Ads

Senin, 28 Desember 2015

Suling Naga Jilid 019

Akan tetapi, orang yang mengaku tokoh Ang-i Mo-pang itu agaknya tidak biasa dikalahkan orang sehingga beratlah baginya untuk mengakui kekalahannya. Apalagi harus berlutut menciumi tanah dan minta ampun kepada seorang gadis muda! Dia tadi memang sudah merasakan kehebatan pemuda itu dan mungkin kalau dilanjutkan pertempuran, dia akan kalah. Akan tetapi gadis ini belum mengalahkannya, baru tadi menamparnya dan hal ini tidak menunjukkan bahwa gadis ini lihai.

Untung bahwa pemuda lihai itu sudah kembali ke tempat duduknya dan agaknya tidak mencampuri urusan itu. Dia kini memperoleh kesempatan melampiaskan kedongkolan hatinya kepada gadis ini, sekalian membalas tamparan yang membuat pipinya biru membengkak.

Dia memang merendahkan tubuhnya, akan tetapi bukan untuk berlutut, melainkan untuk menyambar golok kirinya yang tadi terlepas dan jatuh di lantai. Kini dengan kedua batang golok di kedua tangan, orang itu lalu menyerang Bi Lan kalang-kabut seperti seekor babi buta. Tentu saja dengan mudah Bi Lan mengelak ke kanan kiri karena baginya, gerakan orang itu masih terlalu lambat.

Bi Lan maklum bahwa kalau berhadapan dengan sucinya, tentu orang ini takkan selamat, tentu akan tewas atau setidaknya akan tersiksa dan terluka parah atau menderita cacad selama hidup. Dia memang tidak suka kepada orang yang jahat, kejam dan bertindak sewenang-wenang mengandalkan kepandaiannya ini dan sudah selayaknya kalau orang ini dihajar.

Akan tetapi, jangan sampai terjatuh ke tangan sucinya yang amat kejam. Dia merasa ngeri juga membayangkan apa yang akan terjadi dengan orang ini kalau terjatuh ke tangan sucinya. Oleh karena itu, ia mendahului sucinya menghajar orang ini agar cepat pergi dan terhindar dari kekejaman tangan sucinya.

Sepasang golok itu menyambar-nyambar dengan ganasnya. Akan tetapi, hanya dengan gerakan kedua kakinya. Bi Lan dapat menghindarkan semua sambaran golok dan tiba-tiba kedua kakinya bergerak bergantian dan terdengarlah seruan kaget si baju merah disusul suara sepasang golok berkerontangan terlempar ke atas lantai. Kemudian, sekali tangan Bi Lan meluncur ke depan, ke arah pundak orang itu, terdengar suara ”krekk” disusul jeritan orang itu yang kemudian terjengkang ke atas lantai dengan tulang pundak patah!

“Nah, manusia sombong, pergilah cepat dan jangan ulangi lagi kejahatanmu memeras orang yang sedang makan di restoran!” kata Bi Lan.

Orang itu memandang kepada Bi Lan dengan mata terbelalak. Baru sekarang agaknya dia sadar bahwa seperti juga pemuda itu, gadis ini lihai bukan main, sama sekali bukan tandingannya. Maka diapun merayap bangun, memegangi pundak kanan yang patah tulangnya dengan tangan kiri, sekali lagi memandang melotot kemudian membalikkan tubuh menuju ke pintu sambil berseru,

”Tunggu pembalasan Ang-i Mo-pang!”

“Heii, berhenti kamu!”

Tiba-tiba terdengar suara Setan Cantik, suaranya melengking dan mengandung rasa dingin menyusup tulang sehingga kembali pemuda sederhana yang kini sudah menyelesaikan bakminya itu memutar bangku dan menghadapinya, melihat apa yang akan terjadi.

Si baju merah juga kaget dan menghentikan langkahnya di ambang pintu, lalu memutar tubuhnya menghadapi dua orang gadis itu. Dia sudah kalah, mau apalagi dua orang gadis itu?

