Ads

Senin, 28 Desember 2015

Suling Naga Jilid 015

“Akan tetapi, apakah aku harus terus-menerus berobat ke sini? Bagaimana kalau suci sampai tahu? Tentu ia marah-marah dan aku akan dipukuli lagi!” Bi Lan nampak jerih.

“Tentu saja engkau harus setiap hari datang ke sini,” kata nenek Wan Ceng. “Dan lebih baik sebelum kau sembuh benar, jangan bicara apa-apa tentang kami kepada sucimu itu. Kalau sudah tiba saatnya, kami yang akan menghadapinya. Akan tetapi, dapatkah kau setiap hari datang ke sini?”

“Kami akan tinggal di sini untuk sementara waktu, membangun sebuah pondok di sini untuk mengobatimu setiap hari,” kata Kao Kok Cu.

“Akan tetapi, aku mendapat tugas dari suci untuk mencari kayu setiap hari, untuk memenuhi gudang kayu kami. Tentu saja aku dapat datang ke sini setiap hari, akan tetapi bagaimana dengan kayu yang harus kukumpulkan ?”

Wan Ceng tersenyum dan menuding ke arah pohon-pohon yang tadi roboh dan tumbang.
“Di sini terdapat banyak kayu. Tak perlu kau pusingkan, setiap hari engkau datang ke sini, berobat dan pulangnya membawa kayu. Syukur kalau di waktu malam kau dapat pula datang ke sini, lebih sering lebih cepat pula engkau sembuh dan pulih. Percayalah, Bi Lan, engkau akan tertolong lahir batin yang akan merobah seluruh jalan hidupmu kalau engkau menurut semua kata-kata kami.”

Bi Lan nampaknya masih bimbang, akan tetapi ia mengangguk. Bagaimanapun juga, harus diakuinya bahwa selama ini ia memang sering mendapat gangguan dalam tubuhnya, bahkan pernah sehabis latihan ia muntah darah. Dan sikap sucinya terhadap dirinya juga amat galak. Maka, melihat sikap baik kedua orang kakek nenek ini, ia segera percaya sepenuhnya walaupun ia sendiri belum menyadari betapa pentingnya pengobatan itu bagi dirinya.

Demikianlah, mulai hari itu, setiap hari Bi Lan pergi meninggalkan puncak memasuki hutan itu dan membiarkan dirinya diobati oleh kakek dan nenek itu. Wan Ceng memesan kepada Bi Lan agar sikapnya terhadap sucinya biasa saja.

“Ingatlah, Bi Lan. Keracunan di tubuhmu dan tidak lancarnya jalan darah ke kepalamu membuat sikapmu menjadi aneh seperti orang yang miring otaknya. Engkau suka tertawa-tawa sendiri, bicara seorang diri. Kebiasaan ini, andaikata engkau sadar pun, di depan sucimu harus kau lanjutkan. Jangan sucimu melihat perobahan sebelum engkau sembuh benar”.

Kemudian Kao Kok Cu memesan agar gadis itu menghentikan semua latihan sin-kang dan pernapasan seperti yang diajarkan Bi-kwi, dan dia memberikan suatu cara berlatih samadhi untuk menghimpun hawa murni di dalam tubuh gadis itu.

“Latihan ini selain akan membantu cepatnya semua hawa beracun meninggalkan tubuhmu, juga akan menghimpun tenaga baru untuk menghentikan tenaga sesat yang sudah terhimpun selama bertahun-tahun dalam dirimu.”

Setelah mengalami pengobatan, Bi Lan lalu membawa kayu yag sudah dikumpulkan oleh kakek dan nenek itu. Kakek Kao Kok Cu dan isterinya sudah membangun sebuah gubuk darurat dari kayu-kayu pohon yang mereka robohkan dan dengan tekun mereka berdua mengobati Bi Lan dan disamping mengobati, juga membantu gadis itu menghimpun tenaga sin-kang yang baru dan murni.

Sungguh beruntung sekali nasib Bi Lan sehingga tanpa disengaja ia berjumpa dengan Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir dan isterinya, dan telah menarik perhatian suami isteri pendekar sakti ini sehingga ia bukan saja tertolong dari cengkeraman maut yang ditanamkan oleh Bi-kwi di tubuhnya, juga gadis itu telah memperoleh latihan menghimpun sin-kang, bahkan suami isteri itu mulai pula memberi petunjuk-petunjuk dalam ilmu silat tinggi kepadanya!

