Ads

Minggu, 03 Januari 2016

Suling Naga Jilid 040

Pegunungan Tai-hang-san terkenal sebagai pegunungan yang indah, memanjang dari selatan ke utara. Di pegunungan itu terdapat banyak puncak-puncaknya yang selain amat indah pemandangan alamnya, juga amat sukar didaki orang karena untuk mencapai puncak, orang harus menuruni jurang dan memanjat tebing-tebing yang amat curam.

Bahkan para pemburu pun jarang berani mendekati puncak-puncak yang berbahaya itu, melainkan mencari binatang buruan di sekitar lereng pegunungan di mana terdapat banyak hutan-hutan yang luas. Pegunungan ini terletak di tepi daerah pegunungan yang memenuhi sebagian besar daratan Cina, di tepi timur sehingga dari puncak-puncaknya, nampaklah bagian timur yang datar dan rendah, penuh dengan sungai-sungai besar yang mengalir dari barat dan utara yang penuh dengan pegunungan itu.

Akan tetapi kalau dari puncak Tai-hang-san orang memandang ke utara, selatan dan terutama barat, maka yang nampak hanya pegunungan belaka, dan daerah-daerah tandus yang tinggi.

Karena di bagian timurnya datar dan tidak terhalang gunung, amat indahlah pemandangan matahari terbit di puncak Tai-hang-san. Matahari terbit pagi sekali karena tidak terhalang apa-apa, nampak kalau pagi matahari seperti muncul dari tanah yang merupakan garis jauh sepanjang mata memandang, dan nampak bola merah itu menyembul perlahan-lahan, besar dan merah darah, makin lama makin tinggi sampai mata tidak kuat memandang lagi karena semakin tinggi bola merah itu naik, semakin kuat cahayanya. Warna merahpun berganti keemasan, lalu kalau sudah berubah seperti warna perak, matahari itu sudah naik tinggi.

Namun, ketika bola itu masih berwarna merah darah, pemandangan alam di atas puncak sukar dilukiskan dengan kata-kata. Pokoknya, indah yang mengandung sesuatu yang dapat mendatangkan perasaan damai penuh ketenangan di dalam hati, mendatangkan perasaan takjub dan hening, menggugah kesadaran betapa diri kita ini kecil dan sama sekali tidak ada artinya kalau dibandingkan dengan kebesaran alam.

Menyadarkan batin bahwa kita ini merupakan sebagian kecil saja dari alam, ikut berputar dalam arus kekuasaan alam yang sudah mengatur segala-galanya secara sempurna. Betapa kita ini merupakan mahluk yang hanya dapat hidup karena adanya semua yang nampak dan tidak nampak di alam ini.

Cahaya matahari, udara, bumi, air, pohon-pohonan. Semua sudah teratur, sedemikian sempurna, saling kait-mengait, saling mematikan, saling menghidupkan, tak boleh kurang satu pun juga, sesuai dengan hukum alam. Sayang bahwa kesadaran ini hanya kadang-kadang saja memasuki batin kita, dan sebagian besar dari waktu kita terisi oleh pikiran yang menciptakan sang aku, sehingga bayangan aku inilah yang paling besar, paling penting, dan harus dipaling dahulukan!

Padahal, tanpa pergi ke puncak gunung seperti puncak Tai-hang-san sekalipun, dengan meneliti tubuh kita sendiri, kita akan menemukan keajaiban-keajaiban itu, akan menemukan kekuasaan alam yang bekerja dengan sempurna pada diri kita, karena keadaan diri kita tiada ubahnya dengan keadaan alam!

Lihatlah, rambut kita yang tak dapat kita hitung banyaknya itu, bulu-bulu di tubuh kita, satu demi satu hidup sendiri-sendiri tanpa kita kuasai, ada yang panjang ada yang pendek ada yang rontok ada yang tumbuh lagi. Garis-garis kulit kita, lekuk dan lengkung tubuh kita, badan kita seluruhnya, isi kepala dan perut, otak kita, semua tumbuh sendiri-sendiri tanpa dapat diatur oleh sang aku! Jantung kita berdenyut setiap saat, baik kita sedang sadar maupun tidak, seolah-olah hidup tersendiri.

