Ads

Senin, 28 Desember 2015

Suling Naga Jilid 013

Pagi itu matahari bersinar cerah sekali, tanpa adanya pengganggu berupa awan di satu di antara puncak-puncak Pegunungan Thai-san. Puncak yang ini amat sunyi, bahkan dianggap sebagai tempat yang gawat dan berbahaya oleh para pemburu binatang sehingga sudah bertahun-tahun lamanya tidak ada pemburu yang berani mendaki puncak ini.

Puncak yang pada akhir-akhir ini dikenal sebagai puncak maut karena banyak sudah para pemburu yang kedapatan tewas dan mayat-mayat mereka dilempar ke bawah puncak. Menurut kepercayaan para pemburu dan para penghuni dusun-dusun di sekitar Pegunungan Thai-san, puncak itu dihuni oleh iblis-iblis jahat dan binatang-binatang buas yang amat kuat.

Akan tetapi, orang-orang kang-ouw dapat menduga bahwa di puncak itu tentu tinggal datuk-datuk sesat yang berilmu tinggi dan yang menganggap puncak itu sebagai miliknya dan tidak mau diganggu orang lain.

Dugaan para ahli silat di dunia kang-ouw yang tidak mudah percaya akan cerita-cerita tahyul ini memang tepat sekali. Puncak itu menjadi tempat pertapaan Sam Kwi dan dua orang muridnya. Semenjak murid pertama mereka, yaitu Ciong Siu Kwi yang berjuluk Bi-kwi (Iblis Cantik), pulang dengan laporan yang amat mengecewakan bahwa murid pertama yang amat diandalkan itu kalah oleh Pendekar Suling Naga, tiga orang kakek itu merasa prihatin sekali.

Mereka telah mewariskan semua ilmu mereka yang paling tinggi kepada Bi-kwi, dan gadis yang boleh dikatakan memiliki bakat yang besar itu kini boleh dibilang tak kalah lihai dibandingkan dengan mereka. Akan tetapi, Bi-kwi kalah jauh, demikian menurut pelaporan murid itu. Bi-kwi merengek kepada tiga orang kekasihnya itu agar mereka suka mengajarkan ilmu baru yang lebih hebat agar ia dapat kelak mencari Pendekar Suling Naga untuk membalas kekalahannya dan merampas pusaka Suling Naga.

Tiga orang kakek itu menghela napas kehabisan akal dan Im-kan-kwi atau Iblis Akhirat itu berkata,

“Bi-kwi, ilmu apalagi yang dapat kami ajarkan kepadamu? Raja Iblis Hitam sudah menurunkan Hek-wan Sip-pat-ciang kepadamu, ilmunya yang paling akhir. Aku sendiri sudah mengajarkan Toat-beng Hui-to, golok terbang pencabut nyawa itu, dan Iblis Mayat Hidup sudah mengajarkan Hun-kin Tok-ciang yang hebat itu. Kalau dengan ilmu-ilmu itu kau masih kalah, lalu ilmu apa lagi yang dapat kau pelajari?”

“Tentu saja aku tidak sempat mempergunakan semua ilmu itu satu demi satu. Akan tetapi dia sungguh lihai, Suhu. Biar dibantu Tee Kok dan duapuluh orang lebih anak buahnya, aku tidak mampu mengalahkannya, bahkan hampir saja celaka di tangannya. Dia lihai sekali. Pusaka suling naga itu dapat menjadi pedang yang mengeluarkan suara mengaum dan juga suara suling itu melengking-lengking mengandung tenaga khi-kang yang amat kuat.” keluh Bi-kwi.

Tiga orang kakek iblis itu merasa penasaran sekali. Tadinya mereka beranggapan bahwa murid dan kekasih mereka itu merupakan orang yang paling lihai dan tidak terkalahkan.

Oleh karena itulah maka mereka percaya kepada Bi-kwi untuk melaksanakan tugas berat, yaitu mencari dan menandingi Pendekar Super Sakti dan mencari susiok mereka Pek-bin Lo-sian untuk merampas pusaka Suling Naga. Akan tetapi, siapa sangka, murid yang dipercaya dan diandalkan ini pulang sambil mengomel, menceritakan kekalahannya terhadap orang yang kini menguasai Siauw-liong-kiam!

