baik sekali, terima kasih sebelumnya, kek!” Dan Suma Lian lalu memberi hormat kepada kakek itu dengan sikap yang lucu.

“Ah, apa yang terjadi dengan pakaianmu itu? Kenapa sekarang juga penuh tambalan?” kakek itu berseru sambil memandang ke arah pakaian yang dipakai oleh anak itu.