Ads

Rabu, 30 Desember 2015

Suling Naga Jilid 025

Hong Beng terus membawa lari Bi Lan sampai jauh naik ke lereng sebuah bukit. Bulan sudah naik tinggi dan hal ini amat menolongnya karena malam menjadi terang, memudahkan dia memilih jalan melarikan diri. Semenjak memasuki hutan ke dua tadi, dia sudah berhasil meninggalkan para pengejar dan kini tidak nampak seorangpun pengejar di belakang.

Tiba-tiba Hong Beng merasa ada benda dingin sekali menempel tengkuknya, dan ujung sebatang pedang yang tajam runcing menempel tepat di jalan darahnya. Sedikit saja pedang itu ditusukkan, akan tamatlah riwayatnya!

Ketika teringat bahwa pedang itu adalah pedang hijau kehitaman yang mengeluarkan hawa mengerikan, yang dipegang oleh gadis yang ditolongnya, seketika Hong Beng merasa betapa semua bulu di tubuhnya bangkit satu-satu karena ia merasa seram.

“Berhenti dan lepaskan aku! Kalau tidak, pedangku akan menembus tengkukmu!” bentak Bi Lan dengan suara ketus.

Biarpun ia merasa bahwa orang ini telah menolongnya, mungkin juga menyelamatkannya dari ancaman maut, akan tetapi hatinya panas dan ia marah sekali karena pemuda ini telah berani menyentuh tubuhnya. Bukan hanya menyentuh, malah memondong dan ia merasa betapa lengan itu melingkar di pinggul dan pinggangnya! Kurang ajar sekali orang ini!

Mendengar ucapan yang ketus itu dan merasa betapa todongan ujung pedang itu tidak main-main, Hong Beng terpaksa melepaskan pondongannya.

“Bukk....!”

Tubuh Bi Lan terbanting, biarpun tidak keras akan tetapi pinggulnya terasa pegal juga karena tubuhnya memang lemah. Karena ia sudah kehabisan tenaga, maka ketika pondongan itu dilepaskan, ia terbanting.

“Hemm, kau berani membanting aku, ya? Awas kau, kalau sudah sembuh, akan kuhajar kau!”

Bi Lan semakin marah dan dengan pedang masih di tangan kanan, ia menggunakan tangan kirinya mengusap-usap pinggul yang tadi menimpa tanah berbatu yang keras.

“Ah, maaf.... bukankah kau yang minta agar aku melepaskanmu, nona?”

Karena memang demikian keadaannya dan pihaknya memang keliru, Bi Lan hanya mengomel,
“Kau memang laki-laki kurang ajar sekali!”

Hong Beng memandang wajah yang cemberut itu dengan bingung. Bukan main cantik dan manisnya wajah cemberut itu tertimpa sinar bulan yang redup terang kehijauan.

“Nona, aku datang dan melihat engkau dikeroyok, maka aku segera turun tangan membantumu, dan karena mereka tadi mengejar, engkau kularikan sampai di sini dan sekarang kau sudah aman. Akan tetapi, kenapa engkau malah menodongku dan marah-marah kepadaku?”

“Siapa menyuruh engkau memondongku seperti itu!” bentak Bi Lan, hatinya masih panas karena malu mengenangkan betapa tadi ia dipondong seperti anak kecil dan dilarikan.

“Tapi.... tapi.... bagaimana aku akan dapat menyelamatkanmu kalau tidak memondongmu?”

Hong Beng membantah sambil mengerutkan alisnya karena dia mulai merasa marah juga. Sungguh seorang gadis yang tidak mengenal budi, sudah ditolong malah marah-marah dan menyalahkannya!

“Sedikitnya engkau bisa minta ijin dulu apakah aku suka atau tidak kau pondong. Enak saja memondong orang semaunya. Huh, dasar laki-laki tak mengenal sopan santun!” Bi Lan menggigit bibir menahan rasa nyeri di pundaknya, lalu mengomel lagi, “Sudah begitu masih membanting aku lagi, sudah tahu bahwa aku terluka. Laki-laki kejam dan tidak berperikemanusiaan!”

Bi Lan mendengar tentang sopan santun, tentang perikemanusiaan dan sebagainya itu selama ia menjadi murid Pendekar Naga Sakti.