“Baiklah, sekarang begini saja, Bi-kwi,” kata pula Iblis Akhirat dengan suara gemas dan dia mengepal tinju. “Kami bertiga akan bertapa bersama-sama, kami akan mencoba untuk menciptakan sebuah ilmu baru dengan pengerahan tenaga dan pikiran kami bertiga digabung menjadi satu. Sementara itu, engkau latihlah sumoimu agar ia kelak dapat membantumu. Setelah ia pandai dan kami menemukan ilmu baru, kami akan mengajarkan ilmu itu kepadamu. Kemudian, kita berlima akan pergi mencari Pendekar Suling Naga. Kalau kita masih juga tidak mampu merampas pusaka itu dan membunuhnya, biarlah kami yang mati di tangannya!”

Girang sekali hati Bi-kwi. Keputusan yang diambil tiga orang gurunya itu mendatangkan banyak keuntungan dan kesenangan baginya. Pertama, tentu saja ia girang kalau sampai dapat menerima ilmu baru yang tentu hebat sekali kalau diciptakan oleh penggabungan tiga orang sakti itu. Ke dua, hatinya lega karena tentu ia akan terbebas untuk waktu lama dari mereka bertiga, tidak perlu melayani mereka yang sedang bertapa.

Kini ia mulai merasa bosan dan muak kalau harus melayani tiga orang gurunya yang sudah tua dan sama sekali tidak menarik hati lagi itu. Ia dapat menghibur diri dengan mencari pria-pria muda yang tampan di dusun-dusun sekitar pegunungan itu! Dan ke tiga, di luar pengawasan tiga orang suhunya, ia makin bebas untuk menyelewengkan pelajaran ilmu-ilmu silat kepada sumoinya yang diam-diam dibencinya karena dianggap sebagai saingan itu. Akan tetapi, hatinya yang penuh kepalsuan itu membuat ia berpura-pura ketika ia menjatuhkan diri berlutut di depan tiga orang gurunya.

“Budi suhu bertiga sudah bertumpuk-tumpuk terhadap diriku dan kini suhu akan bersusah payah pula menciptakan ilmu baru untukku. Sampai matipun budi ini tidak akan kulupakan dan aku berjanji akan menanti sampai suhu bertiga berhasil, walaupun aku akan hidup kesepian dan berjanji kelak akan mempelajari ilmu baru itu dengan sempurna.”

“Hemm, tak perlu kesepian karena ada sumoimu, Bi-kwi,” kata Hek Kwi-ong.

“Aku akan mengerahkan semua tenaga untuk melatih sumoi dengan baik, suhu,” jawab Bi-kwi.

Demikianlah, sejak pulangnya Bi-kwi yang menderita kekalahan dari Sim Houw si Pendekar Suling Naga, Sam Kwi lalu mengundurkan diri ke dalam sebuah ruangan tertutup di mana mereka tekun bertapa dan mengerahkan semua kepandaian untuk menggabungkan pikiran mereka untuk menciptakan sebuah ilmu yang baru dan ampuh.

Mereka tidak pernah keluar, dan setiap hari Bi-kwi sendiri yang memasukkan makanan dan minuman untuk mereka dari sebuah lubang di pintu. Ada kalanya ia menyuruh sumoinya, Can Bi Lan untuk menyuguhkan makanan dan minuman itu.

Bi Lan adalah seorang anak perempuan yang sama sekali belum memiliki pengalaman tentang ilmu silat. Akan tetapi semenjak ia mengalami peristiwa yang amat mengguncang batinnya, melihat betapa ayah dan ibunya tewas disiksa gerombolan, kemudian melihat pula dirinya terancam bahaya yang mengerikan, lalu betapa Sam Kwi membunuhi semua anggauta gerombolan dan menyiksanya dengan sadis, terjadi perobahan pada batinnya.

Ia merasa seperti seorang yang bangkit kembali dari kematian, dan hal ini membuat ia memiliki keberanian yang luar biasa. Dan melihat betapa banyaknya orang jahat di dunia, betapa hidup ini penuh dengan ancaman bahaya maut dan bahaya penghinaan, iapun bertekad untuk mempelajari ilmu silat dari tiga orang gurunya.