Setan Cantik masih duduk di atas bangkunya dan dua batang golok milik si baju merah yang tadi terlepas dari tangannya kini berada di depan kaki itu. Dengan kaki kirinya yang bersepatu merah, Bi kwi mencokel sebatang golok dan begitu wanita itu menggerakkan kakinya, golok itu terlempar dan jatuh berkerontangan ke depan kaki si tokoh Ang-i Mo-pang.

“Kamu sudah berdosa terhadapku, hayo cepat tinggalkan tangan kananmu!” bentak Setan Cantik dengan suara dingin.

Laki-laki baju merah itu memandang dengan mata terbelalak, belum mengerti apa maksud wanita cantik itu.

”Apa.... apa maksudmu....?” tanyanya, masih penasaran, marah akan tetapi juga jerih.

“Ambil golok itu dengan tangan kirimu dan buntungi tangan kananmu, baru kau boleh pergi membawa nyawa tikusmu dari sini,” kata pula Si Setan Cantik. Orang itu terbelalak dan mukanya menjadi pucat.

“Suci, kurasa tidak perlu begitu!” Bi Lan juga berkata dengan hati ngeri mendengar tuntutan sucinya.

“Diam! Kau anak kecil tahu apa!” bentak sucinya kepada Bi Lan yang tak dapat berkata apa-apa lagi karena tentu saja ia tidak mau ribut dengan sucinya hanya untuk membela orang yang jahat dan kurang ajar itu.

Sementara itu, pemuda yang nonton tidak memperlihatkan apa-apa pada wajahnya yang tetap tenang itu.

Si baju merah itu memandang dengan muka berobah merah sekali, akan tetapi kemudian menjadi pucat lagi. Dia merasa terhina dan marah bukan main, akan tetapi juga maklum bahwa kalau dia menyerang lagi, sama saja dengan membunuh diri. Maka dia lalu mendengus tanpa menjawab, lalu membalikkan tubuhnya lagi.

Akan tetapi dengan gerakan yang cepat bukan main, Ciong Siu Kwi atau Si Setan Cantik itu sudah menyambar golok ke dua dari atas lantai, kemudian sekali tangannya bergerak, golok itu meluncur ke depan, ke arah tokoh Ang-i Mo-pang yang hendak pergi itu.

“Crakkk.... cappp....!”

Golok itu meluncur seperti kilat, menyambar dan mengenai lengan kiri si baju merah, dan setelah membabat putus lengan itu sebatas siku, golok masih meluncur terus dan menancap pada daun pintu!

“Aduhhhh....!”

Si baju merah menjerit dan terhuyung-huyung, lalu membalik dan memandang ke arah buntungan lengannya di atas lantai, kemudian memandang kepada lengan kirinya yang tinggal sepotong dan sambil menjerit panjang dia lalu melarikan diri dari tempat itu, meninggalkan darah yang berceceran di sepanjang jalan.






Tentu saja peristiwa ini mengejutkan pengurus restoran dan para pelayan, juga nampak banyak orang nonton di luar restoran itu walaupun mereka hanya berani nonton dari jauh ketika tadi mendengar ada orang berpakaian merah memeras para pengunjung restoran.
Akan tetapi Setan Cantik tidak memperdulikan semua itu, malah meneriaki pelayan untuk menambah arak dan menambah satu kilo daging bebek panggang! Wanita ini nampak tenang saja hanya satu kali melempar pandang ke arah pemuda yang juga masih duduk di tempatnya tanpa mengeluarkan sepatah katapun atau sikap yang merasa heran. Diam-diam Bi-kwi mendongkol melihat pemuda itu yang bersikap tak acuh, seolah-olah perbuatannya tadi tidak hebat dan tidak ada apa-apanya untuk dikagumi.

