Ads

Sabtu, 26 Desember 2015

Suling Naga Jilid 001

Penilaian, dalam bentuk apapun juga, tentu dipengaruhi suka dan tidak suka dari si penilai. Dan perasaan suka atau tidak suka ini timbul dari perhitungan rugi untung. Kalau si penilai merasa dirugikan, lahir maupun batin, oleh yang dinilainya, maka perasaan tidak suka karena dirugikan ini yang akan menentukan penilaiannya, tentu saja hasil penilaian itu adalah buruk.

Sebaliknya, kalau merasa diuntungkan lahir maupun batin, timbul perasaan suka dan hasil penilainnya tentu baik. Penilaian menimbulkan dua sifat atau keadaan yang berlawanan, yaitu baik atau buruk. Tentu saja baik atau buruk itu bukan sifat aseli yang dinilai, melainkan timbul karena keadaan hati si penilai sendiri.

Agaknya belum pemah ada kaisar atau orang biasa siapapun juga yang dinilai baik oleh orang seluruh dunia. Kaisar Kian Liong, seperti dapat dilihat dalam catatan sejarah, adalah seorang kaisar yang terkenal berhasil dalam memajukan kebesaran pemerintahannya. Namun, diapun menjadi bahan penilaian rakyat dan karena itu, tentu saja diapun memperoleh pendukung dan juga memperoleh penentang.

Seperti dalam pemerintahan kaisar-kaisar terdahulu, dalam pemerintahan Kian Liong inipun tidak luput dari pemberontakan-pemberontakan, baik besar maupun kecil. Akan tetapi Kaisar Kian Liong selalu bertindak tegas dalam menghadapi pemberontakan-pemberontakan itu dan karena dalam pemerintahannya terdapat banyak panglima-panglima yang tangguh dan pandai, dengan balatentara yang cukup besar, maka dia selalu berhasil memadamkan api-api pemberontakan yang terjadi di sana-sini.

Pemberontakan yang hebat terjadi di daerah Yunan barat daya. Bangsa Birma bersekutu dengan para pemberontak di Propinsi Yunan. Pasukan besar Bangsa Birma memasuki Propinsi Yunan bagian barat daya, menyeberangi Sungai Nu-kiang, bahkan bergerak sampai di tepi Sungai Lan-cang (Mekong).

Tentu saja Kaisar Kian Liong tidak mendiamkan bangsa tetangga itu mengganggu wilayah Yunan dan dia segera mengirimkan panglima-panglima perangnya, memimpin pasukan besar untuk menghalau para pengganggu dari Birma itu dan menumpas pemberontakan di Yunan. Kembali terjadi perang!

Perang adalah suatu peristiwa yang amat jahat dan buruk dalam dunia ini. Puncak kebuasan manusia menuruti nafsu mengejar kesenangan. Perang merupakan perluasan dan pembiakan nafsu kotor dalam diri yang mengejar kesenangan dengan cara apapun juga dan setiap orang atau benda yang dianggap menjadi penghalang usahanya mengejar kesenangan itu akan dihancurkan, dibinasakan.

Perang adalah permainan beberapa gelintir manusia yang kebetulan saja memperoleh kesempatan untuk duduk di tingkat paling atas, menjadi apa yang dinamakan pemimpin-pemimpin bangsa atau golongan atau kelompok, dalam usaha mereka untuk mencapai kedudukan paling tinggi dan kesenangan. Dan siapakah yang menjadi korban kalau bukan rakyat jelata? Para perajurit yang telah digembleng menjadi alat-alat membunuh atau dibunuh itupun sebagian dari rakyat yang menjadi korban ulah beberapa gelintir manusia yang berambisi itu.

Perang itu kejam! Manusia-manusia dirobah untuk menjadi srigala-srigala dan harimau-harimau yang haus darah, menjadi orang-orang yang teramat kejam karena ketakutan, yang berdayaupayauntuk membunuh lebih dulu sebelum terbunuh, pembunuh berdarah dingin yang disanjung-sanjung dan dipuji-puji oleh mereka yang memperalatnya.

Di dalam perang berlakulah hukum rimba. Siapa kuat dia menang, siapa menang dia pasti benar dan berkuasa atas yang kalah. Bukan ini saja, akan tetapi di dalam perang juga timbul kejahatan-kejahatan yang diumbar karena desakan nafsu yang paling sesat.Para perajurit yang digembleng untuk melakukan kekerasan itu tentu saja berwatak keras.