Penyembuhan perlahan-lahan tentu saja tidak terasa oleh Bi Lan. Ia tidak merasa betapa kini otaknya menjadi bersih dari hawa beracun, jalan darahnya lancar dan ia bertambah cerdik! Dan ia pun kini memperoleh kegembiraan hidup, wajahnya selalu berseri kemerahan, mulutnya yang kecil itu selalu tersenyum manis dan ia kini menjadi seorang dara yang berwatak gembira dan jenaka sekali.

Setelah mengalami pengobatan selama tiga bulan lebih setiap hari tanpa berhenti dan terus-menerus, akhirnya ia sembuh sama sekali dan mulai hari itu, kakek dan nenek yang makin lama makin merasa sayang kepada gadis itu, memberi pelajaran ilmu silat tinggi kepada Bi Lan! Melihat bakat yang ada pada diri gadis itu, Kao Kok Cu ingin mengajarkan ilmu yang tangguh, juga isterinya. Maka mereka berunding, kemudian mereka memberitahukan kepada Bi Lan yang sudah menghadap mereka.

“Bi Lan, mulai hari ini, setelah melihat engkau sembuh sama sekali, kami ingin mengajarkan ilmu silat kepadamu. Akan tetapi kami tidak mungkin dapat mengajarkan ilmu kepada orang yang bukan murid kami,” kata Wan Ceng.

Bi Lan adalah seorang gadis yang cerdik. Setelah sembuh dari gangguan hawa beracun, dan setelah jalan darahnya ke kepala kini lancar kembali, kesadaran membuat ia segera menjatuhkan dirinya berlutut di depan kakek dan nenek itu.

“Aku telah menerima budi kecintaan dari kakek dan nenek berdua telah memperoleh pengobatan dan petunjuk yang penuh kasih sayang selama berbulan-bulan. Ucapan terima kasih saja masih belum ada artinya dibandingkan dengan budi ji-wi. Oleh karena itu, apabila ji-wi sudi menerimanya, biarlah aku menyatakan diri menjadi murid ji-wi.” Ia memberi hormat sambil berlutut dan menyembah-nyembah.

Wan Ceng segera memeluknya dan menariknya bangkit berdiri.
“Bagus, engkau memang anak yang baik, Bi Lan. Sejak pertama kali berjumpa kami sudah dapat menduganya dan kalau tidak demikian, untuk apa kami bersusah payah selama ini?”

Ia lalu menoleh kepada suaminya karena bagaimanapun juga, nenek ini tidak berani mendahului suaminya untuk menerima gadis itu sebagai murid mereka walaupun mereka tadi telah berunding.

“Bi Lan, kami menerimamu sebagai murid. Akan tetapi kami tidak akan lama lagi tinggal di sini. Setelah engkau sembuh, kami hanya ingin mengajarkan masing-masing semacam ilmu kepadamu, dan setelah itu, kami akan kembali ke utara. Kami sudah tua dan kami akan menghabiskaan sisa usia kami dengan hidup tenang di sana.”

Kembali Bi Lan berlutut.
“Suhu, subo.... teecu akan ikut ke utara. Biarlah teecu yang akan merawat kesehatan suhu dan subo berdua sebagai balas budi teecu.“

Kao Kok Cu tersenyum dan berkata halus,
“Muridku, jangan sekali-kali engkau mengikatkan dirimu dengan budi, karena kalau engkau mengikatkan dirimu dengan budi berarti engkau mengikatkan pula dirimu dengan dendam. Budi dan dendam tak terpisahkan, sebagai perwujudan dari pada diri yang merasa diuntungkan dan disusahkan. Anggaplah saja bahwa segala yang dilakukan orang lain kepadamu, dan segala yang kau lakukan kepada orang lain, adalah suatu kewajaran yang tidak perlu ada ekornya yang mengikat diri. Mengertikah engkau?”






Tentu saja Bi Lan tidak mengerti!
“Teecu selanjutnya mohon petunjuk suhu, karena apa yang suhu katakan tadi berada di luar jangkauan pengertian teecu.”