Lalu apa sesungguhnya kemampuan sang aku yang begitu kita agung-agungkan? Bukankah sang aku itu hanya ciptaan pikiran kita saja yang selalu mengejar hal-hal yang menyenangkan yang pernah kita alami dan menghindari hal-hal yang tidak menyenangkan? Di mana ada pengejaran kesenangan maka aku menjadi-jadi pentingnya.

Segala macam nafsu mengaku menjadi sang aku. Dan begitu ada pengejaran kepentingan diri untuk kesenangan, mulailah di antara kita saling bertumbukan, saling memperebutkan kesenangan yang kita beri nama kebenaran dan sebagainya yang muluk-muluk. Bahkan perangpun terjadi di antara bangsa karena cetusan keinginan untuk mengejar kesenangan masing-masing itulah, mengejar kepentingan diri pribadi.

Hampir setiap pagi, di atas satu di antara puncak--puncak pegunungan itu, seorang pria selalu menyambut munculnya matahari sambil meniup sulingnya. Keadaan di sekitarnya, pemandangan alam yang nampak oleh matanya, bunyi-bunyian antara binatang-binatang malam yang mulai mengendur diganti suara kokok ayam dan kicau burung yang memasuki telinganya, keharuman tanah yang dibasahi air embun, rumput dan daun-daun pohon yang memasuki hidungnya, perasaan hati yang tenang dan hening, semua itu seolah-olah memberi ilham kepadanya untuk mengalunkan suara sulingnya tanpa memainkan suatu lagu tertentu!

Semua yang didengarnya, dilihatnya dan diciumnya itu seolah-olah hendak dia masukkan ke dalam tiupan sulingnya, atau lebih tepat lagi, dia ingin mengiringi semua itu dengan alunan suara yang serasi, dan dia meniup dengan sepenuh perasaan, hanyut ke dalam suara buatan sulingnya sendiri.

Pria itu berusia tiga puluh tiga tahun, bertubuh sedang dan wajahnya bersih tampan, namun sepasang matanya yang tajam itu seperti diselimuti kesayuan, seperti mata orang yang pernah dilanda duka. Pakaiannya sederhana sekali, namun bersih. Dia duduk di atas sebuah batu hitam, menghadap ke timur dan suara sulingnya akhirnya berhenti setelah matahari naik semakin tinggi dan cahayanya mulai menyilaukan mata.

Begitu suara sulingnya berhenti, ramailah terdengar suara burung-burung berkicau dan pergantian suara ini bukan membikin suasana menjadi buruk, bahkan kini suasana menjadi gembira sekali, seolah-olah burung-burung itu bergembira menyambut hari yang cerah. Suara suling tadi mendatangkan kesyahduan dan agaknya banyak burung ikut mendengarkan dan baru sekarang mereka semua berkicau dan ada yang mulai terbang meninggalkan pohon untuk pergi mencari makan.

Melihat sulingnya yang mengeluarkan cahaya ketika tertimpa sinar matahari yang mulai naik tinggi tentu akan membuat orang terkejut karena suling itu, terbuat dari pada kayu menghitam yang diukir indah seperti bentuk naga akan tetapi tajam dan runcing seperti pedang. Dan memang benda itu adalah Liong-siauw-kiam (Pedang Suling Naga) dan pemegangnya adalah Pendekar Suling Naga Sim Houw!

Seperti telah diceritakan di bagian depan, Sim Houw pernah pergi jauh ke daerah Himalaya untuk mengunjungi keluarga Cu Kang Bu yang masih merupakan keluarga mendiang ibunya. Ibunya, mendiang Cu Pek In, adalah keponakan dari pendekar Cu Kang Bu. Ketika berkunjung itulah dia berhasil mengalahkan mendiang Pek-bin Lo-sian dan menerima hadiah Liong-siauw-kiam itu.