Biarpun diam-diam ia merasa tidak suka dan takut kepada sucinya, akan tetapi karena tiga orang gurunya menyerahkan ia untuk dilatih oleh sucinya, Bi Lan juga menerima keputusan ini tanpa banyak membantah. Bahkan ia menurut secara membuta segala latihan yang diberikan Bi-kwi kepadanya. Ia tidak memperdulikan kedua telapak tangannya sampai rusak-rusak karena sucinya menyuruh ia berlatih mengeraskan tangan setiap pagi dan petang menggunakan kedua telapak tangan untuk memukuli pasir panas yang dicampur bubuk besi.

Mula-mula memang telapak tangannya luka-luka dan melepuh, akan tetapi anak ini memiliki tekad yang besar sehingga akhirnya ia dapat mengatasi semua kesulitan. Ilmu-ilmu yang diajarkan oleh Bi-kwi, oleh si Iblis Cantik ini memang sengaja diselewengkan sehingga jurus-jurus yang diajarkan itu tidak sempurna lagi, bahkan dikacau dengan gerakan-gerakan lain sehingga ilmu silat yang dipelajari oleh Bi Lan tidak lagi murni! Bukan hanya ilmu silat, bahkan ketika anak itu mulai diberi pelajaran samadhi dan melatih tenaga dalam, latihan inipun diselewengkan oleh Bi-kwi.

Akibatnya, Bi Lan dapat menghimpun tenaga yang sesat dan lebih celaka lagi, latihan-latihan ini membuat batinnya terguncang dan pikirannya menjadi kacau! Bertahun-tahun, sewaktu tiga orang kakek itu bertapa dan menggabungkan diri untuk bersama-sama menciptakan ilmu baru, Bi Lan mempelajari ilmu-ilmu yang disesatkan oleh Bi-kwi. Banyak sudah ilmu silat yang dipelajarinya, akan tetapi tidak satupun yang murni!

Akan tetapi, anehnya, anak yang kini mulai tumbuh menjadi seorang gadis itu, melalui latihan-latihan yang keliru, berhasil menghimpun tenaga yang aneh pula, yang kadang-kadang timbul dengan hebatnya akan tetapi tiba-tiba pula lenyap membuat ia sama sekali tidak bertenaga. Dan juga ilmu silatnya aneh, hanya menurutkan naluri dan perasaan saja, karena semua ilmu silat yang dipelajarinya itu tidak lengkap dan diselingi gerakan-gerakan ngawur yang membuat jurus-jurusnya kadang-kadang malah membahayakan diri sendiri. Akibatnya, Bi Lan menjadi seorang gadis yang ilmu silatnya aneh, tenaga dalamnya juga aneh.

Yang mengesalkan hati Bi-kwi adalah ketekunan gadis itu, yang menuruti segala perintahnya sehingga tidak ada alasan baginya untuk memarahinya, dan yang lebih menjengkelkan dan mengkhawatirkan hatinya lagi adalah melihat betapa Bi Lan kini tumbuh menjadi seorang gadis yang amat cantik manis! Ia sengaja memberi pakaian-pakaian tua kepada gadis itu, pakaian-pakaiannya sendiri yang sudah tua, dan sengaja dipotong sedemikian rupa sehingga pakaian itu menjadi aneh, lapuk dan bahkan ada yang tambal-tambalan.

Akan tetapi celakanya bagi Bi-kwi, pakaian buruk apapun yang melekat pada tubuh Bi Lan menjadi pantas dan indah! Hal ini adalah karena Bi Lan tumbuh menjadi seorang gadis dewasa, atau remaja, dan tubuhnya mulai mekar indah sehingga tentu saja segala macam pakaian menjadi pantas dan menarik. Apalagi, gadis ini sejak kecil memang suka sekali akan kebersihan, seringkali membersihkan tubuhnya dan mencuci rambutnya sehingga biarpun pakaiannya buruk nampak bersih dan segar selalu.

Kedua pipinya yang tidak pernah mengenal bedak, karena dilarang oleh Bi-kwi, nampak segar kemerahan seperti kulit buah apel, sepasang matanya lebar dan jeli, rambutnya hitam panjang dan gemuk. Terutama sekali sepasang lesung pipit di kanan kiri mulutnya membuat gadis itu bertambah manis kalau tersenyum. Sayang, guncangan batin dan pikirannya akibat latihan-latihan yang sesat itu membuat Bi Lan juga memiliki kebiasaan aneh. Kadang-kadang tersenyum-senyum seorang diri, kadang-kadang menangis. Pendeknya, gadis ini menunjukkan gejala bahwa otaknya agak miring!

