Ads

Rabu, 30 Desember 2015

Suling Naga Jilid 030

Seorang kakek yang hebat! Biarpun kini hwesio tua itu mulai nampak kelelahan, akan tetapi dia sendiripun tiada bedanya, mulai lelah dan kehabisan tenaga. Kalau tadi Sai-cu Lama memiliki pikiran untuk menyuruh anak buahnya maju mengeroyok, kini dia menahan pikiran itu.

Pertama, menyuruh mereka maju sama saja dengan menyuruh mereka membunuh diri. Mereka bukanlah lawan hwesio tua itu. Dan kedua, melihat kehebatan hwesio itu, dia merasa malu kepada diri sendiri kalau harus mengandalkan pengeroyokan yang hanya tipis harapannya untuk menang itu.

Tiba-tiba Sai-cu Lama mengambil ancang-ancang dan sambil mengeluarkan suara melengking nyaring, dia menerjang ke depan dengan pengerahan tenaga sepenuhnya! Dia hendak mengadu tenaga terakhir, kalau perlu nyawanya! Melihat lawannya menerjang dengan kedua tangan mendorong dan kedua lengan itu bergerak-gerak sehingga menimbulkan gelombang hawa pukulan dahsyat, Tiong Khi Hwesio terkejut.

“Omitohud....!”

Dia mengeluh, maklum bahwa lawannya yang sudah penasaran itu agaknya hendak mengadu nyawa! Apa boleh buat, diapun terpaksa harus melindungi dirinya dan cepat diapun memasang kuda-kuda, menyambut dengan kedua tangan terbuka, didorongkan ke depan menyambut kedua telapak tangan lawan.

Untuk kedua kalinya, dua orang kakek ini mengadu tenaga sin-kang mereka. Akan tetapi berbeda dengan bentrokan tenaga sin-kang melalui telapak tangan yang pertama, bentrokan sekali ini dilakukan dengan mati-matian dan dalam keadaan tenaga mereka sudah mulai mengendur, sehingga tentu saja daya tahan merekapun berkurang dan dalam keadaan seperti itu, bahaya untuk menderita luka dalam atau bahkan kematian lebih besar lagi.

“Desss....!”

Bentrokaran tenaga itu hebat bukan main dan akibatnya, dua orang kakek itu terlempar ke belakang dan terbanting ke atas tanah! Melihat betapa pemimpin mereka roboh terbanting, akan tetapi juga lawannya terlempar dan terbanting jatuh, empat orang pendeta Lama segera menubruk ke arah Tiong Khi Hwesio dengan maksud untuk menghabiskan nyawa lawan yang tangguh itu selagi lawan itu terbanting dan nampaknya kehabisan tenaga dan tidak berdaya.

“Tahan....!”

Sai-cu Lama yang masih merasa lemah dan pening itu mencoba untuk mencegah, namun suaranya yang lemah itu agaknya tidak mempengaruhi empat orang anak buahnya yang sudah menyerang Tiong Khi Hwesio dengan ganas. Mereka menyerang dengan berbareng dan terdengarlah teriakan-teriakan mereka disusul terlemparnya tubuh mereka sampai jauh, terpental seperti dilempar oleh tenaga raksasa dan mereka itu terbanting tak sadarkan diri!

Kiranya, biarpun sudah terbanting roboh, Tiong Khi Hwesio berada di pihak lebih kuat sehingga tenaga sin-kang yang masih besar sekali terhimpun di tubuhnya. Ketika empat orang itu menerjangnya, Tiong Khi Hwesio tidak melihat jalan lain kecuali menggerakkan kedua tangannya mendorong dan akibatnya, empat orang itu terlempar seperti daun-daun kering tersapu angin.

“Anjing-anjing busuk, jangan serang dia!”

Bentak Sai-cu Lama, bentakan yang bukan dilakukan karena mengkhawatirkan anak buahnya, melainkan karena dia merasa malu kalau dalam keadaan seperti itu dia harus menggunakan tenaga anak buahnya.

Para pendeta Lama itupun tidak ada yang berani maju lagi. Empat orang teman mereka masih pingsan, dan tentu saja mereka tidak berani maju untuk bunuh diri!

Dua orang kakek itu kini sudah bangkit duduk bersila, masing-masing mengatur pernapasan untuk memulihkan tenaga.

“Omitohud....! Engkau sungguh merupakan lawan yang amat tangguh dan hebat, Sai-cu Lama. Pinceng merasa kagum sekali.... ah, sungguh sayang bahwa kita berdua berada di dua tempat yang bertentangan. Kalau saja engkau suka sadar dan kembali ke jalan benar, betapa akan senang hati pinceng untuk menjadi temanmu bicara tentang ilmu silat.”