Hong Beng merasa betapa mukanya menjadi panas. Dia merasa terpukul, malu dan juga penasaran. Dia malu karena bagaimanapun juga, dia teringat bahwa memang tidak pantas seorang laki-laki seperti dia memondong tubuh seorang gadis tanpa perkenan si pemilik tubuh, akan tetapi dia juga merasa penasaran karena selama hidupnya baru satu kali ini dia bertemu dengan orang yang begini tidak mengenal budi.

“Maafkan, nona, maafkan semua kelancanganku,”

Katanya dan tanpa pamit lagi dia lalu membalikkan tubuhnya dan pergi meninggalkan Bi Lan, gadis yang dianggapnya tidak mengenal budi itu, tidak perduli bahwa gadis itu sejak tadi masih saja duduk di atas tanah, belum mampu bangkit berdiri, sungguh tidak sesuai dengan kegalakannya.

Dan memang Bi Lan tidak mampu bangkit berdiri lagi. Tubuhnya terlalu lemas, bahkan kepalanya terasa pening, matanya berkunang, dan ketika Hong Beng pergi, ia yang sejak tadi menahan diri agar tidak pingsan kini terkulai lemas.

Hong Beng tidak pergi jauh. Di dalam hatinya, sebenarnya dia tidak tega meninggalkan Bi Lan begitu saja. Dia tahu bahwa gadis itu terluka, hanya dia tidak tahu betapa sejak tadi gadis itu mempergunakan kekuatan tubuh dan hatinya untuk bersikap keras dan pura-pura tidak apa-apa.

Biarpun dia perlu memberi “pelajaran” kepada Bi Lan atas kekerasan sikapnya yang galak, namun dia tidak tega pergi jauh-jauh dan diam-diam dia menyelinap di antara pohon-pohon dan semak-semak untuk kembali ke tempat itu dan mengintai untuk melihat bagaimana keadaan gadis itu dan apa yang akan dilakukannya.

Tentu saja dia terkejut bukan main ketika melihat bahwa di tempat yang ditinggalkannya tadi, Bi Lan sudah menggeletak dalam keadaan tak sadarkan diri. Gadis itu telah jatuh pingsan di tempatnya, masih di tempat yang tadi, hanya kalau tadi dia masih duduk, kini ia sudah rebah miring, mukanya yang tertimpa sinar bulan itu nampak pucat, akan tetapi pedang yang mengerikan itu masih dipegangnya erat-erat!

“Hayaa....”

Hong Beng berseru perlahan dan cepat menghampiri dengan amat hati-hati. Dia mempergunakan telunjuk kanannya untuk perlahan-lahan menyentuh tangan Bi Lan yang memegang pedang, seperti orang hendak melihat apakah harimau itu sudah mati ataukah belum, takut kalau tiba-tiba dicakarnya.






Setelah yakin bahwa gadis itu tidak bergerak lagi dan dalam keadaan pingsan, barulah dia berani mengambil pedang itu dari genggamannya. Dia harus lebih dulu menyingkirkan pedang, karena dengan pedang itu di tangan, siapa tahu tiba-tiba gadis itu akan menyerangnya dan hal itu amat berbahaya karena dia dapat merasakan bahwa pedang itu adalah sebuah pusaka yang luar biasa ampuhnya.

Kini dia yakin bahwa gadis itu memang pingsan, dan dia menarik napas panjang setelah menaruh pedang di bawah sebatang pohon, lima meter jauhnya dari situ.

“Aih, seorang gadis yang berhati baja dan berkepala batu.“ katanya sambil mulai memeriksa pergelangan tangan gadis itu.

Dia kini tidak perduli lagi apakah gadis itu nanti akan marah atau akan mengamuknya, akan tetapi dalam pemeriksaannya dia tahu bahwa gadis itu menderita luka karena hawa beracun yang hanya dapat ditimbulkan oleh senjata rahasia. Dia harus mencari di mana bagian tubuh yang terkena senjata itu.

Memeriksa tubuh gadis galak itu, di dalam cuaca remang-remang lagi! Betapa sukarnya dan betapa berbahayanya karena kalau gadis itu keburu sadar dari pingsannya dan mendapatkan dirinya diraba-raba olehnya, huh, betapa akan mengerikan akibatnya.