“Bi Lan, engkau tidak boleh begitu mudahnya melupakan yang lama setelah menemukan yang baru!” tiba-tiba Wan Ceng berkata sambil tersenyum pula. “Begitu engkau menemukan kami sebagai guru baru, engkau lalu akan begitu saja meninggalkan tiga orang gurumu yang lama, yang menurut ceritamu telah bersikap baik kepadamu. Bagaimanapun juga, sejak kecil engkau adalah murid Sam Kwi, dan kami berdua menjadi gurumu hanya untuk memulihkan sin-kangmu, dan memberi pelajaran ilmu silat untuk memperlengkap kepandaianmu atau katakanlah sebagai pengganti tenaga-tenaga sin-kang yang telah lenyap bersama hawa beracun dari tubuhmu ketika kami melakukan pengobatan. Karena itu, sungguh tidak bijaksana kalau engkau lalu meninggalkan mereka begitu saja tanpa mereka setujui.”

“Subo, biarpun Sam Kwi merupakan guru-guruku, akan tetapi kenyataannya mereka tidak pernah secara langsung mendidik teecu sehingga teecu diserahkan kepada suci yang bahkan telah mengajar teecu secara menyesatkan.”

“Sudahlah, Bi Lan. Bukankah ketiga orang gurumu sedang bertapa? Bagaimanapun juga, engkau tidak mungkin ikut bersama kami sebelum mendapatkan ijin dari ketiga orang gurumu. Bukan berarti kami tidak suka kalau engkau ikut dengan kami ke utara. Dan sekarang perhatikan baik-baik, kami akan mengajarkan ilmu kepadamu, dari suhumu semacam dan dariku sendiri semacam,” kata nenek Wan Ceng.

Pendekar sakti itu bersama isterinya lalu mulai mengajarkan ilmu silat tinggi kepada Bi Lan. Gadis ini memang memiliki bakat yang amat baik, dan juga bagaimanapun juga, ia telah memperoleh dasar yang kuat juga dari Sam Kwi dan Bi-kwi, maka dengan tekun ia mengikuti petunjuk kedua orang suami isteri itu dan berlatih dengan penuh semangat. Bahkan kini ia makin sering datang ke tempat itu di waktu malam, dan baru pulang kalau sudah memperoleh petunjuk-petunjuk selanjutnya dari kedua orang kakek dan nenek itu.

Tanpa terasa, enam bulan telah lewat semenjak Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir dan isterinya tinggal di dalam hutan sebuah puncak Pegunungan Thai-san itu. Kao Kok Cu telah memberi pelajaran Ilmu Silat Sin-liong Ciang-hoat (Ilmu Silat Naga Sakti), sedangkan nenek Wan Ceng mengajarkan Ilmu Ban-tok Ciang-hoat (Ilmu Silat Selaksa Racun).

Karena ketekunannya, ditambah ingatannya yang kuat, Bi Lan akhirnya dapat menguasai kedua ilmu silat ini. Dari kakek dan nenek itu iapun mendengar tentang diri mereka, nama mereka, bahkan ia diperkenalkan pula dengan nama putera mereka, bekas panglima Kao Cin Liong dan isterinya Suma Hui, juga diperkenalkan dengan nama para tokoh pendekar sakti di dunia persilatan.

Terhadap Bi-kwi, Bi Lan bersikap biasa saja, bahkan ia masih pura-pura seperti orang gendeng. Juga kalau sucinya menurunkan pelajaran dan latihan, ia masih berlatih seperti yang diajarkan encinya. Akan tetapi tentu saja kini ia telah memiliki dasar sin-kang yang murni dan sama sekali tidak menghimpun tenaga melalui pernapasan dan cara samadhi yang diajarkan secara kacau dan terbalik oleh sucinya.

Di dalam kamarnya sendiri atau di luar, ia tekun melatih diri dengan pernapasan dan samadhi seperti yang diajarkan oleh kakek dan nenek dari Istana Gurun Pasir. Bahkan ia masih pura-pura gendeng dan linglung kalau Bi-kwi melampiaskan kebenciannya dengan tamparan-tamparan dan tendangan-tendangan melalui latihan ilmu silat.

Ia akan mempertahankan semua ini, bukan karena takut kepada sucinya, bukan karena berbakti kepada sucinya yang tidak pernah berlaku baik terhadap dirinya, melainkan karena ingin menanti sampai ketiga orang suhunya keluar dari pertapaan mereka. Baru ia akan melaporkan semua perbuatan sucinya itu kepada Sam Kwi dan minta pertimbangan dan keadilan. Kalau tiga orang suhunya itu tidak membelanya, ia akan meninggalkan mereka semua.