Melihat para pelayan sibuk dan kelihatan bingung ketakutan memandang ke arah potongan lengan di dekat ambang pintu, Bi Lan lalu berkata kepada mereka,

”Harap kaiian tidak menjadi bingung. Kami sedang menanti kembalinya orang tadi bersama kawan-kawannya!”

Akan tetapi, pengurus restoran itu lalu menghampiri mereka dan dia menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Bi-kwi dengan tubuh gemetar dan muka pucat.

”Harap ji-wi lihiap suka mengampuni kami.“

Bi-kwi mengerutkan alisnya dan sinar matanya menyambar ke arah muka pengurus restoran itu.
”Sekali lagi kau menyebut lihiap, kau akan kubunuh!"

Tentu saja pemilik restoran itu terkejut bukan main dan menjadi semakin ketakutan.

“Sebut nona kepada suciku,” kata Bi Lan yang maklum bahwa ancaman sucinya tadi bukan ancaman kosong belaka.

Sucinya menganggap semua pendekar di dunia persilatan sebagai manusia-manusia sombong dan sebagai musuh-musuhnya, maka sebutan lihiap (pendekar wanita) yang selalu dimusuhinya merupakan penghinaan bagi dirinya.

“Siocia.... harap sudi memaafkan saya.... kami.... kami tidak berani tinggal di sini lebih lama lagi.... ijinkanlah kami pergi dari tempat ini.“

Kembali Bi-kwi yang menjawab dengan suara kaku,
”Siapa yang berani meninggalkan tempat ini akan kubuntungi lengannya juga seperti orang tadi!”

Bi Lan cepat mendekati pengurus restoran itu, seorang laki-laki berusia hampir limapuluh tahun.
”Lopek (paman tua), dengarlah baik-baik. Suci hendak tinggal di sini sebentar untuk menunggu kembalinya orang tadi yang tentu akan membawa teman-temannya. Kalian semua tenang-tenang sajalah dan layani permintaan suci. Jangan ada yang keluar dari sini kalau tidak mau celaka.”

“Tapi.... tapi.... dia tadi adalah orang dari perkumpulan Ang-i Mo-pang, aduh akan celaka kita semua.“

“Diam dan kembali ke tempatmu!”

Bi Lan kini menghardiknya karena gadis inipun merasa jengkel melihat kecengengan orang itu. Dihardik demikian, kuncup rasa hati si pengurus restoran dan diapun bangkit, lalu melangkah kembali ke tempat duduknya dengan muka tunduk, sedangkan para pelayan berkumpul di belakangnya dengan muka pucat. Akan tetapi, mereka melayani pesanan Bi-kwi dengan cepat.

“Aku minta bebek panggang seperti itu!” tiba tiba terdengar pemuda tadi berseru, suaranya lembut akan tetapi nadanya sama sekali tidak menunjukkan bahwa dia gentar atau heran.

Pengurus restoran dan para pelayan tentu saja khawatir sekali dan diam-diam memaki pemuda yang tidak tahu diri itu. Bagaimana kalau nona-nona galak itu marah dan membuntungi lengannya atau membunuhnya? Akan tetapi anehnya, dua orang gadis itu sama sekali tidak memperdulikan sikap pemuda itu.

Hanya Bi Lan yang mengerling dan melihat betapa pemuda itu juga mengerling kepadanya, iapun cepat-cepat mengalihkan pandang matanya. Diam-diam Bi Lan juga menduga-duga siapa adanya pemuda yang lihai itu, dan mengapa pemuda itu agaknya memang sengaja hendak menunggu kelanjutan dari peristiwa ini. Akan tetapi, Bi Lan juga tidak ambil perduli dan iapun makan bebek panggang bersama sucinya.

Mereka bertiga masih makan dengan santai ketika terdengar suara ribut-ribut di luar pintu restoran.

“Inilah restorannya.”

“Dan itu potongan lengan A Pai!”