Akan tetapi, karena menurut denyut nadi itu si gadis berada dalam keadaan cukup berbahaya kalau hawa beracun itu tidak cepat-cepat dienyahkan, Hong Beng nekat. Biarlah kalau sampai berakibat si gadis itu marah sekali dan menyerangnya nanti, yang terpenting adalah kenyataan bahwa dia tidak berbuat hal-hal yang tidak patut atau tidak sopan. Dia hanya ingin menolong dan menyelamatkan gadis itu sekali lagi dari ancaman maut yang kini datangnya dari hawa beracun yang amat berbahaya.

Mulailah Hong Beng melakukan pemeriksaan. Mula-mula dia hanya meraba-raba kedua lengan dan kaki, kemudian leher. Ketika meraba-raba kaki inilah dia menemukan kenyataan bahwa paha kiri gadis itu terluka, cukup parah dan mengeluarkan banyak darah. Inilah menjadi satu di antara sebab-sebab mengapa gadis itu sampai pingsan, yaitu karena terlalu banyak mengeluarkan darah pula.

Ketika jari tangannya meraba ke pundak, dia terkejut, merasakan betapa kulit pundak kiri gadis itu panas sekali. Tanpa ragu-ragu lagi Hong Beng lalu merobek baju bagian pundak kiri gadis itu dan jari-jari tangannya meraba-raba. Dia mengangguk-angguk. Sebuah jarum beracun kiranya yang menancap sampai masuk ke dalam daging pundak, dan terselip di bawah tulang pundak!

Ketika menjadi murid pendekar sakti Suma Ciang Bun, Hong Beng juga mempelajari ilmu pengobatan, terutama mengenai luka-luka yang diakibatkan oleh senjata beracun atau luka-luka karena pukulan dan pukulan beracun. Maka setelah dia tahu bahwa gadis itu terkena jarum beracun yang kini berada di dalam pundaknya, diapun tahu apa yang harus dilakukannya.

Dia sendiri adalah seorang ahli mempergunakan senjata rahasia jarum, walaupun jarum-jarumnya tidak diberi racun. Pertama-tama jarum itu harus dapat dikeluarkan, dan juga darah di sekitar jarum itu dikeluarkan. Dia tidak mempunyai waktu untuk mempergunakan alat-alat, apa lagi cuaca remang-remang saja dan juga gadis itu harus cepat-cepat ditolong agar racun itu tidak menjalar semakin luas. Satu-satunya jalan hanyalah mempergunakan kekuatan sin-kangnya untuk menghisap keluar racun dan jarum itu.

Hong Beng adalah seorang pemuda yang cerdik. Dia tahu akan keanehan watak Bi Lan. Kalau dia sedang melakukan pengobatan lalu gadis itu siuman dan menyerangnya, dia tentu akan celaka. Pukulan seorang gadis selihai ini tidak boleh dibuat main-main. Maka sebelum melakukan pengobatan, lebih dahulu dia menotok beberapa jalan darah yang akan membuat gadis itu tidak mampu menggerakkan kaki tangannya kalau siuman nanti.

Setelah itu, dia merobek baju di bagian pundak itu lebih lebar lagi, lalu dia menempelkan mulutnya pada luka di bawah depan tulang pundak. Kulit yang putih halus dan hangat bahkan mendekati panas itu tidak mempengaruhinya karena pada saat itu Hong Beng mencurahkan seluruh perhatiannya hanya pada satu hal, yaitu untuk mengobati Bi Lan!

Dengan pengerahan tenaga khi-kang, pemuda itu menyedot. Darah yang agak menghitam tersedot dan diludahkan. Sampai beberapa kali dia menyedot. Akan tetapi, tiba-tiba bulan tertutup awan tebal dan keadaan menjadi gelap pekat. Terpaksa Hong Beng menghentikan pengobatan itu dan mengumpulkan kayu kering lalu membuat api unggun.