Bahaya-bahaya dan ancaman-ancaman dalam perang membuat mereka berwatak keras dan kadang-kadang malah buas. Ada pula akibat sampingan yang amat menyedihkan. Adanya perang membuat banyak daerah tak bertuan, hukum yang ada hanya hukum rimba dan kesempatan ini dipergunakan oleh gerombolan-gerombolan yang biasa melakukan perbuatan jahat untuk merajalela. Rakyat pula yang menjadi korban.

Tempat atau daerah-daerah yang dilanda perang membuat rakyat jelata ketakutan dan larilah mereka pontang-panting, cerai-berai dan kacau balau meninggalkan dusun atau kota mereka yang mereka tinggali selama ini, sejak mereka kecil. Terpaksa mereka melarikan diri demi mencari keselamatan, meninggalkan segala yang mereka sayang dan cinta, menuju ke tempat yang belum mereka ketahui atau kenal, memasuki nasib baru yang suram penuh rasa takut dan tanpa adanya ketentuan. Mereka ini adalah rakyat jelata pula.

Pasukan perajurit, yang merupakan sebagian rakyat pula, dipaksa oleh para penguasa untuk menjadi bidak-bidak catur yang dimainkan oleh para penguasa kedua pihak yang saling bertentangan atau berebut kemenangan. Mereka, para perajurit itulah yang akan gugur tanpa dikenal.

Kalau menang? Beberapa orang penguasa itulah yang akan menikmati hasil sepenuhnya, dan para perajurit yang mempertaruhkan nyawa dalam arti kata seluas-luasnya itu sudah cukup kalau diberi pujian dan sekedar hadiah atau kenaikan pangkat.

Bagaimana kalau kalah? Perajurit-perajurit itu mempertahankan sampai titik darah terakhir, mati konyol atau tertawan, tersiksa, terbunuh, sedangkan para penguasa yang hanya beberapa gelintir orang itu kalau terbuka kesempatan akan cepat cepat melarikan diri, menyelamatkan diri beserta keluarganya, tidak lupa membawa barang-barang berharga. Mereka akan mengungsi ke negara lain sebagai orang-orang yang kaya raya! Hal ini bukan dongeng, melainkan kenyataan yang dapat kita saksikan, baik dengan menengok ke belakang melalui sejarah maupun melihat keadaan sekarang di mana timbul perang yang keji itu.

Keluarga kecil itu terdiri dari suami isteri dan seorang anak perempuan. Ayah itu berusia hampir empatpuluh tahun, sang ibu berusia tigapuluhan tahun dan masih nampak cantik, sedangkan anak perempuan itu berusia kurang lebih sepuluh tahun. Mereka berhasil menyeberangi Sungai Lan-cang dengan sebuah perahu nelayan kecil. Mereka adalah penduduk di sebelah barat sungai itu.

Karena pasukan-pasukan Birma sudah tiba di daerah itu, maka mereka melarikan diri mengungsi ke timur. Akan tetapi mereka mendengar pula betapa pasukan Kerajaan Mancu tidak kalah buasnya dengan pasukan Birma atau pasukan pemberontak. Ternak peliharaan para penduduk desa habis disikat mereka, segala barang berharga dirampas dan banyak pula wanita-wanita diganggu untuk melampiaskan nafsu mereka yang datang dengan dalih “melindungi rakyat dari ancaman pemberontakan dan pasukan Birma.” Rakyat dihadapkan dua api yang sama-sama panas membakar.

“Ibu, aku capai sekali.”

Anak perempuan itu mengeluh setelah perahu yang mereka pergunakan untuk menyeberangi Sungai Lan-cang itu hampir tiba di tepi bagian timur. Anak yang usianya kurang lebih sepuluh tahun itu agak pucat dan nampak lelah sekali. Pakaiannya seperti biasa anak petani dan wajahnya yang ditutupi sebagian rambut panjang kusut itu memiliki garis-garis yang cantik manis, terutama sekali mulutnya yang kecil dengan hiasan lesung pipit di kanan kirinya.






Ibu muda ini merangkulnya, mencoba untuk tersenyum walaupun ada garis-garis kegelisahan dan kelelahan di sekitar matanya. Ibu yang usianya tigapuluhan tahun ini bertubuh montok, dengan kulitnya yang putih dan rambutnya yang panjang hitam, walaupun pakaiannya sederhana namun nampak cantik dan manis.