Muncullah tiga orang laki-laki berpakaian serba merah. Yang paling depan adalah seorang laki-laki berusia hampir enampuluh tahun, bertubuh tinggi kurus bermuka pucat dan di punggungnya tergantung sepasang golok melintang. Dua orang lain bertubuh tinggi besar dan mereka memegang sebatang pedang terhunus dengan sikap galak.

Akan tetapi, begitu mereka memasuki restoran, melangkahi lengan buntung yang menggeletak di atas lantai lalu memandang ke arah Bi-kwi, tiga orang itu terbelalak.

“Ciong-siocia.!” Kakek tinggi kurus muka pucat itu berseru.

Bi-kwi masih duduk saja dan kini ia memandang kepada tiga orang itu dengan sinar mata penuh selidik lalu terdengarlah suaranya yang dingin menyeramkan,

”Hemmm, kalian datang untuk membela lengan buntung itu dan menebusnya dengan kepala kalian?”

Mendengar suara ini, tiba-tiba kakek itu bersama dua orang temannya menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Bi-kwi.

”Siocia.... ampunkan kami.... ah, siapa tahu bahwa Siocia malah yang berada di sini? Sungguh pertemuan ini merupakan berkah dari langit, karena siapa lagi yang akan menolong kami selain Siocia?”

Si Setan Cantik memandang dengan alis berkerut.
”Tee Kok! Seorang anak buahmu berani kurang ajar kepadaku dan kini kau datang malah hendak minta tolong? Omongan apa ini? Hayo katakan dulu siapa pemilik lengan itu dan bagaimana anak buahmu sampai tidak mengenal aku?”

“Itulah, Siocia. Dia bukan anak buah kami, dia anak buah orang yang baru datang sebulan yang lalu. Dia datang dan menalukkan saya, kemudian memaksa untuk mengambil alih kedudukan ketua Ang-i Mo-pang, dia bersama belasan orang anak buahnya yang menguasai keadaan. Orang tadi adalah seorang di antara mereka.”

Bi-kwi mengangguk-angguk.
”Hemmm.... begitukah? Siapa dia?”

“Dia tidak pernah memperkenalkan nama, bahkan teman-temannya juga tidak tahu siapa namanya, akan tetapi memakai julukan Thian-te Siauw-ong dan minta disebut Siauw-ong! Akan tetapi ilmu kepandaiannya amat hebat, Siocia.”

“Apakah dia masih muda?” tanya Bi-kwi sambil menengok ke arah pemuda yang masih duduk di tempatnya semula. ”Semuda dia itu?” Ia menuding ke arah pemuda itu.

Kakek tinggi kurus muka pucat itu adalah Tee Kok, ketua Ang-i Mo-pang yang lihai! Seperti kita ketahui, kakek ini telah menjadi pembantu Bi-kwi dan dia bersama seluruh anggauta Ang-i Mo-pang telah menjadi pembantu Bi-kwi, maka tadi Bi Lan merasa heran melihat ada orang mengaku tokoh Ang-i Mo-pang berani kurang ajar terhadap sucinya.

Setelah mendengar penuturan kakek itu, barulah Bi Lan tahu mengapa terjadi hal yang aneh itu. Kiranya orang yang lengannya dibuntungi sucinya tadi bukan anggauta asli dari Ang-i Mo-pang, melainkan pendatang-pendatang baru yang mengambil alih kedudukan pimpinan di perkumpulan iblis itu.

Tee Kok mengangkat muka memandang pemuda itu.
”Masih muda, akan tetapi tidak semuda itu. Usianya kurang lebih tigapuluh tahun.”

“Hemm, pria-pria muda sekarang ini memang besar kepala, sombong dan berlagak. Pangcu, aku akan segera menemui laki-laki sombong Thian-te Siauw-ong itu, akan tetapi lebih dulu, aku minta engkau suka memberi hajaran kepada laki-laki muda yang jumawa ini!” Kembali ia menuding ke arah pemuda itu.

“Suci, perlu apa mencari perkara? Dia tidak bersalah apa-apa.”