Karena pedang ini amat cocok untuk dipakai sebagai suling dan pedang, maka diapun menyerahkan kembali suling emas yang diterima dari ibunya dahulu, juga mengembalikan Koai-liong Po-kiam yang memang asalnya dari lembah keluarga Cu.

Semenjak itu, diapun merantau selama tujuh tahun, dan pedangnya yang sudah mengalahkan entah berapa banyak tokoh-tokoh kaum sesat, membuat nama Pendekar Suling Naga semakin terkenal. Akan tetapi, semakin dia terkenal, Sim Houw menjadi semakin rendah hati.

Dia yang sejak muda sudah biasa hidup di alam bebas, menyatukan diri dengan kebesaran alam, dapat melihat bahwa dirinya itu sesungguhnya bukan apa-apa, hanya kebetulan menjadi pewaris ilmu silat yang tinggi dan pusaka yang ampuh begitu saja.






Seperti juga semua manusia lain, tentu dia memiliki kelebihan dan kekurangannya. Dia kelihatan terkenal dan dikagumi orang, akan tetapi hidupnya selalu sebatangkara dan sampai hari itu, dia masih juga hidup menyendiri. Dia sudah tidak memiliki keluarga kecuali keluarga Cu yang tinggal jauh di Himalaya itu, dan kalau sampai berusia tigapuluh tiga tahun dia belum juga menikah, hal itu sama sekali bukan karena dia pantang menikah, melainkan karena dia belum pernah bertemu dengan seorang wanita yang cocok untuk menjadi jodohnya, seorang yang saling mencinta dengan dia!

Dia tidak mau patah hati untuk kedua kalinya. Kegagalan cinta dan pertalian perjodohannya dengan Kam Bi Eng yang kini menjadi isteri pendekar Suma Ceng Liong, membuat Sim Houw berhati-hati sekali dan tidak mau sembarangan jatuh hati kepada wanita sebelum dia yakin benar bahwa cintanya tidak akan bertepuk tangan sebelah.

Dan sampai sekarang, dia masih merasa belum bertemu dengan jodohnya. Kalau ada wanita yang menarik hatinya, ternyata wanita itu tidak cinta kepadanya, dan sebaliknya kalau ada gadis yang tertarik kepadanya, dia sendiri tidak mencinta gadis itu. Dia tidak mencari gadis yang cantik jelita, atau yang kepandaian silatnya setingkat dia. Dia tidak mempunyai syarat apapun, kecuali saling mencinta.

Dan bagi cinta, agaknya wajah dan kepandaian itu tidak dapat dipakai sebagai dasar atau ukuran. Cinta adalah urusan hati, sedangkan kepandaian dan kecantikan adalah urusan badan. Walaupun ada kaitannya, namun keindahan lahiriah itu tidak menjadi syarat yang menentukan bagi cinta.

Kadang-kadang timbul pula rasa kesepian di lubuk hati pria yang masih muda ini, dan rasa kesepian ini menakutkan sekali. Sebagai seorang pendekar sakti, belum pernah dia takut menghadapi lawan yang bagaimana tangguhpun, akan tetapi menghadapi kesepian ini kadang-kadang membuatnya merasa ngeri! Haruskah hidupnya selalu begini, seorang diri saja? Akan tetapi ada kalanya kesepian itu menjadi keheningan yang menyejukkan hati, yaitu di waktu pikirannya tenang dan tidak mengada-ada.

“Bagus sekali, mengapa berhenti?”

Tiba-tiba terdengar suara halus. Sejak tadi, pendekar ini tahu bahwa ada orang datang dari arah belakang dan orang itu berhenti sampai lama. Biarpun dia tadi masih meniup sulingnya, akan tetapi andaikata orang di belakangnya itu menyerangnya secara tiba-tiba, dia tentu akan dapat melindungi dirinya. Karena sudah tahu bahwa di belakangnya ada orang, semestinya dia tidak kaget ketika mendengar teguran itu.