Semua kejengkelan hati Bi-kwi karena melihat betapa sumoinya menjadi semakin cantik dan mengalahkan dirinya, terhibur juga oleh kenyataan bahwa sumoinya seperti orang gila itu. Dan sesungguhnya gejala-gejala kegilaan inilah yang menyelamatkan nyawa Bi Lan. Andaikata ia tidak demikian, tentu kebencian Bi-kwi akan menjadi-jadi karena iri akan kecantikannya dan bukan tidak mungkin iblis betina itu akan membunuhnya!

Sambil menanti tiga orang gurunya yang masih juga belum keluar dari tempat pertapaannya, Bi-kwi setiap hari berlatih silat memperdalam ilmu-ilmunya. Ia tidak memperdulikan kepada Bi Lan yang dianggapnya seorang gadis yang miring otaknya. Ia sama sekali tidak tahu bahwa di samping kelainan pada pikirannya yang terguncang itu, juga terjadi perobahan aneh, yaitu otak Bi Lan mampu menangkap dan mencatat segalanya dengan kuat sekali.

Ia tidak tahu bahwa setiap kali ia berlatih silat, Bi Lan nonton dan gadis ini mampu mengingat semua jurus itu dan kalau sedang seorang diri, Bi Lan melatih diri dengan gerakan-gerakan yang dilihatnya pada sucinya ketika berlatih. Dengan demikian, hampir semua gerakan ilmu silat yang dimainkan Bi-kwi diam-diam dikuasai oleh Bi Lan!
Pada suatu hari, Bi-kwi baru pulang setelah pagi hari dan wajahnya muram, alisnya berkerut dan hatinya penuh diliputi kejengkelan dan kemarahan. Semalam ia bertemu dengan seorang pria muda jauh di selatan. Hatinya tertarik dan dengan berbagai usaha ia membujuk pria itu setelah pria itu diculiknya dan dibawa ke tempat sunyi, agar pria itu mau menyambut hasrat hatinya.

Akan tetapi, pria itu bahkan memaki-makinya, menolaknya dan menyebutnya perempuan hina tak tahu malu. Karena bujukan kasar dan halus ditolak oleh pria itu, setelah semalam suntuk ia gagal membujuk, akhirnya ia membunuh pria itu dan pulang dengan hati kesal karena kekecewaan. Tidak ada orang lain kecuali Bi Lan seorang yang dapat dijadikan tempat pelontaran kemarahan hatinya.

“Siauw-kwi.!” Ia memanggil.

Bi Lan datang berlari-lari dengan muka dan kepala masih basah. Ia tengah berada di sumber air dan mandi ketika sucinya memanggil. Tergesa-gesa ia mengenakan pakaian dan dengan muka dan rambut masih basah iapun datang menghampiri sucinya. Melihat betapa wajah sumoinya itu berseri-seri, dengan senyum yang manis dihias sepasang lesung pipit itu, melihat sepasang pipi kemerahan dan segar sekali, hati Bi-kwi menjadi semakin panas!

“Siauw-kwi, sudah lama kita tidak berlatih silat. Hayo, siapkan dirimu untuk berlatih silat denganku!“

Sepasang mata itu terbelalak, nampak ketakutan.
“Aihh, suci yang baik. Jangan pukul aku lagi. Apapun perintahmu akan kutaati, akan tetapi jangan memukuli aku dalam latihan. Aku sudah kapok!”

Bi Lan memang merasa tersiksa sekali kalau diajak berlatih karena namanya saja berlatih, akan tetapi pada hakekatnya ia menjadi bulan-bulan pukulan dan tendangan sucinya sampai tubuhnya babak belur dan matang biru, sakit-sakit semua kalau sudah selesai berlatih.

“Ihhh....? Kau berani membantah? Hayo cepat bersiap!” bentak Bi-kwi.

Sebelum Bi Lan menjawab, ia sudah menerjang maju dengan tamparan ke arah pipi sumoi itu. Kemarahan karena iri hati melihat pipi yang halus merah dan segar itu membuat ia menampar pipi itu dengan kuat sekali. Bi Lan menggerakkan lengan kirinya dengan gerakan refleks untuk menangkis tamparan itu.