Tak mungkin melakukan pengobatan dalam cuaca gelap gulita. Api unggun itu perlu sekali untuk mendatangkan cahaya penerangan, untuk melihat warna darah yang dihisapnya dan agar dia dapat melihat bagian tubuh yang terluka itu. Setelah api unggun bernyala besar dan mengusir kegelapan di sekitarnya, kembali Hong Deng menempelkan bibirnya pada pundak itu.

Apa yang dikhawatirkannya tadi terjadilah. Tiba-tiba gadis itu bergerak, akan tetapi ia tidak dapat menggerakkan kaki tangannya! Dan gadis itu lalu menjerit penuh kengerian, lalu jatuh pingsan lagi!

Tentu saja Hong Beng menjadi terkejut dan heran. Menurut perhitungannya, setelah kini hampir semua racun tersedot keluar, sepatutnya gadis itu menjadi hampir sembuh. Akan tetapi kenapa begitu siuman ia menjerit lalu pingsan lagi? Ia cepat memeriksa denyut nadi, dan ternyata denyutnya lebih kuat dan cepat dari pada biasanya. Hal ini menunjukkan bahwa gadis itu mengalami guncangan dan kekagetan. Dia merasa semakin heran. Apa yang begitu mengejutkan gadis perkasa ini dan mengguncang batinnya sampai jatuh pingsan? Dengan gelisah dia menoleh ke kanan kiri, mencari-cari. Tidak ada apa-apa.

Hong Beng lalu melanjutkan usahanya mengobati Bi Lan. Sekali lagi dia menyedot dan setelah yang keluar darah merah, dia menghentikan sedotannya, menaruh obat bubuk putih yang dikeluarkan dari saku bajunya. Obat luka ini manjur sekali, selain dapat menghentikan keluarnya darah, juga dapat menahan segala macam kotoran masuk ke dalam luka, dan membuat luka cepat mengering.

Setelah itu, dia menempelkan telapak tangannya ke atas pundak yang terluka itu, mengerahkan sin-kang untuk menyalurkan tenaga dalamnya membantu gadis itu memulihkan jalan darahnya dan mengusir sisa-sisa hawa beracun dari dalam tubuhnya.

Hong Beng sama sekali terlupa bahwa gadis yang diobatinya itu seorang yang amat berbahaya sehingga tadi dia terpaksa menotoknya lebih dulu. Dia lupa bahwa kini, karena dia menyalurkan sin-kang ke dalam tubuh gadis itu melalui pundaknya, maka tenaga ini dengan sendirinya melancarkan jalan darah dan membebaskan totokannya sendiri!

Maka, begitu Bi Lan siuman dan gadis itu melihat betapa ia masih rebah terlentang dan pemuda itu masih berlutut di dekatnya dan sekarang secara kurang ajar sekali menempelkan tangannya ke pundaknya yang telanjang karena bajunya sudah dirobek, dengan kemarahan meluap-luap Bi Lan lalu menggerakkan tangannya memukul dada pemuda itu.

Kini kaki tangannya dapat bergerak lagi dan saking marahnya, Bi Lan memukul dengan pengerahan tenaga dari Ilmu Silat Sin-liong Ciang-hoat yang pernah dipelajarinya dari kakek Kao Kok Cu pendekar Istana Gurun Pasir.

“Wuuuuttt.... bukkk....!”

Pukulan itu dahsyat sekali, datang dari jarak dekat dan sama sekali tidak disangka-sangka oleh Hong Beng yang sedang mengerahkan tenaga untuk menyalurkan sin-kang ke dalam tubuh Bi Lan itu. Akan tetapi dia masih sempat menarik kembali tenaganya karena kalau sampai dia terpukul dengan tangan masih menempel di pundak, maka tenaga pukulan gadis itu akan terus menyusup melalui tangannya ke dalam dada gadis itu sendiri dan mungkin gadis itu akan celaka.

Dia menarik kembali tenaganya dan karena itu sama sekali tidak sempat berjaga diri. Untung dia masih ingat untuk mengumpulkan tenaga yang ditariknya itu ke arah dadanya sehingga dada itu masih dapat terlindung terhadap pukulan yang dahsyat itu. Begitu terkena pukulan itu, tubuh Hong Beng terjengkang dan bergulingan, lalu berhenti menelungkup dan tidak bergerak lagi!