Akan tetapi, kenyataannya Sim Houw terkejut dan terheran, cepat dia menoleh karena tak disangkanya bahwa orang yang datang adalah seorang wanita dan teguran tadipun sama sekali tidak menunjukkan nada permusuhan. Dan kekagetannya bertambah ketika dia menoleh dan melihat bahwa yang menegurnya adalah seorang dara yang masih muda, paling banyak delapan belas tahun usianya dan dara itu manis sekali.

Kini gadis itu berdiri, baru saja keluar dari balik batang pohon di mana ia tadi mengintai, dan tersenyum. Memang luar biasa manisnya gadis ini kalau tersenyum. Wajahnya memang selalu cerah, sikapnya selalu gembira dan jenaka, akan tetapi kalau ia tersenyum, mulut yang kecil itu dihias sepasang lesung pipit di kanan kiri sehingga Sim Houw terpesona dan sejenak timbul pikiran tahyul bahwa yang muncul ini bukan manusia melainkan seorang dewi!

Akhirnya dapat juga dia menenteramkan jantungnya yang berdebar tidak karuan itu dan diapun bertanya, seolah-olah tidak percaya akan pendengarannya tadi,

“Apa yang kau katakan tadi?”

“Aku berkata bahwa tiupan sulingmu itu bagus dan merdu bukan main, akan tetapi kenapa berhenti?”

Sim Houw tersenyum dan bangkit berdiri, menghadapi gadis itu.
“Tiupanku hanya asal bunyi saja, bagaimana bisa bagus? Dan aku berhenti meniup karena memang sudah habis.”

Sukar dia menguraikan mengapa dia meniup suling, digerakkan oleh suasana dan suasana pula yang menghentikan tiupan sulingnya.

“Eh, lagu apakah tadi? Indah sekali!” kembali gadis itu bertanya sambil mendekat.

“Lagu asal bunyi saja. Adik ini siapakah dan datang dari mana hendak ke mana? Sungguh aneh melihat seorang dara muda seperti engkau ini dapat datang ke puncak ini. Bagaimana kau bisa datang ke sini dan bersama siapa, ada keperluan apa?”

“Wah-wah-wah, pertanyaanmu datang bertubi seperti hujan deras saja. Kenapa kau bertanya-tanya? Apakah puncak ini milikmu?”

Ditanya demikian, Sim Houw membelalakkan matanya. Suasana menjadi demikian gembira setelah gadis ini bicara. Mungkin karena wajahnya yang cerah itu, atau senyumnya yang manis, atau juga karena kata-katanya yang jenaka.

“Puncak ini? Puncak ini memang milikku, juga milikmu, dan milik siapa saja yang mau mengakuinya.”

“Wah, jawabanmu aneh dan ngaco! Mana bisa semua orang boleh memilikinya asal mau mengakuinya?”

“Siapa pula yang mau memiliki gunung? Aku bertanya karena merasa heran bagaimana engkau bisa datang ke sini.”

“Aku datang seorang diri tanpa kawan, dan apa anehnya?

“Akan tetapi tidak mudah naik ke puncak ini, apalagi bagi seorang....”

“Bagiku mudah saja!”

Mengertilah Sim Houw bahwa yang datang ini adalah seorang gadis yang memiliki ilmu kepandaian silat cukup tinggi maka dapat dengan mudah mendaki puncak ini.

“Kalau boleh aku bertanya, apakah keperluanmu datang ke sini?”

“Mencari orang! Dan sekarang, untuk pertanyaanmu yang bertubi-tubi itu, aku mau membalas dengan satu pertanyaan saja. Setelah kau jawab, aku segera pergi dari sini tidak akan mengganggumu lagi.”

Sim Houw tersenyum lagi. Sikap dan cara bicara anak ini sungguh lucu dan lincah jenaka.
“Tanyalah, adik yang baik, bukan hanya sebuah pertanyaan, biar selosinpun akan kujawab.”