Pujian yang diucapkan dengan hati yang tulus itu diterima sebagai ejekan oleh Sai-cu Lama. Bagaimanapun juga, dia merasa bahwa dalam bentrokan tenaga sin-kang terakhir tadi, dia telah terbukti kalah kuat. Kalau saja latihannya belum matang benar, bentrokan tadi saja cukup untuk membuat nyawanya putus! Dan untuk dapat memulihkan tenaga, dia membutuhkan waktu lama, sedikitnya sampai besok pagi barulah dia akan dapat memulihkan tenaganya dan mampu untuk bertanding lagi. Sedangkan lawannya baru saja membuktikan kehebatannya dengan merobohkan empat orang anak buahnya yang melakukan penyerangan serentak.






“Tiong Khi Hwesio, tak perlu berusaha bicara manis kepadaku. Bagaimanapun, aku masih hidup dan ini berarti bahwa aku belum kalah. Aku hanya kelelahan dan kehabisan tenaga, akan tetapi engkau pun jelas kehabisan tenaga. Biarlah kita beristirahat malam ini, dan besok pagi-pagi kita lanjutkan pertandingan ini sampai seorang di antara kita benar-benar kalah.”

“Omitohud.... Sai-cu Lama, apakah engkau belum juga mau menyadari bahwa semua kekerasan ini tidak ada gunanya?”

“Sudah, tak perlu banyak cakap lagi. Sampai besok pagi!“

Kata Sai-cu Lama dan diapun memberi perintah kepada anak buahnya untuk tetap mengurung kakek hwesio itu dan jangan mengganggunya. Kemudian dia memejamkan mata sambil duduk bersila dan mengatur pernapasan, tanpa memperdulikan lagi kepada lawannya.

Tiong Khi Hwesio menarik napas panjang. Dia maklum bahwa percuma saja bicara dengan Sai-cu Lama. Orang seperti itu hanya dapat diajak berunding melalui kepalan, dan hanya akan mau bicara kalau benar-benar sudah dikalahkannya. Tidak ada lain jalan baginya kecuali memejamkan mata dan mengatur pernapasan pula karena dia tidak ingin besok pagi menjadi bulan-bulan kekerasan Sai-cu Lama.

Diam-diam diapun merasa bingung. Tadi dia telah mengeluarkan semua ilmunya, namun semua itu hanya mampu mengimbangi kepandaian lawan. Hanya ada satu ilmu tidak dikeluarkan, yaitu Ilmu Silat Toat-beng-ci (Jari Pencabut Nyawa). Ilmu ini dianggapnya amat ganas dan dahulu pernah mengangkat namanya sehingga dia dijuluki Toat-beng-ci atau Si Jari Maut. Apakah dia terpaksa harus mempergunakan ilmu itu besok untuk mengalahkan Sai-cu Lama?

Malam itu lewat dalam keadaan yang amat menegangkan. Para pendeta Lama itu tidak ada yang berani mengeluarkan suara karena mereka takut kalau-kalau akan mengganggu pemimpin mereka yang sedang istirahat. Empat orang yang tadi roboh pingsan, mereka bawa pergi untuk dirawat dan mereka itu hanya berani bicara di tempat yang agak jauh dari situ. Semua orang merasa tegang karena mereka belum tahu bagaimana keadaan pemimpin mereka dalam perkelahian tadi, yaitu menang ataukah kalah.

Setidaknya, pemimpin mereka itu agaknya terdesak, buktinya Sai-cu Lama minta waktu untuk beristirahat. Mulailah mereka bertanya-tanya siapa gerangan hwesio tua yang demikian sakti itu.

Pada keesokan harinya, ketika dari jauh terdengar kokok ayam hutan jantan dan sinar matahari pagi mulai bercahaya di ufuk timur, Sai-cu Lama sudah membuka kedua matanya memandang kepada lawannya. Tiong Khi Hwesio sejak tadi sudah bangun dari samadhinya dan kini keduanya saling pandang. Ada kekaguman pada pandang mata masing-masing.

“Hei, Tiong Khi Hwesio. Bagaimana kalau kita menyudahi saja perkelahian yang tidak ada gunanya ini?” tiba-tiba terdengar Sai-cu Lama berkata.

Wajah tua itu berseri gembira.
“Siancai....! Agaknya Sang Buddha telah mendatangkan penerangan yang menyadarkan batinmu, saudaraku yang baik! Tentu saja pinceng berterima kasih sekali dan girang kalau perkelahian yang tidak ada gunanya ini dihentikan.”