Bi Lan meloncat berdiri akan tetapi ia mengeluh dan hampir roboh kembali. Ia berdiri dengan kaki gemetar dan ternyata pahanya yang terluka itu terasa nyeri, perih dan panas. Ia menggerak-gerakkan kedua tangannya, terutama lengan kirinya. Lengan kirinya sudah tidak lumpuh lagi dan ia sudah mendapatkan kembali tenaganya. Tenaganya sudah pulih kembali, akan tetapi kakinya tidak mampu bergerak dengan tangkas karena luka di pahanya!

Dan pemuda yang dipukulnya itu belum tentu sudah tewas. Kalau bangkit kembali tentu ia tidak akan mampu menandinginya dengan kaki seperti itu. Dengan terpincang-pincang ia menghampiri tubuh Hong Beng yang masih menggeletak menelengkup tak bergerak-gerak itu. Pemuda itu pingsan oleh guncangan pukulan yang dahsyat tadi.

Setelah tiba dekat, Bi Lan mengangkat tangan meraba pinggang dan ia terkejut. Pedangnya hilang! Tidak ada di pinggangnya, tinggal sarungnya saja. Lalu teringatlah ia bahwa tadi pedang itu masih dipegangnya. Ke mana perginya Ban-tok-kiam? Tentu orang ini yang mengambilnya. Celaka, pedang itu dipinjamkan oleh nenek Wan Ceng kepadanya, kalau sampai lenyap bagaimana ia akan mempertanggung jawabkannya? Niat hati untuk membunuh pemuda itu segera mereda.

Tidak, ia tidak akan membunuhnya sebelum pemuda itu mengembalikan Ban-tok-kiam yang tentu disembunyikannya. Akan tetapi kalau tidak dibunuh orang ini amat berbahaya. Bi Lan mendapatkan akal. Orang ini harus dibuat tidak berdaya dulu. Nanti kalau sudah sadar, akan diancam dan dipaksanya mengembalikan Ban-tok-kiam, baru akan dibunuhnya karena kekurang ajarannya yang luar biasa tadi.

Karena tenaga di kedua tangannya sudah pulih, mudah saja bagi Bi Lan untuk melakukan totokan pada kedua pundak dan kedua pinggang pemuda itu untuk melumpuhkan kaki tangannya.

Akan tetapi, pemuda itu terlalu berbahaya dan lihai, maka Bi Lan masih menambahkan dengan mengikat kedua kaki tangan Hong Beng dengan robekan baju pemuda itu sendiri. Dengan gemas ia merobek baju pemuda itu, teringat akan baju di pundaknya yang robek, dan mempergunakan kain yang kuat itu, setelah dipintalnya, untuk mengikat kedua pergelangan kaki dan tangan. Barulah ia membalikkan tubuh pemuda itu terlentang. Pemuda itu masih pingsan. Agaknya hebat sekali pukulannya tadi.

Wajah pemuda itu pucat dan dari ujung bibirnya mengalir sedikit darah. Bi Lan meraba dadanya dan ternyata pemuda itu masih bernapas, jantungnya masih berdenyut dan hatinyapun lega. Pemuda ini tidak boleh mati sebelum pedang pusakanya dikembalikan!

Penerangan api unggun makin menyuram karena api unggun itu kehabisan bahan bakar. Bi Lan terpincang-pincang mencari tambahan kayu kering dan tak lama kemudian api unggun itu membesar lagi. Ia duduk dekat tubuh Hong Beng yang masih terlentang tak bergerak, seperti tidur, seperti mati. Dan Bi Lan termenung. Yang terus teringat olehnya hanyalah bagaimana pemuda ini dengan kurang ajar sekali tadi telah merobek bajunya, menciumi pundak mungkin juga dekat payudaranya,

Teringat ini, mukanya menjadi panas sekali. Dan teringat pula ia betapa ia siuman dan melihat pemuda itu seperti hendak memperkosanya, menciumi pundaknya yang telanjang, ia tidak mampu menggerakkan kedua kaki tangan saking takutnya ia menjerit dan tak ingat apa-apa lagi.