“Tak usah banyak-banyak, satu saja karena aku datang bukan untuk mengajak orang mengobrol. Begini paman yang baik. Aku mendengar bahwa orang yang sedang kucari itu berada di sekitar Pegunungan Tai-hang-san ini, dan ketika aku bertanya-tanya kepada para penghuni dusun di bawah sana, mereka memberi tahu bahwa untuk mencari orang itu aku harus bertanya kepada seorang penyuling yang mungkin berada di puncak ini. Nah, akupun datang di sini dan karena engkau pandai bermain suling, agaknya engkaulah penyuling itu. Tentu saja kecuali kalau ada penyuling lain lagi.”

Hati Sim Houw mulai merasa tidak enak, akan tetapi dengan sikap tenang dia menyimpan Liong-siauw-kiam di sarungnya yang terselip di pinggang di balik bajunya yang panjang, dan dia bertanya.

“Nona, siapakah yang kau cari itu?”

Dara itu bukan lain adalah Can Bi Lan. Setelah ia mendengar dari Kun Tek bahwa kalau ia hendak mencari Pendekar Suling Naga, ia harus pergi ke Tai-hang-san karena pendekar itu suka berkeliaran di daerah itu, maka iapun langsung saja pergi ke Tai-hang-san. Di sekitar kaki dan lereng pegunungan itu, ditanyainya penghuni dusun barang kali ada yang mengenal orang yang bernama Sim Houw berjuluk Pendekar Suling Naga.

“Yang kucari adalah Pendekar Suling Naga yang bernama Sim Houw.” Sepasang mata yang jernih tajam itu memandang penuh selidik. “Tahukah engkau, paman?”

Sim Houw mengangguk dan menekan hatinya yang agak menegang. Heran dia mengapa dicari oleh dara muda ini hatinya merasa tegang, padahal andaikata yang mencarinya itu beberapa orang yang kelihatan jahat dan mengambil sikap bermusuh sekalipun, belum tentu dia akan kehilangan ketenangan.

“Nona,” dia tidak menyebut lagi adik setelah mendengar betapa gadis itu menyebutnya “paman” dan memang, melihat keadaan gadis itu yang masih muda, sudah sepatutnyalah kalau dia disebut paman. “Kalau engkau hendak mencarinya, yang bernama Sim Houw adalah aku sendiri. Tidak tahu ada keperluan apakah?”

Bi Lan melongo dan kini sepasang matanya memandang pria itu dari kepala ke kaki dengan penuh selidik.

“Luar biasa! Engkau pendekar yang namanya terkenal sekali itu? Ah, siapa kira....“

“Ternyata hanya begini saja, ya?”

Sim Houw tersenyum pahit, tidak menyesal hanya merasa lucu. Beginilah jadinya kalau orang menjadi terkenal. Lebih enak menjadi orang yang tidak dikenal, sehingga tidak ada yang kecewa atau heran melihat keadaannya.

“Ah, bukan begitu. Tapi hemm, bentuk badan dan wajah memang agak cocok dengan keterangan suci. Tubuhmu sedang dan wajahmu cukup tampan. Akan tetapi tidak setua ini! Kata suci, engkau seorang pemuda yang hebat, tampan dan lihai. Tapi biarpun engkau tampan, engkau tidak muda lagi dan pakaianmu begini sederhana, sama sekali bukan seperti pendekar.”

“Kalau pendekar itu harus seperti bagaimana?” Sim Houw yang ketularan kejenakaan gadis itu, bertanya sambil berkelakar.

“Seperti.... seperti.... apa ya? Aku sendiripun tidak tahu.”

Ia teringat akan Gu Hong Beng dan Cu Kun Tek. Keduanya adalah pendekar-pendekar muda, akan tetapi merekapun seperti orang biasa. Hampir lupa ia bahwa pendekarpun orang, maka tentu tidak ada bedanya dengan orang lain.

“Nona, siapakah sucimu itu? Dan apa keperluanmu mencari aku?”

“Beberapa tahun yang lalu suci pernah kalah olehmu.... ah, pantas, sudah lewat beberapa tahun, tentu saja engkau menjadi lebih tua. Mungkin karena terlalu sederhana kau jadi kelihatan lebih tua. Berapa sih usiamu sekarang?”