“Plakkk!”

Pipi kanannya yang kena tampar oleh tangan kiri Bi-kwi yang bergerak cepat sekali dan tangkisan itu membuat tubuh Bi Lan terhuyung.

“Auhhh....! “ Gadis itu mengeluh dan mengusap pipi kanannya yang menjadi merah sekali.

Melihat betapa pipi itu menjadi makin merah dan bahkan semakin segar menarik, hati Bi-kwi makin marah.

“Lihat serangan!” katanya dan ia pun maju menerjang dengan jurus-jurus yang paling sulit.

Bi Lan mencoba untuk mengelak, berloncatan ke sana-sini seperti diajarkan sucinya, dan menangkis pula. Akan tetapi, kaki Bi-kwi menendang dengan sebuah jurus dari Ilmu Tendang Pat-hong-twi (Tendangan Delapan Penjuru Angin) yang lihai itu dan paha Bi Lan terkena tendangan. Tubuhnya terlempar ke belakang.

“Brukkk! Aduhh” Gadis itu terbanting keras dan mengeluh, lalu bangkit berdiri, tangan kiri mengusap pipi, tangan kanan mengusap paha. “Sudah, suci. Pipi dan pahaku sakit!”

“Hayo lawan! Kalau tidak latihan, mana engkau bisa maju? Lawan atau engkau akan kujadikan sasaran pukulan dan tendanganku!” bentak Bi-kwi yang mulai merasa senang hatinya dapat menumpahkan kemarahannya kepada sumoinya itu.

Kembali ia menerjang dan menotok pundak sumoinya dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanannya menampar ke arah kepala.

“Wuuutt.... dukkk!”

Kini Bi Lan mampu mengelak dan menangkis dengan baiknya! Bi-kwi merasa penasaran. Yang dipergunakannya untuk menyerang tadi adalah sebuah jurus pilihan dari ilmu silatnya, akan tetapi sumoinya ternyata mampu mengelak dan menangkis dengan baiknya, seolah-olah sumoinya mengenal jurus itu dengan baik. Ia lalu menyerang lagi, kini menggunakan sebuah jurus dari Hek-wan Sip-pat-ciang, itu ilmu silat tangan kosong yang hebat dari Hek Kwi-ong. Lengan Bi-kwi dapat mulur dengan panjang ketika ia melakukan gerakan jurus ini.

“Wuuuttt.... plak! plak!”

Kembali Bi Lan dapat menangkis dua kali dengan baiknya sehingga jurus itupun tidak berhasil. Bi-kwi menahan seruannya. Sumoinya mampu menangkis jurus itu? Sungguh aneh dan sukar dapat dipercaya. Jurus pilihan dari Hek-wan Sip-pat-ciang itu merupakan jurus ampuh dan sukar dilawan, akan tetapi sumoinya yang mempelajari silat dengan kacau-balau itu kini dapat menyambutnya seolah-olah sudah mengenal jurus itu dengan baik.

Ia mengeluarkan lagi beberapa jurus dari ilmu silat ini, akan tetapi ternyata Bi Lan mampu mengelak dan menangkis dengan baik, bahkan gerakan-gerakannya juga tepat sekali seolah-olah gadis itu sudah mempelajari Hek-wan Sip-pat-ciang dengan sempurna!

Bi-kwi menjadi terkejut dan heran, lalu menyerang lagi, kini menggunakan ilmu yang dipelajarinya dari Iblis Mayat Hidup, yaitu Ilmu Hun-kin Tok-ciang (Tangan Beracun Putuskan Otot) yang amat dahsyat.

“Plak-plak.... wutttt....!”

Kembali Bi Lan mampu menghindarkan diri dari jurus ini, dan gerakannya juga tepat sekali!

“Ehhh....!” Bi-kwi begitu terheran-heran sampai menghentikan serangannya dan memandang sumoinya dengan sinar mata berapi. “Dari mana kau mengenal ilmu-ilmu itu?” bentaknya.

Bi Lan yang merasa senang karena beberapa kali mampu menghindarkan diri dari gebukan dan tendangan, tersenyum manis sekali.