Biarpun Bi Lan berlaku cerdik, namun kepura-puraan ini akhirnya menimbulkan kecurigaan hati Bi-kwi yang juga termasuk wanita yang cerdik sekali. Ia teringat bahwa beberapa bulan yang lalu, sumoinya itu sudah menunjukkan gejala-gejala keracunan dengan muka yang pucat, tubuh yang kadang-kadang menggigil, mata yang jelas menunjukan ketidakwarasan otaknya.

Akan tetapi akhir-akhir ini ia melihat betapa wajah sumoinya semakin segar saja, kedua pipinya kemerahan seperti buah apel masak, matanya jernih dan jeli, penuh kegairahan hidup, senyumnya semakin manis dan membuat ia semakin iri hati saja, dan tidak ada lagi nampak gejala-gejala seperti dahulu.

Biarpun dalam ilmu silat, sumoinya masih bersilat dengan kacau dan kalau ia pukuli dan tendangi masih tidak mampu membalas, akan tetapi hatinya mulai curiga. Karena melihat betapa sumoinya amat rajin pergi mencari kayu atau memikul air dari sumber yang agak jauh, maka pada suatu hari, pagi-pagi sekali ketika ia melihat sumoinya pergi untuk mencari kayu, diam-diam ia membayangi dari jauh.

Baru teringat olehnya betapa banyaknya sumoinya membutuhkan kayu untuk masak. Bahkan di waktu malam, kini sering sekali sumoinya membuat api unggun besar yang menggunakan banyak sekali kayu bakar. Kalau ditanya, sumoinya mengatakan bahwa hawanya amat dingin dan banyak nyamuk maka ia membuat api unggun besar. Ia tidak curiga karena memang menurut perhitungannya, hasil himpunan tenaga sin-kang sumoinya yang dilakukan dengan terbalik dan kacau-balau itu bukan hanya membuat sumoinya tidak akan dapat menahan hawa dingin, bahkan hawa beracun di tubuhnya kadang-kadang bisa mendatangkan rasa dingin sekali. Akan tetapi kini, setelah kecurigaannya semakin besar, ia memperhatikan hal ini dan akhirnya ia mengambil keputusan untuk membayangi kalau sumoinya pergi mencari kayu.

Ia membayangi dari jauh sekali sehingga Bi Lan sama sekali tidak tahu bahwa ia sejak tadi dibayangi oleh sucinya. Ia mengintai dari balik semak-semak yang cukup jauh ketika melihat Bi Lan berhenti di dalam hutan, di depan sebuah gubuk kayu yang sederhana. Sepasang mata Bi-kwi berkilat penuh kemarahan ketika melihat munculnya seorang kakek dan seorang nenek dari dalam gubuk itu dan melihat betapa Bi Lan berlutut di depan mereka. Kemarahan membuat Bi-kwi tak dapat menahan diri lagi. Ia meloncat dan dengan cepat sekali telah tiba di dekat sumoinya.

“Pengkhianat, kiranya engkau hanya seorang bocah pengkhianat yang tak mengenal budi! Suhu bertiga menyelamatkanmu, memeliharamu dan kami bersusah payah mendidikmu hanya untuk kau balas dengan pengkhianatan ini?”

Bi Lan meloncat bangun dan memandang sucinya dengan muka agak pucat karena terkejut melihat tiba-tiba sucinya berada di situ, hal yang sama sekali tak pernah disangkanya. Namun, dua kali tarikan napas panjang saja sudah membuat ia tenang kembali.

“Suci, aku tidak mengkhianati siapa-siapa.”

“Mulut busuk jangan sembarangan ngoceh! Bukankah aku sudah berpesan bahwa siapa saja yang kau temukan di daerah ini harus kau bunuh? Akan tetapi apa yang kau lakukan sekarang? Engkau malah berhubungan dengan mereka ini. Pengkhianat harus mampus dulu kau sebelum kubunuh mereka!”