Melihat betapa percakapan itu menjadi tidak karuan, malah bertanya umur segala, Sim Houw tak dapat menahan ketawanya. Dia tertawa dan kini nampak bahwa dia sesungguhnya belum tua karena begitu dia tertawa wajahnya nampak masih muda.

“Eh, kenapa kau malah tertawa? Apakah engkau mentertawakan aku?”

Pandang mata Bi Lan penuh kemarahan dan alisnya berkerut. Tiba-tiba saja Sim Houw menghentikan suara ketawanya. Dia seperti melihat bahwa kalau dia tertawa terus, tentu gadis itu akan langsung menyerangnya. Sekarangpun sudah menyerangnya dengan pandang mata yang lebih runcing dari pada mata pedang!

“Aku tidak mentertawakanmu, nona, melainkan ketawa karena kata-katamu yang lucu. Kalau mau tahu usiaku, aku berusia tigapuluh tiga tahun sekarang. Nah, memang sudah tua, bukan?”

“Engkau tidak tua tidak muda, engkau.... yah, cukupan. Belum tua tapi sudah masak, begitulah andaikata engkau ini buah.”

“Siapa bilang belum tua? Sudah seratus tahun kurang....“

“Eh? Jadi kau tadi membohong ketika mengaku berumur tigapuluh tiga.“

“Seratus tahun kurang enampuluh tujuh kan berarti seratus tahun kurang.” Sim Houw yang biasanya pendiam itu mendadak saja pandai berkelakar.

“Huh, kalau begitu akupun seratus tahun kurang! Kau kira aku ini anak kecil, mudah saja dibohongi?”

“Kau bukan anak kecil, akan tetapi dibandingkan dengan aku, engkau ini yah, katakanlah remaja yang sudah matang. Usiamu paling banyak enambelas tahun.”

Sengaja Sim Houw mengurangi taksirannya untuk menggoda. Dia sama sekali tidak tahu bahwa wanita paling suka kalau dikatakan masih muda, dan ucapannya tadi bukan merayu, melainkan hanya untuk menggoda.

Akan tetapi Bi Lan girang sekali.
“Masih kelihatan begitu muda? Padahal, aku sudah hampir delapanbelas tahun! Eh, paman.... bagaimana ya baiknya kupanggil paman atau kakak?”

“Terserah kepada yang panggil, itu adalah urusan orang yang akan memanggil, boleh kau sebut paman, kakak, kakek, asal jangan menyebut bibi saja.”

“Aha, kau pandai berkelakar, ya? Lucu ya? Tidak lucu, ah!”

Kembali Sim Houw tertawa. Bukan main gembira hatinya. Selama hidupnya baru satu kali ini dia benar-benar merasa gembira bercakap-cakap dengan seseorang gadis remaja yang satu ini memang bukan main. Lucunya tidak dibuat-buat, memang sikapnya, kata-katanya dan pandang matanya, mulutnya, semua serba lucu dan menarik.

“Eh, ketawa lagi! Aku jadi ragu-ragu apakah benar engkau yang dipanggil Pendekar Suling Naga! Masa ada pendekar kok begini sederhana dan suka berkelakar? Tidak berwibawa seujung rambutpun. Pantasnya kau ini....”

Gadis itu memandang seperti orang menimbang-nimbang, menggeleng sana-sini seperti seorang gadis remaja menaksir sepotong baju baru yang akan dipilihnya.

“Pantasnya jadi apa?”

Tanya Sim Houw yang sudah siap untuk tertawa lagi karena baru sikap gadis itu sudah begitu menyenangkan dan menggelikan. Dia tak mungkin bisa marah dikatakan apa saja oleh gadis seperti ini!

“Hemm.... jadi petani dusun, terlalu tampan dan kulitmu terlalu halus. Jadi seorang kutu buku! Yah, seorang kutu buku, yang kerjanya setiap hari hanya baca buku, melamun, baca buku sambil menangis sendiri, tertawa sendiri.”