“Siapa lagi kalau bukan engkau yang mengajarku, suci? Bagaimana, baikkah gerakan-gerakanku?”

Bi-kwi terpaksa mengangguk-angguk. Ia tahu bahwa sumoinya ini tidak mampu berbohong maka jawaban sumoinya itu sungguh membuat ia terheran-heran dan juga khawatir sekali.

“Kalau begitu, coba temani aku berlatih, jangan sembunyikan apa-apa, segala yang kau ketahui harus kau keluarkan dan kau boleh membalas serangan kepadaku, jangan hanya membela diri, mengerti? Awas, kalau tidak, engkau akan kuhukum dengan tamparan dan pukulan!“

Bi Lan tersenyum dan senyum gadis ini memang manis sekali karena senyumnya keluar dari hati yang polos dan wajar walaupun aneh sekali karena ia diancam malah tersenyum. Hatinya merasa girang karena ia diperbolehkan membalas serangan dan ia ingin memperlihatkan kemajuannya kepada sucinya itu.

Melihat Bi Lan hanya tersenyum-senyum dan tidak segera bergerak, Bi-kwi membentak,
“Siauw kwi. kenapa hanya senyum-senyum? Hayo serang!”

“Serang bagaimana, suci? Kaulah yang bergerak dulu, baru aku akan tahu gerakan apa yang harus kulakukan,” jawab Bi Lan.

Mendengar jawaban ini, Bi-kwi lalu menerjangnya dengan tendangan Pat-hong-twi yaitu semacam ilmu silat tendangan yang dipelajarinya dari Im-kan Kwi Si Iblis Akhirat. Tendangan itu hebat sekali, merupakan bagian dari Ilmu Silat Delapan Penjuru Angin, datangnya susul-menyusul dan amat cepatnya.

Akan tetapi, Bi Lan mengenal ilmu ini dan iapun cepat mengelak dan hal ini mudah dilakukan karena ia telah lebih dulu mengetahui ke mana kaki lawan itu akan bergerak. Bahkan ia lalu membalas dengan tendangan yang sama setelah semua jurus tendangan sucinya dapat dielakkan. Karena tendangan mereka sama, maka merekapun beradu tulang kaki beberapa kali.

“Dukk! Takk!” Bi Lan meloncat ke belakang, meringis dan mengusap tulang kering kakinya. “Aduhh.... tulang kakimu keras sekali, suci. Kakiku sampai sakit semua dibuatnya!”

Akan tetapi Bi-kwi sudah tidak memperhatikan lagi sikap sumoinya, bahkan ucapan itu baginya merupakan ejekan karena semua tendangannya menurut Ilmu Tendangan Pat-hong-twi tidak berhasil. Hal ini berarti bahwa sumoinya sudah hafal akan ilmu itu.

“Jangan cerewet, sambutlah ini!”

Iapun kini maju menyerang dengan ilmu-ilmu yang dikuasainya, menukar-nukar jurus dari ketiga orang suhunya. Akan tetapi ia semakin terheran-heran karena semua jurus itu, biarpun diselang-seling, telah dikenal oleh Bi Lan yang dapat menghindarkan diri, bahkan membalas dengan serangan yang sama!

Saking herannya, Bi-kwi mengeluarkan ilmunya yang paling ampuh, yaitu Kiam-ciang (Tangan Pedang). Ilmu ini dapat membuat kedua tangannya seperti pedang telanjang, dengan tangan mampu membacok dan menusuk lawan dengan kekuatan dahsyat. Akan tetapi, kembali Bi Lan dapat mengelak ke sana-sini dan menangkis!

Akhirnya Bi-kwi yang memang hanya ingin menguji, tahu dengan pasti bahwa sumoinya memang telah mengenal semua ilmunya, menguasainya dengan cukup baik, maka iapun meloncat ke belakang sambil membentak,

“Tahan dulu!”

Bi Lan tersenyum senang.
“Wah, kalau diteruskan aku akan celaka, suci. Engkau hebat sekali, gerakanmu demikian cepat dan kuat,” kata Bi Lan sejujurnya.

Akan tetapi sucinya tidak perduli akan pujian ini melainkan memandang dengan sinar mata penuh selidik.

“Hayo katakan, dari mana engkau mempelajari semua ilmu tadi?” bentaknya.