Bi Lan menegur sucinya karena ia khawatir kalau pemuda yang sama sekali tidak berdosa itu celaka di tangan sucinya.

“Siauw-kwi, diamlah kau! Orang ini telah kurang ajar sekali, sombong memamerkan sedikit kepandaiannya kepada kita, perlu dihajar. Hendak kulihat apakah kepandaiannya juga sebesar kesombongannya! Kalau dia mampu mengalahkan Ang-i Mo-pangcu, biarlah kuampuni karena kesombongannya itu beralasan. Akan tetapi kalau dia kalah, biarlah dia membawa mati kesombongannya itu. Pangcu hajar dia sampai mati!”

Tee Kok adalah ketua Ang-i Mo-pang, perkumpulan yang tentu saja termasuk golongan sesat. Nama perkumpulannya saja Perkumpulan Iblis Baju Merah! Dan Tee Kok sendiri adalah bekas anggauta perkumpulan Hek-i Mo-pang yang terkenal ganas dan jahat.

Maka kini mendengar perintah Bi-kwi yang ditakutinya itu, dia tersenyum menyeringai, bangkit berdiri dan dengan pandang mata memandang rendah dia menghampiri pemuda yang masih duduk dengan tenang itu. Bagi orang yang sudah biasa melakukan kejahatan seperti Tee Kok, perintah untuk menghajar orang tentu saja dianggap amat menyenangkan.

Pertama, dia sendiri memang berwatak sadis dan memperoleh nikmat dari menyiksa orang lain. Ke dua, dia memperoleh kesempatan untuk memenuhi perintah orang yang ditakutinya dan menyenangkan orang itu. Ke tiga, dia mengharapkan bantuan Bi-kwi untuk menentang musuh yang merampas kedudukannya, maka kini dia harus lebih duhulu membuat jasa.

“Orang muda, bangkit dan majulah untuk menerima hajaran dariku, heh-heh!”

Tee Kok berkata sambil terkekeh dan diapun sudah melolos sepasang goloknya. Dia bermaksud untuk menyiksa orang ini, tidak segera membunuhnya karena hal ini tentu akan makin menyenangkan hati Si Setan Cantik.

Bi-kwi memang memandang dengan wajah berseri. Sama sekali bukan karena kegirangan hatinya akan melihat betapa pembantunya itu menyiksa dan membantai pemuda itu. Tidak, ia bukan orang yang demikian tolol. Dari gerakan pemuda tadi, ia cukup dapat menduga bahwa pemuda itu bukan orang yang begitu mudah untuk dikalahkan. Dan inilah yang menggembirakan hatinya. Ia akan melihat tontonan yang amat menarik, perkelahian yang seru dan mati-matian.

Sebaliknya, Bi Lan nonton dengan hati gelisah dan alis berkerut. Gadis ini sama sekali tidak menyetujui akan sikap dan tindakan sucinya. Pemuda itu sama sekali tidak berdosa, bahkan kalau tadi pemuda itu maju menentang si baju merah, bukankah hal itu menunjukkan bahwa pemuda itu membela ia dan sucinya? Kenapa hal itu dianggap suatu kesombongan dan kekurangajaran oleh sucinya yang kini demikian kejam untuk menyuruh orangnya membunuh pemuda itu?

Tidak, ia tidak setuju dan diam-diam gadis inipun sudah siap untuk mencegah dan melindungi pemuda itu apa bila perlu. Ia kini, tidak perlu berpura-pura takut kepada sucinya lagi. Memang, ia sudah berjanji untuk membantu sucinya, akan tetapi bantuan yang terbatas pada perampasan pusaka Liong-siauw-kiam dan usaha sucinya untuk menjadi beng-cu. Itu saja. Ia tidak akan membantu sucinya dalam hal lain, dan jelas tidak akan membantu sucinya melakukan kejahatan-kejahatan seperti apa yang akan dilakukannya terhadap pemuda ini.