Dan Bi-kwi sudah menyerang dengan ganasnya, sekali ini bukan sekedar hendak menghajar sumoinya seperti yang sudah-sudah, melainkan serangannya ditujukan untuk membunuh! Ia cerdik dan maklum bahwa kalau ia menggunakan jurus ilmu silatnya, kebanyakan sumoinya telah menguasainya dan akan mampu menghindarkan diri, maka sekali ini ia menyerang tanpa menggunakan jurus ilmu silat, akan tetapi pukulannya itu mengandung hawa pukulan maut karena tangan yang menyerang diisi dengan tenaga Kiam-ciang (Tangan Pedang) dan tangan itu menyambar ke arah dada Bi Lan dengan kecepatan kilat!

Terdengar suara bercuit nyaring ketika tangan itu menyambar dada dan Bi-kwi sudah membayangkan betapa dada sumoi yang dibencinya ia akan tertusuk tangannya, dan ia akan mencengkeram di dalam dada, menarik keluar jantungnya kalau berhasil. Ia tidak takut lagi dimarahi tiga orang suhunya karena sekarang ia mempunyai alasan kuat untuk membunuh Bi Lan.

“Wuuuttt.... plakkk....!”

Dan Bi-kwi terkejut setengah mati. Bukan hanya sumoinya mampu mengelak, bahkan tangkisan tangan sumoinya tadi ketika mengenai lengannya, membuat tangannya yang menyerang terpental kembali dan ada hawa tenaga yang lunak namun kuat sekali keluar dari tangan sumoinya! Rasa kaget, heran dan juga penasaran membuat ia marah sekali.

“Bagus! Keparat jahanam, kau berani melawanku, he?”

Dan iapun menerjang lagi. Akan tetapi Bi Lan sudah meloncat ke belakang nenek itu yang mengangkat kedua tangan ke atas.

“Sabarlah, nona.!” kata nenek Wan Ceng kepada Bi-kwi.

Dari tadi ia sudah tahu bahwa tentu inilah wanita cantik yang disebut Bi-kwi itu. Kalau saja hal ini terjadi dua tigapuluh tahun yang lalu, melihat seorang wanita yang demikian kejam dan jahat, tentu tanpa banyak cakap lagi nenek Wan Ceng sudah turun tangan menentang dan membasminya.

Akan tetapi sekarang ia adalah seorang nenek tua isteri yang bijaksana dari Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir, maka sikapnya tenang saja ketika ia mengangkat kedua tangan melindungi Bi Lan dan menyabarkan Bi-kwi.

Akan tetapi sebaliknya, Bi-kwi sudah menjadi marah bukan main. Melihat ada orang berani tinggal di tempat yang dianggap masih wilayah kekuasaannya itu saja sudah membuatnya marah, apalagi mengingat bahwa kakek dan nenek ini agaknya menjadi sahabat sumoinya.

“Tua bangka yang bosan hidup!” bentaknya dan Bi-kwi sudah meloncat ke depan menyerang nenek Wan Ceng dengan pukulan maut dari Ilmu Silat Kiam-ciang!

“Dukkk....!”

Sebuah lengan dengan gerakan Ilmu Silat Kiam-ciang juga telah menangkisnya dan keduanya tergetar, akan tetapi Bi Lan yang menangkis itu agak terhuyung sedangkan Bi-kwi hanya melangkah mundur dua tindak. Dengan sikap tegak dan mata menyinarkan perlawanan Bi Lan berkata dengan suara tegas dan berani.

“Suci, jangan kau menyerangnya! Mereka ini tinggal di sini karena mereka hendak menolongku, menyelamatkan aku dari bahaya maut yang menjadi akibat perbuatanmu yang keji! Engkau telah sengaja memberi latihan yang terbalik dan tersesat sehingga latihan-latihan itu menghimpun hawa beracun di dalam tubuhku. Mereka menaruh iba kepadaku dan menyelamatkanku, karena itu engkau tidak boleh menyerang mereka!”

Bi-kwi tertegun sejenak, hatinya terlampau kaget. Pertama, sumoinya berani membela nenek itu dan bahkan dapat menangkis serangannya yang dahsyat tadi dengan jurus yang sama dan ia merasa pula betapa sumoinya kini memiliki tenaga sin-kang yang amat kuat, hampir dapat menyamai tenaganya. Pula, ia melihat sikap Bi Lan demikian tegas dan sama sekali tidak terbayang lagi sikap gendengnya, padahal kemarin masih bersikap seperti orang gendeng. Sebagai seorang gadis yang cerdik, iapun dapat menduga bahwa sumoinya itu agaknya pada hari-hari yang lalu telah berpura-pura gendeng untuk mengelabuhinya. Pikiran ini membuatnya menjadi semakin marah.