“Kuatkanlah dirimu, Bi Lan, kita menderita kecapaian untuk mencari keselamatan.”

Ibu itu lalu mengusap air mata anaknya dan memijati kedua kaki anaknya yang nampak membengkak. Selama sepekan mereka berjalan terus, hampir tak pernah beristirahat. Bahkan makanpun sambil berjalan dan boleh dibilang tidur sambil berjalan pula.

Untung bagi mereka, ketika melarikan diri dari dusun mereka dan menyusup-nyusup keluar masuk hutan, naik turun bukit, mereka tidak pernah bertemu dengan gerombolan, hanya bertemu dengan orang-orang yang lari ke sana ke mari menyelamatkan diri dari ancaman perang. Akhirnya mereka tiba di tepi Sungai Lan-cang dan berhasil menemukan seorang nelayan tua yang mau menyeberangkan mereka.

“Tenanglah, anakku. Setibanya di seberang itu, kita dapat mengaso untuk menghilangkan lelah. Setelah tiba di seberang, baru kita aman dan selanjutnya dapat meneruskan perjalanan seenaknya”, kata si ayah menghibur.

Ayah ini dengan hati terharu dan duka melihat keadaan mereka yang benar-benar sengsara. Bukan saja kaki isteri dan anaknya luka-luka dan bengkak-bengkak, juga persediaan makan tinggal satu dua hari lagi, sedangkan mereka hanya membawa bekal uang yang kiranya hanya cukup untuk dibelikan makanan selama paling lama sebulan. Setelah itu, bagaimana ? Ngeri dia membayangkan.

Belum tahu ke mana tujuan pelarian mereka, belum tahu bagaimana harus mendapatkan penghasilan, dan tidak mempunyai rumah atau tanah, dengan pakaian hanya tiga empat setel saja. Akan tetapi semua itu soal nanti. Yang penting sekarang adalah berada di tempat yang aman! Dan di seberang sungai itulah tempat aman!

Akan tetapi, itu hanya harapan saja. Di jaman seperti itu, tempat manakah yang dapat dianggap aman? Baik di dalam kota, maupun dusun, di atas bukit atau di tengah hutan sekalipun, selama tempat itu masih didatangi orang, maka keamanan diripun tidak terjamin lagi. Kejahatan tidak memilih tempat, karena kejahatan muncul dari dalam batin, dan selama ada manusia, maka perbuatan jahatpun terjadilah.

Dengan ucapan terima kasih, keluarga yang terdiri dari tiga orang itu meninggalkan nelayan tua yang juga cepat-cepat menengahkan lagi perahunya ke sungai karena bagi nelayan ini, tempat yang paling aman adalah di tengah sungai, di mana dia hanya bergaul dengan perahu, dengan kemudi, dengan dayung, kail, jala dan ikan-ikan.

Dan Can Kiong bersama isteri dan puteri tunggalnya, Can Bi Lan, melanjutkan perjalanan memasuki hutan di tepi sungai itu. Setelah tiba di sebuah pohon besar di mana terdapat petak rumput, tempat yang teduh dan nyaman, barulah Can Kiong mengajak anak isterinya berhenti.

Isterinya yang sudah hampir merasa lumpuh kedua kakinya lalu menjatuhkan diri duduk di atas rumput tebal sambil menghela napas panjang karena lega. Puterinya, Bi Lan, segera menjatuhkan diri rebah di atas rumput, berbantal paha ibunya dan dalam waktu sebentar saja anak yang sudah hampir pingsan kelelahan inipun pulaslah.

Bi Lan tidak tahu berapa lama ia tertidur. Tiba-tiba tubuhnya terguncang dan terdengar suara riuh. Ia cepat membuka matanya dan ternyata ia telah rebah di atas tanah, tidak lagi berbantal paha ibunya karena ibunya sudah bangkit berdiri sambil berteriak-teriak ketakutan.

Ketika ia melihat, ternyata mereka telah dikepung oleh belasan orang yang berpakaian seragam namun compang-camping, dengan jenggot kasar dan pandang mata liar! Belasan orang itu semua memegang senjata golok yang mengkilap tajam. Yang amat mengejutkan hati Bi Lan adalah ketika ia melihat ayahnya sedang mati-matian melawan dua orang di antara mereka yang menyerang ayahnya dengan golok.