“Bagus, kita hentikan perkelahian ini dan menjadi sahabat. Bahkan bukan hanya sahabat, akan tetapi aku akan mengangkatmu menjadi wakilku, wakil pemimpin kelompok Lama Jubah Merah. Bagaimana, sahabatku?”

Tentu saja Tiong Khi Hwesio terkejut dan mengerutkan alisnya. Hal ini sama sekali tak pernah disangkanya. Kiranya lawan itu mengajak berhenti berkelahi karena ingin menarik dirinya sebagai sekutu dan pembantu! Dia menarik napas panjang, merasa menyesal sekali sebagai pengganti kegirangannya karena tadi mengira bahwa orang itu telah sadar.

“Omitohud, Sai-cu Lama, kiranya engkau belum juga sadar bahkan ingin menyeret pinceng ke dalam kelompokmu. Betapa sesatnya keinginanmu itu. Pinceng sengaja datang untuk menyadarkan kalian dari pada jalan yang sesat, bukan untuk membantu kalian merajalela dengan kejahatan kalian.”

Sai-cu Lama tersenyum menyeringai.
“Heh-heh, Tiong Khi Hwesio, jadi engkau menghendaki diteruskannya perkelahian ini? Hemm, kau kira percuma saja aku beristirahat semalam? Engkau takkan menang kali ini!”

“Terserah kepadamu, Sai-cu Lama. Dalam pertandingan ilmu silat memang hanya ada dua kemungkinan, menang atau kalah, jadi tak perlu diributkan benar.”

Diam-diam Tiong Khi Hwesio merasa kecewa dan marah, akan tetapi sikapnya masih biasa, halus dan ramah, dan tenang sekali.

Tiba-tiba Sai-cu Lama meloncat berdiri dan ternyata gerakannya sigap bukan main, tanda bahwa dia telah memulihkan kembali tenaganya dan tiba-tiba nampak sinar berkelebat dan dia telah memegang sebatang pedang tipis yang berkilauan. Pedang ini diam-diam diterimanya dari seorang muridnya setelah dia memberi isyarat malam tadi. Kiranya, Sai-cu Lama yang merasa betapa lihainya orang yang menjadi lawannya, diam-diam telah mempersiapkan diri dan kini hendak mencapai kemenangan dengan bantuan sebatang pedang tipis!

Tiong Khi Hwesio juga sudah bangkit berdiri dan dia tetap tenang saja melihat lawannya kini memegang sebatang pedang. Bagi seorang ahli silat tinggi yang memiliki kesaktian seperti dia, menghadapi seorang lawan seperti Sai-cu Lama, tiada bedanya apakah lawan itu bersenjata ataukah tidak. Kedua tangan dan kaki lawan itupun tak kalah ampuhnya dengan pedang yang kini dipegangnya.

“Hwesio tua bangka, makanlah pedang ini!” bentak Sai-cu Lama yang sudah menerjang dengan dahsyatnya.

Tempat itu masih seperti semalam, penuh dengan para pendeta Lama yang menjadi penonton dari jarak yang cukup jauh, kini mereka mengharapkan bahwa ketua mereka akan dapat membunuh hwesio tua yang tangguh itu.

Pedang itu lenyap bentuknya, berubah menjadi sinar terang yang meluncur dan ketika Tiong Khi Hwesio dapat mengelak dengan lompatan ke kiri, sinar pedang berkelebatan dan bergulung-gulung menyambar ke arah tubuh Tiong Khi Hwesio dari delapan penjuru angin!

Tahulah Tiong Khi Hwesio bahwa ilmu pedang yang dimainkan lawan adalah semacam Ilmu Pedang Delapan Penjuru Angin atau Pat-hong Kiam-sut yang telah diubah dan diberi banyak perkembangan. Dia sama sekali tidak menjadi gentar. Dengan keringanan tubuhnya dia berkelebatan menghindarkan diri, kemudian secara tiba-tiba terdengar bunyi melengking yang menggetarkan semua orang dan Sai-cu Lama sendiri mengeluarkan seruan kaget.

Kiranya kini Tiong Khi Hwesio telah memainkan ilmu silatnya yang semalam tidak dikeluarkannya, yaitu Ilmu Silat Toat-beng-ci. Jari-jari kedua tangannya seperti hidup, melakukan totokan-totokan dan cengkeraman-cengkeraman dan setiap jari itu mengandung ancaman maut! Itulah sebabnya maka dinamakan Jari Pencabut Nyawa! Dan hebatnya, jari-jari tangan itu diperkuat oleh tenaga yang membuat jari-jari tangan itu demikian kerasnya sehingga dengan tangan kosong Tiong Khi Hwesio berani menangkis pedang lawan!

Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati Sai-cu Lama menghadapi ilmu silat yang luar biasa itu dan permainan pedangnya menjadi kacau. Tak disangkanya bahwa lawannya masih mempunyai simpanan ilmu yang demikian hebatnya, padahal tadinya dia sudah merasa yakin bahwa dia akan dapat menangkan perkelahian itu kalau dia mempergunakan pedangnya. Karena kekacauan permainan pedangnya, maka dia menjadi kurang waspada.

“Tring-tring-crangg.... aughhh....!” tubuh Sai-cu Lama terpelanting dan darah mengucur keluar dari luka di pundak kanannya, sedangkan pedangnya terlempar dan patah menjadi dua potong!

Kalau saja Sai-cu Lama tidak memiliki tubuh yang sudah dilindungi kekebalan, mungkin lukanya akan lebih parah lagi. Dua jari tangan Tiong Khi Hwesio mengenai pundaknya dan biarpun pundak itu telah dilindungi ilmu kekebalan, tetap saja terobek sampai dagingnya. Masih untung tulang pundaknya tidak patah dan urat besarnya tidak putus.

Akan tetapi, dengan luka di pundaknya itu, untuk sementara lengan kanan Sai-cu Lama tidak dapat digerakkan dan kalau pada saat itu Tiong Khi Hwesio mendesaknya, tentu akan mudah sekali bagi hwesio itu untuk menghabisi nyawanya.

Namun, Tiong Khi Hwesio merasa tidak tega! Perasaan tidak tega ini timbul sejak malam tadi, setelah dia merasa kagum terhadap ilmu kepandaian Sai-cu Lama yang sanggup menandinginya sampai selama itu. Kalau saja Sai-cu Lama tadi tidak kacau permainan pedangnya, mungkin perkelahian inipun akan makan waktu yang lebih lama lagi. Dia merasa sayang untuk membunuh Sai-cu Lama dan mengharapkan bahwa kekalahannya itu akan membuat Sai-cu Lama sadar dan kembali ke jalan yang benar.

Sai-cu Lama juga bukan seorang bodoh. Sama sekali bukan, bahkan dia cerdik sekali. Dia tahu bahwa sekali ini dia harus mengakui keunggulan lawan, bahwa dia telah bertemu dengan orang yang lebih lihai darinya. Percuma saja melanjutkan perkelahian itu.

Biarpun dia dapat mengerahkan anak buahnya, namun melanjutkan perkelahian sama saja dengan membunuh diri sendiri dan membunuh anak buahnya. Ia sudah tak mampu melanjutkan perkelahian. Untuk sementara, jalan terbaik adalah menakluk, tanpa malu-malu lagi, demi keselamatan dirinya.

Sai-cu Lama bangkit berdiri terhuyung-huyung, menggunakan tangan kiri untuk menekan luka di pundak kanan, mukanya pucat dan keringatnya membasahi mukanya. Diapun menghadapi Tiong Khi Hwesio yang masih berdiri tegak memandangnya.

“Tiong Khi Hwesio, aku mengaku kalah padamu.”

“Omitohud, engkau sungguh lihai bukan main, Sai-cu Lama. Tidak, pinceng tidak merasa menang, hanya kebetulan saja yang membuat engkau terpaksa mengalah. Biarlah kita lupakan saja pertandingan tadi dan sekali lagi pinceng minta kepadamu untuk kembali ke jalan benar dan meninggalkan jalan sesat penuh perbuatan maksiat.”

Sai-cu Lama menarik napas panjang.
“Baiklah, aku sudah bertemu dengan orang yang lebih pandai dan akan kucoba untuk mengubah jalan hidupku. Katakan, apa yang harus kulakukan?”

Tiong Khi Hwesio tersenyum, girang bukan main bahwa dia telah berhasil melaksanakan tugasnya dengan baik. Dia tidak girang atas kemenangannya, melainkan girang sekali melihat Sai-cu Lama mau mengubah jalan hidupnya.

“Saudaraku yang baik, kita adalah orang-orang tua yang sudah menggunduli kepala dan mengenakan jubah pendeta. Tentu engkau sudah tahu apa yang sepatutnya kita lakukan sebagai pendeta. Tentu saja pertama-tama menghentikan dan menjauhkan semua perbuatan yang ditunggangi nafsu. Sebaiknya kalau engkau membubarkan saja kelompok Lama Jubah Merah, dan menghentikan semua perbuatan seperti merampok, mengganggu wanita, mengejar kesenangan duniawi dengan merugikan orang lain.”