“Wah, seperti orang gila? Menangis sendiri tertawa sendiri?”

“Bukan gila. Aku melihat semua kutu buku begitulah. Kalau cerita yang dibacanya menyedihkan dan mengharukan, dia menangis sendiri, kalau ada yang lucu, ketawa-ketawa sendiri, memang seperti orang gila, tapi bukan. Eh, benarkah kau ini bernama Sim Houw dan yang dijuluki Pendekar Suling Naga?”

“Namaku memang Sim Houw dan tentang julukan itu adalah orang-orang lain yang menyebutnya, aku sendiri tidak pernah merasa menjadi pendekar.”

“Tapi kata suciku, Pendekar Suling Naga mempunyai sebuah pusaka, yaitu Liong-siauw-kiam!“

Sim Houw dapat menduga bahwa kedatangan gadis ini tentu ada hubungannya dengan pedang itu, maka diapun mencabut Liong-siauw-kiam dari sarungnya.

“Inilah Liong-siauw-kiam, suling yang kutiup tadi.”

Sepasang mata yang indah itu terbelalak. Ia melihat sebatang kayu semacam tongkat berbentuh naga, berlubang-lubang seperti suling, dan tajam juga runcing seperti pedang, akan tetapi benda itu hanya dari kayu, buruk kehitaman pula.

“Itu? Yang kau tiup tadi? Itukah yang disebut Liong-siauw-kiam dan diperebutkan oleh begitu banyak orang? Aihhh, apakah mereka semua itu sudah gila?”

Sim Houw menyarungkan lagi pedangnya,
“Gila? Mereka siapa yang gila?”

“Tentu saja yang memperebutkannya dengan taruhan nyawa. Bukankah itu pedang yang tadinya berada di tangan kakek Pek-bin Lo-sian dan diperebutkan? Engkau juga termasuk yang mungkin gila, memperebutkan pedang kayu seperti itu dengan taruhan nyawa. Dijual tidak akan laku sepuluh tael perak! Engkau, suciku yang berjuluk Bi-kwi, juga Sam Kwi guru-guruku, mereka itu juga sudah gila. Akupun termasuk yang sudah gila karena aku mau saja mewakili suciku untuk merampas pedang macam itu darimu. Kalau bukan karena mewakili suci, huh, diberi juga aku sendiri tidak sudi! Apalagi harus merampas segala macam!”

Sim-Honw terkejut, alisnya berkerut dan rasa kecewa yang amat besar menyelinap di dalam hatinya. Gadis ini murid Sam Kwi? Dan datang diutus oleh Bi-kwi, wanita iblis jahat itu untuk merampas pedang pusaka ini? Sungguh sukar untuk dipercaya. Dan pandangannyapun berubah!

Dia kini menganggap bahwa semua kelucuan gadis ini tadi dibuat-buat saja, sengaja untuk menjatuhkan hatinya, untuk merayunya! Dan memang gadis ini telah berhasil menarik hatinya, membuat dia merasa suka sekali kepada gadis ini. Akan tetapi begitu dia mendengar bahwa gadis ini murid Sam-Kwi, segera dia usir semua rasa suka itu, walaupun dengan hati penuh penyesalan dan kekecewaan.

Tidaklah aneh sikap Sim Houw ini. Bukankah kita semua juga mendasari rasa suka dan tidak suka melalui penilaian dan semua penilaian ini dipengaruhi perhitungan untung atau rugi? Baik untung rugi batin maupun untung rugi lahir. Kalau menguntungkan kita, maka kita menilai orang itu sebagai orang baik, sebaliknya kalau merugikan kita, kita menilai orang itu sebagai orang tidak baik.