Ayahnya berusaha mengelak ke sana-sini, namun diiringi suara ketawa belasan orang itu, akhirnya dua orang itu dapat mempermainkan ayahnya dengan menyarangkan golok mereka, mula-mula hanya menyerempet saja, merobek-robek pakaian dan kulit, kemudian makin dalam dan akhirnya Ayahnya, yang terus melawan mati-matian, roboh terguling dalam keadaan mandi darah. Dua batang golok itu masih terus mengejarnya dan menghujankan bacokan sampai tubuh ayahnya hanya menjadi onggokan daging merah berlumur darah!

Selagi terjadi pembantaian itu, ibunya menjerit-jerit, apa lagi ketika melihat Ayahnya mandi darah dan terguling. Ibu ini hendak lari menubruk suaminya, akan tetapi tiba-tiba seorang laki-laki yang bercambang bauk, paling tinggi besar di antara mereka, dengan muka hitam totol-totol buruk sekali, menyambar tubuh ibunya dari belakang, kedua tangannya meremas-remas dan muka penuh brewokan itu menciumi muka ibunya.

Wanita itu berteriak-teriak, meronta-ronta dan bahkan memukul dan mencakar, akan tetapi dengan hanya satu tangan saja, dua pergelangan tangan wanita itu ditangkap dan tubuhnya lalu dipanggul.

Semua orang tertawa-tawa melihat wanita yang dipanggul itu menggerak-gerakkan kedua kaki dan pinggul, meronta-ronta dan menjerit-jerit. Mereka bicara dalam bahasa asing karena memang mereka adalah Bangsa Birma, sisa pasukan yang terpukul mundur dan tercecer berkeliaran di dalam hutan.

Seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi kurus, yang mukanya pucat seperti orang berpenyakitan, akan tetapi yang mempunyai sepasang mata tajam dan liar penuh kebengisan dan kekejaman, berkata sesuatu kepada si tinggi besar yang memanggul wanita itu.
Si tinggi besar tertawa dan terkekeh ketika si tinggi kurus menuding ke arah Bi Lan yang masih duduk di atas tanah dengan muka pucat dan tubuh menggigil ketakutan. Anak ini tadi ikut menjerit-jerit dan menutupi mukanya ketika ayahnya dibantai, kemudian melihat ibunya ditangkap, iapun menangis dan berteriak-teriak. Hampir ia pingsan melihat semua itu dan kini ia hanya bisa duduk dengan mata terbelalak seperti seekor kelinci tersudut dan terkurung oleh segerombolan srigala.

Si tinggi kurus muka pucat itu dengan beberapa langkah saja sudah mendekati Bi Lan dan sebelum tahu apa yang terjadi, rambut Bi Lan yang panjang itu sekali dijambaknya dan sekali sentakan saja membuat gadis cilik itu tubuhnya melayang ke atas dan kepalanya terasa sakit karena rambutnya dijambak dan disentakkan ke atas. Ia menjerit dan tubuhnya sudah dipondong, oleh si tinggi kurus. Bi Lan menjerit dan meronta-ronta sekuat tenaga.

“Lepaskan anakku....! jangan ganggu anakku, ohhh.... bunuhlah aku, tapi jangan ganggu anakku....!”

Ibu itu menjerit-jerit ketika melihat anaknya ditangkap pula. Akan tetapi orang-orang kasar itu hanya tertawa bergelak dan Bi Lan dibawa pergi oleh si tingggi kurus. Bi Lan meronta-ronta, akan tetapi mana mungkin ia dapat melepaskan diri? Ia dibawa semakin jauh dan ia kini tidak melihat ibunya lagi, hanya mendengar jerit tangis ibunya yang makin lama makin jauh kemudian tidak terdengar lagi.

Kini baru Bi Lan teringat akan nasib dirinya sendiri setelah ia jauh dari ayah ibunya. Tadi ia lupa akan keadaan diri sendiri karena melihat mereka dan kini baru ia tahu bahwa dirinya dibawa pergi menjauh dari pada yang lain oleh si tinggi kurus bermuka pucat. Rasa takut membuat ia menangis sesenggukan dan tidak berteriak-teriak lagi, tidak meronta lagi.