Pemuda itu bangkit berdiri, tangan kanannya masih memegang sepasang sumpit. Melihat Tee Kok dan dua orang temannya yang berpakaian merah-merah, diapun melirik ke arah Bi Lan dan berkata,

”Eh, seekor lalat merah diusir pergi, malah datang tiga ekor!”

Karena merasa bahwa pemuda itu bicara dengan menyangkut dirinya yang menjadi orang pertama yang menggunakan istilah lalat merah, Bi Lan menahan senyumnya, akan tetapi ia segera berkata kepada sucinya,

”Suci pernah bilang bahwa ketua Ang-i Mo-pang yang menjadi pembantunya memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi. Kalau kini mampu mengalahkan pemuda yang tak terkenal ini dengan sepasang goloknya, sungguh itu namanya nama besar yang tidak sesuai dengan kenyataannya.”

Bi-kwi mengerutkan alisnya dan menoleh kepada sumoinya dengan sikap marah. Ia merasa tidak pernah memuji-muji kepandaian Tee Kok di depan sumoinya dan tahulah ia bahwa sumoinya itu sengaja menggunakan taktik mengangkat lalu membanting, yaitu pura-pura memuji Tee Kok untuk menjatuhkannya. Dan memang taktiknya itu berhasil.

Ketika melihat Bi Lan, Tee Kok tidak mengenal siapa wanita muda cantik yang duduk dengan Bi-kwi yang ditakutinya itu. Akan tetapi kini gadis itu menyebut suci kepada Bi-kwi. Maka, kini mendengar pujian tentang kelihaiannya, dia tertawa bergelak dan cepat menyimpan kembali dua buah goloknya dan menghadapi pemuda itu dengan tangan kosong saja sambil tersenyum lebar kepada Bi Lan! Melihat ini, Bi kwi mengerutkan alis makin dalam dan sama sekali tidak setuju, akan tetapi iapun diam saja.

Bagaimanapun juga, Tee Kok marah kepada pemuda itu yang jelas memakinya sebagai lalat merah, Baiknya, kemarahannya itu disiram oleh kesenangan hati dipuji oleh seorang gadis cantik yang menjadi sumoi Bi-kwi, maka kini dia dapat menghadapi pemuda itu dengan senyum lebar.

“Orang muda, majulah dan mari kau berkenalan dengan kaki tanganku yang sudah gatal-gatal karena beberapa hari lamanya tidak pernah menghajar orang, heh-heh!” katanya dengan sikap jumawa sekali.

Pemuda itu tersenyum.
”Seekor lalat merah sudah kehilangan sengatnya, tinggal suaranya saja mengiang membisingkan.”

Tentu saja Tee Kok menjadi semakin marah.
”Bocah keparat! Kalau begitu aku tidak hanya akan menghajarmu, akan tetapi juga akan membunuhmu!”

Baru saja dia berhenti bicara, tubuhnya sudah menubruk ke depan dengan gerakan cepat dan kuat. Kedua lengannya dikembangkan dan menyerang dari kanan kiri, seperti seekor harimau yang menubruk domba. Tee Kok memang ingin menerkam dan menangkap pemuda itu pada kedua pundaknya, karena dia yakin bahwa begitu dia berhasil mencengkeram pundak dan mencengkeram jalan darah di kedua pundak, pemuda itu tentu takkan mampu berkutik lagi.

Akan tetapi pemuda itu sama sekali tidak tergesa-gesa menghadapi serangannya. Pertama-tama, sepasang sumpit yang tadi dipegang di tangan kanan, kini dia selipkan dulu di ikat pinggang. Setelah itu, barulah dia menghadapi serangan lawan sementara kedua lengan lawan sudah dekat sekali dan kedua tangan Tee Kok dengan jari-jari tangan terbuka sudah hampir menyentuh kedua pundaknya.

Tiba-tiba kedua tangan pemuda itu dari bawah bergerak naik dan kedua lengannya sudah menangkis dua lengan lawan dari bawah, dan begitu menangkis keluar, kedua tangan itu dilanjutkan ke depan menghantam dada.