Ketika ia siuman kembali, bagaimanapun juga ia merasa lega karena pakaiannya, terutama pakaian dalamnya, masih melekat di badannya. Akan tetapi pemuda itu masih membelai dan mengelus pundaknya, maka pemuda itu lalu dihantamnya. Pemuda biadab! Ia membayangkan hal yang bukan-bukan dan bulu tengkuknya meremang. Hampir saja, pikirnya dan ia semakin marah.

Di bawah penerangan api unggun, ia melihat seekor nyamuk besar terbang dan hinggap di pipi Hong Beng. Dengan pandang matanya yang tajam ia melihat betapa nyamuk itu menghisap darah dari pipi itu, perutnya yang tadinya kempis putih itu perlahan-lahan berubah menghitam dan mengembung.

Perasaan tidak tega membuat ia mengangkat tangan ke atas, siap untuk memukul mati nyamuk itu. Akan tetapi perasaan lain mengatakan bahwa tidak sepantasnya ia mengasihani pemuda ini dan perasaan ini memaksanya mengingat betapa pemuda itu telah menciumi pundaknya dengan bibir dan pipi itu! Tangannya melayang turun.

“Plakk!”

Nyamuk itu mati gepeng dan perutnya pecah, darah merah bergelimang di sekitar bangkai nyamuk itu. Bi Lan menarik napas panjang untuk menekan perasaannya yang terpecah menjadi dua pihak yang bertentangan. Sepihak merasa puas bahwa ia telah membunuh nyamuk yang sedang menghisap darah pemuda yang sedang pingsan tak berdaya itu, akan tetapi dilain pihak menyangkal dan mengatakan bahwa yang ia lakukan tadi adalah untuk melampiaskan panas hatinya, untuk menghukum karena pemuda itu tadi berani kurang ajar kepadanya.

Biarpun sudah dibantahnya demikian, tetap saja ada dua macam kepuasan terasa di dalam hatinya, kepuasan karena membebaskan pemuda itu dari gangguan nyamuk dan kepuasan sudah menampar pemuda itu. Kenyataan ini mengganggu hatinya dan Bi Lan mengalihkan perhatian kepada pahanya yang terluka.

Celananya yang kanan melekat pada pahanya. Bagian paha itu terbuka dan nampak luka merah menganga, sudah tidak mengeluarkan darah lagi akan tetapi terasa amat nyeri, pedih dan panas. Untuk memeriksa luka ini, harus celana itu dibuka. Hal ini tidak mungkin karena di situ ada orang lain, seorang lelaki pula!

Merobek celana itu di bagian paha juga tidak mungkin karena pahanya akan terbuka dan telanjang dan hal ini amat memalukan. Bagaimana kalau pemuda kurang ajar itu nanti siuman dan melihat pahanya yang tidak tertutup? Dengan hati-hati ia menguak celana yang terobek pedang itu untuk memeriksa lukanya. Perlu dicuci, pikirnya, dan harus cepat diberi obat luka. Kalau tidak, bisa berbahaya. Ia meraba-raba bajunya akan tetapi tidak dapat menemukan obat. Teringatlah ia bahwa obat-obatnya berada di dalam buntalan dan buntalan itu tentu saja sudah tercecer ketika ia berkelahi tadi. Semua pakaian bekalnya juga hilang.

Api unggun mulai mengecil dan akhirnya padam, hanya meninggalkan asap putih yang makin mengecil juga. Akan tetapi Bi Lan tidak menyalakannya kembali karena malam telah berganti pagi dan biarpun mataharinya sendiri belum nampak, namun sinarnya telah membakar ufuk timur dan mengusir kegelapan malam.

Pagi itu dingin sekali, akan tetapi Bi Lan yang sibuk memeriksa luka di pahanya tidak memperhatikannya. Mulutnya mendesis-desis menahan rasa nyeri yang seperti menyusup ke dalam tulang-tulang, terutama di sekitar pahanya.

“Luka itu harus dicuci bersih dan aku mempunyai obat luka yang manjur.”

Bi Lan yang sedang tenggelam dalam perhatian memeriksa luka di pahanya, terkejut dan cepat menutupkan kembali kain celana robek itu pada pahanya. Mukanya merah dan seperti seekor kelinci ketakutan, ia sudah meloncat ke dekat Hong Beng akan tetapi ia mengeluh karena pahanya terasa semakin perih ketika ia meloncat dan luka di paha itu tergeser dan tergores kain. Dengan jari-jari tangan mengancam kepala Hong Beng, Bi Lan menghardik,

“Hayo kembalikan pedangku, kalau tidak, akan kucengkeram ubun-ubunmu sampai hancur!”