Ketika tiba di tengah hutan, di dekat sebuah sumber air di mana tumbuh rumput tebal di bawah pohon-pohon rindang, si tinggi kurus itu melempar turun Bi Lan ke atas rumput. Anak itu terbanting perlahan dan karena rumput itu tebal dan lunak, ia tidak terlalu menderita nyeri.

Akan tetapi, Bi Lan segera bangkit duduk. Tubuhnya masih lemas karena kelelahan, ditambah lagi dengan kengerian yang dilihatnya, dan rasa takut yang amat sangat, membuat ia seperti lumpuh. Kini, dengan muka pucat, dengan mata merah basah, dengan rambut kusut dan tubuh panas dingin, ia memandang kepada laki-laki yang berdiri amat tingginya di depannya itu dengan sinar mata liar ketakutan. Ia melihat wajah yang pucat kurus itu menyeringai mata yang buas dan bengis itu ditujukan kepadanya.

“Nah, begitulah, anak manis. Diam saja dan jangan menangis. Aku paling benci kalau mendengar anak menangis. Nah, begitulah, jangan membikin aku marah.”

Laki-laki itu lalu menanggalkan bajunya, lalu duduk di depan Bi Lan. Anak perempuan ini melihat betapa kulit dadanya yang kurus itu, kulit yang hanya membungkus tulang, cacat dengan guratan-guratan panjang bekas luka. Mengerikan sekali dan gadis itu semakin ketakutan. Apa lagi melihat laki-laki itu menjulurkan tangan dan jari-jari yang kecil panjang itu menyentuh dan mengusap pipinya, lalu tangan itu mengusap rambutnya.

“Kembalikan.... kembalikan aku.... kepada ibuku.”

Akhirnya Bi Lan mampu juga bicara karena melihat laki-laki itu tak bersikap kasar kepadanya. Baru sekali ini nampak laki-laki itu tertawa dan hampir Bi Lan jatuh pingsan saking takut dan seremnya.

Laki-laki kurus ini sejak tadi diam saja dan sikapnya itu penuh dengan kebengisan, akan tetapi kalau ia diam, masih baiklah. Akan tetapi kini dia tertawa dan suasana menjadi menyeramkan. Dia tertawa tanpa disertai bibir dan matanya. Mulutnya seperti diam saja akan tetapi dari kerongkongannya terdengar kekeh lirih yang amat mengerikan, pantasnya iblis yang bisa tertawa seperti itu.

Dan kini laki-laki itu, masih terkekeh, mencengkeram baju Bi Lan dan sekali renggut, terdengar kain robek dan baju itu pun terlepas dari pundak dan lengan Bi Lan! Tentu saja Bi Lan terkejut setengah mati dan ia pun menjerit dan menangis.

“Ehh! Aku paling benci....“ Laki-laki itu berteriak dan tangan kirinya menampar.

“Plakkk....!”

Rasa nyeri membuat Bi Lan yang terpelanting ke atas rumput itu seketika menghentikan tangisnya. Nyeri dan kaget bukan main. Tamparan pada pipinya itu membuat pandang matanya berkunang dan ujung bibirnya berdarah. Ketika ia membuka matanya lagi, tahu-tahu laki-laki itu telah menyambar tubuhnya, dipangkunya dan laki-laki itu lalu menciumi bibirnya yang berdarah.

Bagaikan seekor srigala, laki-laki itu menjilati bibir sendiri yang berlepotan darah yang keluar dari bibir Bi Lan yang pecah, lalu menciumi lagi dengan buasnya, bukan mencium, melainkan lebih mirip hendak menghisap darah yang keluar itu sampai habis dari tubuh Bi Lan.

Tentu saja Bi Lan semakin ketakutan dan kesakitan, meronta-ronta tanpa dapat mengeluarkan suara karena mulutnya tertutup mulut pria itu. Ia muak dan takut, matanya terbelalak dan ia masih belum mengerti mengapa orang itu melakukan hal seperti itu kepada dirinya.

Keadaan orang tinggi kurus itu seperti mabok. Memang, orang yang membiarkan dirinya dikuasai nafsu, tiada bedanya dengan orang mabok. Makin dibiarkan nafsu menguasai diri semakin parah pula maboknya itu sehingga ia lupa segala-galanya, yang teringat hanyalah bagaimana caranya untuk dapat melampiaskan nafsunya secepat mungkin dan sepuas mungkin.