“Dukk....!”

Dada kanan kiri ketua Ang-i Mo-pang terdorong oleh kedua tangan pemuda itu sehingga tubuhnya terjengkang ke belakang. Dia terbanting roboh dan terbatuk-batuk keras karena isi dadanya seperti rontok terkena dorongan kedua tangan tadi. Dia merasa marah dan malu bukan main.

Pemuda itu hanya mempergunakan gerakan yang biasa saja, menangkis dari dalam kemudian mendorong dari dalam seperti itu hanya merupakan gerakan-gerakan dasar yang dipelajari oleh semua orang yang berlatih silat. Akan tetapi hebatnya, justeru gerakan sederhana ini telah berhasil merobohkannya dan dia terbatuk-batuk seperti orang terserang penyakit mengguk, sampai terpingkal-pingkal.

Bi Lan yang masih duduk di atas kursinya mengejek.
”Eh, pangcu. Engkau ini datang mau menghajar orang ataukah mau demonstrasi caranya orang batuk-batuk?”

Pengurus restoran dan para pelayan yang menonton sejak tadi dengan hati penuh rasa takut, hampir tak dapat menahan ketawa mereka. Akan tetapi dengan sekuat tenaga mereka menahan ketawa dan bersembunyi di balik meja dan kursi.

Tee Kok bangkit dengan muka merah dan mata melotot. Dalam segebrakan saja dia telah dirobohkan dan dibikin malu. Akan tetapi, orang yang berwatak sombong selalu mengagulkan diri sendiri dan memandang rendah orang lain. Dia menganggap bahwa kekalahannya tadi hanya terjadi karena dia memandang rendah saja.

Pemuda itu tadi merobohkannya bukan dengan ilmu silat yang hebat, hanya dengan gerakan sederhana dan andaikata dia tidak memandang rendah dan tidak bertindak sembrono dalam penyerangannya, tak mungkin pemuda itu akan mampu merobohkannya. Demikianlah pendapat orang yang selalu mengagulkan diri sendiri dan sikap ini jelas merugikan diri sendiri, membuat dia bertindak ceroboh.

“Bocah keparat, bersiaplah untuk mampus!” teriaknya dan dia sudah mencabut lagi sepasang goloknya.

Dia tidak dapat tersenyum-senyum lagi sambil melirik ke arah Bi Lan seperti tadi. Sepasang matanya ditujukan kepada pemuda itu dan di dalam pandang matanya memancar nafsu membunuh. Akan tetapi pemuda baju biru itu hanya memandangnya dengan sikap tenang dan tahu-tahu sepasang sumpit tadi sudah berada di tangannya, kini di kedua tangan masing-masing sebatang sumpit bambu kecil itu.

Golok kanan menyambar disusul golok kiri, yang kanan menabas ke arah leher sedangkan yang kiri menusuk perut. Semua orang yang menonton perkelahian itu, kecuali Bi-kwi, dan juga Bi Lan yang masih terus siap melindungi pemuda itu kalau perlu, merasa ngeri dan membayangkan bahwa tak lama lagi pemuda itu tentu akan roboh menjadi mayat dengan tubuh tidak utuh lagi.

Akan tetapi, terjadilah keanehan. Sepasang golok di tangan Tee Kok itu, sekian kali menyambar ke arah tubuh pemuda itu, selalu terhenti di tengah jalan dan ditarik kembali seolah-olah ketua Ang-i Mo-pang itu tidak tega melukai tubuh si pemuda baju biru! Dan sebagai lanjutan dari sikap tidak tega ini, kakek kurus pucat itu menyerang semakin hebat saja dan semakin marah walaupun semua serangannya itu kemudian terhenti pula.