Kita suka atau tidak suka kepada seseorang berdasarkan penilaian itu! Tidak mengherankan apa bila seseorang itu bisa hari ini baik dan besok tidak baik, hari ini disuka, besok dibenci, karena perbuatan-perbuatannya tentu saja bisa merugikan atau menguntungkan, hari ini menguntungkan, besok merugikan dan sebaliknya dan selanjutnya. Kalau saja kita dapat menghadapi apa dan siapa saja TANPA PENILAIAN INI, tentu kita akan terbebas dari pada rasa suka atau tidak suka kepada sesuatu atau seseorang. Dengan kebebasan seperti ini, barulah sinar cinta kasih dapat menyinari batin.

“Hemm, jadi engkau ini murid Sam Kwi? Dan ke sini mencari aku untuk mewakili sucimu, mencoba untuk merampas Liong-siauw-kiam?” tanya Sim Houw, terheran-heran mengapa Sam Kwi dan Bi-kwi mengutus seorang gadis yang tingkatnya masih seperti kanak-kanak ini.
Bi Lan mengangguk.
“Akan tetapi menurut suci, ia pernah kalah olehmu dan menurut ceritanya, engkau lihai bukan main. Agaknya akupun bukan tandinganmu dan aku akan gagal mengalahkan engkau untuk merampas pusaka itu.”

“Kalau begitu, kenapa engkau datang juga, seorang diri tanpa pembantu pula? Apa yang memaksamu untuk nekat mencariku kalau engkau sudah merasa bahwa engkau takkan berhasil merampas Liong-siauw-kiam dari tanganku?”

Tanya pula Sim Houw, suaranya tidak lagi ramah karena dia menganggap gadis ini nekat atau jahat atau menggunakan siasat pula dengan modal kecantikan, kemanisan dan kepandaiannya bicara.

“Yang memaksaku adalah janji dan sumpahku kepada suci. Aku telah bersumpah kepada suci untuk merampaskan pusaka itu dari tanganmu, maka aku memaksa diri untuk datang juga mencarimu. Kalau aku gagal dan tewas di tanganmu, bagaimanapun juga aku sudah memenuhi janji dan sumpahku. Sebaliknya kalau aku tidak berani melakukannya, biarpun aku tetap hidup, aku akan menjadi orang yang mengingkari sumpahnya sendiri, dan berarti hidup tanpa isi. Bagiku, lebih baik mati melaksanakan sesuatu yang gagah dari pada hidup sebagai orang tanpa guna.”

Kembali Sim Houw tertegun. Kata-kata itu semua keluar dari hati anak itu sendiri ataukah memang sudah dihafalkan sebelumnya, merupakan siasat untuk menjatuhkan hatinya? Saking terpengaruh benar oleh ucapan Bi Lan, dia bengong terlongong saja.

“Heiiii! Kau mendengar atau tidak? Aku mau merampas Liong-siauw-kiam! Berikan kepadaku atau terpaksa aku menggunakan kekerasan merampasnya darimu!”

Ditegur demikian, barulah Sim Houw sadar. Bagaimanapun juga, anak perempuan ini murid Sam Kwi, agaknya tidak mungkin baik walaupun memiliki daya tarik yang luar biasa dari pribadinya. Dan karena kedatangannya untuk merampas Liong-siauw-kiam, maka harus dihadapi dengan kekerasan, walaupun sifatnya untuk memberi hajaran saja.

“Mau merampas Pedang Suling Naga? Boleh, silahkan kalau kau mampu,” katanya tenang.

Bi Lan sendiri memang masih belum percaya kalau orang yang di depannya ini memiliki ilmu kepandaian yang demikian dipuji-puji sucinya, maka iapun tidak main-main lagi dan ingin mengujinya sendiri. Mula-mula ia menggerak-gerakkan kedua lengannya dan Sim Houw merasa ngeri juga mendengar, biarpun perlahan, bunyi berkerotokan pada kedua lengan itu. Seorang gadis begini muda dan cantik menarik memiliki ilmu kepandaian yang hanya pantas dimiliki orang sesat!

“Orang she Sim, awas sambut seranganku ini!” bentak Bi Lan dan ia telah menyerang dengan Ilmu Silat Hek-wan Sip-pat-ciang (Ilmu Silat Delapan Jurus Lutung Hitam) yang hebat.