“Mereka tidak berhak mencampuri urusan kita dan mereka harus mampus!” bentaknya dan ia siap untuk menerjang lagi, siapa saja di antara mereka bertiga yang berada paling dekat akan diserangnya. Ia sudah mengambil keputusan untuk membunuh tiga orang ini.

Sebelum Bi Lan menjawab, nenek Wan Ceng berkata halus,
“Bi Lan, minggirlah dan biarkan kami menghadapi iblis betina ini.”

“Baik, subo,” kata Bi Lan dan iapun meloncat ke pinggir membiarkan nenek itu menghadapi sucinya.

Ia tahu akan kelihaian sucinya dengan pukulan-pukulan yang keji dan ampuh, maka iapun ingin sekali melihat bagaimana dua orang gurunya yang baru itu menghadapi sucinya. Hanya kalau ia teringat betapa nenek itu sekali cengkeram saja dapat membuat sebatang pohon menjadi hancur di sebelah dalamnya dan tumbang, diam-diam ia bergidik dan tak terasa lagi ia menyambung,

“Subo, harap maafkan suci dan jangan terlalu keras menghajarnya!”

Nenek itu melirik kepadanya dan tersenyum maklum bahwa murid barunya itu merasa ngeri dan khawatir kalau-kalau ia akan membunuh sucinya itu, dan iapun mengangguk. Lalu ia menghadapi Bi-kwi dan dengan suara masih halus berkata,

“Nona, tentu engkau yang berjuluk Bi-kwi, suci dari Bi Lan. Ingat, nona, engkau telah bertindak keji dan hendak membunuh sumoimu sendiri perlahan-lahan, dan kini engkau mendengar sendiri betapa Bi Lan masih memintakan ampun untukmu. Maka, sadarlah, nona, ingat bahwa kekerasan hanya akan menyeretmu sendiri ke lembah kesengsaraan.”

“Sudah mau mampus masih cerewet! Terimalah ini!”

Dan Bi-kwi sudah memotong kata-kata nenek itu dan menyerang dengan amat hebatnya, ia masih terus mempergunakan Kiam-ciang karena menganggap bahwa ilmu ini yang paling ampuh untuk melakukan penyerangan mendadak.

Bi-kwi sudah merasa girang sekali ketika melihat betapa nenek itu hanya menangkis dengan gerakan lambat saja, tidak mengelak. Ia sudah membayangkan bahwa ia akan berhasil membikin patah atau bahkan buntung lengan nenek itu dengan tangannya yang dapat menjadi seampuh pedang.

Bi Lan yang mengenal ampuhnya Kiam-ciang, mengerutkan alisnya dan memandang dengan khawatir juga, walaupun ia sudah yakin akan kesaktian subonya. Tak terelakkan lagi, tangan Bi-kwi bertemu dengan lengan kanan nenek Wan Ceng.

“Dukkk!”

Terdengar pula bunyi kain robek dan ternyata lengan baju nenek itu robek seperti dibacok pedang, akan tetapi tangan itu sendiri berhenti ketika bertemu dengan kulit lengan, dan Bi-kwi terhuyung ke belakang seperti terdorong oleh tenaga yang amat kuat.

Bi-kwi terkejut bukan main. Ilmunya memang telah berhasil merobek lengan baju nenek itu, akan tetapi ketika tangan yang dimiringkan tadi bertemu dengan lengan, ia merasa betapa kulit lengan itu lembut dan lunak, dan tenaga Kiam-ciang itu membalik dan membuatnya terhuyung. Di lain pihak, diam-diam nenek Wan Ceng juga terkejut karena tak menyangka bahwa tangan gadis cantik itu sedemikian ampuhnya sehingga dapat menjadi tajam seperti sebatang pedang saja.

Bi-kwi sudah menerjang lagi dan tiba-tiba nenek itu mendapat pikiran untuk memberi contoh kepada Bi Lan bagaimana caranya mempergunakan ilmu silat Ban-tok Ciang-hoat yang diajarkannya kepada Bi Lan untuk menghadapi serangan-serangan Bi-kwi.