“Baiklah, Tiong Khi Hwesio. Sekarang juga akan kububarkan kelompok ini.” Sai-cu Lama lalu menghadapi semua pendeta yang telah berkumpul di situ.

“Kalian telah melihat sendiri, juga mendengar sendiri percakapan antara aku dan Tiong Khi Hwesio. Mulai saat ini, perkumpulan kita kububarkan! Kalian boleh membagi-bagi harta yang ada dengan adil, kemudian pergilah dari sini. Kuperingatkan agar kalian tidak lagi melakukan perbuatan seperti yang sudah-sudah. Kalau aku mendengar ada seorang Lama Jubah Merah melanggar, aku sendiri yang akan mencari dan menghukumnya. Nah, lakukan perintahku dan bubarlah!“

Dengan hati girang dan terharu Tiong Khi Hwesio melihat sendiri betapa para pendeta itu mentaati perintah ini. Para wanita dibebaskan dan diberi pembagian harta, dan setelah membagi-bagi harta yang berada di perkampungan itu, atas perintah Sai-cu Lama, perkampungan itu dibakar dan para pendeta jubah merah lalu berpamit dan pergi dari situ.

“Sai-cu Lama, percayalah bahwa perbuatanmu hari ini merupakan permulaan yang amat baik bagi dirimu. Sayang ilmu kepandaianmu yang tinggi kalau kau pergunakan untuk mengeruhkan dunia. Alangkah baiknya kalau kepandaian itu kau pergunakan untuk menjernihkan dunia, menenteramkan kehidupan umat manusia. Dan maafkan kalau pinceng telah datang dan pernah mempergunakan kekerasan kepadamu!”

Demikian kata-kata perpisahan Tiong Khi Hwesio yang dibalas oleh Sai-cu Lama dengan ramah pula.

Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa besar rasa penyesalan di hati Tiong Khi Hwesio ketika beberapa bulan kemudian dia mendengar bahwa biarpun Sai-cu Lama telah membubarkan kelompok Lama Jubah Merah, namun dia sama sekali belum sadar atau kembali ke jalan benar. Bahkan dia telah membuat kekacauan di antara para pimpinan Lama, dan Sai-cu Lama bahkan melakukan hubungan persekutuan dengan pembesar-pembesar yang mempunyai niat khianat terhadap pemerintah Ceng!

Ketika para pemimpin pendeta Lama mencoba untuk memperingatkannya, Sai-cu Lama bahkan turun tangan membunuh dua orang pemimpin pendeta lama, kemudian melarikan diri!

Mendengar berita ini, Tiong Khi Hwesio merasa menyesal sekali. Dia merasa bertanggung jawab terhadap peristiwa itu. Kalau saja dia tidak mengampuni Sai-cu Lama, melainkan membasmi dan membunuhnya, atau setidaknya mencabut ilmu silatnya dengan jalan membuat kaki tangannya cidera berat, tentu Sai-cu Lama tidak mampu melakukan kejahatan lagi.

Membunuh dua orang pimpinan pendeta Lama! Dan lebih hebat lagi, melakukan hubungan persekutuan dengan para pengkhianat di kota raja. Dia dapat menduga bahwa tentu Sai-cu Lama kini melarikan diri ke kota raja, bukan hanya untuk menyembunyikan dirinya, melainkan juga untuk mengejar kedudukan dan kemuliaan di sana, bersekutu dengan para pembesar khianat dan pemberontak. Dan hal itu amatlah berbahaya, bukan hanya membahayakan kedudukan kaisar dan pemerintah, melainkan juga membahayakan keamanan hidup rakyat.

Demikianlah, dia lalu cepat melakukan pengejaran sampai dia bertemu dengan Hong Beng dan Bi Lan. Tentu saja dia merasa khawatir sekali mendengar bahwa Sai-cu Lama telah merampas pedang Ban-tok-kiam dari tangan Bi Lan. Dengan pedang yang dahsyat itu di tangan Sai-cu Lama benar-benar merupakan seorang yang amat berbahaya dan sukar dikalahkan.

Setelah meninggalkan Hong Beng dan Bi Lan, Tiong Khi Hwesio lalu melakukan perjalanan cepat melakukan pengejaran terhadap Sai-cu Lama menuju ke kota raja.

**** 030 ****