“Aih, suci, dari siapa lagi kalau bukan darimu sendiri?”

“Bohong! Tentu tiga orang guru kita yang telah diam-diam mengajarmu. Hayo katakan, betulkah begitu?”

“Suci, bukankah ketiga suhu sedang bertapa, bagaimana bisa mengajarku? Hi-hik, suci, engkau mau membohongi aku, ya? Tidak, aku hanya belajar kalau melihat engkau berlatih, lalu kutiru. Bagaimana, baik atau tidak?”

Diam-diam Bi-kwi terkejut. Adik seperguruannya ini hanya menonton kalau ia berlatih, dan sudah dapat menirukannya demikian baiknya? Sungguh luar biasa sekali! Dan kini Siauw-kwi telah menguasai semua ilmu silatnya! Ini berbahaya sekali. Ia mendapatkan sebuah pikiran, lalu melangkah maju dan tiba-tiba tangan kirinya menampar muka adiknya, tanpa gerak silat sama sekali.

Bi Lan nampak bingung, akan tetapi karena tamparan itu biasa saja, ia dapat pula mengelak dan pada saat ia mengelak itu, Bi-kwi menyambut dengan pukulan tangan kanan yang menampar.

“Plak!” Kini pipi kiri Bi Lan kena ditamparnya dengan keras dan gadis itu mengaduh.

Hati Bi-kwi menjadi girang. Ia maju lagi, memukul, menampar dan menendang tanpa gerakan silat tertentu, ngawur saja, akan tetapi malah hasilnya baik sekali. Tubuh Bi Lan bertubi-tubi menjadi sasaran tendangan, pukulan atau tamparan yang membuat gadis itu jatuh bangun dan tubuhnya menjadi babak belur!

Bi Lan mencoba untuk mempergunakan ilmu-ilmu silat yang selama ini dipelajarinya dari Bi-kwi. Akan tetapi ilmu silat itu memang disesatkan oleh Bi-kwi, dan karena Bi-kwi mengenal semuanya, pertahanan dirinya sama sekali tidak ada artinya karena tidak sejalan dengan jalan serangan Bi-kwi yang ngawur.

Bi-kwi tidak perduli biarpun Bi Lan sudah mengaduh-aduh dan minta berhenti. Ia terus menghajar untuk melampiaskan kemarahan hatinya, kemarahan karena kecewa oleh pemuda yang semalam diculiknya, kemudian kemarahan karena melihat betapa Bi Lan tanpa disadari telah menguasai semua ilmu silatnya.

Bi-kwi menghajar terus. Baiknya tubuh Bi Lan sudah sejak kecil digembleng oleh Sam Kwi, walaupun ilmu silatnya diajarkan oleh Bi-kwi, sehingga tubuh itu memiliki kekebalan dan tidak sampai menderita luka dalam oleh hajaran Bi-kwi yang keras itu.

Betapapun juga, karena ditendang dan dipukuli semena-mena, akhirnya gadis itu rebah terkulai dan pingsan! Baru Bi-kwi menghentikan pemukulannya karena ia khawatir kalau-kalau sumoinya tewas dan kalau hal ini terjadi, tentu tiga orang suhunya menjadi marah sekali dan ia tidak berani mempertanggung jawabkannya. Diambilnya seember air dan disiramkan ke atas kepala Bi Lan.

Bi Lan membuka kedua matanya dan melihat Bi-kwi memegangi ember, ia tersenyum dan berkata,

“Aih, suci main-main, ya? Masa aku disiram air begini? Lihat, basah semua !”

“Hayo bangkit, anak malas ! Persediaan kayu sudah hampir habis dan musim hujan akan tiba. Kalau engkau malas, akan kuhajar lagi!”

“Baik, suci.”

Dan larilah Bi Lan ke dalam hutan. Ia mulai mencari kayu untuk mengisi gudang yang besar itu sehingga mungkin selama satu bulan ini ia harus setiap hari mencari kayu!

Pada hari ke tiga, pagi-pagi sekali Bi Lan sudah pergi meninggalkan tempat tinggal ketiga suhunya untuk memasuki hutan. Ia harus bekerja keras, akan tetapi ia memang suka sekali pergi ke hutan seorang diri. Di tempat ini ia merasa aman, jauh dari sucinya yang galak, yang selalu main pukul saja terhadap dirinya.