Orang yang dikuasai oleh nafsu berahi seperti orang tinggi kurus itu, yang memang menjadi hamba dari nafsu berahinya dan membiasakan diri untuk tunduk kepada nafsu ini, tidak lagi melihat apakah perbuatannya dalam melampiaskan nafsunya itu sudah tepat dan benar. Dia lupa bahwa yang dicengkeramnya adalah seorang anak kecil berusia sepuluh tahun, bukan seorang wanita yang sudah dewasa dan sudah layak dijadikan pemuas nafsu berahinya. Dia tidak peduli lagi, yang penting baginya adalah bagaimana nafsunya dapat cepat tersalurkan.

Pada saat yang amat berbahaya bagi keselamatan diri Bi Lan itu, tiba-tiba terdengar suara orang ketawa-tawa. Suara ketawa itu terdengar aneh dan halus, akan tetapi menusuk anak telinga sehingga si tinggi kurus yang sedang menciuminya, atau seperti hendak memakannya dengan lahapnya itu, tiba-tiba mengangkat muka yang dibenamkannya pada leher anak perempuan itu dan menoleh.

Dia terkejut sekali melihat munculnya tiga orang yang tahu-tahu telah berada di situ. Karena dua orang itu bukan anak buahnya, dia pun menjadi marah dan sekali dorong, dia telah membuat tubuh Bi Lan yang dipangkunya itu terlempar sampai dua meter lebih di depannya, bergulingan di atas rumput.

Kemudian dengan sikap beringas karena merasa kesenangannya terganggu, dia meloncat ke atas seperti seekor harimau dan menghadapi tiga orang itu dengan dada dibusungkan. Akan tetapi karena memang tubuhnya kerempeng, biarpun dadanya dibusungkan, tetap saja nampak tidak gagah dan tidak menakutkan, malah lucu karena dadanya itu makin kelihatan kerempengnya.

Tiga orang itu memang aneh sekali keadaannya. Tiga orang kakek yang buruk rupa dan aneh, bahkan lucu dan agak menyeramkan. Usia mereka tentu tidak kurang dari enampuluh tahun. Yang seorang bertubuh tinggi sekali, hampir satu setengah orang biasa dan seperti biasa orang yang memiliki tubuh tinggi, dia condong untuk merendahkan tubuhnya sehingga agak membungkuk dan kedua pundaknyapun terlipat ke dalam atau ke depan.

Orang tinggi ini bertulang besar namun agak kurus, kulitnya penuh keriput kehitaman. Mukanya seperti muka kuda, agak meruncing ke depan dan kedua matanya yang berjauhan itu seperti menjuling kalau memandang ke depan dan sudah terbiasa untuk melihat dengan mata melirik sehingga mukanya selalu tidak lurus menghadapi benda-benda yang dipandangnya. Hidungnya juga mancung dan mulutnya meruncing.

Mukanya yang lucu sekali, apa lagi di tambah dengan telinga yang berdaun lebar dan panjang seperti telinga keledai. Matanya yang menjuling itu seringkali disipitkan karena dia memang kurang awas. Kedua lengannya panjang sekali sampai tergantung ke tepi lutut, seperti lengan kera saja. Pakaiannya serba hitam yang menambah keburukannya, dengan sepatu hitam pula yang dilapisi dengan baja. Kedua kakinya juga panjang-panjang dan agak bengkok seperti punggungnya pula.

Orang yang buruk rupa ini sama sekali bukan orang yang biasa saja, bahkan keburukannya itu menambah ketenarannya di dunia kaum sesat karena orang ini adalah Hek-kwi-ong (Raja Iblis Hitam) yang memiliki kesaktian luar biasa, juga memiliki kekejaman yang hanya dapat disamakan dengan raja iblis sendiri. Akan tetapi, selama puluhan tahun ini dia tidak pernah keluar dan baru sekarang nampak di hutan itu, suatu hal yang kebetulan saja nampaknya.