Melihat namanya, yaitu Ilmu Silat Selaksa Racun, tentu merupakan ilmu silat kaum sesat yang mengandung racun. Memang asal mulanya demikian. Dahulu, di waktu ia masih gadis, nenek Wan Ceng pernah menjadi murid seorang nenek iblis yang berjuluk Ban-tok Mo-li dan dari wanita sesat ini Wan Ceng menerima ilmu-ilmu silat yang mengandung racun amat jahatnya.

Akan tetapi, setelah ia menjadi isteri Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir, ia telah menjadi seorang pendekar wanita dan ia tidak mau lagi mempergunakan ilmu silat yang pukulannya mengandung hawa beracun. Dengan bantuan suaminya, ia lalu merobah Ban-tok Ciang-hoat dari ilmu pukulan beracun menjadi ilmu pukulan yang mengandung sin-kang lembut namun di balik kelembutan itu terkandung tenaga yang amat hebat seperti yang pernah diperlihatkan kepada Bi Lan ketika tangannya mencengkeram batang pohon.

Kini, Ban-tok Ciang-hoat hanya tinggal namanya saja yang mengerikan, akan tetapi sudah menjadi semacam ilmu silat yang lihai dan bersih, tidak lagi menggunakan racun. Ilmu inilah yang oleh nenek itu diajarkan kepada Bi Lan. Kini, menghadapi serangan-serangan Bi-kwi, nenek itu lalu sengaja memainkan ilmu silat ini untuk memberi contoh kepada Bi Lan.

Melihat ini, Kao Kok Cu maklum akan niat isterinya dan diapun berbisik kepada Bi Lan,
“Lihat baik-baik gerakan subomu ketika menggunakan ilmu silat itu.”

Bi Lan mengangguk dan gadis yang cerdik inipun segera maklum akan maksud subonya. Ia berterima kasih sekali karena kini ia dapat lebih jelas melihat bagaimana cara mempergunakan ilmu silat itu untuk menghadapi serangan sucinya dengan ilmu-ilmu silat yang sudah dikenalnya pula.

Hal ini amat penting baginya karena semenjak sekarang ia harus dapat membela diri terhadap serangan-serangan sucinya. Mengandalkan ilmu-ilmu silat yang diperolehnya dari sucinya untuk membela diri, tentu kurang meyakinkan dan kurang kuat, karena tentu saja ia kalah latihan, juga kalah kuat tenaga dalamnya yang dahulu dilatihnya secara keliru.

Perkelahian antara Bi-kwi dan nenek Wan Ceng itu memang seru bukan main. Bi-kwi amat lihai dan ia sudah berlatih secara matang. Ilmu-ilmu silat dari tiga orang gurunya sudah diresapinya benar, juga sudah dilatihnya secara matang.

Betapapun juga, kini ia melawan nenek Wan Ceng yang telah menjadi isteri Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir, maka ia menemukan seorang lawan berat dan andaikata nenek itu masih belum setua itu, duapuluh tahun yang lalu saja tentu Bi-kwi akan sulit memperoleh kemenangan. Akan tetapi, kini nenek itu sudah tua, selain tenaganya berkurang juga daya tahannya menurun, apalagi semangatnya untuk berkelahi dan mencari kemenangan sudah lemah, maka setelah lewat seratus jurus lebih, nenek itu mulai kelelahan.

Nenek Wan Ceng merasa sudah cukup memberi contoh kepada muridnya, dan iapun maklum bahwa kalau ia melanjutkan menghadapi gadis yang amat lihai itu dengan tangan kosong saja, keadaannya akan menjadi berbahaya.

“Singgg....!”

Tiba-tiba nampak sinar menyilaukan mata dan sebatang pedang yang mengeluarkan hawa mengerikan telah berada di tangan kanan nenek itu. Bi-kwi sendiri terbelalak dan bergidik, maklum bahwa nenek itu telah memegang sebatang pedang yang ampuh dan mengandung hawa aneh.

Itulah Ban-tok-kiam! Dulu pernah pedang ini oleh nenek Wan Ceng diberikan kepada puteranya, putera tunggal yang bernama Kao Cin Liong. Akan tetapi setelah Kao Cin Liong menjadi seorang panglima, ia mengembalikan pedang itu kepada ibunya karena ia harus membawa pedang kekuasaan yang menjadi lambang kedudukannya.