Di tempat ini ia dapat melihat bunga-bunga indah, pohon-pohon besar, melihat binatang-binatang hutan yang lucu sehingga hatinya terhibur dan merasa gembira sekali. Seringkali ia berkejaran dengan kelinci sambil tertawa-tawa, atau bernyanyi-nyanyi menirukan suara burung dan kadang-kadang iapun melatih ilmu silat seperti yang ditontonnya dari sucinya di atas hamparan rumput hijau yang segar dan basah oleh embun.

Pada pagi hari itu, karena masih agak pagi, Bi Lan berjalan-jalan dan tersenyum-senyum melihat burung-burung berloncatan dari dahan ke dahan sambil berkicau ramai menyambut datangnya pagi yang amat cerah. Matahari baru saja muncul dengan sinarnya yang merah kekuningan, seperti warna emas kemerahan. Sinar matahari yang masih lembut itu menerobos melalui celah-celah daun dan ranting, menerobos di antara kabut sehingga nampak indah sekali, berupa garis-garis terang di antara kabut yang keputihan.

Bi Lan menirukan suara burung berkicauan, mulutnya yang kecil mungil dengan bibir kemerahan segar itu meruncing ketika ia menirukan suara burung. Kemudian, melihat larinya tiga ekor kelenci, iapun mengejarnya. Larinya cepat, loncatannya ringan karena gadis ini sudah mempelajari gin-kang yang hebat walaupun dengan latihan pernapasan yang terbalik seperti yang diajarkan sucinya.

Akan tetapi karena tiga ekor kelenci itu lari cerai-berai, Bi Lan menjadi bingung, lari ke sana-sini sambil terkekeh-kekeh. Memang bukan maksudnya untuk menangkap kelinci-kelinci itu, hanya untuk mengajak mereka bermain-main. Gadis yang sejak kecil ikut dengan Sam Kwi ini, yang kemudian dilatih oleh sucinya secara menyesatkan dan keras, tidak pernah memperoleh kesempatan untuk berkawan, maka kini ia mencari sendiri kawan-kawannya di antara binatang-binatang di hutan.

Setelah tiga ekor kelinci itu menghilang ke dalam semak-semak, Bi Lan lalu bersilat di atas lapangan rumput. Ia bersilat dengan penuh perhatian, dengan pengerahan tenaga dan berturut-turut ia bersilat ilmu silat yang dilihatnya suka dilatih oleh sucinya!

Bi Lan sama sekali tidak tahu bahwa sejak tadi, sejak ia menirukan suara burung lalu mengejar-ngejar kelinci dan kini berlatih silat, ada dua bayangan orang yang membayanginya dan mengintainya. Dua bayangan orang itu menjadi bengong dan kadang-kadang saling pandang dengan sinar mata penuh kekaguman dan keheranan.

Melihat gerakan dua orang itu, mudah diduga bahwa mereka adalah dua orang berilmu tinggi, karena mereka membayangi Bi Lan dengan kecepatan luar biasa dan dengan keringanan tubuh sedemikian rupa sehingga jejak kaki merekapun tidak mengeluarkan suara.

Dua orang itu adalah sepasang kakek dan nenek yang sudah tua sekali. Kakek itu berpakaian serba kuning, berjenggot dan berambut putih, jenggotnya berjuntai sampai ke dada, sepasang matanya mencorong aneh dan sikapnya lemah lembut, akan tetapi ada satu hal yang amat menarik, yaitu bahwa lengan kiri kakek itu buntung di atas siku sehingga lengan baju kirinya tergantung lemas terkulai.

Usia kakek ini tentu sudah mendekati delapan puluh tahun, sedikitnya tujuh puluh delapan tahun usianya. Namun wajahnya masih nampak kemerahan tanda bahwa kesehatannya masih amat baik. Nenek itupun mengenakan pakaian berwarna kuning, berkembang biru muda, dan seperti si kakek, pakaiannya sederhana dan iapun sudah tua sekali, sedikitnya tujuh puluh tahun usianya. Rambutnya juga sudah putih semua, akan tetapi wajahnya masih penuh kelembutan dan masih nampak garis-garis bekas wajah yang cantik jelita. Di balik jubah wanita tua ini nampak tersembul sebuah pedang dengan sarung pedang yang indah.