Orang yang kedua tidak kalah anehnya. Orangnya bulat seperti bal. Tingginya hanya tiga perempat orang biasa dan karena dia amat gemuk, terutama sekali perutnya yang gendut seperti bola, maka dia kelihatan bulat seperti sebuah gentung yang mempunyai kaki dan tangan. Mukanya yang bulat itu nampak cerah selalu karena dia memiliki mulut yang tidak dapat ditutup rapat, selalu terbuka sehingga nampaknya selalu tersenyum atau tertawa ramah. Orang ini memang segala-galanya serba bulat. Matanya, hidungnya, mulutnya yang lebar bahkan telinganya juga bundar bentuknya. Lengan dan kakinya juga gemuk bulat, apalagi pinggul dan perutnya. Pendeknya, manusia bundar ini memang lucu sekali kelihatan dari samping atau belakang.

Akan tetapi jangan lihat dari depan karena kalau melihat sinar matanya dan kalau tersenyum, baru nampak sesuatu yang mengerikan membayang dari sinar mata dan senyumnya. Kalau dia diam saja malah mulutnya kelihatan tersenyum ramah, akan tetapi kalau dia tertawa atau tersenyum, sungguh mukanya seketika berubah seperti muka iblis! Dan matanya itu mengeluarkan sinar mencorong yang seperti bukan mata manusia lagi, melainkan mata srigala buas atau mata harimau di tempat gelap. Dia ini pun seorang yang luar biasa sekali, selain sakti juga pada puluhan tahun yang lalu amat terkenal dengan julukan Im-kan Kwi (Iblis Akhirat).

Orang ke tiga lebih menakutkan lagi. Tubuhnya hanya kulit membungkus tulang saja, agaknya sama sekali tidak berdaging lagi, apalagi bergajih. Seperti tengkorak dan rangka terbungkus kulit, juga mukanya pucat seperti mayat. Bahkan kalau berjalan kadang-kadang mengeluarkan suara berkerotokan seolah-olah tulang-tulang saling beradu! Hanya sepasang matanya saja yang nampak hidup, bahkan mata ini mencorong menakutkan. Orang ini sama dengan yang dua orang pertama, amat terkenal pada puluhan tahun yang lalu dengan julukan Iblis Mayat Hidup.

Karena tiga orang ini selalu saling bantu dan bekerja sama, maka mereka bertiga itu dikenal di dunia kaum sesat sebagai Sam Kwi (Tiga Iblis). Kurang lebih duapuluh tahun yang lalu, Sam Kwi ini pernah mencoba kepandaian Pendekar Super Sakti dari Pulau Es dan melalui perkelahian yang amat sengit, di mana Pandekar Super Sakti dikeroyok oleh mereka bertiga, akhirnya Sam Kwi dapat dikalahkan dan masing-masing menderita kekalahan yang cukup parah.

Karena tadinya mereka menyombongkan diri, merasa bahwa dengan maju bertiga, mereka dapat mengalahkan siapapun juga, dan bersumbar di depan Pendekar Super Sakti bahwa kalau mereka bertiga kalah mereka takkan muncul lagi di dunia persilatan, maka setelah dikalahkan, mereka bertiga lalu pergi menyembunyikan diri bertapa. Mereka merasa malu dan juga penasaran. Oleh karena itu, mereka mengasingkan diri jauh ke puncak yang terpencil dari Pegunungan Thai-san, di mana mereka bertapa dan memperdalam ilmu mereka, ditemani seorang murid yang pandai.

Setelah merasa bahwa ilmu mereka mencapai tingkat yang tinggi, dan mendengar betapa negara kacau oleh pemberontakan-pemberontakan, tiga orang itu akhirnya turun gunung dan pergi ke timur. Pada hari itu, tanpa disengaja mereka tiba di hutan yang sunyi di sebelah timur Sungai Lan-cang dan melihat seorang laki-laki tinggi kurus sedang mempermainkan dan agaknya hendak memperkosa seorang anak perempuan yang masih kecil.

Perbuatan seperti itu tentu saja tidak ada artinya bagi tiga orang datuk sesat yang pernah melakukan segala macam kejahatan seperti iblis itu, bahkan dianggap sebagai suatu perbuatan yang tidak ada artinya dan memalukan, hanya pantas dilakukan oleh bajingan kecil saja. Maka, tadinya mereka hanya tersenyum-senyum melihat tingkah laku laki-laki tinggi kurus itu dan membiarkannya saja.

Akan tetapi ketika pada suatu ketika anak perempuan itu mengangkat mukanya yang pucat dan tiga orang kakek itu melihat anak itu, tiba-tiba mereka bertiga melangkah maju dan ketiganya merasa amat tertatik.