Ketika tadi siuman kembali, Hong Beng merasa betapa kaki tangannya lumpuh, bahkan terikat tali yang terbuat dari bajunya sendiri yang sudah robek-robek. Lalu dia teringat, dan hatinya merasa mendongkol bukan main. Celaka, pikirnya. Ini bukan hanya air susu dibalas tuba, bahkan lebih menjengkelkan lagi.

Gadis itu bukan hanya tidak mengenal budi, bahkan jahat dan kejamnya seperti iblis! Dia harus berhati-hati karena nyawanya terancam di tangan gadis yang jahat seperti iblis ini. Maka, biarpun sudah siuman, dia diam saja dan segera dia mengerahkan tenaga sin-kangnya.

Tenaga sin-kang yang dimiliki keluarga para pendekar Pulau Es memang hebat bukan main, berbeda dari pada sin-kang dari aliran persilatan yang lain. Keluarga Pulau Es itu sudah mampu menguasai latihan untuk menghimpun tenaga sin-kang, bahkan untuk mengendalikannya sedemikian rupa sehingga para pendekar Pulau Es dapat membuat tenaga sin-kang itu menjadi panas seperti api dan dingin seperti es, juga dapat sekaligus menggunakan dua hawa tenaga yang berlawanan itu dengan kedua tangan.

Dengan penggunaan kedua hawa tenaga itu, akhirnya dalam waktu sebentar saja Hong Beng mampu membebaskan pengaruh totokan Bi Lan. Akan tetapi dia diam saja karena ikatan tali kain itu tidak ada artinya baginya. Dia hanya bersiap siaga, ingin melihat apa yang akan dilakukan selanjutnya oleh gadis yang jahat dan kejam seperti iblis betina itu.

Akan tetapi ketika dia melirik dan melihat betapa Bi Lan memeriksa luka di pahanya sambil mendesis-desis dan mengeluh dengan suara seperti akan menangis, seperti sikap seorang anak kecil yang cengeng, kemarahannya mencair dan diapun merasa kasihan. Maka dia lalu memberi nasihat tadi agar luka itu dicuci dan bahwa dia mempunyai obat luka yang manjur.

Tak disangkanya sama sekali bahwa gadis itu memang benar-benar jahat. Kini gadis itu mengancam ubun-ubun kepalanya, siap membunuhnya dan menanyakan pedang pusaka yang juga mengerikan itu. Kini tahulah dia mengapa gadis itu memiliki sebatang pedang yang demikian menyeramkan. Kiranya ia sendiripun mempunyai watak yang mengerikan.

“Hemm, kau kira aku mencuri pedangmu yang ganas itu? Aku hanya menyimpannya. Pedang itu berada di bawah pohon di sana itu.”

Hong Beng menunjukkan tempat pedang itu dengan pandang matanya. Bi Lan menengok dan terpincang-pincang ia menghampiri pohon itu. Benar saja. Ban-tok-kiam menggeletak di situ. Cepat pedang itu diambilnya. Pedangnya sudah ditemukan dan sekarang pemuda itu harus dibunuhnya, untuk menghukumnya atas kekurang ajarannya. Iapun terpincang-pincang menghampiri lagi Hong Beng yang diam-diam sudah siap siaga membela diri. Akan tetapi dia masih tetap rebah terlentang.

“Dan sekarang bersiaplah engkau untuk mampus!” bentak Bi Lan sambil mengangkat pedangnya.

Hong Beng tersenyum mengejek.
“Hemm, benar saja. Aku telah keliru menolong anak setan yang amat jahat.”

Bi Lan menahan pedangnya.
“Siapa yang jahat?”

“Huh, siapa lagi kalau bukan engkau? Aku telah menyelamatkanmu, menolongmu, akan tetapi engkau hendak membalasnya dengan membunuhku. Apa namanya itu kalau tidak jahat seperti iblis?”