Pedang Ban-tok-kiam ini adalah sebatang pedang yang dahulu diterima oleh nenek Wan Ceng dari gurunya, nenek iblis Ban-tok Mo-li dan pedang ini adalah sebatang pedang yang terbuat dari pada baja pilihan. Yang mengerikan adalah bahwa senjata ini telah direndam sampai puluhan tahun dalam ramuan racun-racun yang amat kuat, maka diberi nama Ban-tok-kiam (Pedang Selaksa Racun). Sedikit saja tergores pedang ini sudah cukup membuat korbannya tewas!

Melihat isterinya mencabut Ban-tok-kiam, Kao Kok Cu cepat meloncat ke depan dan menarik lengan isterinya.

“Kau istirahatlah,” katanya halus.

Wan Ceng sadar bahwa tidak semestinya ia menggunakan pedang itu, maka dengan muka merah iapun melangkah mundur dekat Bi Lan sambil menyimpan kembali pedangnya.

Sementara itu, Kao Kok Cu menghadapi Bi-kwi dan berkata,
“Nona, hentikan kemarahanmu dan tidak perlu kau melanjutkan serangan-seranganmu. Kami datang ke tempat ini bukan bermaksud buruk, melainkan hendak mengobati Can Bi Lan.”

“Mampuslah!”

Bi-kwi yang masih marah dan penasaran karena tidak mampu mengalahkan nenek itu, kini sudah menerjang maju, menghantam dengan Kiam-ciang ke arah kepala kakek itu.

“Bi Lan, lihat baik-baik!” kata kakek itu dan diapun sengaja mengelak lalu bersilat dengan Ilmu Silat Sin-Liong Ciang-hoat untuk memberi contoh kepada murid barunya bagaimana menggunakan ilmu silat itu untuk menghadapi Bi-kwi.

Kalau dia mau, tentu saja dengan sekali gebrakan dia akan mampu merobohkan Bi-kwi. Tingkat kepandaiannya terlampau jauh lebih tinggi dari pada tingkat Bi-kwi. Akan tetapi Pendekar Naga Sakti ini tidak mau berbuat demikian karena dia ingin memberi petunjuk kepada Bi Lan. Gadis inipun mengerti dan diamatinya dengan baik gerakan-gerakan suhunya ketika menghadapi Bi-kwi.

Bi-kwi agaknya maklum bahwa ilmu kepandaian kakek ini lebih tinggi dari pada si nenek, maka iapun mengerahkan seluruh tenaganya dan mengeluarkan semua ilmu silatnya untuk menyerang kakek itu. Berturut-turut ia mempergunakan ilmu-ilmu dari ketiga orang suhunya, ilmu dari Raja Iblis Hitam yang disebut Hek-wan Sip-pat-ciang (Delapan belas Jurus Ilmu Silat Lutung Hitam), lalu Ilmu Tendangan Pat-hong-twi dari Iblis Akhirat dan Hun-kin Tok-ciang dari Iblis Mayat Hidup.

Akan tetapi, semua ilmu itu seperti permainan kanak-kanak saja ketika dihadapi oleh kakek lengan satu itu dengan Sin-liong Ciang-hoat, semua pukulan dan tendangan dapat dihalau dengan mudah dan setiap kali kakek itu balas menyerang dengan jurus dari ilmu silatnya,

Bi-kwi terkejut dan terdesak hebat. Bahkan kalau kakek itu melanjutkan serangannya, tentu Bi-kwi akan terkena pukulan atau cengkeraman. Akan tetapi Kao Kok Cu sengaja tidak melanjutkan serangan balasannya, karena diapun hanya ingin memperlihatkan saja kepada muridnya bagaimana harus mengalahkan Bi-kwi dengan ilmu silat itu.

Diam-diam Bi Lan girang bukan main. Jelas nampak olehnya semua itu dan mulailah ia melihat kelemahan-kelemahan pada ilmu-ilmu silat yang dimainkan sucinya dan iapun kagum bukan main karena kalau tadi subonya hanya membuktikan bahwa subonya mampu menandingi sucinya tanpa terdesak, sekarang suhunya benar-benar menguasai keadaan dan kalau suhunya menghendaki sudah sejak tadi Bi-kwi roboh!