Hanya Bi-kwi dan Bi Lan yang tahu apa yang telah terjadi dan mereka berdua terkejut, juga Bi-kwi merasa terheran-heran dan Bi Lan merasa kagum sekali. Sama sekali bukan karena Tee Kok merasa tidak tega melukai pemuda itu, melainkan dia terpaksa menahan serangannya karena kalau dilanjutkan, bukan lawannya yang terbacok atau tertusuk golok, melainkan dia sendirilah yang akan celaka.

Kiranya, setiap kali dia menyerang, baik dengan golok kanan maupun kiri, sebelum senjatanya itu mengenai tubuh lawannya, tiba-tiba saja sebatang sumpit telah menghadang dan mengancam dekat sekali dengan jalan darah di pergelangan tangan, siku maupun bawah pangkal lengan sehingga kalau dia meneruskan serangannya itu, sebelum senjata menyentuh tubuh lawan yang menjadi sasaran, terlebih dulu ujung sumpit itu akan menotok jalan darahnya!

Ke manapun juga dia menyerang, selalu saja sumpit-sumpit itu membayanginya dan mendahului setiap serangannya. Tentu saja hal ini membuat Tee Kok terkejut, keheranan dan juga penasaran lalu menjadi marah bukan main sehingga setiap kali dia terpaksa menarik goloknya lalu dia menyerang lagi dengan lebih ganas!

Namun sama saja, agaknya pemuda itu memiliki gerakan yang jauh lebih cepat lagi sehingga sumpit-sumpitnya selalu menodong ke arah jalan darah yang akan melumpuhkan lengan Tee Kok kalau serangannya dilanjutkan.

Bi-kwi sejak tadi juga nonton perkelahian itu dan diam-diam wanita inipun merasa heran dan penasaran sekali. Ia mengenal tingkat kepandaian Tee Kok. Biarpun tidak terlalu tinggi dan ia sendiri dalam waktu kurang dari sepuluh jurus saja akan mampu merobohkannya, akan tetapi melihat perkelahian itu, ia tahu bahwa kalau pemuda baju biru itu mau, dalam segebrakan saja sumpitnya tentu akan mampu melakukan totokan dan merobohkan Tee Kok.

Ia memperhatikan dan ingin mengenal ilmu silat yang dimainkan pemuda itu agar ia akan mengetahui dari perguruan mana pemuda itu. Namun, pemuda itu bergerak sembarangan saja dan agaknya malah tidak bersilat, hanya kedua lengannya yang selalu bergerak cepat melakukan penodongan dengan sumpit-sumpitnya itu melenggak-lenggok macam dua ekor ular saja. Tentu semacam Ilmu Silat Ular, pikirnya, akan tetapi dari cabang manakah?

Sebagai seorang tokoh sesat yang berpengalaman, dan sudah banyak bertanding, melawan orang-orang dari berbagai partai persilatan, Bi-kwi banyak mengenal ilmu-ilmu silat dari dunia persilatan. Akan tetapi kini ia mendongkol sekali karena ia sungguh harus mengaku bahwa ilmu silat yang dimainkan pemuda baju biru itu sama sekali tidak dikenalnya.

Sebetulnya, hal itu tidak mengherankan karena ilmu silat yang dimainkan pemuda itu bukanlah ilmu silat biasa, melainkan ilmu silat yang sumber atau asalnya dari keluarga para pendekar Pulau Es! Pemuda itu bukan lain adalah Gu Hong Beng, putera tunggal mendiang Gu Hok, tukang kayu di Siang-nam yang tewas oleh Bong-ciangkun komandan Siang-nam itu.

Seperti telah kita ketahui, Gu Hok dan isterinya tewas, akan tetapi putera tunggal mereka yang bernama Gu Hong Beng dan pada waktu itu baru berusia sebelas tahun, diselamatkan oleh pendekar Suma Ciang Bun, seorang pendekar dari keluarga Pulau Es. Anak itu kemudian menjadi murid Suma Ciang Bun. Selama hampir delapan tahun lamanya Hong Beng digembleng dengan keras dan tekun oleh Suma Ciang Bun.