“Engkau yang jahat seperti iblis! Memang kau telah menolongku, akan tetapi pertolonganmu itu berpamrih keji. Kebaikanmu itu belum cukup untuk menghapus kekejian dan kekurang ajaranmu terhadap aku. Dibunuh sepuluh kalipun masih belum dapat menghapus dosamu!”.

Hong Beng membelalakkan kedua matanya.
“Ehh.... ehhh.... engkau tidak hanya jahat dan kejam, akan tetapi bahkan licik dan pandai membalik-balikkan kenyataan. Sungguh tak kusangka. Kau bilang aku jahat dan keji dan kurang ajar? Coba, di bagian mana aku jahat dan keji dan kurang ajar?”

Hong Beng benar-benar merasa penasaran sekali. Ingin dia merenggut lepas tali-tali itu dan menghajar gadis yang keterlaluan ini, akan tetapi dia masih ingin mendengarkan terus karena diam-diam dia merasa terheran-heran bagaimana ada gadis yang begini berani mati dan tanpa malu-malu memutar balikkan kenyataan.

Akan tetapi, sikap Hong Beng itu bahkan membuat Bi Lan menjadi semakin marah.
“Heh, kau laki-laki yang sombong dan engkaulah yang pura-pura suci. Apa yang kau lakukan tadi sewaktu aku pingsan? Engkau telah menciumku.“

“Ehhh....? Bohong seribu kali bohong! Aku tidak pernah menciummu!” bantahnya dan ada suara berbisik menyambung dalam hatinya, “....walaupun aku ingin sekali kalau mungkin....!”

Heran sekali dia, mengapa ada mulut dapat nampak begitu manis biarpun mulut itu sedang cemberut dalam kemarahan! Dan lebih heran lagi dia, mengapa ada wajah yang begitu jelita memiliki mata yang demikian jahat dan kejam! Sepasang mata itu mencorong seperti mengeluarkan sinar berapi.

“Apa! Kau yang bohong, pengecut yang tidak berani mengakui perbuatannya sendiri. Ketika aku sadar dari pingsan, engkau menempelkan mulut dan hidungmu di pundakku. Apalagi itu namanya kalau bukan mencium? Apa kau mau bilang bahwa kau hendak menggigit dan memakan daging pundakku? Dan ketika aku siuman untuk ke dua kalinya, engkau.... engkau membelai dan meraba-raba pundakku. Keparat!”

Tiba-tiba Hong Beng tertawa sehingga Bi Lan yang sedang marah itu tertegun heran. Gilakah orang ini? Diancam mau dibunuh malah ketawa-tawa.

“Ha-ha-ha, jadi itukah sebabnya mengapa engkau jatuh pingsan lagi, dan kemudian kau menyerangku secara semena-mena?”

Hatinya lega bukan main. Kalau begitu, gadis ini sama sekali tidak jahat! Gadis ini bersikap kejam karena marah dan merasa dihina, mengira dia seorang pria kurang ajar yang mempergunakan kesempatan selagi gadis itu pingsan, telah berani mencium pundaknya lalu meraba-raba pundak dan mungkin lain tempat lagi! Itulah sebabnya gadis itu menjadi marah dan kejam! Bukan karena memang wataknya jahat.

“Ha-ha, nona, engkau salah kira. Aku tidak mencium pundakmu, juga tidak ingin makan daging pundakmu biarpun perutku memang lapar sekali.”

“Jangan coba menyangkal atau berkelakar. Aku tidak ketawa dan tidak merasa lucu! Kalau tidak mencium, lalu mau apa kau.?”

“Nona, aku memang menempelkan mulutku di pundakmu, akan tetapi bukan mencium, melainkan menyedot darah yang sudah tercampur racun dari luka di pundakmu.”

Bi Lan terkejut dan baru ia teringat bahwa ketika berkelahi, pundaknya terkena jarum beracun sucinya dan menjadi lumpuh lengan kiri itu.

“Luka....?” Di pundak....?” ia tergagap.

“Terkena jarum beracun. Aku terpaksa menyedot darah yang keracunan itu, sekalian mengeluarkan jarumnya, kemudian kupergunakan sin-kang untuk membantumu memulihkan jalan darahmu, dan menempelkan tanganku di pundak yang terluka itu.”