Pandang mata mereka yang tajam melihat bakat terpendam yang amat hebat dalam diri anak perempuan itu! Tentu saja Hek-kwi-ong tidak dapat melihat jelas, hanya melihat betapa anak perempuan itu sama sekali tidak berteriak minta tolong walaupun berusaha dan meronta untuk melawan dan hal ini saja dianggapnya sebagai suatu keberanian luar biasa.

“Wah, anak itu bagus sekali!” kata Im-kan-kwi.

“Benar. lebih bagus dari pada murid kita,” sambung Iblis Mayat Hidup.

“Dan ia pemberani dan tabah,” kata pula Raja Iblis Hitam tidak mau ketinggalan karena hal ini sama saja mengakui bahwa matanya lamur!

“Sayang daging lunak dan lezat itu dimakan anjing kotor,” kata Iblis Akhirat.

Ketiganya lalu mengeluarkan suara ketawa dan tubuh mereka melesat seperti terbang saja, dalam sekejap mata tiba di dekat si tinggi kurus yang sedang menciumi anak itu. Suara ketawa inilah yang mengejutkan perajurit Birma tinggi kurus itu dan dia mendorong pergi Bi Lan kemudian meloncat bangun dengan marah.

“Keparat busuk, kalian ini tiga orang tua bangka sudah bosan hidup, berani menggangguku!” bentak si tinggi kurus sambil mengamangkan goloknya ke arah tiga orang kakek itu.

Iblis Akhirat yang lebih suka bicara dari pada dua orang kawannya, kini tertawa bergelak dan seketika prajurit Birma tinggi kurus itu tercengang dan bergidik. Setelah tertawa, kakek yang kelihatannya ramah itu menjadi begitu menakutkan mukanya. Seperti setan!

“Ha-ha-ha-hah! Cucuku, siapakah engkau?” Iblis Akhirat bertanya, suaranya tentu saja memandang rendah sekali.

Melihat sikap tiga orang ini, si tinggi kurus yang juga bukan seorang yang hijau atau bodoh, dapat menduga bahwa tentu tiga orang kakek ini bukan orang sembarangan sehingga sikap dan keadaannya demikian aneh. Akan tetapi dia tidak takut, dan dia ingin mendatangkan kesan dan wibawa kepada tiga orang ini untuk menggertak mereka, maka jawabnya dengan angkuh,

“Aku adalah perwira pasukan Birma yang jaya!”

Pada waktu itu, semua orang tahu bahwa pasukan Birma bersekutu dengan pasukan pemberontak, dan semua orang takut kepada pasukan Birma ini.

Akan tetapi, Iblis Akhirat itu agaknya sama sekali tidak takut.
“Apa? Dari bahasamu, jelas kamu ini bukan orang asing, bukan orang Birma, akan tetapi pekerjaanmu sebagai perwira pasukan Birma. Wah, kalau begitu engkau ini adalah seekor cacing busuk, seorang pengkhianat, ya? Kami paling benci deh melihat pengkhianat!”

“Anjing penjilat busuk!” kata Raja Iblis Hitam.

“Srigala masih lebih baik dari pada kamu!” bentak pula Iblis Mayat Hidup.

Tentu saja si tinggi kurus menjadi marah bukan main mendengar ucapan mereka. Dia sama sekali tidak tahu bahwa biarpun Sam Kwi merupakan iblis-iblis yang merajai dunia kaum sesat dan tidak segan melakukan kejahatan macam apapun juga, akan tetapi mereka itu pada dasarnya merupakan orang-orang yang membenci pemerintahan Mancu dan karena itu tentu saja membenci negara Birma yang berani masuk dan mengganggu wilayah Yunan, dan lebih benci lagi terhadap orang-orang yang berkhianat membantu kekuasaan asing untuk memerangi bangsa sendiri.

“Keparat, kalian memang sudah bosan hidup!” bentak si tinggi kurus dan dengan goloknya dia menerjang maju dan membacok ke arah kepala Iblis Akhirat yang berada paling dekat di depannya.

Golok yang mengkilap itu menyambar ganas, kuat dan cepat ke arah kepala Iblis Akhirat yang botak. Akan tetapi si gendut itu sama sekali tidak mengelak dan agaknya bahkan tidak tahu bahwa kepalanya terancam senjata tajam yang akan dapat membelah kepalanya yang bundar dan botak itu menjadi dua!

“Singggg.... krakkk!”